PERANAN DOKTER PSIKIATER DALAM MENENTUKAN STATUS KEJIWAAN TERSANGKA DALAM KAITANNYA DENGAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA. Abtract

dokumen-dokumen yang mirip
KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

SKRIPSI PERANAN PENYIDIK POLRI DALAM MENCARI BARANG BUKTI HASIL TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR RODA DUA DI WILAYAH HUKUM POLRESTA PADANG

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

KEKUATAN VISUM ET REPERTUM SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM MENGUNGKAP TERJADINYA TINDAK PIDANA

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

PERANAN DOKTER FORENSIK DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA. Oleh : Yulia Monita dan Dheny Wahyudhi 1 ABSTRAK

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran larangan 1. Masalah pertama

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 28, Pasal 28A-J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. peradilan adalah untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid)

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

BAB V PENUTUP. pertanggungjawaban pidana, dapat disimpulkan bahwa:

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. dalam Undang Undang Dasar Repubik Indonesia (UUD 1945) Pasal 1 ayat (3).

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.16 No.3 Tahun 2016

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya

BAB I PENDAHULUAN. terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut. tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana.

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

I. PENDAHULUAN. Kepolisian dalam mengemban tugasnya sebagai aparat penegak hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

Fungsi Dan Wewenang Polri Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia. Oleh : Iman Hidayat, SH.MH. Abstrak

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Mengenai Penegakan Hukum Pidana. 1. Penegak Hukum dan Penegakan Hukum Pidana

BAB I PENDAHULUAN. sosial, sebagai makhluk individual manusia memiliki kepentingan masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

BAB I PENDAHULUAN. dapat diungkap karena bantuan dari disiplin ilmu lain. bantu dalam penyelesaian proses beracara pidana sangat diperlukan.

BAB I PENDAHULUAN. diwajibkan kepada setiap anggota masyarakat yang terkait dengan. penipuan, dan lain sebagainya yang ditengah masyarakat dipandang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tindak pidana dan pemidanaan merupakan bagian hukum yang selalu

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum, Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup)

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. hubungan seksual dengan korban. Untuk menentukan hal yang demikian

I. PENDAHULUAN. berkembang sejalan dengan perkembangan tingkat peradaban. Berkaitan dengan

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB I PENDAHULUAN. cara yang diatur dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk mencari serta

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Peraturan perundang-undangan untuk mengatur jalannya

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan pengguna jalan raya berkeinginan untuk segera sampai. terlambat, saling serobot atau yang lain. 1

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN (STUDI KASUS PADA PENGADILAN NEGERI DI SURAKARTA)

BUPATI TUBAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

I. PENDAHULUAN. sangat strategis sebagai penerus suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, anak

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

TINJAUAN YURIDIS PEMBUKTIAN TURUT SERTA DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus Putusan No. 51/Pid.B/2009 /PN.PL) MOH. HARYONO / D

BAB I PENDAHULUAN. Pidana (KUHAP) adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,

LEMBARAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR : 120 TAHUN 1987 SERI : D

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

I. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

ABSTRAK MELIYANTI YUSUF

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

Transkripsi:

PERANAN DOKTER PSIKIATER DALAM MENENTUKAN STATUS KEJIWAAN TERSANGKA DALAM KAITANNYA DENGAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA Oleh: Ruslan Abdul Gani, SH.MH. Abtract Untuk menentukan apakah pelaku tindak pidana tersebut terganggu jiwanya atau gila bukanlah kewenangan penegak hukum (Polisi/Penyidik, Jaksa Penuntut Umum dan Hakim), namun yang paling berwenang adalah Psikiater. Apabila dari hasil pemeriksaan Dokter Psikiater ternyata pelaku kejahatan tersebut mengalami kejiwaan atau terganggu kesehatan hal ini tentunya akan mempengaruhi kemampuannya dalam mempertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan. Dalam dalam membuktikan apakah pelaku tindak pidana tersebut jiwanya terganggu atau tidak, sangat diperlukan bantuan dari seorang ahli Psikiater. Key Lok: Pentingnya Dokter Psikiater Dalam menentukan status kejiwaan seseorang A. Latar Belakang Masalah Sesuai dengan tugas dan wewenang Kepolisian Republik Indonesia sebagaimana terdapat di dalam Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002 Tentang kepolisian dijelaskan Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah: a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. b. Menegakkan hukum ; dan c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Selanjutnya di dalam Pasal 14 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 dijelaskan pula: (1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas: a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintahan sesuai kebutuhan; b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas di jalan; c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarkat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional; e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; f. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa; Ruslan Abdul Gani,SH.MH. adalah Dosen Tetap PS. Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Batanghari Jambi. 35

g. malakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; h. menyelenggarakan andetifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensic dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian; Dalam kaitannya dengan tugas penegakan hukum tersebut, salah satu tindakan yang patut dilakukan oleh penyidik Polri adalah melakukan identifikasi terhadap pelaku kejahatan, apakah pelakukan tindak pidana tersebut termasuk kategori orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan atau tidak, dikarenakan alasan sakit jiwa. Suatu perbuatan pidana dapat dipertanggung jawabkan terhadap pelakunya, apabila perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang yang cakap menurut hukum dalam artian pelakunya adalah bukan orang gila, pemabuk atau sakit ingatan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 44 KUHP yang berbunyi: (1) Barang siapa mengerjakan sesuatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit akal atau sakit berubah akal tidak boleh dihukum. (2) Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal maka hakim boleh memerintahkan menempatkan dia di rumah sakit gila selamasalamanya atau satu tahun untuk diperiksa. Untuk menentukan apakah pelaku tindak pidana tersebut terganggu jiwanya atau gila bukanlah kewenangan penegak hukum (Polisi/Penyidik, Jaksa Penuntut Umum dan Hakim), namun yang paling berwenang adalah Psikiater. Adapun pengertian Psikiater itu sendiri menurut Ansori Sabuan adalah: merupakan suatu ilmu yang mempelajari jiwa manusia, tetapi mempelajari jiwa manusia yang sakit 1. Sebagai salah satu syarat untuk dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa ialah harus terbukti adanya kesalahan si pelaku dan dapat dipertanggungjawabkan atas kesalahannya. Pada dasarnya orang-orang yang jiwanya sakit tidak dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana di atur dalam Pasal 44 KUHP sebagai mana telah dijelaskan di atas. Dalam hal menentukan apakah jiwa pelaku kejahatan mengalami sakit jiwa, aparat penegak hukum biasanya mengalami kesulitan. Karena untuk mengetahui sampai sejauh mana gangguan kesehatan jiwa yang dialami orang tersebut tentunya akan mempengaruhi kemampuannya dalam bertanggungjawab. Dalam mengahadapi persoalan tersebut sangat diperlukan bantuan dari seorang ahli Psikiater kehakiman melalui ahli di bidang kedokteran jiwa yaitu Dokter jiwa psikiater. Djoko Prakoso menjelaskan: Keterangan ahli jiwa (Psikiater) adalah merupakan alat bukti keterangan ahli dan mempunyai peranan yang penting serta menentukan dalam penyelesaian kasus kejahatan di sidang pengadilan. 2 Bila dilihat ketentuan Pasal 184 KUHAP, keterangan seorang ahli psikiater termasuk kedalam alat-alat bukti yang sah. Untuk lebih jelasnya mengenai jenis-jenis alat bukti menurut ketentuan Pasal 184 KUHAP antara lain: 1 Ansorie Sabuan, Hukum Acara Pidana, (Penerbit Angkasa Bandung :1990), hlm. 71. hlm. 179. 2 Prodjodikoro Wirjono, Azas-Azas Hukum Pidana Di Indonesia, (Penerbit, Eresco Bandung: 1989), 36

(1) Alat bukti yang sah Ialah: a. keterangan saksi b. keterangan ahli c. surat d. petunjuk e. keterangan terdakwa. Keterangan sorang Psikiater termasuk kedalam keterangan ahli. Dikatakan keterangan ahli menurut ketentuan Pasal 186 KUHAP adalah : Keterangan seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. B. Perumusan Masalah Untuk mengetetahui Peranan Dokter Psikiater dalam menentukan status kejiwaan seorang tersangka dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban pidana maka perlu dikaji batasan sebagai berikut: 1. Bagaimana Peranan Dokter Psikiater Dalam Menentukan Status Kejiwaan Tersangka Dalam Kaitannya Dengan Pertanggungjawaban Pidana. 2. Kendala Apa Saja Yang Dihadapi Oleh Dokter Psikiater Dalam Menentukan Status Kejiwaan Tersangka Dalam Kaitannya Dengan Pertanggungjawaban Pidana. 3. Upaya Apa saja Yang Dilakukan Dalam Mengatasi Kendala Yang Terjadi. C. Pembahasan 1. Peranan Dokter Psikiater Dalam Menentukan Status Kejiwaan Tersangka Dalam Kaitannya Dengan Pertanggungjawaban Pidana Perumusan pertanggungjawaban pidana secara negatif dapat terlihat dari ketentuan Pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP. Kesemuanya merumuskan hal-hal dapat mengecualikan pembuat dari pengenaan pidana. Pengecualiaan pengenaan pidana di sini dapat dibaca sebagai pengecualiaan adanya pertanggungjawaban pidana. Dalam hal tertentu dapat berarti pengecualiaan adanya kesalahan. Merumuskan pertanggungjawaban pidana secara negatif, terutama berhubungan dengan fungsi refresif hukum pidana. Dalam hal ini, dipertanggungjawabkannya seseorang dalam hukum pidana berarti dipidana. Dengan demikian, konsep pertanggungjawaban pidana merupakan syarat yang diperlukan untuk mengenakan pidana terhadap seseorang pembuat tindak pidana. Menurut Galligan dalam bukunya Chairul Huda: apabila persyaratan ini diabaikan dan tidak tampak keadaan minimal yang menunjukkan pembuat dapat dicela, maka hukum dan institusi nya telah gagal memenuhi fungsinya. 3 Dalam mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana, harus terbuka kemungkinan bagi pembuat untuk menjelaskan mengapa dia berbuat demikian. Jika sistem hukum tidak membuka kesempatan demikian, maka dapat dikatakan tidak terjadi proses yang wajar (due process) dalam mempertanggungjawabkan pembuat pidana. Pada gilirannya hal ini akan berhadapan dengan prinsip-prinsip keadilan. Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana bukan hanya berarti sah menjatuhkan pidana terhadap orang itu, tetapi juga sepenuhnya dapat diyakini 3 Huda Chairul Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005),hlm. 63. 37

bahwa memang pada tempatnya meminta pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya. Menurut Chairul Huda: Pertanggungjawaban pidana pertama-tama merupakan keadaan yang ada pada diri pembuat ketika melakukan tindak pidana. Kemudian pertanggungjawaban pidana juga berarti menghubungkan antara keadaan pembuat tersebut dengan pembuat dan sanksi yang sepatutnya dijatuhkan. Dengan demikian, pengkajian dilakukan dua arah. Pertama, pertanggungjawaban pidana ditempatkan dalam kontek sebagai syarat-syarat faktual dari pemidanaan. 4 Rancangan KUHP menggunakan pendekatan campuran. Sebagian hal-hal yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana dirumuskan secara negatif. Demikian halnya seperti terlihat dalam Pasal 38, 39, 40. 41, 42 dan 43 Rancangan KUHP. Sementara sebagian yang lain justru dirumuskan secara positif. Seperti pasal 35, 36, 44, 45, dan 47 Rancangan KUHP. Perumusan dalam pasal-pasal yang disebutkan terakhir ini sifatnya bukan pengecualiaan dari dapat dipertanggungjawabkannya seseorang. Sebaliknya, ditentukan keadaan-keadaan tententu yang justru harus ada pada diri seseorang, untuk dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Dengan kata lain, jika perumusan secara negatif menentukan hal-hal yang dapat mengecualikan adanya pertanggungjawaban pidana, perumusan secara positif menentukan keadaan minimal yang harus ada pada diri seseorang untuk dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya. Konsep pertanggungjawaban pidana berkenaan dengan mekanisme yang menentukan dapat dipidananya pembuat, sehingga hal tersebut terutama berpengaruh bagi hakim. Hakim harus mempertimbangkan keseluruhan aspek tersebut, baik dirumuskan secara positif maupun negatif. Hakim harus mempertimbangkan hal itu, sekalipun Penuntut Umum tidak membuktikannya. Sebaliknya ketika terdakwa mengajukan pembelaan yang didasarkan pada alasan yang menghapuskan kesalahan, maka hakim berkewajiban untuk memasuki masalahnya lebih mendalam. Dalam hal ini hakim berkewajiban menyelidiki lebih jauh apa yang oleh terdakwa dikemukakannya sebagai keadaan-keadaan khusus dari peristiwa tersebut, yang kini diajukannya sebagai alasan oleh terdakwa dikemukakannya sebagai keadaan-keadaan khusus dari peristiwa tersebut, yang kini diajukannya sebagai alasan penghapus kesalahannya. Lebih jauh daripada itu, sekalipun terdakwa tidak mengajukan pembelaan berdasar pada alasan penghapus kesalahan, tetapi tetap diperlukan adanya perhatian bahwa hal itu tidak ada pada diri terdakwa ketika melakukan tindak pidana. Hakim tetap berkewajiban memerhatikan bahwa pada diri terdakwa tidak ada alasan penghapus kesalahan, sekalipun pembelaan atas dasar hal itu, tidak dilakukannya. Hal ini akan membawa perubahan mendasar dalam proses pemeriksaan perkara di pengadilan. Dalam mempertimbangan pertanggungjawaban pidana hakim harus mempertimbangkan hal-hal tertentu, sekalipun tidak dimaksukkan dalam surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum dan tidak diajukan oleh terdakwa sebagai alasan pembelaan. Hal ini mengakibatkan perlunya sejumlah ketentuan tambahan mengenai hal ini baik dalam hukum pidana materiil (KUHP), apalagi dalam hukum formalnya (KUHAP). Sementara itu, pertanggungjawaban pidana hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana. Hal ini yang menjadi pangkal tolak pertalian antara pertanggungjawaban pidana dan tindak pidana yang dilakukan pembuat. 4 Ibid, hlm. 65. 38

Pertanggungjawaban pidana merupakan rembesan sifat dari tindak pidana yang dilakukan pembuat. Dapat dicelanya pembuat, justru bersumber dari celaan yang ada pada tindak pidanaya. Oleh karena itu, ruang lingkup pertanggungjawaban pidana mempunyai korelasi penting dengan struktur tindak pidana. Tidak semua perbuatan yang oleh masyarakat dipandang sebagai perbuatan tercela, ditetapkan sebagai tindak pidana, merupakan konsekuensi logis pandangan tersebut. Artinya ada perbuatan yang sekalipun oleh masyarakat dipandang tercela, tetapi bukan merupakan tindak pidana 5. Menurut Harkristuti Harkrisnowo, dalam hal ini, mungkin ada sejumlah prilaku yang dipandang tindak pidana atau bahkan buruk dalam masyarakat, akan tetapi karena tingkat ancamannya pada masyarakat dipandang tidak terlalu besar, maka perilaku tersebut tidak dirumuskan sebagai suatu tindak pidana 6. Penyelenggraan peradilan pidana merupakan mekanisme bekerjanya aparat penegak hukum pidana mulai dari proses penyelidikan dan penyidikan, penangkapan dan penahanan, penyitaan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, serta pelaksanaan keputusan pengadilan. Atau dengan kata lain bekerjanya polisi, jaksa, hakim dan petugas lembaga pemasyarakatan, yang berarti berjalannya atau bekerjanya hukum acara pidana. Berjalan atau tidaknya suatu peradilan pidana tergantung pada aparat penegak hukum yang ada apakah sudah berkerja atau pelaksanakan sistemnya dengan baik atau tidak. Sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana yang berlaku guna mencapai tujuannya yang dikehendaki yakni kepastian dan keadilan hukum. Penyelenggaraan peradilan pidana diberbagai negara mempunyai tujuan tertentu. Dalam hal ini adalah usaha pencegah (Prevention of Crime), baik jangka pendek resosialisasi pelaku kejahatan, jangka menengah pengadilan kejahatan maupun dalam jangka panjang yakni kesejahteraan sosial. Dalam rangka mencapai tujuan yang demikian ini, masing-masing petugas hukum di atas, meskipun tugasnya berbeda-beda, harus bekerja dalam satu kesatuan sistem. Artinya, kerja masing-masing petugas hukum tersebut harus saling berhubungan secara fungsional. Karena sistem, yaitu suatu keseluruhan terangkai yang terdiri atas unsur-unsur yang saling berhubungan secara fungsional. Mengenai peranan Dokter Psikiater Dalam Menentukan Status Kejiwaan Tersangka Dalam Kaitannya Dengan Pertanggungjawaban Pidana, Menurut Kasat Reskrim Polresta Jambi: Bahwa peranan Dokter Sangat penting dalam membantu aparat kepolisian dalam menentukan prilaku dan kejiwaan seorang pelaku apabila diindikasi ada kecurigaan dari penyidik guna menentukan dapat atau tidaknya yang bersangkutan dimintai pertanggungjawaban pidananya. 7 Selanjutnya DR. Elia Silvia Sari, SPKJ, menjelaskan: Peranan yang bisa kita berikan kepada pihak kepolisan apabila diminta untuk menentukan status kejiwaan 5 Roeslan Saleh, Perbuatan dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar, ( Jakarta: Liberty, 1989), hlm. 45. 6 Harkristusi Harkrisnowo, Tindak Pidana Kessusilaan Dalam Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hlm. 67. 2012. 7 Kompol, Yoce Marten, SIK, SH., Kasat Reskrim Polresta Jambi, Wawancara Tanggal 16 Juli 39

seseorang terutama tersangkanya yakni dalam bentuk pernyataan yang menyebutkan kondisi pelaku tindak pidana apakah mengalami gangguan kejiwaan atau tidak. 8 Selanjutnya salah seorang penyidik pembantu Reskrim Polresta Jambi menjelaskan: Apabila dari hasil pemeriksaan Dokter Psikiater tersangka yang bersangkutan ternyata sangat positif mengalami gangguan jiwa, maka kasusnya kita hentikan Sementara waktu sampai menungguh benar-benar sembuh 9. Mengen peranan psikiater amat berperan penting dalam menentukan kemampuan bertanggungjawab seorang pelaku tindak pidana sehingga dapat membantu di dalam menemukan kebenaran materiil sebagaimana yang menjadi tujuan yang ingin dicapai dari hukum Acara Pidana yakni kebenaran materiil. Apabila status kejiwaan sipelaku tindak pidana sudah terbukti jiwanya terganggu, maka secara normatif penegak hukum mempunyai kewenangan untuk menentukan apakah perkara tersebut akan dilanjutkan atau tidak. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pihak kepolisian Polresta Jambi sangat memperhatikan dan mempedomani hasil pemeriksaan dari seorang Dokter Psikiater. Hal senada dibenarkan oleh Ahmad Fauzan SH, salah seorang Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jambi yang mengatakan: Memang benar, sebelum perkara dianggap sudah lengkap atau P 21 untuk kasus pembunuhan yang terjadi dalam keluarga, kita selalu menyarankan agar penyidik terlebih dahulu memeriksakan kesehatan jiwa tersangkanya guna memastikan apakah benar-benar baik dan tidak terganggu jiwanya. 10. Selanjutnya dari Bapak Haryono menjelaskan, salah seorang Hakim Pada Pengadilan Negeri Jambi menjelaskan: Tujuan dari pidana dijatuhkan disamping ingin menegakkan hukum pidana materiil, di sisi lain adalah mempunyai tujuan memperbaiki prilaku terpidana agar insyaf, menyesali dan tidak menggulangi perbuatannya lagi. Kalau ternyata yang dihukum pelakunya jiwa terganggu maka tujuan yang ingin dikehendaki dari penjatuhan pidana tersebut tidak tercapai 11. B. Kendala Yang Dihadapi Oleh Dokter Psikiater Dalam Menentukan Status Kejiwaan Tersangka Dalam Kaitannya Dengan Pertanggungjawaban Pidana Menurut DR. Elia Silvia Sari, SPKJ, mengenai kendala kendala yang dialami dalam melakukan pemeriksaan kejiwaan seseorang terutama dalam memenuhi permintaan pihak Kepolisian Jambi adalah: 1. Masih Kurangnya tenaga Psikiater RSJ Jambi, yang ada saat ini baru 2 orang. 2. Permintaan pemeriksaan psikiatrik terkadang tidak disertai bahan laporan keadaan tersangka/terdakwa selama berada dalam tahanan. 2012. 8 DR. Elia Silvia Sari, SPKJ, Dokter Specialis Penyakit Kejiwaan, Wawancara Penulis, 17 Juli 16 Juli 2012. 9 Briptu Dendi Krisnandi, Penyidik Pembantu pada Reskrim Polresta Jambi, Wawancara Penulis, 10 Ahmad Fauzan, SH. Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Jambi, Wawancara Penulis, 3 Oktober 2011. 11 Bapak Haryono, SH. Hakim Pengadilan Negeri Jambi, Wawancara Penulis, 17 Juli 2012. 40

3. Kurang lancarnya komunikasi yang didapat dari keluarga pasien masa lalu guna kelancaran pemeriksaan. 4. Kurangnya penjagaan oleh petugas kepolisian terhadap pasien tersangka/terdakwa yang sedang diobservasi sehingga pasien sering melarikan diri 13. C. Upaya Apa Yang Dilakukan Dalam Mengatasi Kendala Adapun upaya yang dalam mengatasi kendala yang terjadi sehingga dalam menjalankan tugasnya para Dokter Psikiater dapat berjalan lancar turutama dalam memberikan pelayanan bagi pihak yang membutuhkan, menurut DR. Viktor Eliazer, SKPJ, antara lain sebagai berikut: 1.Terhadap Tenaga Dokter Specialis Jiwa yang dirasakan masih Kurangnya, dimana kepala rumah sakit RSJ Jambi sudah mengusulkan agar segera dilakukan penambahan. 2. Kami juga telah membuat surat kepada Pihak kepolisian agar dalam mengajukan pemeriksaan psikiatrik terkadang tidak disertai bahan laporan keadaan tersangka/terdakwa selama berada dalam tahanan, sehingga tidak mempersulit jalannya pemeriksaan.. 3.Diharap pihak keluarga pasien selalu komunikatif dengan Doekter, bila mengajukan keluarganya ke RSJ Jambi. 4.Kami juga telah menyurati pihak Kepolisian yang ingin melakukan pemeriksaan terhadap tersangka di RSJ Jambi agar hendaknya selalu mengawasi pasien yang bersangkutan, karena petugas RSJ, tidak mempunyai pengamanan khusus bagi pasien yang diajukan oleh pihak kepolisian. Jadi demi keamanan pasien yang lain, hendaknya ikut menjaga pasien yang dibawa ke RSJ Jambi 14. Dengan adanya upaya yang telah dilakukan oleh Rumah Sakit Jiwa Jambi kedepan diharapkan segala bentuk persoalan yang kurang lengkapi dapat diatasi. Masyarakat menjadi aman dan nyaman. Di samping itu tugas yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya dapat berjalan dengan baik dan lancar D. Penutup 1. Bahwa Peranan Dokter Psikiater Dalam Menentukan Status Kejiwaan Tersangka Dalam Kaitannya Dengan Pertanggungjawaban Pidana sangatlah diperlukan sekali, karena masalah kejiwaan adalah masalah medis sedangkan masalah pertanggungjawaban pidana adalah masalah hukum. Dan hanya Dokter Psikiaterlah yang berwenang untuk menentukannya. Sehingga apa yang dikehendaki tujuan dari penghukuman terhadap pelaku tindak pidana dapat tercapai yakni memperbaiki prilaku korban, mendidik korban, sehingga tidak menggulangi perbuatannya lagi. 2. Dalam melakukan tugasnya menentukan menetukan status kejiwaan pasien, masih ditemui beberapa kendala seperti: - Tenaga Dokter Specialis Jiwa yang dirasakan masih Kurangnya - Pengamanan terhadap pasien yang d terganggu jiwanya masih belum memadahi. 13 DR. Elia Silvia Sari,SKPJ, Dokter Spicialis Penyakit Kejiwaan RSJ Jambi, Wawancara Penulis, 17 Juli 2012. 14 DR. Viktor Eliazer, SKPJ, Dokter Spicialis Penyakit Kejiwaan RSJ Jambi, Wawancara Penulis, 17 Juli 2012. 41

- Pihak keluarga Pasien kurang komunikatif dalam memberikan keterangan terhadap riwayat penyakit pasien. 3. Upaya Apa Yang Dilakukan Dalam Mengatasi Kendala Yang Terjadi, pihak Rumah Sakita Jiwa Jambi sudah mengajukan permohonan kepada pemerintah daerah dalam hal ini Gubernur agar memperhatikan segala pasilitas yang dirasakan kurang yang ada di lingkungan Rumah Sakit Jiwa Jambi, kedepan agar pelayanan yang diberikan kepada seluruh pasien lebih memuaskan. 4. Kepada pihak penyidik yang memeriksakan tersangka di Rumah Sakit Jiwa Jambi, hendaknya juga melakukan pengawasan hal ini dimaksudkan demi untuk menjaga kepentingan dan perlindungan terhadap pasien itu sendiri, seperti dikhawatirkan mengamuk atau melarikan diri. E. DAFTAR PUSTAKA Chairul Huda Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005, Harkristusi Harkrisnowo, Tindak Pidana Kessusilaan Dalam Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001. Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Sinargrafika, Jakarta, 1987 Pramadya Yan Puspa, Kamus Hukum, CV. Aneka Ilmu Semarang Jakarta, 1977. Sabuan Ansorie Ansorie, Hukum Acara Pidana, Penerbit Angkasa Bnadung, 1990: Saleh Roeslan, Perbuatan dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar, Jakarta: Liberty : 1989. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, 1984. Sunggono Bambang, S.H. M.S., Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Jakarta, 1996. -------- Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. 42