BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Hasil penelitian diperoleh 200 rontgen panoramik pasien di RSGM UMY

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I. dalam kehidupan sehari-hari. Kesehatan pada dasarnya ditunjukan untuk. untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Penyakit gigi dan mulut

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (Pedersen, 1966). Selama melakukan prosedur pencabutan gigi sering ditemukan

GAMBARAN KLASIFIKASI MOLAR KETIGA MANDIBULA IMPAKSI DI RUMAH SAKIT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA PADA PERIODE 1 OKTOBER MARET 2017

ABSTRAK. Kata kunci: gigi impaksi, keadaan patologis, tindakan preventif, penatalaksanaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PREVALENSI MOLAR TIGA PADAMAHASISWA SUKU TIONGHOA DITINJAU MENGGUNAKAN RADIOGRAFIPANORAMIK DI FKG USU

BAB I. Pendahuluan. A. Latar belakang. waktu yang diharapkan (Hupp dkk., 2008). Molar ketiga merupakan gigi terakhir

PREVALENSI GIGI IMPAKSI MOLAR TIGA PARTIAL ERUPTED PADA MASYARAKAT DESA TOTABUAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kehilangan gigi geligi disebabkan oleh faktor penyakit seperti karies dan

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 KANINUS IMPAKSI. individu gigi permanen dapat gagal erupsi dan menjadi impaksi di dalam alveolus.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BDJ VOL. 1 NO. 1, JANUARI-JUNI 2017

BAB II KLAS III MANDIBULA. Oklusi dari gigi-geligi dapat diartikan sebagai keadaan dimana gigi-gigi pada rahang atas

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. gigi geligi dan struktur yang menyertainya dari suatu lengkung gigi rahang atas

BAB 1 PENDAHULUAN. Teknik radiografi yang digunakan dalam bidang kedokteran gigi ada dua yaitu teknik intraoral dan ekstraoral.

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

KARYA TULIS ILMIAH GAMBARAN KLASIFIKASI IMPAKSI MOLAR KETIGA RAHANG BAWAH MENGGUNAKAN RADIOGRAF PANORAMIK

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Gigi Impaksi adalah gigi yang gagal erupsi secara utuh pada posisi yang

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. Desain penelitian ini adalah analitik dengan pendekatan retrospective

BAB I PENDAHULUAN. bagi tubuh. Fungsi gigi berupa fungsi fonetik, mastikasi dan. ataupun yang hilang bisa berdampak pada kesehatan.

I.PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Nesturkh (1982) mengemukakan, manusia di dunia dibagi menjadi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. anak itu sendiri. Fungsi gigi sangat diperlukan dalam masa kanak-kanak yaitu

PERANAN DOKTER GIGI UMUM DI BIDANG ORTODONTI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

NILAI KONVERSI JARAK VERTIKAL DIMENSI OKLUSI DENGAN PANJANG JARI TANGAN KANAN PADA SUKU BATAK TOBA

BAB I PENDAHULUAN. kejadian yang penting dalam perkembangan anak (Poureslami, et al., 2015).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Maturitas adalah proses pematangan yang dihasilkan oleh pertumbuhan dan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Odontektomi. Evaluasi data radiografi dan klinis dari kondisi pasien

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. beberapa komponen penting, yaitu sendi temporomandibula, otot

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Makanan yang pertama kali dikonsumsi bayi adalah Air Susu Ibu (ASI).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 1. Anatomi Palatum 12

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. masalah dengan kesehatan gigi dan mulutnya. Masyarakat provinsi Daerah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sistem mastikasi merupakan unit fungsional dalam pengunyahan yang mempunyai

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sejak intra uterin dan terus berlangsung sampai dewasa. Pertumbuhan berlangsung

VARIASI PENJALARAN KANALIS MANDIBULARIS KIRI DITINJAU SECARA RADIOGRAFI PANORAMIK PADA MASYARAKAT DI KECAMATAN MEDAN SELAYANG

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Fraktur angulus mandibula sebagai komplikasi tindakan pencabutan molar ketiga rahang bawah

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

PERUBAHAN MANDIBULA PADA MANULA. LISNA UNITA, DRG.,M.Kes DEPARTEMEN BIOLOGI ORAL FKG USU

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB 2 PROTRUSI DAN OPEN BITE ANTERIOR. 2.1 Definisi Protrusi dan Open Bite Anterior

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Lengkung gigi terdiri dari superior dan inferior dimana masing-masing

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN. Rancangan penelitian ini adalah penelitian observasional dengan metode

BAB V HASIL PENELITIAN

PREVALENSI GIGI IMPAKSI MOLAR KETIGA DILIHAT SECARA KLINIS PADA MAHASISWA STIA PUANGRIMAGGALATUNG KOTA SENGKANG ANGKATAN 2012/2013 SKRIPSI

BAB 1 PENDAHULUAN. dan harmonis.pada saat mendiagnosis dan membuat rencana perawatan perlu diketahui ada

Pengaruh Gigi Impaksi Molar Ketiga terhadap Ketebalan Angulus Mandibula Berdasarkan Jenis Kelamin

BAB 5 HASIL PENELITIAN. 5.1 Hasil Analisis Univariat Analisis Statistik Deskriptif Lama Kehilangan, Usia dan Ekstrusi Gigi Antagonis

26 Universitas Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Definisi Gigi Tiruan Sebagian Lepasan. satu atau lebih gigi asli, tetapi tidak seluruh gigi asli dan atau struktur

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007, prevalensi

DEPARTEMEN KEDOKTERAN GIGI PENCEGAHAN/ PENYULUHAN KESEHATAN GIGI DAN MULUT PADA PENDERITA TUNANETRA USIA TAHUN ( KUESIONER )

BAB 1 PENDAHULUAN. gigi dalam melakukan diagnosa dan perencanaan perawatan gigi anak. (4,6,7) Tahap

GAMBARAN PENCABUTAN GIGI MOLAR SATU MANDIBULA BERDASARKAN UMUR DAN JENIS KELAMIN DI BALAI PENGOBATAN RUMAH SAKIT GIGI DAN MULUT MANADO TAHUN 2012

BAB 1 PENDAHULUAN 3,4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Tubuh manusia selama proses kehidupan mengalami perubahan dimensi.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gigi impaksi adalah gigi yang gagal untuk erupsi secara utuh pada posisi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. keberhasilan perawatan kaping pulpa indirek dengan bahan kalsium hidroksida

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dipisahkan, yaitu pertumbuhan dan perkembangan.

IDA BAGUS KRESNANANDA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. ini. Anak sekolah dasar memiliki kerentanan yang tinggi terkena karies,

BAB 1 PENDAHULUAN. pencegahan, dan perbaikan dari keharmonisan dental dan wajah. 1 Perawatan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan mulut yang buruk memiliki dampak negatif terhadap tampilan wajah,

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. Eksperimental kuasi dengan desain one group pre dan post. Tempat : Klinik Ortodonti RSGMP FKG USU

EVALUASI RADIOGRAFI PERIAPIKAL TEKNIK TUBE SHIFT DALAM MENENTUKAN POSISI KANALIS MANDIBULARIS TERHADAP APIKAL MOLAR TIGA IMPAKSI

BAB I PENDAHULUAN. prognosis dan rencana perawatan khususnya pasien dengan pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 3 GAMBARAN RADIOGRAFI KALSIFIKASI ARTERI KAROTID. Tindakan membaca foto roentgen haruslah didasari dengan kemampuan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. displasia dan skeletal displasia. Dental displasia adalah maloklusi yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari berbagai macam penyebab dan salah satunya karena hasil dari suatu. pertumbuhan dan perkembangan yang abnormal.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. rumit pada tubuh manusia. Sendi ini dapat melakukan 2 gerakan, yaitu gerakan

BAB I PENDAHULUAN. Maloklusi adalah istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan gigi dan mulut masyarakat Indonesia masih merupakan hal yang

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental kuasi dengan desaincross sectional. 26

BAB I PENDAHULUAN. makanan secara mekanis yang terjadi di rongga mulut dengan tujuan akhir proses ini

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBHASAN. profesi pendidikan dokter gigi UMY angkatan 2011 di Rumah Sakit Gigi

Transkripsi:

30 BAB IV A. HASIL PENELITIAN HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian diperoleh 200 rontgen panoramik pasien di RSGM UMY pada bulan Januari sampai Mei 2016. Berdasarkan rontgen panoramik yang telah didapatkan, dapat dikategorikan kriteria inklusi dan eksklusi. Jumlah kriteria inklusi yang didapatkan sebanyak 40 foto rontgen panoramik. Tabel 1. Data jumlah kasus impaksi pada rontgen panoramik pasien di RSGM UMY pada bulan Januari sampai Mei 2016. Jumlah rontgen bulan Januari sampai Mei 2016 Rontgen dengan impaksi molar ketiga rahang bawah Prevalensi Σ 200 40 20% Jumlah rontgen foto panoramik yang didapatkan adalah sebanyak 40 foto, yang terdiri dari regio kanan dan kiri sehingga total kasus impaksi pada molar ketiga rahang bawah pada pasien di RSGM UMY pada bulan Januari sampai Mei 2016 sebanyak 77 sampel.

31 Tabel 2. Klasifikasi impaksi menurut Pell andgregory berdasarkan ketersediaan ruang Klasifikasi N % Klas I 12 15,6% Klas II 64 83,1% Klas III 1 1,3% Total 77 100% Berdasarkan tabel diatas yaitu klasifikasi impaksi berdasarkan relasi molar ketiga bawah ramus mandibular dan molar kedua bawah, menunjukan kasus impaksi pada klas I sebanyak 12 kasus (15,6%), sedangkan untuk klas II ditemukan kasus sebanyak 64 (83,1%) kasus dan pada klas III sebanyak 1 kasus (1,3%). Hal ini menunjukan bahwa pada bulan Januari sampai dengan Mei 2016 kasus impaksi berdasarkan klasifikasi tersebut diatas yang paling banyak ditemukan adalah pada klas II yaitu sebanyak 64 kasus (83,1%) kasus. Tabel 3. Klasifikasi impaksi molar ketiga rahang bawah menurut Pell dan Gregory berdasarkan posisi molar ketiga rahang bawah terhadap molar kedua. Klasifikasi N % Posisi A 6 7,7% Posisi B 48 62,3% Posisi C 23 30% Total 77 100%

32 Berdasarkan tabel diatas, klasifikasi berdasarkan kedalaman molar ketiga rahang bawah ditemukan posisi A sebanyak 6 kasus (7,7%), posisi B sebanyak 48 kasus (62,3%), dan posisi C sebanyak 23 kasus (30%). ini menunjukan bahwa pada bulan Januari sampai Mei 2016 berdasarkan kedalamannya posisi B merupakan kasus terbanyak yaitu 48 kasus (62,3%). Tabel 4. Klasifikasi Impaksi molar ketiga rahang bawah menurut George Winter berdasarkan hubungan radiografis molar ketiga bawah terhadap molar kedua rahang bawah. Klasifikasi N % Vertikal 17 22,1% Mesioangular 41 53,2% Horizontal Distoangular 18 1 23,4% 1,3% Total 77 100% Berdasarkan tabel diatas, klasifikasi berdasarkan axis atau sumbu panjang gigi impaksi molar ketiga rahang bawah yaitu vertikal sebanyak 17 kasus (22,1%), mesioangular sebanayak 41 kasus (53,2%), horizontal sebanyak 18 kasus (23,4%), dan distoangular sebanyak 1 kasus (1,3%). Hal ini menunjukan bahwa kasus impaksi molar ketiga rahang bawah yang paling banyak ditemukan pada posisi mesioangular yaitu 41 kasus (53,2%).

33 Tabel 5. Impaksi molar ketiga rahang bawah berdasarkan jenis kelamin. Jenis Kelamin N % Laki-laki 12 30% Wanita 28 70% Total 40 100% Berdasarkan tabel diatas, impaksi molar ketiga rahang bawah paling sering terjadi pada wanita yaitu 28 kasus (70%) dibandingkan laki-laki yaitu sebesar 12 kasus (30%). Tabel 6. Impaksi molar ketiga rahang bawah berdasarkan usia Usia N % 10-16 3 7,5% 17-27 23 57,5% 28-38 14 35% Total 40 100% Berdasarkan tabel diatas, impaksi molar ketiga rahang bawah yang paling sering terjadi berdasarkan usia pasien adalah pada usia 17-27 tahun yaitu 23 kasus (57,5%).

34 Tabel 7. Klasifikasi impaksi molar ketiga rahang bawah berdasarkan wilayah tempat tinggal N % Kota Yogyakarta 10 25% Bantul 13 32,5% Sleman Luar kota Yogyakarta 9 8 22,5% 20% Total 40 100% Berdasarkan tabel diatas, impaksi molar ketiga rahang bawah yang paling sering terjadi berdasarkan wilayah tempat tinggal yaitu daerah Bantul dengan total 13 kasus (32,5%). B. PEMBAHASAN Hasil penelitian berdasarkan klasifikasi pada tabel 2 menunjukkan prevalensi tertinggi pada klas II yaitu sebanyak 64 kasus (83,1%), kemudian klas I sebanyak 12 kasus (15,6%), dan klas III sebanyak 1 kasus (1,3%). Hal ini sejalan dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang menunjukkan hasil bahwa prevalensi tertinggi klasifikasi berdasarkan hubungan molar ketiga bawah dengan ramus mandibular dan molar kedua bawah terjadi pada klas II. Penelitian yang dilakukan oleh Sara., dkk pada tahun 2015, didapatkan bahwa impaksi paling banyak terjadi pada molar ketiga rahang bawah dengan jumlah pasien sebanyak 98 (27,3%), 45 pada pasien dengan impaksi kedua sisi, dan 53 dengan impaksi satu sisi sehingga total kasus impaksi sebesar 143, dengan klasifikasi impaksi klas II

35 merupakan impaksi yang paling sering terjadi yaitu sebesar 111(77,6%), diikuti klas I dengan 25 kasus (17,5%) dan klas III 7 kasus (4,9%). Penelitian yang dilakukan oleh Hashemipour., dkk 2013 impaksi klas II molar ketiga rahang bawah adalah yang paling umum terjadi. Etiologi dari impaksi molar ketiga yang telah di teliti oleh studi intenasisional, dapat disebabkan karena beberapa faktor termasuk kurangnya ruang distal molar kedua dan tertundanya mineralisasi dari molar ketiga rahang bawah. Hasil penelitian berdasarkan klasifikasi dari tabel 3 yaitu prevalensi tertinggi pada posisi B sebanyak 48 kasus (62,3%), posisi C sebanyak 23 kasus (30%), dan posisi A sebanyak 6 kasus (7,7%). Penelitian yang telah dilakukan oleh Mahdizadeh., dkk pada tahun 2014 prevalensi impaksi molar ketiga rahang bawah yang tertinggi adalah pada posisi B yaitu sebanyak 167 kasus (49,27%), posisi A sebanyak 138 kasus (40,7%), dan prevalensi terendah adalah posisi C yaitu 34 kasus (10,03%). Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sadeta., dkk 2013 mengenai insiden impaksi gigi molar tiga yaitu ditemukan prevalensi terbanyak pada kelas II B (13.6%),diikuti kelas II A (11.7%), kelas I B ( 10.7%) dan kelas III C (10.2%). Frekuensi impaksi terbanyak yaitu pada posisi B juga didapat dari penelitian yang dilakukan oleh Eshghpour, dkk 2014 menunjukan bahwa impaksi dengan posisi B paling sering terjadi dari 1.397 kasus, didaptkan sebanyak 892 kasus (65,85%) adalah posisi B, kemudian diikuti dengan posisi A 318 (22,76%), dan terakhir adalah posisi C sebanyak 187 (13,39%). Berdasarkan tabel 4 klasifikasi sumbu panjang impaksi molar ketiga rahang bawah prevalensi tertinggi adalah mesioangular yaitu 41 (53,2%), horizontal 18

36 (23,4%), vertikal 17 (22,1), dan yang paling jarang ditemui adalah distoangular sebanyak 1 kasus (1,3%). Hal ini menunjukan bahwa kasus impaksi molar ketiga rahang bawah paling banyak ditemukan pada posisi mesioangular. Hasil penelitian sebelumnya menunjukan sudut impaksi yang paling umum tejadi adalah pada mandibula yaitu mesioangular 117 (33,4%), kemudian horizontal yaitu sebesar 96 (27,5%) (Hassan, 2010). Penelitian tentang klasifikasi impaksi menurut George winter juga dilakukan Afzal pada tahun 2013 hasil penelitian sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti yaitu jumlah yang paling sering terjadi adalah mesioangular sebanyak 38,5%. Penelitian yang dilakukan oleh Sahetapy dkk pada bulan Agustus sampai September 2015, juga menunjukan impaksi berdasarkan klasifikasi Winter yang paling banyak ditemukan yaitu posisi mesioangular sebanyak 44 (48,4%), dan tidak ditemukan gigi impaksi pada posisi bukoangular. Hal ini dapat disebabkan oleh kekurangan ruang pada daerah distal molar kedua sehingga gigi molar ketiga rahang bawah sulit untuk erupsi dengan sempurna (Gupta, dkk 2011). Penelitian lain mengatakan bahwa posisi impaksi dengan angulasi mesioangluar, dapat meningkatkan prevalensi terjadinya karies pada gigi gigi molar kedua yang berdekatan dengan gigi impaksi molar ketiga rahang bawah (Sheikh, dkk 2012) Berdasarkan tabel 5, impaksi molar ketiga rahang bawah secara signifikan lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan dengan laki-laki. oleh hal ini dikarenakan pertumbuhan fisik pada wanita biasanya terhenti lebih awal daripada laki-laki yang mengarah ke ukuran rahang yang lebih kecil. Inisiasi erupsi molar ketiga pada wanita biasanya terjadi setelah pertumbuhan rahang selesai. Pada laki-

37 laki, pertumbuhan rahang berlanjut selama erupsi molar ketiga dan dengan demikian memberi lebih banyak ruang untuk erupsi gigi molar ketiga rahang bawah. penelitian lainnya mengatakan penurunan ketebalan tulang kortikal ditemukan pada angulus mandibula, yang diukur dalam radiograf panoramik dan dibandingkan antara laki-laki dan perempuan. Hasil juga menunjukkan bahwa ratarata ketebalan tulang angulus mandibula lebih besar pada pria dibandingkan pada wanita serta kepadatan mineral tulang berkurang dapat mengubah bentuk tulang (Watanabe dkk. 2009). Maturasi seluruh tulang pada perempuan dewasa muda termasuk tulang rahang dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain siklus mensturasi, faktor nutrisi dan aktivitas fisik. Berdasarkan teori tersebut menunjukan bahwa maturasi yang terjadi pada tulang rahang perempuan lebih cepat dan padat sehingga terjadi obstruksi pada tempat erupsi gigi sehingga menyebabkan terjadinya impaksi (Pederson, 1996). Daya tekanan akibat pengunyahan, bentuk makanan, proporsi besar gigi dan besar rahang dapat berperan penting dalam hal ini. Tekanan kunyah laki-laki cenderung lebih besar dibandingkan pada perempuan sehingga akan berpengaruh pada tumbuh kembang rahang nantinya. Bentuk makanan juga dapat berpengaruh pada perkembangan dimana perempuan cenderung suka makan makanan yang lembut dan tidak membutuhkan tenaga atau tekanan kunyah yang besar dibandingkan laki-laki. Berdasarkan tabel 6, klasifikasi impaksi molar ketiga rahang bawah brdasarkan usia, yang paling banyak terjadi adalah pada usia 17-27 yaitu 23 (57,5%). Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dwayne, dkk 2011 bahwa gigi impaksi paling banyak terjadi pada kelompok umur 18-27 tahun

38 dimana terdapat 453 (62,13%) gigi impaksi. Penelitian lainnya menunjukan usia kurang dari 25 tahun yaitu sebanyak 10 orang atau sebesar 43,5%. Semakin tinggi usia maka lebih sedikit pula angka kejadian gigi impaksi molar ke tiganya. Hal ini dilihat dari pasien dengan kelompok usia 26-35 tahun sebanyak 7 orang atau sebesar 30,4% dan pasien dengan kelompok usia lebih dari 36 tahun sebanyak 6 orang atau sebesar 26,1% (Amaliyana, dkk., 204). Hasil penelitian distribusi gigi impaksi berdasarkan usia yang dilakukan oleh Sahetapy, dkk 2015, menunjukan bahwa lebih dari setengah ditemukan pada kategori usia 24-35 tahun sebanyak 62%. Penelitian lain menunjukan adanya perbedaan mengenai usia yang paling sering terjadi impaksi molar ketiga rahang bawah yaitu penelitian yang dilakukan oleh Harsha tahun 2014 di India yang menunjukan bahwa gigi impaksi sering ditemukan pada usia 26-35 tahun sebanyak 32 %. Erupsi molar ke tiga ditemukan pada rentang usia yang luas dikarenakan perubahan posisi yang terjadi setelah erupsi yang mana bisa menyebabkan gigi impaksi. Hal ini bisa disebabkan kebiasaan makan, mastikasi dan mungkin karena latar belakang genetik. Beberapa penelitian hanya menjelaskan mungkin ini dikarenakan meningkatnya kesadaran tentang kesehatan gigi dan mulut (Ayaz A., 2012). Berdasarkan tabel 7, klasifikasi impaksi berdasarkan wilayah tempat tinggal yang paling banyak terjadi adalah pada wilayah Bantul yaitu 13 kasus (32,5%). Hal ini desebabkan pada masyarakat daerah Bantul, masih sangat sering mengkonsumsi makanan tradisional atau jajanan pasar. Jenis makanan tradisional di daerah Bantul diperoleh dari sumber lokal misalnya dari umbi-umbian, dan tepung beras, seperti misalnya nagasari, gethuk, thiwul, dan kue lapis

39 (Nurhayati,dkk., 2013). Sebagian besar dari jenis makanan ini adalah makanan lunak, sehingga untuk mencerna tidak memerlukan kerja yang kuat dari otot-otot pengunyah, khususnya rahang bawah menjadi kurang berkembang. Berdasarkan teori filogenik, gigi impaksi dapat terjadi karena proses evolusi mengecilnya ukuran rahang sebagai akibat dari perubahan perilaku dan pola makan pada manusia (Dwipayanti, dkk., 2009).