BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pesatnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia dapat melahirkan berbagai macam bentuk kerjasama di bidang bisnis. Apabila kegiatan bisnis meningkat, maka sengketa yang terjadi diantara para pihak yang terlibat pun tidak dapat dihindari. Sengketa bisnis adalah sengketa yang timbul di antara pihak-pihak yang terlibat dalam berbagai macam kegiatan bisnis atau perdagangan, termasuk di dalamnya meliputi unsur-unsur yang lebih luas, seperti pekerjaan, profesi, penghasilan, mata pencaharian dan keuntungan 1. Sengketa bisnis dapat terjadi karena adanya pelanggaran perundangundangan, perbuatan ingkar janji (wanprestasi) ataupun kepentingan yang berlawanan. Sengketa bisnis yang terlambat diselesaikan akan mengakibatkan perkembangan pembangunan tidak efisien, produktivitas menurun, dunia bisnis mengalami kemandulan dan biaya produksi meningkat. Menurut Winarta 2, secara konvensional, penyelesaian sengketa dalam dunia bisnis, seperti perdagangan, perbankan, proyek pertambangan, minyak dan gas, energi, infrastruktur, dan sebagainya dilakukan melakukan proses litigasi. Pada dasarnya peraturan perundang-undangan di Indonesia 1 Bambang Sutiyoso, 2008, Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Gama Media, Yogyakarta, hlm. 8. 2 Frans Hendra Winarta, 2011, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 1-2. 1
telah menyediakan sarana untuk menyelesaikan masalah yang dapat ditempuh, yaitu melalui peradilan (litigasi) dan di luar peradilan (non-litigasi). Proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi) menempatkan para pihak saling berlawanan satu sama lain, selain itu penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan sarana akhir (ultimum remidium) setelah alternatif penyelesaian sengketa lain tidak membuahkan hasil. Proses penyelesaian sengketa ini menghasilkan keputusan yang bersifat menang dan kalah yang belum tentu dapat merangkul kepentingan para pihak serta cenderung dapat menimbulkan masalah baru, seperti penyelesaiannya membutuhkan waktu yang lama, biaya yang mahal, para pihak yang bersengketa mengalami ketidakpastian, serta dapat menimbulkan permusuhan di antara para pihak yang bersengketa. Keterlambatan penanganan terhadap suatu sengketa bisnis dapat mengakibatkan perkembangan pembangunan ekonomi tidak efisien, produktivitas menurun sehingga konsumen yang dirugikan. Konsumen adalah pihak yang paling dirugikan, di samping itu peningkatan kesejahteraan dan kemajuan sosial kaum pekerja juga terhambat. 3 Cara penyelesaian tersebut tidak diterima dalam dunia bisnis karena lembaga peradilan tidak selalu menguntungkan secara adil bagi kepentingan para pihak yang bersengketa. Sebagian pelaku bisnis cenderung memilih penyelesaian sengketa di luar pengadilan oleh karena beberapa kekurangan. Setiap masyarakat tentu memiliki cara sendiri untuk meyelesaikan perselisihan, namun demikian dunia usaha yang 3 Suyud Margono, 2010, Penyelesaian Sengketa Bisnis Alternative Dispute Resolutions (ADR), Ghalia Indonesia, Bogor, hlm. 4. 2
berkembang secara universal dan global mulai mengenal bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang homogen, menguntungkan, memberikan rasa aman dan keadilan bagi para pihak. 4 Bahasa modern sekarang disebut dengan win-win solution, inilah sebenarnya tujuan esensial arbitrase, mediasi atau cara-cara lain menyelesaikan sengketa di luar proses pengadilan. 5 Alternatif Penyelesaian Sengketa merupakan bentuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non-litigasi), yang didasarkan pada kesepakatan para pihak yang bersengketa. Konsekuensi dari kesepakatan para pihak yang bersengketa tersebut, Alternatif Penyelesaian Sengketa bersifat sukarela dan tidak dapat dipaksakan oleh satu pihak kepada pihak lainnya yang bersengketa. Alternatif Peyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau pendapat ahli. 6 Penyelesaian sengketa secara non-litigasi ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara tersebut secara litigasi. Penyelesaian sengketa secara litigasi tetap dipergunakan apabila penyelesaian sengketa secara non-litigasi tersebut tidak membuahkan hasil. Jadi, Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah sebagai salah satu mekanisme penyelesaian sengketa 7 di luar pengadilan dengan mempertimbangkan 4 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2000, Hukum Arbitrase, Cetakan Pertama, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 1. 5 Priyatna Abdurrasyid, 2002, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Fikahati Aneska, Jakarta, hlm. ii. 6 Pasal 1 angka 10, Undang-Undang UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, LN RI No. 138 Tahun 1999, TLN RI No. 3872. 7 Suyud Margono, Op.cit., hlm. 5. 3
segala bentuk efisiensinya dan untuk tujuan masa yang akan datang sekaligus menguntungkan bagi para pihak yang bersengketa. Sengketa bisnis yang timbul dapat merugikan reputasi pelaku bisnis dan berpotensi mengurangi kepercayaan klien, nasabah, atau konsumen perusahaan, ataupun perusahaan itu sendiri. Para pelaku bisnis umumnya lebih menginginkan untuk merahasiakan adanya suatu sengketa bisnis karena alasan tersebut. Dilihat dari segi kerahasiaan tersebut lah penyelesaian sengketa bisnis melalui proses pengadilan dianggap kurang menguntungkan bagi pelaku bisnis. Hal inilah yang mempengaruhi dibutuhkannya suatu cara penyelesaian sengketa yang efektif, dipercaya, serta mampu memberikan kepastian dan keadilan. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, berkembanglah suatu sistem penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Arbitrase merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang banyak diminati para pelaku bisnis dikarenakan adanya kelebihan yang dimiliki. Kelebihan tersebut antara lain: 8 a. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak; b. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif; c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil; d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan e. Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan. 8 Penjelasan Umum, Undang-Undang UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, LN RI No. 138 Tahun 1999, TLN RI No. 3872. 4
Penyelesaian melalui arbitrase umumnya dipilih untuk sengketa kontraktual, baik yang bersifat sederhana maupun kompleks. 9 Menurut Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. 10 Ada tiga hal yang dapat dikemukakan dari definisi yang diberikan dalam Undang- Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tersebut: 11 1. Perjanjian arbitrase merupakan salah satu bentuk perjanjian; 2. Perjanjian arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis; 3. Perjanjian arbitrase tersebut merupakan perjanjian untuk penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di luar peradilan umum. Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundangundangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa, sedangkan sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-perundangan tidak dapat diadakan perdamaian. 12 9 Djafar Al Bram, 2011, Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui Mediasi, Pusat Kajian Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Pancasila (PKIH FHUP), Jakarta, hlm. 14. 10 Pasal 1 angka 1, Undang-Undang UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, LN RI No. 138 Tahun 1999, TLN RI No. 3872. 11 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 97-98. 12 Pasal 5 ayat (1) dan (2), Undang-Undang UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, LN RI No. 138 Tahun 1999, TLN RI No. 3872. 5
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase menghasilkan suatu putusan arbitrase yang bersifat final and binding, yaitu merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. 13 Putusan arbitrase ini tidak dapat diajukan upaya hukum banding, kasasi, atau peninjauan kembali. Hal tersebut merupakan salah satu kelebihan yang dimiliki arbitrase karena dapat memberikan kepastian hukum secara efektif bagi para pihak yang bersengketa. Namun demikian, tidak semua putusan arbitrase ini memberikan kepuasan kepada para pihak. Untuk memberikan rasa keadilan bagi para pihak yang bersengketa, Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa membuka kemungkinan untuk melakukan pembatalan atas putusan arbitrase yang telah dijatuhkan atau diputuskan yaitu dalam bentuk pemohonan pembatalan putusan arbitrase yang diajukan kepada Pengadilan Negeri. Terhadap putusan Pengadilan Negeri tersebut hanya dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir. 14 Namun Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak mengatur secara jelas atas putusan Pengadilan Negeri yang dapat diajukan upaya banding apabila permohonan pembatalan putusan arbitrase diterima seluruhnya, diterima sebagian, atau ditolak sama sekali. 13 Pasal 60, Undang-Undang UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, LN RI No. 138 Tahun 1999, TLN RI No. 3872. 14 Pasal 72 ayat (4), Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, LN RI No. 138 Tahun 1999, TLN RI No. 3872. 6
Upaya pembatalan putusan arbitrase ini diatur dalam Pasal 70 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yaitu: Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut: a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Selanjutnya Penjelasan Pasal 70 mengenai unsur pembatalan putusan arbitrase, yang berbunyi: Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasanalasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan. Untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase sebagaimana disebutkan diatas, selain harus didasarkan pada alasan-asalan permohonan pembatalan, alasanalasan permohonan tersebut juga harus terlebih dahulu dibuktikan dengan putusan pengadilan, dalam hal ini putusan pengadilan. Dengan demikian, Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa memberikan ruang dalam upaya pembatalan putusan arbitrase yang didasarkan atas terpenuhinya Pasal 70 serta penjelasan Pasal 70. Disisi lain, dalam Penjelasan Umum alinea 18 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa juga menjelaskan 7
tentang pembatalan putusan arbitrase. Hal ini dapat dilihat dalam bunyi Penjelasan Umum alinea 18, yaitu: Bab VII mengatur tentang pembatalan putusan arbitrase. Hal ini dimungkinkan karena beberapa hal, antara lain: a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Adanya perbedaan dalam pemakaian kata sebagai berikut dalam Pasal 70 dan antara lain dalam Penjelasan Umum alinea 18 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa untuk menyebutkan unsur-unsur pembatalan putusan arbitrase tentu dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda dalam menentukan unsur-unsur pembatalan putusan arbitrase. Adanya celah hukum inilah yang akhirnya dipakai oleh para pencari keadilan dalam memperjuangkan hak-haknya, khususnya dalam permohonan pembatalan putusan arbitrase. Berdasarkan hal tersebut diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan Negeri No. 01/ Arbitrase/ 2013/ PN. Smg. jo. Putusan Mahkamah Agung No. 465 B/ Pdt.Sus-Arbt/ 2014 yang membahas mengenai penerapan Pasal 70 Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang selanjutnya akan dituangkan dalam tesis ini dengan judul: TINJAUAN YURIDIS PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BERDASARKAN PASAL 70 UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 1999 (Studi Kasus terhadap Putusan Pengadilan Negeri No. 01/ 8
Arbitrase/ 2013/ PN. Smg. jo. Putusan Mahkamah Agung No. 465 B/ Pdt.Sus- Arbt/ 2014). B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Agar pembahasan pada penelitian ini terarah dan tidak meluas maka penulis hanya memfokuskan pembahasan pada substansi pengaturan hukum yang terkait dengan permohonan pembatalan putusan arbitrase pada Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan analisis Putusan Pengadilan Negeri No. 01/ Arbitrase/ 2013/ PN. Smg. jo. Putusan Mahkamah Agung No. 465 B/ Pdt.Sus-Arbt/ 2014. 2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, penulis merumuskan permasalahan-permasalahan yang menjadi pokok penelitian dalam tesis ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah penerapan Pasal 70 beserta Penjelasannya dalam Undang- Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagai dasar untuk mengajukan pembatalan putusan arbitrase (Studi Kasus terhadap Putusan Pengadilan Negeri No. 01/ Arbitrase/ 2013/ PN. Smg. jo. Putusan Mahkamah Agung No. 465 B/ Pdt.Sus-Arbt/ 2014)? 9
2. Apakah Mahkamah Agung berwenang memutus permohonan banding terhadap putusan Pengadilan Negeri yang amar putusannya menolak pembatalan putusan arbitrase (Studi Kasus terhadap Putusan Pengadilan Negeri No. 01/ Arbitrase/ 2013/ PN. Smg. jo. Putusan Mahkamah Agung No. 465 B/ Pdt.Sus-Arbt/ 2014)? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan penulisan tesis ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui penerapan Pasal 70 beserta Penjelasannya dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagai dasar untuk mengajukan pembatalan putusan arbitrase (Studi Kasus terhadap Putusan Pengadilan Negeri No. 01/ Arbitrase/ 2013/ PN. Smg. jo. Putusan Mahkamah Agung No. 465 B/ Pdt.Sus-Arbt/ 2014). 2. Untuk mengetahui wewenang Mahkamah Agung dalam memutus permohonan banding terhadap putusan Pengadilan Negeri yang menolak pembatalan putusan arbitrase? (Studi Kasus terhadap Putusan Pengadilan Negeri No. 01/ Arbitrase/ 2013/ PN. Smg. jo. Putusan Mahkamah Agung No. 465 B/ Pdt.Sus-Arbt/ 2014). 10
D. Manfaat Penelitian Salah satu aspek penting dalam penelitian yang tidak dapat diabaikan adalah manfaat penelitian. Sebuah penelitian hukum diharapkan dapat memberikan manfaat yang berguna bagi perkembangan ilmu hukum itu sendiri maupun dapat diterapkan dalam prakteknya. Berikut adalah beberapa manfaat yang diharapkan dari penelitian ini: 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam Ilmu Hukum, khususnya dalam Hukum Bisnis yang berkaitan dengan permohonan pembatalan putusan arbitrase. 2. Hasil Penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi penulis sebagai praktisi hukum dalam menghadapi permohonan pembatalan putusan arbitrase di pengadilan serta wewenang Mahkamah Agung dalam memutus permohonan banding terhadap putusan Pengadilan Negeri yang menolak pembatalan putusan arbitrase. 3. Hasil penelitian diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan serta dapat menambah bahan rujukan bagi mahasiswa dalam memahami upaya permohonan pembatalan putusan arbitrase dan wewenang Mahkamah Agung dalam memutus permohonan banding terhadap putusan Pengadilan Negeri yang menolak pembatalan putusan arbitrase. 11
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelitian pada kepustakaan, khususnya di lingkungan perpustakaan hukum Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, penulis tidak menemukan tesis karya mahasiswa yang mengangkat tema tentang pembatalan putusan arbitrase. Penulis hanya mendapati bahwa terdapat penelitian yang relevan dengan penelitian yang telah penulis lakukan. Penelitian pertama dilakukan oleh Irma Anggesti 15 dengan judul Kewenangan Mahkamah Agung Dalam Memeriksa Dan Memutus Sengketa Yang Terdapat Klausul Arbitrase (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 862K/PDT/2013 Dan Putusan BANI 547/XI/ARB-BANI/2013). Permasalahan yang diambil yaitu: 1. Apakah Mahkamah Agung memiliki kewenangan dalam memutus suatu perkara dimana dalam perkara tersebut sudah memuat klausul arbitrase untuk penyelesaian sengketanya? 2. Mengapa Putusan Mahkamah Agung dengan Putusan BANI berbeda berkaitan dengan kepemilikan saham di PT.CTPI? Penelitian kedua dilakukan oleh Lintomo 16 dengan judul Eksistensi Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Yang 15 Irma Anggesti, Kewenangan Mahkamah Agung Dalam Memeriksa Dan Memutus Sengketa Yang Terdapat Klausul Arbitrase (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 862K/PDT/2013 Dan Putusan BANI 547/XI/ARB-BANI/2013), Tesis Magister Ilmu Hukum, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 19 Oktober 2015. 16 Lintomo, Eksistensi Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Yang Bersifat Final dan Binding Pada Proyek Pembangunan Jalan dan Jembatan (Multy Years 2004-2008) Provinsi Riau (Tinjauan Yuridis Atas Putusan Bani No. 352/V/ARB-BANI/2010, Tesis Magister Ilmu Hukum, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 29 Oktober 2015. 12
Bersifat Final dan Binding Pada Proyek Pembangunan Jalan dan Jembatan (Multy Years 2004-2008) Provinsi Riau (Tinjauan Yuridis Atas Putusan Bani No. 352/V/ARB-BANI/2010. Permasalahan yang diambil yaitu: 1. Mengapa terhadap Putusan BANI yang bersifat final dan mengikat masih ada upaya hukum lain? 2. Dasar hukum apa yang dijadikan dasar bagi Pengadilan Negeri ataupun Mahkamah Agung untuk menerima gugatan atas Putusan BANI yang bersifat final dan mengikat? 3. Upaya hukum apa yang dapat dilakukan Pemohon agar eksekusi atas Putusan BANI dapat dijalankan dan direalisasikan oleh Termohon? Perbedaan penelitian yang penulis lakukan dalam tesis ini adalah memfokuskan pada penerapan Pasal 70 berserta Penjelasannya sebagai dasar untuk mengajukan pembatalan putusan arbitrase, serta wewenang Mahkamah Agung dalam memutus permohonan banding terhadap putusan Pengadilan Negeri yang menolak pembatalan putusan arbitrase menurut Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa berdasarkan Studi Kasus terhadap Putusan Pengadilan Negeri No. 01/ Arbitrase/ 2013/ PN. Smg. jo. Putusan Mahkamah Agung No. 465 B/ Pdt.Sus-Arbt/ 2014. Selain itu tema serta judul dalam penelitian ini bersumber dari hasil pemikiran penulis sendiri, yang berkeinginan untuk meneliti dan mengetahui lebih jauh mengenai pembatalan putusan arbitrase di Indonesia. Dengan demikian maka penelitian ini 13
adalah asli sumber, judul serta tema dan isinya dapat dipertanggungjawabkan keasliannya. 14