Akuntabilitas Wakil Rakyat Masih Rendah: Perlu Penyusunan Indikator Demokrasi dan Perbaikan Perundang-Undangan 1. LATAR BELAKANG



dokumen-dokumen yang mirip
Pimpinan dan anggota pansus serta hadirin yang kami hormati,

BAB I PENDAHULUAN. demokrasi, desentralisasi dan globalisasi. Jawaban yang tepat untuk menjawab

BAB I PENDAHULUAN. dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap

I. PENDAHULUAN. Pemilihan Umum (Pemilu) di Negara Indonesia merupakan sarana pelaksanaan

PERANAN KPU DAERAH DALAM MENCIPTAKAN PEMILU YANG DEMOKRATIS

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

AMANDEMEN UUD 45 UNTUK PENGUATAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD) SEBUAH EVALUASI PUBLIK. LEMBAGA SURVEI INDONESIA (LSI)

URGENSI UNDANG-UNDANG PEMILU DAN PEMANTAPAN STABILITAS POLITIK 2014

Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Politik

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1945 disebutkan bahwa negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 7 TAHUN 2012

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Pemilihan umum adalah suatu sarana demokrasi yang digunakan untuk memilih

PERTAMA: UNDANG-UNDANG TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPR, DPD, DAN DPRD

2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rak

-2- demokrasi serta menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Mesk

BAB V PENUTUP. sistem-sistem yang diterapkan dalam penyelenggaraan Pemilu di kedua Pemilu itu

LAPORAN HASIL PENGUKURAN TINGKAT TRANSPARANSI PENDANAAN PARTAI POLITIK DI TINGKAT DEWAN PIMPINAN PUSAT

BAB 14 PERWUJUDAN LEMBAGA DEMOKRASI YANG MAKIN KUKUH

Pembaruan Parpol Lewat UU

BAB I PENDAHULUAN. Pemilihan umum adalah salah satu hak asasi warga negara yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya

TULISAN HUKUM. Transparansi-dan-Akuntabilitas-Pengelolaan. m.tempo.co

Dibacakan oleh: Dr. Ir. Hj. Andi Yuliani Paris, M.Sc. Nomor Anggota : A-183 FRAKSI PARTAI AMANAT NASIONAL DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

PENGELOLAAN PARTAI POLITIK MENUJU PARTAI POLITIK YANG MODERN DAN PROFESIONAL. Muryanto Amin 1

Oleh Dra. Hj. Siti Masrifah, MA (Ketua Umum DPP Perempuan Bangsa) Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKB 1

BAB II PELAKSANA PENGAWASAN

proses perjalanan sejarah arah pembangunan demokrasi apakah penyelenggaranya berjalan sesuai dengan kehendak rakyat, atau tidak

BAB I PENDAHULUAN. jumlah suara yang sebanyak-banyaknya, memikat hati kalangan pemilih maupun

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

Antara Harapan dan Kecemasan Menyusup di Celah Sempit Pemilu 2004

Tujuan, Metodologi, dan Rekan Survei

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR..TAHUN.. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

BAB III PEMBANGUNAN BIDANG POLITIK

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota 1 periode 2014-

PEMUTAKHIRAN DATA PEMILIH UNTUK MEWUJUDKAN PEMILU 2019 YANG ADIL DAN BERINTEGRITAS

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena

PEMBINAAN ORGANISASI MITRA PEMERINTAH

KEWAJIBAN PELAPORAN DANA KAMPANYE PESERTA PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF 2014

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

BAB II DASAR TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Pengertian Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD)

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan Indonesia dari sentralistik menjadi desentralistik sesuai dengan

PEMILIHAN UMUM. R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA. Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 6 Juni 2008

I. PENDAHULUAN. Era reformasi telah menghasilkan sejumlah perubahan yang signifikan dalam

PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR 01.TAHUN 2009 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pemilihan Umum (Pemilu) adalah salah satu cara dalam sistem

RANCANGAN PERATURAN KPU TENTANG SOSIALISASI, PENDIDIKAN PEMILIH, DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA PAPUA BARAT

Dermawan Zebua DEPARTEMEN ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009

KPU Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Sumedang BAB I PENDAHULUAN


INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) 2016

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) 2016

BAB I PENDAHULUAN. media yang didesain secara khusus mampu menyebarkan informasi kepada

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) DI JAWA TENGAH 2015

BAB I PENDAHULUAN. kedaulatan rakyat ini juga dicantumkan di dalam Pasal 1 butir (1) Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan otonomi daerah yang digulirkan dalam era reformasi dengan. dikeluarkannya ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 adalah tentang

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG

MEMAKNAI ULANG PARTISIPASI POLITIK WARGA: TAHU, MAMPU, AWASI PUSAT KAJIAN POLITIK FISIP UNIVERSITAS INDONESIA 28 JANUARI 2015

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang dianggap demokratis selalu mencantumkan kata kedaulatan

BAB I PENDAHULUAN. Pasca reformasi tahun 1998, landasan hukum pemilihan umum (pemilu) berupa Undang-Undang mengalami perubahan besar meskipun terjadi

I. PENDAHULUAN. demokrasi, Sekaligus merupakan ciri khas adanya modernisasi politik. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. dikelola salah satunya dengan mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi

BAB I. PENDAHULUAN. kepala eksekutif dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga kepala eksekutif tidak

BAB 1 Pendahuluan L IHA PEMILIHAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. untuk rakyat (Abraham Lincoln). Demokrasi disebut juga pemerintahan rakyat

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK

Disampaikan Dalam Rapat Pansus Pemilu DPR-Rl, Kamis 12 Juli 2007 Oleh Juru Bicara F-PPP DPR-Rl: Dra. Hj. Lena Maryana Anggota DPR-Rl Nomor: A-26

I. PENDAHULUAN. memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk menyatakan pendapat

d. Mendeskripsikan perkembangan politik sejak proklamasi kemerdekaan.

SINERGI ANGGOTA PARLEMEN, MEDIA DAN OMS UNTUK MENDORONG KEBIJAKAN YANG BERFIHAK PADA PEREMPUAN MISKIN

MEKANISME DAN MASALAH-MASALAH KRUSIAL YANG DIHADAPI DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH SECARA LANGSUNG. Oleh : Nurul Huda, SH Mhum

PILEG 2014 PARTAI POLITIK PESERTA PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Peran Strategis Komisi Pemilihan Umum dalam Pelaksanaan Pemilu

kinerja DPR-GR mengalami perubahan, manakala ada keberanian dari lembaga legislatif untuk kritis terhadap kinerja eksekutif. Pada masa Orde Baru,

BAB I PENDAHULUAN. Pilgub Jabar telah dilaksanakan pada tanggal 24 Pebruari 2013, yang

BAB I PENDAHULUAN. peraturan perundang-undangan baik berupa Undang-Undang (UU) maupun

BAB I PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) JAWA TIMUR 2016

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) 2015

I. PENDAHULUAN. ini merupakan penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia. DPR dan DPRD dipilih oleh rakyat serta utusan daerah dan golongan

BAB II KAJIAN TEORI. A. Tinjauan Pustaka. 1. Peran. Peran merupakan aspek yang dinamis dalam kedudukan (status)

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI)

BAB I PENDAHULUAN. perbincangan yang hangat, sebab dalam Undang-Undang ini mengatur sistem

DISAMPAIKAN OLEH : YUDA IRLANG, KORDINATOR ANSIPOL, ( ALIANSI MASYARAKAT SIPIL UNTUK PEREMPUAN POLITIK)

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) PROVINSI BENGKULU 2016

APA DAN BAGAIMANA PEMILU 2004?

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MENINGKATKAN KINERJA ANGGOTA DPR-RI. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI

ABSTRAK (RINGKASAN PENELITIAN)

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) PROVINSI DKI JAKARTA 2016 MENGALAMI PENURUNAN DIBANDINGKAN DENGAN IDI PROVINSI DKI JAKARTA 2015

Ringkasan Putusan.

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH. Muchamad Ali Safa at

DAFTAR PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PENGUJIAN UU PEMILU DAN PILKADA

APA ITU DAERAH OTONOM?

INDEKS DEMOKRASI INDONESIA (IDI) MALUKU UTARA, 2016

- 2 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM TENTANG PENATAAN DAERAH PEMILIHAN DAN ALOKASI KURSI ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAE

I. PENDAHULUAN. dibagi-baginya penyelenggaraan kekuasaan tersebut, agar kekuasaan tidak

Transkripsi:

Akuntabilitas Wakil Rakyat Masih Rendah: Perlu Penyusunan Indikator Demokrasi dan Perbaikan Perundang-Undangan Oleh Direktorat Politik, Komunikasi dan Informasi, Deputi Bidang Polhankamnas, Bappenas Abstrak Kajian ini bertujuan menyusun indikator demokrasi, terutama akuntabilitas wakil rakyat/anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap para pemilih (konstituen) mereka. Kemudian menganalisis faktor-faktor penyebab akuntabilitas anggota DPR; serta mengajukan rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan akuntabilitas tersebut. Metodologi yang digunakan adalah studi pustaka terhadap berbagai analisis, indikator, dan dinamika demokrasi di Indonesia; studi pustaka tentang kebijakan pengembangan demokrasi di Indonesia, seperti Undang-undang Dasar (UUD) dan Undang-undang yang di bidang politik; studi pustaka terhadap anggaran pemerintah maupun DPR; dan wawancara mendalam dengan berbagai nara sumber/pakar dan survai sederhana kepada mahasiswa. Kesimpulan kajian ini adalah tingkat akuntabilitas wakil rakyat terhadap konstituennya rendah dilihat dari kinerja mereka, seperti kunjungan maupun pelaporan. Rendahnya akuntabilitas tersebut, antara lain disebabkan: (1) perundang-undangan tidak secara tegas dan jelas menugaskan anggota DPR melakukan kontak dan komunikasi serta melaksanakan fungsi perwakilan dengan baik; (2) dukungan anggaran yang rendah; (3) kurangnya tekanan publik (pers, universitas, dan ormas) kepada anggota DPR serta Partai Politik (Parpol) agar mereka lebih aspiratif dan responsif kepada konstituennya; (4) kontak dan komunikasi antara wakil rakyat dan pemilih/konstituen tidak merupakan bagian menonjol dalam sejarah politik Indonesia; serta (5) sistem Pemilu yang memilih tanda gambar sehingga menghasilkan gambaran yang abstrak atau DPP, sehingga figur wakil tidak mengakar. Rekomendasi yang dapat disampaikan antara lain: (1) dalam peraturan perundang-undangan perlu dicantumkan kewajiban wakil rakyat untuk melakukan kontak dan melaporkan kegiatan mereka kepada pemilihnya; (2) perlu disusun peraturan yang menjamin hak warga/konstituen untuk memecat wakil rakyat yang melakukan kesalahan; (3) perlu ruang publik yang memadai dan optimalisasi lembaga masyarakat yang independen termasuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengontrol wakil rakyat, sebagai bentuk pertanggungjawaban moral dan intelektual mereka; (4) perubahan sistem Pemilu sangat penting dilakukan, sehingga rakyat lebih realistis dalam memilih wakilnya dengan menekankan pada figur/person, bukan gambar; (5) perlu diperhatikan penyesuaian kebutuhan anggaran untuk mendukung kegiatan komunikasi dengan konstituen, namun harus dengan rencana dan pertanggungjawaban yang jelas. 1. LATAR BELAKANG Pembahasan dan pengukuran dinamika demokrasi di Indonesia relatif tertinggal dibanding bidang lain, seperti dinamika ekonomi dan kependudukan. Berbagai analisis demokrasi dari berbagai perspektif seringkali hanya berhenti pada deskripsi dan eksplanasi demokrasi secara umum dan agak abstrak. Karena itu, publik tidak mengetahui dengan jelas bagaimana tingkat demokrasi dalam sejarah Indonesia. Tidak diketahui pula bagaimana keadaan berbagai dimensi demokrasi (kompetisi, partisipasi

dan akuntabilitas) dalam suatu periode tertentu. Mayoritas studi yang membahas demokrasi Indonesia, baik pada periode Orde Baru maupun pasca Orde Baru, cenderung tidak berupaya menilai tingkat demokrasi sebagaimana yang dilakukan beberapa lembaga, misalnya Freedom House yang melakukan analisis tahunan sejak tahun 1973. Selain itu analisis tentang politik Indonesia seringkali bersifat kualitatif, berdasar pada data primer maupun sekunder yang dikumpulkan. Sudah tentu analisis mereka sangat berguna untuk memahami kehidupan politik di Indonesia, namun kita tidak tahu tingkat demokrasi dari sistem politik Indonesia, karena tidak ada indikator-indikator untuk mengetahui secara lebih akurat tentang politik di Indonesia. Seringkali suatu studi hanya membahas aspek deskriptif atau eksplanatif tanpa rekomendasi kebijakan yang cukup rinci. Di lain pihak berbagai rancangan perundangundangan sering tidak disertai analisis dimensi demokrasi (akuntabilitas) yang rinci, sehingga masalah tersebut tidak mendapat tempat yang cukup dalam usulan rancangan perundang-undangan. Selama ini studi pengukuran demokrasi lebih terfokus pada dua aspek yakni kompetisi dan partisipasi, sebaliknya mereka kurang membahas masalah akuntabilitas. Dengan kata lain, pengukuran demokrasi masih terfokus pada kebebasan berparpol dan Pemilu, namun kurang memperhatikan atau mengukur proses Pasca Pemilu, terutama akuntabilitas para wakil rakyat. Karena itu perlu dibuat Indikator Akuntabilitas Demokrasi yang dapat pula dikaitkan dengan Indikator Freedom House, sehingga kita memperoleh gambaran keadaan demokrasi yang lebih utuh. Pembahasan demokrasi Indonesia yang bersifat kualitatif dan deskriptif berimplikasi pada pengukuran demokrasi di Indonesia cenderung lebih bersifat kualitatif. Posisi Indonesia acap dinyatakan sebagai otoritarian, represif, atau birokratismiliteristik. Sementara itu tidak terdapat indikator demokrasi yang sistematik yang telah dikembangkan oleh pemerintah (BPS dan BP7, ketika masih ada). Keadaan serupa terjadi pula pada berbagai lembaga penelitian dan universitas. 2.TUJUAN Berdasar latar belakang pemikiran di atas maka studi ini dilaksanakan dengan tujuan : 1. Menyusun indikator demokrasi, terutama akuntabilitas wakil rakyat (anggota DPR) pada pemilih (konstituen). Tingkat akuntabilitas wakil rakyat pada konstituennya merupakan hal yang penting dan dapat menjadi entry point bagi pengembangan demokrasi yang sesungguhnya. 2. Menganalisis faktor-faktor penyebab akuntabilitas demokrasi; dan mengajukan rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan akuntabilitas demokrasi. 3. Mendefinisikan kriteria demokrasi dan menentukan indikator-indikator empiris perihal degree of democratization yang terjadi di Indonesia. 4. Dari kriteria dan indikator empiris degree of democratization tersebut diharapkan diperoleh keluaran tentang ukuran-ukuran baku demokrasi (best international principles on democracy); ukuran-ukuran empiris menurut area politik Indonesia; menentukan degree of democratization Indonesia

3. METODOLOGI Metodologi dan subyek kajian terdiri dari : 1. Studi pustaka terhadap berbagai analisis, indikator, dan dinamika demokrasi di Indonesia. 2. Studi pustaka tentang kebijakan pengembangan demokrasi di Indonesia (UUD dan UU Politik). 3. Studi pustaka terhadap anggaran pemerintah maupun DPR. 4. Wawancara mendalam dengan berbagai narasumber/pakar dan survai sederhana kepada mahasiswa. 3.1 KERANGKA ANALISIS Pembahasan indikator demokrasi telah dikembangkan Freedom House (FH) yang mencakup dua dimensi: political rights dan civil liberty. Kedua dimensi ini lebih menekankan aspek partisipasi dan kompetisi dan menunjukkan dimensi akuntabilitas masih terbuka untuk diukur. Indikator demokrasi versi Freedom House didasarkan pada dimensi political rights, meliputi 11 indikator yang berkaitan dengan partisipasi dan kompetisi, dan civil liberty yang erat dengan partisipasi dalam kehidupan sosial dan diukur dengan 14 indikator. Berdasarkan 25 butir di atas, Freedom House meminta pendapat para ahli suatu negara tertentu (panel of experts) untuk membuat peringkat mengenai hal tersebut. Gabungan dari kedua dimensi tersebut ( political rights dan civil liberty ) selanjutnya digunakan untuk mengetahui posisi atau ciri-ciri suatu negara dalam bidang demokrasi, dengan memberikan skor antara 1 sampai 7. Nilai antara 1 sampai 7 tersebut dibagi menjadi tiga kategori: Free (1-2.5), Partly Free (2.5-5.5), dan Not Free (5.5-7). Pembuat indikator Freedom House yakni Gastil berkesimpulan bahwa indikatornya ternyata juga mengukur tingkat demokrasi, bukan hanya tingkat kebebasan (freedom). Pembobotan di atas masih terlalu kasar, artinya perubahan dalam bidang Partly Free (2.5-5.5) kurang dapat dijelaskan secara baik. Dengan kata lain suatu negara yang berada dekat Not Free (5.5-7) dan berubah mendekati Free masih dianggap berada dalam satu bidang yakni Partly Free (2.5-5.5). Itu sebabnya perlu modifikasi, sehingga pembobotan tersebut dipecah menjadi empat. Maka bobot Partly Free dibagi dua menjadi Semi-Demokratis (2.5-4) dan Semi Otoriter (4-5.5). 3.2 DATA Jika indikator Freedom House yang telah dimodifikasi digunakan untuk mengetahui dinamika demokrasi Indonesia, maka pada periode Orde Baru, tingkat demokrasi secara mayoritas berada pada tingkat Semi-Otoriter (4 5,5), walaupun pada periode 1993-1998, pernah juga mengalami Otoriter (5.5-7). Sedangkan periode Pasca Orde Baru, sejak 1999 dan 2003, membaik cukup tajam memasuki kategori baru yakni Semi-Demokrasi (dibawah skor 4 ). Grafik berikut ini menggambarkan lebih jelas dinamika demokrasi di Indonesia karena membagi bidang Partly Free menjadi dua yakni Semi-Otoriter dan Semi- Demokrasi. Melalui pembagian ini dinamika demokrasi Indonesia terlihat lebih tajam. Pada periode Orde Baru, tingkat demokrasi secara mayoritas berada di Semi-Otoriter

walaupun pernah mengalami Otoriter. Jadi dilihat dari aspek political rights dan civil liberty Indonesia pada pasca Orde Baru telah memasuki kategori baru yakni Semi-Demokrasi. Grafik 1. Modifikasi Gabungan Political Rights dan Civil Liberties di Indonesia Indikator Freedom House: Indonesia: 1972-2003 7 5,5 4 2,5 1 1972-73 73-74 74-75 75-76 76-77 77-78 78-79 79-80 80-81 81-82 82-83 83-84 84-85 85-86 86-87 87-88 88-89 89-90 90-91 91-92 92-93 93-94 94-95 95-96 96-97 97-98 98-99 99-00 00-01 2001-02 2002-03 1 -- 2,5 = Demokratis 2,5 -- 4 = Semi- Demokratis 4 -- 5,5 = Semi-toriter 5,5 -- 7 = Otoriter Sumber: Freedom House, 2004 Grafik berikut ini menunjukkan demokrasi Indonesia yang mengalami perbaikan mendekati tingkat Thailand dan Filipina. Keadaan ini lebih baik dibanding Malaysia dan Singapura yang sebelum era Reformasi 1998 dan Pemilu 1999 berada dalam kategori yang sama dengan Indonesia. Grafik 2. Perbandingan Demokrasi di Indonesia dengan Demokrasi di Malaysia, Filipina dan Singapora tahun 1972-2001 7 6 5 4 3 2 1 Sumber: 0 Freedom House 1972-73 74-75 76-77 78-79 80-81 82-83 84-85 86-87 88-89 90-91 92-93 94-95 96-97 98-99 00-01 Indonesia Malaysia Philippines Thailand Singapore

Sumber: Freedom House Namun grafik di atas hanya menjelaskan political right dan civil liberty tanpa mengukur akuntabilitas. Ada kemungkinan bahwa Malaysia dan Singapura yang mendapat nilai rendah dalam Indikator Freedom House mempunyai skor cukup baik dalam akuntabilitas anggota legislatif. Sebab, pada kedua negara itu berlaku sistem distrik. Para anggota parlemen harus responsif kepada konstituensinya; jika tidak mereka bisa tidak terpilih pada Pemilu berikutnya. Indikator Akuntabilitas Demokrasi (IAD) dibuat berdasarkan prinsip yang mirip dengan Indikator Freedom House (IFH). IAD akan mencakup dimensi demokrasi yang belum terbahas dalam IFH yakni dimensi akuntabilitas. Namun IAD dapat berfungsi sebagai pelengkap atau bahkan digabungkan dengan IFH sehingga akan didapat indikator demokrasi agak lengkap. Dengan demikian, dapat diketahui posisi demokrasi suatu negara dalam tahun tertentu, baik dalam aspek partisipasi maupun akuntabilitas. Untuk mengukur Indikator Akuntabilitas Demokrasi (IAD) maka dikonstruksi kategori sebagai berikut: Akuntabilitas dikategorikan Tinggi, jika Mayoritas anggota DPR (> 67%) melakukan kunjungan rutin ke konstituennya dan jika mayoritas (> 67%) membuat laporan pertanggungjawaban pada konstituennya. Skor Sedang adalah nilai 33% sampai 67% dan skor Rendah jika nilai kurang dari 33%. Selain itu dilakukan pula survai dengan pengukuran dengan peringkat dari angka 1 (akuntabilitas tinggi) sampai 7 (akuntabilitas rendah). Skor 1 sampai 7 tersebut dibagi ke dalam empat kategori, yakni : 1-2 : Akuntabilitas Tinggi (Akuntabel) 2-4 : Akuntabilitas Cukup (Semi-Akuntabel) 4-5,5 : Akuntabilitas Rendah 5,5 7 : Akuntabilitas Rendah Sekali (Non-Akuntabel) Analisis akuntabilitas mencakup analisis kualitatif oleh pakar, sehingga dapat diketahui apakah tingkat akuntabilitas dapat digolongkan rendah, sedang atau tinggi. 4. HASIL KAJIAN Instrumen untuk mengukur akuntabilitas ini pertama kali akan diterapkan untuk mengetahui apakah para wakil rakyat secara rutin mengunjungi konstituennya atau tidak. Tabel dibawah ini menunjukkan bahwa kunjungan anggota DPR dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menurut responden adalah sangat rendah. Data ini menunjukkan bahwa tingkat akuntabilitas wakil rakyat Sangat Rendah dan dapat dikatakan bahwa mereka tidak akuntabel kepada konstituen mereka.

Tabel 1 - Kunjungan ke Konstituen Pernah dihubungi DPR/D 2001 2002 2003 Dihubungi 7% 4% 2% Tidak Dihubungi 85% 87% 95% Tidak Tahu 8% 8% 2% Tidak Menjawab 1% 1% 1% Sumber: Media Indonesia 6 Februari 2004; IFES 2001, 2002, 2003 Selain itu terdapat informasi tambahan mengenai kinerja mereka menurut berbagai jajak pendapat. Sebagai contoh data, tabel 2 menunjukkan statistik demokrasi mengenai pandangan publik terhadap anggota DPR/D : Tabel 2 - Pandangan terhadap Anggota DPR/D PANDANGAN TERHADAP ANGGOTA DPR PANDANGAN TERHADAP ANGGOTA DPRD I PANDANGAN TERHADAP ANGGOTA DPRD II Sudah mewakili 22% Sudah mewakili 25% Sudah mewakili 34% Kurang mewakili 35% Kurang mewakili 31% Kurang mewakili 28% Tidak mewakili 15% Tidak mewakili 12% Tidak mewakili 11% Tidak tahu 26% Tidak tahu 29% Tidak tahu 25% Tidak menjawab 3% Tidak menjawab 2% Tidak menjawab 2% Sumber: 'Suara Rakyat untuk Wakil Rakyat...' hal. L-8 (Pertanyaan: 'Menurut penilaian Bapak/Ibu/Saudara, apakah DPR/DPRD I/DPRD II sudah mewakili, kurang mewakili atau tidak rnewakili kepentingan masyarakat di daerah ini? Survai dilakukan pada Juli 2000 kepada 3000 responden di 60 kabupaten/kotamadya di 20 propinsi. Informasi lainnya tentang responden adalah: usia 18 tahun keatas atau sudah menikah. Sampling error polling adalah ± 2% dengan tingkat kepercayaan 95%. Untuk lengkapnya lihat Suara Rakyat untuk Wakil Rakyat.(2000: L-1 dan L-2). Survai di atas dilakukan tahun 2000 dan mengevaluasi anggota DPRD hasil Pemilu 1999 yang dianggap jurdil, baik oleh kalangan dalam negeri maupun luar negeri. Keadaan ini menunjukkan bahwa suksesnya suatu Pemilu ( Electoral Democracy ) tidak menjamin tingginya rasa keterwakilan rakyat. Hal ini disebabkan tidak diberlakukannya sistem Pemilu yang memberi kesempatan pada publik untuk memilih wakilnya (sistem proporsional terbuka dan sistem distrik). Juga tidak ada mekanisme kontrol pasca Pemilu, sehingga wakil rakyat tidak merasa perlu untuk akuntabel, bahkan memperkenalkan dirinya (mengunjungi) rakyat di daerah pemilihannya. Tabel juga menunjukkan bahwa secara umum pandangan reponden tentang anggota DPR tidak jauh berbeda dengan pandangan mereka terhadap DPRD I dan II. Jelas terlihat, hanya 22% responden yang menganggap anggota DPR telah mewakili

mereka. Selebihnya menyatakan Kurang Mewakili (35%); Tidak Mewakili (15%); Tidak Tahu (26%). Pengukuran akuntabilitas dapat dilakukan dengan menganalisis perundangundangan maupun polling. Pengukuran juga dapat berupa melontarkan sejumlah pertanyaan kepada informan dan mereka diminta melakukan peringkat terhadap beberapa butir kriteria yang berkaitan dengan akuntabilitas. Dalam grafik berikut terlihat bagaimana akuntabilitas DPR pada pemilih: (para informan adalah mahasiswa, yang hanya diminta melakukan peringkat pada masa Pasca Reformasi karena mereka tidak mengalami masa Pra-Reformasi dengan baik). Grafik 3. Akuntabilitas menurut Political Rights FH dan Pendapat Responden (Pasca Reformasi) Political right & Akuntabilitas DPR Pasca ORBA 7 5,5 4 2,5 1 1972-73 1974-75 1976-77 1978-79 1980-81 1982-83 1984-85 1986-87 1988-89 1990-91 1992-93 Pol.right DPR-Konstituen DPR-Publik 1994-95 1996-97 1998-99 2000-01 Data diatas menunjukkan bahwa peringkat responden adalah 5 atau berada di antara angka 4 dan 5.5 atau kategori Kurang Akuntabel. Sementara grafik yang lengkap berasal dari Freedom House mengukur political rights. Pada masa Pasca Reformasi skor political rights cukup baik yakni 3 atau Semi-Demokratis. Data juga menunjukkan bahwa Akuntabilitas Pasca Reformasi berada dalam kategori yang lebih buruk dibandingkan dengan keadaan political rights. Berbagai data tersebut, jika dikategorikan, menunjukkan lemahnya tingkat akuntabilitas wakil rakyat terhadap konstituennya. Jika keadaan ini dikonversi ke peta akuntabilitas, tampak dalam kategori akuntabilitas yang Sangat Rendah atau Tidak Ada Akuntabilitas. Kategori ini mempunyai skor antara 5.5. sampai 7 dan jika diambil nilai tengahnya maka akan didapat nilai 6.3, seperti yang terlihat dalam grafik berikut:

Grafik 4. Akuntabilitas DPR pada Konstituen 7 Akuntabilitas DPR pada Konstituen 5,5 4 2,5 1 1972-73 74-75 76-77 78-79 80-81 82-83 84-85 86-87 88-89 90-91 92-93 94-95 96-97 98-99 00-01 2002-03 1 -- 2.5 = Akuntabel 2.5 -- 4 = Cukup Akuntabel 4.5 -- 5 = Kurang Akuntabel 5.5 -- 7 = Tidak Akuntabel Grafik di atas menggambarkan betapa rendahnya tingkat akuntabilitas wakil rakyat pada konstituen yang tidak berbeda signifikan, baik pada masa sebelum dan sesudah reformasi. Secara ringkas studi ini memperlihatkan gambaran akuntabilitas demokrasi Indonesia, bahwa anggota DPR yang melakukan kunjungan ke konstituennya masih dibawah 10%, namun data ini tidak secara jelas menyatakan apakah kunjungan tersebut bersifat rutin atau tidak. Demikian pula tidak tercatat adanya anggota DPR yang melaporkan kegiatan mereka secara tertulis pada konstituennya, baik pada akhir tahun atau akhir masa jabatan mereka. Berdasarkan data ini dapat dikategorikan bahwa akuntabilitas mereka adalah Sangat Rendah. Kemudian, berdasar analisis para pakar, disimpulkan bahwa akuntabilitas DPR pada konstituennya masih dapat dikategorikan rendah, bahkan ada pendapat yang menyatakan bahwa akuntabilitas DPR Pasca Reformasi tidak berbeda secara signifikan dengan masa sebelum Reformasi. Selain itu berdasarkan rating survai, ditemukan bahwa akuntabilitas DPR masih diatas skor 4 berarti termasuk kategori Akuntabilitas Rendah. Padahal rating Fredom House (partisipasi dan kompetisi) sudah bernilai dibawah 4 atau masuk kategori Semi- Demokratis. Berbagai jajak pendapat juga menunjukkan kinerja dan citra DPR yang kurang baik. Jadi peningkatan demokrasi dalam aspek partisipasi dan kompetisi tidak diikuti secara seimbang dengan aspek akuntabilitas.

5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 KESIMPULAN Secara umum dapat dikatakan bahwa tingkat akuntabilitas wakil rakyat pada konstituennya Rendah, dilihat dari kinerja mereka seperti kunjungan maupun pelaporan. Juga didukung data lain, yakni survai dan pakar, yang menyatakan bahwa akuntabilitas mereka rendah. Jika dikaitkan dengan indikator Freedom House maka posisi Akuntabilitas masih diatas skor 4 ( Semi-Otoriter ) atau dapat dikatakan masih bersifat Elitis dan Oligarkis. Penyebab rendahnya akuntabilitas itu disebabkan oleh faktor-faktor, pertama, perundang-undangan (UUD; UU) tidak tegas dan jelas menugaskan agar anggota DPR melakukan kontak dan komunikasi serta melakukan fungsi perwakilan dengan baik. Dalam UUD tugas DPR adalah legislasi, pengawasan dan anggaran, sementara tugas Representasi (melaksanakan aspirasi konsituen) tidak dicantumkan secara tegas. Dalam UU Susduk dinyatakan bahwa wakil rakyat akan datang ke daerah pemilihan pada masa reses, namun tidak terdapat mekanisme yang jelas mengenai kewajiban mereka. Kedua, dukungan anggaran sangat rendah. Sebagai contoh, dalam anggaran Sub Sektor Politik Dalam Negeri tahun 2004 hanya tersedia dana sekitar Rp 132 miliar. Jumlah ini sangat tidak mendukung proses akuntabilitas wakil rakyat. Dalam anggaran DPR (2002) sebenarnya tersedia dana komunikasi Rp 3 juta per bulan serta dana reses, namun dalam praktiknya mereka tidak mempunyai rencana kerja dan pertanggungjawaban yang jelas berkaitan dengan kontak dan komunikasi dengan konstituen. Ketiga, kurangnya tekanan publik dari pers, universitas, dan ormas kepada anggota DPR (parlemen serta parpol) agar mereka menjadi lebih aspiratif dan responsif pada konstituennya. Berbagai kritik yang muncul lebih bersifat sporadis, individual dan tidak berkesinambungan. Misalnya, universitas tidak mengintegrasikan masalah pemantauan dan evaluasi kinerja DPR dalam kurikulum yang melibatkan dosen dan mahasiswa. Lantas pers tidak merencanakan dan mengalokasikan waktu dan tempat yang cukup dan terencana untuk mengawasi kinerja DPR dan demokrasi. Keempat, kontak dan komunikasi antara wakil rakyat dan pemilih/konstituen tidak merupakan bagian menonjol dalam sejarah politik Indonesia. Kalaupun ada, kontak itu lebih bersifat mobilisasi dan menjelang Pemilu (kampanye). Di samping itu materi kontak tidak bersifat program yang jelas dan terukur, melainkan lebih merupakan retorika. Kelima, sistem pemilu yang memilih tanda gambar. Keadaan ini menghasilkan gambaran yang abstrak (tanda gambar) atau Dewan Pimpinan Pusat (DPP), sehingga figur wakil rakyat tidak perlu mengakar. Selain itu DPP dan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) yang dominan membuat masalah akuntabilitas pada DPP/DPD menjadi lebih penting ( partycracy ) dibandingkan pada pemilih (konstituensi). 5.2 REKOMENDASI Peningkatan akuntabilitas perlu diprioritaskan melalui berbagai dimensi yaitu : 1. Perundang-undangan Kurang terbahasnya masalah akuntabilitas atau kedaulatan rakyat Pasca Pemilu ini tercermin pula pada konstitusi maupun berbagai UU. Karena itu, perlu pencatuman

secara eksplisit (dalam satu atau beberapa pasal atau ayat) bahwa wakil rakyat mempunyai kewajiban melakukan kontak dan melaporkan kegiatannya pada pemilihnya. Demikian pula perlu ada peraturan yang menjamin hak warga untuk memecat wakil rakyat yang melakukan kesalahan. 2. Anggaran Hal ini berkaitan dengan program Operation and Maintenance (O&M). Demokrasi perlu dianggarkan secara rutin oleh negara (seperti layaknya pembangunan fisik). Dengan kata lain anggaran anggota DPR perlu ditingkatkan untuk: kunjungan ke konstituen; pembuatan laporan tahunan; dukungan staf profesional dan administratif Perlu pula anggaran Bidang Politik Dalam Negeri, agar warga mendapat kemudahan untuk mengontak wakil rakyat (Surat Bebas dari Bea), dan tersedia dana untuk pertemuan rutin dengan wakil rakyat. Tanpa pembuatan jembatan antara wakil dan warga maka demokrasi akan terbatas pada kelompok elit atau oligarki saja. 3. Pengorganisasian dan Tekanan Publik Pengorganisasian ini meliputi optimalisasi lembaga Komisi Pemilihan Umum (KPU/D) untuk membantu pelaksanaan demokrasi Pasca Pemilu. Mereka diharap mempunyai data tentang rencana kerja anggota DPR/D dan parpol, sehingga dapat diakses dan dievaluasi publik. Perlu pula peran aktif berbagai organisasi komunitas, organisasi massa, pers, perguruan tinggi, parpol maupun organisasi okupasi (asosiasi profesi, pekerja, petani dan sektor informal). Beberapa lembaga seperti pers dan universitas perlu selalu melaporkan kegiatan monitoring demokrasi. Lembaga-lembaga tersebut diminta membuat laporan tahunan keadaan demokrasi sebagai bentuk pertanggung jawaban moral dan intelektual ( moral and intellectual accountability report ). Sebaiknya lembaga tersebut mempunyai Ombudsman independen yang memantau (dan membuat laporan/audit setiap akhir tahun). Dengan pola ini dapat diketahui apakah mereka telah cukup aktif atau tidak dalam memantau DPR dan demokrasi di Indonesia. 4. Sistem Pemilu Perubahan pada sistem pemilu yang menekankan figur (memilih wakil), baik dalam sistem distrik atau sistem proporsional terbuka, akan mendukung akuntabilitas jika dilengkapi dengan mekanisme lain seperti kunjungan dan pelaporan kegiatan wakil rakyat. Dalam format Pemilu 2004, jika pemilih hanya mencoblos orang namun tidak mencoblos tanda parpol, maka hal itu dianggap tidak sah. Seharusnya yang berlaku adalah sebaliknya, yakni mencoblos tanda gambar tanpa orang, justru dianggap tidak sah dan jika hanya mencoblos orang tanpa tanda gambar dianggap sah. * * *