OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

dokumen-dokumen yang mirip
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 31/POJK.05/2014 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PEMBIAYAAN SYARIAH

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.05/2018 TENTANG

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.05/2014 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PEMBIAYAAN SYARIAH

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Ketentuan Dasar dan Karakteristik. Pelaksanaan Kegiatan Usaha

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 35 /POJK.05/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN MODAL VENTURA

RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.05/2014 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PEMBIAYAAN SYARIAH

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.05/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN MODAL VENTURA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERBANKAN. BI. Bank Syariah. Dana Jasa. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4896)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

Yth. 1. Direksi Perusahaan Pembiayaan Syariah; dan 2. Direksi Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai Unit Usaha Syariah, di tempat.

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 31 /POJK.05/2016 TENTANG USAHA PERGADAIAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 2 /POJK.05/ TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA LEMBAGA PENJAMIN

Yth. 1. Direksi Perusahaan Pembiayaan Syariah; dan 2. Direksi Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai Unit Usaha Syariah, di tempat.

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 40 /POJK.05/2015 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA

1. Direksi Perusahaan Pembiayaan Syariah; 2. Direksi Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai Unit Usaha Syariah; RANCANGAN

RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN USAHA PERGADAIAN

SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /SEOJK.05/2017 TENTANG TINGKAT KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN MODAL VENTURA

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.05/2014 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN PEMBIAYAAN

Yth. 1. Direksi Perusahaan Pembiayaan Syariah; dan 2. Direksi Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai Unit Usaha Syariah, di tempat.

RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.05/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN MODAL VENTURA

2017, No penyusunan dan pelaksanaan kebijakan perkreditan atau pembiayaan bank bagi bank umum; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana di

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 35 /POJK.05/2015 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN MODAL VENTURA

-2- MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA LEMBAGA PENJAMIN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Perat

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 1 /POJK.05/ TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMIN

ISTILAH-ISTILAH DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN SYARI AH

SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 47 /SEOJK.05/2016

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 29/POJK.05/2014 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN PEMBIAYAAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 13/14/PBI/2011 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BAGI BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha yang melak

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 31 /POJK.05/2016 TENTANG USAHA PERGADAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 28/POJK.05/2014 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan adalah perusahan pembiayaan dan perusaha

-2- MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENERAPAN PRINSIP SYARIAH DI PASAR MODAL PADA MANAJER INVESTASI. BAB I KETENTUAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 29/POJK.05/2014 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN PEMBIAYAAN

LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH THALIS NOOR CAHYADI, S.H. M.A., M.H., CLA

RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO

- 2 - b. kualitas piutang pembiayaan; c. rentabilitas; dan d. likuiditas.

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 13/14/PBI/2011 TENTANG PENILAIAN KUALITAS AKTIVA BAGI BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

No. 10/ 14 / DPbS Jakarta, 17 Maret S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK SYARIAH DI INDONESIA

RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.05/2014 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN PEMBIAYAAN

2017, No pemberian kredit atau pembiayaan oleh bank umum untuk pengadaan tanah dan/atau pengolahan tanah; e. bahwa berdasarkan pertimbangan seb

2018, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambah

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENERAPAN PRINSIP SYARIAH PADA MANAJER INVESTASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB V PENGAWASAN KEGIATAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH 1

2017, No khusus terhadap kredit atau pembiayaan bank bagi daerah tertentu di Indonesia yang terkena bencana alam; e. bahwa berdasarkan pertimba

RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN MODAL VENTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 61 /POJK.04/2016 TENTANG PENERAPAN PRINSIP SYARIAH DI PASAR MODAL PADA MANAJER INVESTASI

2018, No Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PERUSAHAAN PEMBIAYAAN SEKUNDER PERUMA

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 53 /POJK.04/2015 TENTANG AKAD YANG DIGUNAKAN DALAM PENERBITAN EFEK SYARIAH DI PASAR MODAL

SALINAN NOMOR 18 /PMK.010/2010 TENTANG PENERAPAN PRINSIP DASAR PENYELENGGARAAN USAHA ASURANSI DAN USAHA REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

2017, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG KRITERIA DAN PENERBITAN DAFTAR EFEK SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pa

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 61 /POJK.04/2016 TENTANG PENERAPAN PRINSIP SYARIAH DI PASAR MODAL PADA MANAJER INVESTASI

RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.05/2014 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 34 /POJK.05/2015 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN MODAL VENTURA

2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam P

- 1 - DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,

Prinsip Sistem Keuangan Syariah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.05/2015 TENTANG PERUSAHAAN PEMBIAYAAN SEKUNDER PERUMAHAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 6/POJK.05/2014 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA LEMBAGA PENJAMINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MATRIKS RANCANGAN POJK KPMM BPRS

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENJAMINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

- 2 - PASAL DEMI PASAL. Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

BUPATI BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2008 TENTANG PERBANKAN SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI Perbankam. BI. Prinsip Syariah. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94)

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 19/POJK.04/2015 TENTANG PENERBITAN DAN PERSYARATAN REKSA DANA SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

137/PMK.03/2011 PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN UNTUK KEGIATAN USAHA PEMBIAYAAN SYARIAH

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENERBITAN DAN PERSYARATAN SUKUK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 37/POJK.04/2014 TENTANG REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF PENYERTAAN TERBATAS

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 6/ 19 /PBI/2004 TENTANG PENYISIHAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF BAGI BANK PERKREDITAN RAKYAT SYARIAH

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENGAWASAN PT PERMODALAN NASIONAL MADANI (PERSERO)

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 71 /POJK.05/2016 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI

PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 5/POJK.05/2014 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMINAN

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 4 /POJK.05/2018 TENTANG PERUSAHAAN PEMBIAYAAN SEKUNDER PERUMAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAGIAN I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR31/POJK.05/2014 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PEMBIAYAAN SYARIAH

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BOGOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BOGOR,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LAMPIRAN III SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /SEOJK.03/2015 TENTANG PRODUK DAN AKTIVITAS BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 3 /POJK.03/2016 TENTANG BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 27 /POJK.03/2016 TENTANG PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI PIHAK UTAMA LEMBAGA JASA KEUANGAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN,

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 49 /POJK.03/2017 TENTANG BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK PERKREDITAN RAKYAT

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

- 2 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Transkripsi:

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR/POJK.05/2017 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN PEMBIAYAAN SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH PERUSAHAAN PEMBIAYAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung perkembangan usaha perusahaan pembiayaan dengan prinsip syariah yang dinamis khususnya terkait pendanaan dan mewujudkan industri perusahaan pembiayaan dengan prinsip syariah yang tangguh, kontributif, inklusif, serta berkontribusi untuk menjaga sistem keuangan yang stabil dan berkelanjutan, perlu dilakukan penyempurnaan terhadap ketentuan mengenai penyelenggaraan usaha oleh Perusahaan Pembiayaan Syariah; PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.05/2017 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN PEMBIAYAAN SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH PERUSAHAAN PEMBIAYAAN

- 2 - I. UMUM Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan merupakan upaya penyempurnaan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan Syariah. Latar belakang beserta tujuan dari pembentukan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini adalah untuk meningkatkan pertumbuhan industri Perusahaan Pembiayaan Syariah berupa pengaturan perluasan kegiatan usaha yang meningkatkan kepastian hukum bagi pelaku industri, dengan tetap memperhatikan aspek prudential dan tata kelola yang baik. Sebagai upaya penyempurnaan terhadap Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan Syariah, terdapat materi muatan yang disesuaikan dan/atau ditambahkan dalam Peraturan Otoritas

- 3 - Jasa Keuangan ini, yaitu antara lain: 1. Pemanfaatan layanan teknologi oleh Perusahaan Pembiayaan Syariah, mengakomodir perkembangan fintech untuk mendorong peningkatan peranan Perusahaan Pembiayaan Syariah dalam mendukung financial inclusion. 2. Penyesuaian pengaturan mengenai Batas Maksimum Pemberian Pembiayaan (BMPP). 3. Kerjasama Pembiayaan Syariah, berupa pengaturan bahwa perusahaan fintech P2P lending, perusahaan modal ventura, dan/atau lembaga jasa keuangan lainnya dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagai pihak yang dapat melakukan Kerjasama Pembiayaan Syariah. 4. Kewajiban sertifikasi profesi bidang pemasaran bagi pegawai dan/atau tenaga pemasaran eksternal yang melakukan pemasaran produk pembiayaan Perusahaan Pembiayaan Syariah.

- 4 - b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan 5. Kewajiban pemeliharaan BPKB, berupa penambahan aturan dalam rangka melindungi hak debitur yang telah melunasi hutangnya untuk memperoleh bukti kepemilikan atas objek pembiayaan yang diagunkan. 6. Kewajiban agar Perusahaan Pembiayaan Syariah memiliki pedoman internal mengenai eksekusi jaminan fidusia yang diharapkan dapat melindungi kepentingan konsumen. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diharapkan dapat meningkatan peran Perusahaan Pembiayaan Syariah dalam mendorong pembangunan nasional dengan menciptakan Perusahaan Pembiayaan yang lebih sehat, dapat diandalkan, amanah, dan kompetitif secara umum dapat dilakukan dengan penyempurnaan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Perusahaan Pembiayaan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka Otoritas Jasa Keuangan menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan

- 5 - tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Unit Usaha Syariah dari Perusahaan Pembiayaan; Mengingat : Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan ini. MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERUSAHAAN PEMBIAYAAN SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH DARI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan Syariah adalah perusahaan pembiayaan syariah perusahaan pembiayaan yang memiliki unit usaha syariah 2. Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan barang dan/atau jasa. 3. Perusahaan Pembiayaan Syariah adalah Perusahaan Pembiayaan yang seluruh kegiatan usahanya melakukan pembiayaan syariah. 4. Pembiayaan Syariah adalah penyaluran pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah yang disalurkan oleh

- 6 - Perusahaan Syariah. 5. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah unit kerja dari kantor pusat Perusahaan Pembiayaan yang melaksanakan Pembiayaan Syariah dan/atau berfungsi sebagai kantor induk dari kantor yang melaksanakan Pembiayaan Syariah. 6. Prinsip Syariah adalah ketentuan hukum Islam berdasarkan fatwa dan/atau pernyataan kesesuaian syariah dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. 7. Pembiayaan Jual Beli adalah pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang melalui transaksi jual beli sesuai dengan perjanjian pembiayaan syariah yang disepakati oleh para pihak. 8. Pembiayaan Investasi adalah pembiayaan dalam bentuk penyediaan modal dengan jangka waktu tertentu untuk kegiatan usaha produktif dengan pembagian keuntungan sesuai dengan perjanjian pembiayaan syariah yang disepakati oleh para pihak. 9. Pembiayaan Jasa adalah pemberian/penyediaan jasa baik dalam bentuk pemberian manfaat atas suatu barang, pemberian pinjaman (dana talangan) dan/atau pemberian pelayanan dengan dan/atau tanpa pembayaran imbal jasa (ujrah) sesuai dengan perjanjian pembiayaan syariah yang disepakati oleh para pihak. 10. Perjanjian Pembiayaan Syariah adalah kesepakatan tertulis antara Perusahaan Syariah dengan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan Prinsip

- 7 - Syariah. 11. Murabahah adalah jual beli suatu barang dengan menegaskan harga belinya (harga perolehan) kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga lebih (margin) sebagai laba sesuai dengan kesepakatan para pihak. 12. Salam adalah jual beli suatu barang dengan pemesanan sesuai dengan syarat-syarat tertentu dan pembayaran harga barang terlebih dahulu secara penuh. 13. Istishna adalah jual beli suatu barang dengan pemesanan pembuatan barang sesuai dengan kriteria dan persyaratan tertentu dan pembayaran harga barang sesuai dengan kesepakatan oleh para pihak. 14. Mudharabah adalah akad kerjasama suatu usaha antara dua pihak di mana pihak pertama(shahib mal) menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua (mudharib) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai dengan kesepakatan para pihak. 15. Musyarakah adalah pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan para pihak. 16. Mudharabah Musytarakah adalah bentuk Mudharabah dimana pengelola dana (mudharib) turut menyertakan modal dalam

- 8 - kerjasama dimana keuntungan dan risiko akanditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan para pihak. 17. Musyarakah Mutanaqisah adalah Musyarakah atau syirkah yang kepemilikan aset (barang) atau modal salah satu pihak (syarik) berkurang disebabkan pembelian porsi kepemilikan (hishshah) secara bertahap olehpihak lainnya. 18. Ijarah adalah pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam jangka waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. 19. Ijarah Muntahiyah Bittamlik adalah Ijarah yang disertai dengan janji pemindahan kepemilikan (wa d) setelah masa Ijarah selesai. 20. Hawalah adalah pengalihan utang dari satu pihak yang berutang kepada pihak lain yang wajib menanggung pembayarannya. 21. Hawalah bil Ujrah adalah Hawalah dengan pengenaan imbal jasa (ujrah). 22. Wakalah adalah pemberian kuasa dari pemberi kuasa (muwakkil) kepada penerima kuasa (wakil) dalam hal yang boleh diwakilkan, dimana penerima kuasa (wakil) tidak menanggung risiko terhadap apa yang diwakilkan, kecuali karena kecerobohan atau wanprestasi. 23. Wakalah Bil Ujrah adalah Wakalah dengan pengenaan imbal jasa (ujrah). 24. Kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafiil)

- 9 - kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makfuul anhu, ashil). 25. Kafalah bil ujrah adalah Kafalah dengan pengenaan imbal jasa (ujrah). 26. Ju alah adalah janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan (reward/ iwadh/ju l) tertentu atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan. 27. Qardh adalah pinjam meminjam dana (dana talangan) tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu. 28. Fraud adalah tindakan penyimpangan atau pembiaran yang sengaja dilakukan untuk mengelabui, menipu, atau memanipulasi Perusahaan Syariah, Konsumen, atau pihak lain, yang terjadi di lingkungan Perusahaan Syariah dan/atau menggunakan sarana Perusahaan Syariah sehingga mengakibatkan Perusahaan Syariah, Konsumen, atau pihak lain menderita kerugian dan/atau pelaku Fraud memperoleh keuntungan keuangan baik secara langsung maupun tidak langsung. 29. Konsumen adalah perusahaan atau orang perseorangan yang melakukan Perjanjian Pembiayaan Syariah dengan Perusahaan Syariah terkait dengan kegiatan usaha Perusahaan Syariah. 30. Tingkat Kesehatan Keuangan adalah hasil penilaian kondisi permodalan, kualitas aset produktif, likuiditas, dan kinerja

- 10 - Perusahaan Syariah. 31. Modal Disetor: a. bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah modal disetor; atau b. bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah yang berbentuk badan hukum koperasi adalah simpanan pokok dan simpanan wajib. 32. Ekuitas adalah ekuitas berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia. 33. Saldo Aset Produktif (Outstanding Principal) adalah total tagihan, investasi, dan/atau tagihan jasa dikurangi dengan: a. pendapatan yang ditangguhkan (unearned revenue); dan b. pendapatan dan biaya lainnya sehubungan transaksi pembiayaan yang diamortisasi. 34. Direksi: a. bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseoan Terbatas; atau b. bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah berbentuk badan hukum koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.

- 11-35. Dewan Komisaris: a. bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseoan Terbatas; atau b. bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah berbentuk badan hukum koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 36. Batas Maksimum Pemberian Pembiayaan Syariah yang selanjutnya disebut dengan BMPPS adalah batasan tertentu dalam penyaluran Pembiayaan Syariah yang diperkenankan berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. 37. Aset Produktif adalah semua aset yang dimiliki oleh Perusahaan Syariah dengan maksud untuk memperoleh penghasilan dalam bentuk Pembiayaan Syariah. 38. Lembaga Sertifikasi Profesi adalah lembaga pelaksana kegiatan sertifikasi profesi yang memperoleh lisensi dari lembaga negara yang berwenang memberikan lisensi terhadap lembaga sertifikasi profesi di Indonesia. BAB II KEGIATAN PEMBIAYAAN SYARIAH Bagian Kesatu

- 12 - Jenis Kegiatan Usaha dan Cara Pembiayaan Syariah Pasal 2 Penyelenggaraan kegiatan Pembiayaan Syariah wajib memenuhi prinsip keadilan ( adl), keseimbangan (tawazun), kemaslahatan (maslahah), dan universalisme (alamiyah) serta tidak mengandung gharar, maysir, riba, zhulm, risywah, dan objek haram. Yang dimaksud dengan: Adl adalah menempatkan sesuatu hanya pada tempatnya, dan memberikan sesuatu hanya pada yang berhak serta memperlakukan sesuatu sesuai posisinya. Tawazun adalah meliputi keseimbangan aspek material dan spiritual, aspek privat dan publik, sektor keuangan dan sektor riil, bisnis dan sosial, dan keseimbangan aspek pemanfaatan dan kelestarian. Maslahah adalah merupakan segala bentuk kebaikan yang berdimensi duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual serta individual dan kolektif serta harus memenuhi 3 (tiga) unsur yakni kepatuhan syariah (halal), bermanfaat dan membawa kebaikan (thoyib) dalam semua aspek secara keseluruhan yang tidak menimbulkan kemudaratan. Alamiyah adalah dapat dilakukan oleh, dengan, dan untuk semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan, sesuai dengan semangat kerahmatan semesta (rahmatan lilalamin). Gharar adalah transaksi yang objeknya

- 13 - Pasal 3 tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah. Maysir adalah transaksi yang bersifat spekulatif (untung-untungan) yang tidak terkait langsung dengan produktifitas di sektor riil. Riba adalah pemastian penambahan pendapatan secara tidak sah (bathil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan nasabah penerima fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasiah). Zhulm adalah transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya. "Risywah" adalah tindakan suap dalam bentuk uang, fasilitas, atau bentuk lainnya yang melanggar hukum sebagai upaya mendapatkan fasilitas atau kemudahan dalam suatu transaksi. Objek Haram adalah suatu barang atau jasa yang diharamkan dalam syariah.

- 14 - (1) Perusahaan Syariah wajib memenuhi Prinsip Syariah dalam melaksanakan kegiatan usaha dan di dalam penggunaan akad. (2) Pemenuhan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam penggunaan akad harus didukung: a. fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia atau pernyataan keseuaian syariah dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia yang menjadi dasar penggunaan akad; dan b. opini dari Dewan Pengawas Syariah Perusahaan Syariah atas penggunaan akad tertentu untuk kegiatan usaha Pembiayaan Syariah. (3) Untuk memastikan aspek pemenuhan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dewan Pengawas Syariah Perusahaan Syariah wajib melakukan evaluasi pemenuhan Prinsip Syariah meliputi: a. kegiatan Pembiayaan Syariah; b. akad pembiayaan syariah yang dipasarkan oleh Perusahaan Syariah; dan c. praktik pemasaran Pembiayaan Syariah yang dilakukan oleh Perusahaan Syariah. Pasal 4 Kegiatan Pembiayaan Syariah meliputi: a. Pembiayaan Jual Beli; Termasuk yang harus dudukung dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ini didalamnya yaitu setiap aktivitas dalam pembiayaan Syariah, pendanaan dan aktivitas lainnya yang mempengaruhi kegiatan usaha Perusahaan Syariah.

- 15 - b. Pembiayaan Investasi; dan/atau c. Pembiayaan Jasa. Pasal 5 (1) Kegiatan Pembiayaan Jual Beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a dilakukan dengan menggunakan akad: a. Murabahah; b. Salam; dan/atau c. Istishna. (2) Kegiatan Pembiayaan Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b dilakukan dengan menggunakan akad: a. Mudharabah; b. Musyarakah; c. Mudharabah Musytarakah; dan/atau d. Musyarakah Mutanaqishoh; (3) Kegiatan Pembiayaan Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c dilakukan dengan menggunakan akad: a. Ijarah; b. Ijarah Muntahiyah Bittamlik; c. Hawalah atau Hawalah bil Ujrah; d. Wakalah atau Wakalah bil Ujrah; e. Kafalah atau Kafalah bil Ujrah; f. Ju alah; dan/atau

- 16 - g. Qardh. (4) Akad sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e hanya dapat dilakukan oleh Perusahaan Syariah melalui gabungan dari beberapa akad. (5) Ketentuan mengenai akad yang digunakan dalam kegiatan Pembiayaan Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 6 (1) Kegiatan usaha Pembiayaan Syariah dapat dilakukan dengan menggunakan: a. akad sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3); atau b. akad selain akad sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3). (2) Ketentuan mengenai penggunaan akad sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Yang dimaksud dengan akad selain akad sebagaimana dimaksud pada ayat ini diantaranya dilakukan dengan menggunakan gabungan dari beberapa akad atau dilakukan dengan menggunakan akad selain akad yang telah diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 7

- 17 - (1) Perusahaan Syariah wajib terlebih dahulu melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan atas: a. setiap penggunaan akad sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a; dan/atau b. setiap perubahan fitur dari kegiatan usaha Pembiayaan Syariah yang dilakukan dengan menggunakan akad sebagaimana dimaksud pada huruf a yang sebelumnya telah dicatat oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Ketentuan mengenai pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 8 (1) Perusahaan Syariah wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan atas: a. setiap penggunaan akad selain akad sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b; dan/atau b. setiap perubahan fitur dari kegiatan usaha Pembiayaan Syariah yang dilakukan dengan menggunakan akad yang telah disetujui Otoritas Jasa Keuangan. (2) Ketentuan mengenai persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 9 (1) Perusahaan Syariah dapat menghentikan penggunaan akad sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dalam melakukan kegiatan usaha Pembiayaan Syariah.

- 18 - (2) Penghentian penggunaan akad tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara mutlak. (3) Penghentian penggunaan akad tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak tanggal dinyatakannya penghentian akad tertentu tersebut oleh Perusahaan Syariah. (4) Ketentuan mengenai penghentian penggunaan akad tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 10 (1) Otoritas Jasa Keuangan dapat memerintahkan Perusahaan Syariah untuk menghentikan penggunaan akad tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dalam melakukan kegiatan usaha Pembiayaan Syariah. Yang dimaksud penghentian secara mutlak yaitu Perusahaan Syariah tidak lagi melakukan kegiatan usaha dengan menggunakan akad tertentu yang mana sebelumnya telah disetujui atau telah dicatat oleh Otoritas Jasa Keuangan. Dengan penghentian tersebut perusahaan tidak lagi memasarkan dan menuntup perjanjian Pembiayaan Syariah baru dengan akad yang telah dihenikan penggunaannya.

- 19 - (2) Penghentian penggunaan akad tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan Otoritas Jasa Keuangan dengan mempertimbangkan beberapa aspek diantaranya: a. tidak memenuhi Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1); b. tidak terdapat evaluasi pemenuhan Prinsip Syariah oleh Dewan Pengawas Syariah Perusahaan Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3); c. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; d. berpotensi menimbulkan kerugian keuangan Perusahaan Syariah; e. terindikasi merugikan kepentingan Konsumen; f. manajemen risiko yang belum memadai; g. bertentangan dengan praktik yang berlaku secara umum dalam pelaksanaan Pembiayaan Syariah; dan/atau h. pertimbangan lainnya. (3) Penghentian penggunaan akad tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara mutlak atau sebagian. Yang dimaksud penghentian secara mutlak yaitu Perusahaan Syariah dilarang menggunakan suatu akad tertentu yang sebelumnya telah dicatat atau disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk keseluruhan aktifitas berdasarkan ketentuan, spesifikasi atau fitur yang disampaikan kepada Otoritas Jasa

- 20 - Keuangan. Dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan akan menerbitkan surat pembatalan persetujuan atau surat pembatalan pencatatan. Adapun yang dimaksud penghentian sebagian yaitu Perusahaan Syariah dilarang melakukan fitur tertentu atau kerjasama dengan pihak tertentu atau hal-hal spesifik lainnya berdasarkan ketentuan, spesifikasi atau fitur yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan. Diluar hal yang dilarang tersebut Perusahaan syariah tetap dapat menggunakan akad yang telah dicatat atau disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan tersebut. Dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan akan membatalkan sebagian ketentuan, spesifikasi, atau fitur tertentu. (4) Perusahaan Syariah dapat menyampaikan permohonan keberlakuan kembali atas akad yang diberhentikan secara mutlak dan/atau sebagian apabila penyebab diberhentikannya penggunaan akad telah hilang atau tidak lagi menjadi material. (5) Perusahaan Syariah wajib melaksanakan perintah penghentian penggunaan akad tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10

- 21 - ayat (1). Pasal 11 Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang memiliki UUS wajib secara jelas mencantumkan kegiatan Pembiayaan Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dalam anggaran dasarnya. Bagian Kedua Komite Produk dan Pengembangan Kegiatan Usaha Syariah Pasal 12 (1) Perusahaan Syariah wajib membentuk komite produk dan pengembangan kegiatan usaha syariah. (2) Komite produk dan pengembangan kegiatan usaha syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melakukan tugas dan fungsi paling sedikit: a. melakukan kajian dan analisis pengembangan produk atau kegiatan usaha baru yang akan dilakukan atau dipasarkan; b. melakukan evaluasi dan penyempurnaan atas setiap produk atau kegiatan usaha; c. memberikan rekomendasi, saran, dan masukan serta evaluasi atas aspek pemasaran dan pemenuhan prinsip syariah dan mitigasi risiko; dan d. merumuskan dan mengusulkan capaian kinerja bulanan dan

- 22 - tahunan untuk kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. (3) Komite produk dan pengembangan kegiatan usaha syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketuai oleh pimpinan UUS dan wajib mempunyai koordinator pelaksana tugas. (4) Komite produk dan pengembangan kegiatan usaha syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyelenggarakan rapat paling sedikit 1 (satu) dalam 6 (enam) bulan. (5) Pelaksana tugas komite sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dilaporkan dalam pelaporan tata kelola sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Tata Kelola Yang Baik Bagi Perusahaan Pembiayaan. BAB III SISTEM INFORMASI DAN TEKNOLOGI Pasal 13 (1) Dalam rangka mendukung penyelenggaraan usaha yang sehat, Perusahaan Pembiayaan Syariah wajib mempunyai sistem informasi dan teknologi yang terintegrasi. (2) Kewajiban sebagaimana yang dimaksudkan pada ayat (1) berlaku untuk Perusahaan Pembiayaan Syariah yang mempunyai kantor cabang lebih dari 5 (lima). Pasal 14 (1) Perusahaan Syariah dapat melakukan kegiatan usahanya dengan Yang dimaksud dengan menjalankan kegiatan usaha dengan memanfaatkan

- 23 - memanfaatkan teknologi informasi. (2) Untuk dapat melakukan kegiatan usaha dengan memanfaatkan teknologi informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Syariah harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki prosedur operasional standar (SOP) terkait kegiatan usaha dengan memanfaatkan teknologi informasi; b. memiliki sumber daya manusia yang memiliki keahlian dan/atau latar belakang di bidang teknologi informasi; teknologi informasi adalah Perusahaan Syariah melaksanakan: a. kegiatan pemasaran; b. aplikasi permohonan Pembiayaan; dan/atau c. monitoring pembayaran angsuran, melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet. Sistem elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan informasi elektronik di bidang layanan jasa keuangan.

- 24 - c. memiliki pusat data dan pusat pemulihan bencana yang ditempatkan di Indonesia; dan d. memiliki sistem teknologi informasi yang handal dan aman. (3) Perusahaan Syariah yang memanfaatkan teknologi informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB IV UANG MUKA PEMBIAYAAN JUAL BELI KENDARAAN BERMOTOR Bagian Kesatu Uang Muka Pembiayaan Jual Beli Kendaraan Bermotor Pasal 15 (1) Perusahaan Syariah yang mempunyai nilai Rasio Aset Produktif Bermasalah lebih rendah atau sama dengan 1% (satu persen) wajib menerapkan ketentuan besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor kepada Konsumen sebagai berikut: a. bagi kendaraan bermotor roda dua atau tiga, paling rendah 5% (lima persen) dari harga jual kendaraan yang bersangkutan; b. bagi kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan untuk tujuan produktif, paling rendah 5% (lima persen) dari harga jual kendaraan yang bersangkutan; atau

- 25 - c. bagi kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan untuk tujuan non-produktif, paling rendah 5% (lima persen) dari harga jual kendaraan yang bersangkutan. (2) Perusahaan Syariah yang mempunyai nilai Rasio Aset Produktif Bermasalah lebih tinggi dari 1% (satu persen) dan lebih rendah atau sama dengan 3% (tiga persen) wajib menerapkan ketentuan besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor kepada Konsumen, dengan ketentuan: a. bagi kendaraan bermotor roda dua atau tiga, paling rendah 5% (lima persen) dari harga jual kendaraan yang bersangkutan; b. bagi kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan untuk tujuan produktif, paling rendah 5% (lima persen) dari harga jual kendaraan yang bersangkutan; atau c. bagi kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan untuk tujuan non-produktif, paling rendah 10% (sepuluh persen) dari harga jual kendaraan yang bersangkutan. (3) Perusahaan Syariah yang mempunyai nilai Rasio Aset Produktif Bermasalah lebih tinggi dari 3% (tiga persen) dan lebih rendah atau sama dengan 5% (lima persen) wajib menerapkan ketentuan besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor kepada Konsumen, dengan ketentuan: a. bagi kendaraan bermotor roda dua atau tiga, paling rendah

- 26-10% (sepuluh persen) dari harga jual kendaraan yang bersangkutan; b. bagi kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan untuk tujuan produktif, paling rendah 10% (sepuluh persen) dari harga jual kendaraan yang bersangkutan; atau c. bagi kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan untuk tujuan non-produktif, paling rendah 15% (lima belas persen) dari harga jual kendaraan yang bersangkutan. (4) Perusahaan Syariah yang mempunyai nilai Rasio Aset Produktif Bermasalah lebih tinggi dari 5% (lima persen) wajib menerapkan ketentuan besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor kepada Konsumen, dengan ketentuan: a. bagi kendaraan bermotor roda dua atau tiga, paling rendah 15% (lima belas persen) dari harga jual kendaraan yang bersangkutan; b. bagi kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan untuk tujuan produktif, paling rendah 20% (dua puluh persen) dari harga jual kendaraan yang bersangkutan; atau c. bagi kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan untuk tujuan non-produktif, paling rendah 25%

- 27 - (dua puluh lima persen) dari harga jual kendaraan yang bersangkutan. (5) Kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan untuk tujuan produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, ayat (2) huruf b, dan ayat (3) huruf b harus memenuhi kriteria paling kurang sebagai berikut: a. merupakan kendaraan angkutan orang atau barang yang memiliki izin yang diterbitkan oleh pihak berwenang untuk melakukan kegiatan usaha tertentu; atau b. diajukan oleh orang perseorangan atau badan hukum yang memiliki izin usaha tertentu dari pihak berwenang dan digunakan untuk kegiatan usaha yang relevan dengan izin usaha yang dimiliki. (6) Pembiayaan kendaraan bermotor yang diberikan Perusahaan Syariah kepada Konsumen dalam rangka program kepemilikan kendaraan bermotor (car ownership program) dengan korporasi lain tidak wajib menerapkan ketentuan besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor kepada Konsumen sebagaimana diatur pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan dan ayat (4). (7) Program kepemilikan kendaraan bermotor (car ownership program) sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus dituangkan dalam perjanjian kerja sama antara Perusahaan Syariah dengan korporasi lain tersebut yang dapat memberikan kepastian

- 28 - tertagihnya piutang Pembiayaan Syariah yang telah diberikan. (8) Kepastian tertagihnya piutang Pembiayaan Syariah yang telah diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat berupa adanya: a. pembayaran angsuran melalui mekanisme pemotongan gaji dari pegawai korporasi yang bersangkutan; dan b. penjaminan atas piutang Pembiayaan Syariah. Yang dimaksud dengan penjaminan atas piutang Pembiayaan Syariah adalah berupa: (9) Ketentuan mengenai besaran uang muka (down payment/urbun) kepada Konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali dan perubahannya diatur dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 16 a. penjaminan syariah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai lembaga penjamin; dan/atau b. penjaminan atas piutang Pembiayaan Syariah dari korporasi yang bersangkutan. (1) Penerapan besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dihitung

- 29 - berdasarkan laporan bulanan per 30 Juni dan 31 Desember. (2) Penerapan besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku pada tanggal 1 Agustus atau 1 Februari untuk jangka waktu 6 (enam) bulan berikutnya. Contoh penerapan besaran uang muka: Apabila berdasarkan laporan bulanan Perusahaan Syariah per 30 Juni 2018 Perusahaan Syariah memiliki nilai Rasio Aset Produktif Bermasalah lebih tinggi dari 5% (lima persen), maka Perusahaan Syariah tersebut mengenakan ketentuan besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4). Penerapan besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor dimaksud berlaku mulai tanggal 1 Agustus 2018 sampai dengan 31 Januari 2019. Apabila berdasarkan laporan bulanan Perusahaan Syariah per 31 Desember 2018 Perusahaan Syariah memiliki nilai Rasio Aset Produktif Bermasalah Perusahaan Syariah sebesar 4,5% (empat koma lima persen), maka Perusahaan Syariah tersebut mengenakan ketentuan besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan

- 30 - (3) Perhitungan besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap harga jual kendaraan setelah Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3). Penerapan besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor dimaksud berlaku mulai tanggal 1 Februari 2019 sampai dengan 31 Juli 2019. Apabila berdasarkan laporan bulanan Perusahaan Syariah per 30 Juni 2019 Perusahaan Syariah nilai Rasio Aset Produktif Bermasalah Perusahaan Syariah sebesar dari 1,5% (satu koma lima persen), maka Perusahaan Syariah tersebut mengenakan ketentuan besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam angka Pasal 15 ayat (2). Penerapan besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor dimaksud berlaku mulai tanggal 1 Agustus 2019 sampai dengan 31 Januari 2020. Contoh perhitungan besaran uang muka: Apabila harga kendaraan roda dua:

- 31 - dikurangi potongan harga (discount) dan potongan lainnya. (4) Perhitungan besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk angsuran pertama, biaya survei, provisi, asuransi, penjaminan, fidusia, notaris, atau biaya lainnya. Rp10.000.000,00 Potongan harga (discount) dan potongan lainnya yang diberikan: Rp500.000,00 Harga jual kendaraan: Rp10.000.000,00 Rp500.000,00 = Rp9.500.000,00 Bagi Perusahaan Pembiayaan yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3), Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor Roda Dua yang harus dikenakan dan dibayar tunai sekaligus adalah 10% x Rp9.500.000,00 = Rp950.000,00 Contoh 1 (Biaya asuransi, penjaminan, atau biaya lainnya yang dibayar tunai oleh Konsumen): Harga kendaraan roda dua: Rp10.000.000,00 Potongan harga (discount) dan potongan lainnya yang diberikan: Rp500.000,00 Biaya asuransi, penjaminan, atau biaya lainnya yang dibayarkan oleh Konsumen secara tunai: Rp1.000.000,00 Harga jual kendaraan: Rp10.000.000,00 Rp500.000,00 = Rp9.500.000,00

- 32 - Bagi Perusahaan Pembiayaan yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3), Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor Roda Dua yang harus dikenakan dan dibayar tunai sekaligus adalah 10% x Rp9.500.000,00 = Rp950.000,00 Biaya yang dibayar oleh Konsumen secara tunai sekaligus (bila biaya asuransi, penjaminan, atau biaya lainnya yang dibayar tunai oleh Konsumen) = uang muka (Rp950.000,00) + biaya asuransi, penjaminan, atau biaya lainnya (Rp1.000.000,00) = Rp1.950.000,00 Total pembiayaan oleh Perusahaan Pembiayaan kepada Konsumen = harga jual kendaraan (Rp9.500.000,00) uang muka (Rp950.000,00) = Rp8.550.000,00 Contoh 2 (biaya asuransi, penjaminan atau biaya lainnya tidak dibayar tunai (angsuran) oleh Konsumen): Harga kendaraan: Rp10.000.000,00 Potongan harga (discount) dan potongan lainnya yang diberikan: Rp500.000,00

- 33 - (5) Biaya insentif yang diberikan oleh Perusahaan Syariah kepada pihak ketiga terkait akuisisi Pembiayaan Syariah tidak dapat diperhitungkan dalam perhitungan besaran Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4). Biaya asuransi, penjaminan, atau biaya lainnya: Rp1.000.000,00 Harga jual kendaraan: Rp10.000.000,00 Rp500.000,00 = Rp9.500.000,00 Uang Muka (Down Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor Roda Dua yang harus dikenakan adalah 10% x Rp9.500.000,00 = Rp950.000,00 Dengan demikian, biaya yang dibayar oleh Konsumen bila biaya asuransi/penjaminan atau biaya lainnya tidak dibayar tunai oleh Konsumen atau dibayar secara angsuran = uang muka (Rp950.000,00) Total Pembiayaan oleh Perusahaan Pembiayaan kepada Konsumen = biaya asuransi/penjaminan atau biaya lainnya (Rp1.000.000,00) + harga pembiayaan kendaraan bermotor roda dua (Rp8.550.000,00) = Rp9.550.000,00

- 34 - BAB V BATASAN INSENTIF PIHAK KETIGA Pasal 17 (1) Perusahaan Syariah dilarang memberikan biaya insentif kepada pihak ketiga terkait akuisisi pembiayaan melebihi 17,5% (tujuh belas koma lima persen) dari nilai pendapatan yang akan diterima terkait dengan pembiayaan per perjanjian pembiayaan. Contoh pembatasan biaya insentif kepada pihak ketiga terkait akuisisi pembiayaan: PT ABC Finance Syariah menyalurkan pembiayaan kendaraan bermotor kepada seorang konsumen dalam satu perjanjian pembiayaan dengan nilai pembiayaan sebesar Rp100.000.000,00. Melalui penyaluran pembiayaan tersebut, PT ABC Finance Syariah mendapatkan pendapatan sebagai berikut: 1. pendapatan margin sebesar Rp43.000.000,00; 2. diskon asuransi sebesar Rp15.000.000,00; 3. pendapatan administrasi sebesar Rp1.000.000,00; dan 4. pendapatan provisi sebesar Rp1.000.000,00. Dengan demikian, total maksimum biaya insentif pihak ketiga terkait akuisisi Pembiayaan Syariah yang dapat diberikan atas penyaluran pembiayaan kepada

- 35 - (2) Biaya insentif akuisisi pembiayaan kepada pihak ketiga terkait akuisisi pembiayaan adalah seluruh jenis pembayaran kepada pihak ketiga maupun pegawai pihak ketiga dalam rangka perolehan bisnis, antara lain: pembayaran komisi kepada penyedia barang dan/atau jasa yang dibayarkan secara tunai, insentif pencapaian target, biaya wisata pihak ketiga, biaya promosi bersama, pajak penghasilan, dan/atau pengeluaran lain terkait dengan akuisisi pembiayaan yang dibayarkan kepada pihak ketiga. (3) Pendapatan yang akan diterima terkait dengan pembiayaan syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri dari: a. pendapatan bagi hasil/margin/imbal jasa sebelum konsumen tersebut adalah sebesar = (17,5% x (Rp43.000.000,00 + Rp15.000.000,00 + Rp1.000.000,00 + Rp1.000.000,00))= Rp10.500.000,00. Total biaya insentif tersebut telah memperhitungkan komisi kepada penyedia barang dan/atau jasa yang dibayarkan secara tunai, insentif pencapaian target, biaya wisata pihak ketiga, biaya promosi bersama, dan/atau pajak penghasilan, dan pengeluaran lain terkait dengan akuisisi pembiayaan yang dibayarkan kepada pihak ketiga.

- 36 - memperhitungkan cost of fund; b. pendapatan asuransi; c. pendapatan administrasi; dan d. pendapatan provisi. (4) Ketentuan mengenai biaya insentif akuisisi pembiayaan kepada pihak ketiga terkait akuisisi pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diinjau kembali dan perubahannya diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan BAB VI BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN PEMBIAYAAN SYARIAH Pasal 18 (1) Perusahaan Syariah wajib memenuhi ketentuan BMPPS kepada seluruh pihak terkait paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari Ekuitas Perusahaan Syariah. Contoh perhitungan BMPPS kepada seluruh pihak terkait: Berdasarkan data laporan bulanan per 30 April 2022, PT ABC Finance Syariah memiliki ekuitas senilai Rp1 triliun. PT XYZ merupakan perusahaan terkait dengan PT ABC Finance Syariah. PT ABC Finance Syariah juga telah menyalurkan pembiayaan kepada pihak terkait termasuk PT XYZ sebesar Rp150 miliar. Pada tanggal 5 Mei 2022, PT XYZ memperoleh plafon pembiayaan baru senilai Rp100 miliar dengan pencairan

- 37 - dilakukan secara bertahap sebagai berikut: Tahap pertama dicairkan pada tanggal 5 Mei 2022 sebesar Rp30 miliar dan tahap kedua dicairkan pada tanggal 12 Mei 2022 dengan nilai Rp70 miliar. Pada pencairan pertama pada tanggal 5 Mei 2022, PT ABC Finance Syariah tidak melanggar ketentuan BMPPS untuk seluruh pihak terkait dengan perhitungan sebagai berikut: Ekuitas per 30 April 2022 Rp1 triliun BMPPS untuk seluruh pihak terkait 20% x Rp1 triliun = Rp200 miliar Total Saldo Aset Produktif (Outstanding Principal) per 5 Mei 2022 = Rp150 miliar + Rp30 miliar =Rp180 miliar (18% dari nilai Ekuitas). Pada pencairan kedua pada tanggal 12 Mei 2022, PT ABC Finance Syariah melanggar ketentuan BMPPS untuk seluruh pihak terkait dengan perhitungan sebagai berikut: Ekuitas per 30 April 2022 Rp1 triliun BMPPS untuk seluruh pihak terkait 20%

- 38 - (2) Pemenuhan ketentuan BMPPS kepada seluruh pihak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap sebagai berikut: a. paling tinggi 40% (empat puluh persen) dari Ekuitas Perusahaan Syariah paling lama pada tanggal 31 Desember 2019; b. paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari Ekuitas Perusahaan Syariah paling lama pada tanggal 31 Desember 2020; dan c. paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari Ekuitas Perusahaan Syariah paling lama pada tanggal 31 Desember 2021. (3) Dasar perhitungan Ekuitas dalam menghitung BMPPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah Ekuitas dalam laporan bulanan terakhir Perusahaan Syariah sebelum penyaluran pembiayaan dilakukan. (4) Pihak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. orang perseorangan atau badan usaha yang merupakan Pengendali Perusahaan Syariah; b. badan usaha dimana Perusahaan Syariah bertindak sebagai x Rp1 triliun = Rp200 miliar Total Saldo Aset Produktif (Outstanding Principal) per 12 Mei 2022 = Rp150 miliar + Rp30 miliar +Rp70 miliar = Rp250 miliar (25% dari nilai Ekuitas). Yang dimaksud dengan pengendali pada ayat ini adalah pihak yang secara langsung atau tidak langsung mempunyai kemampuan untuk menentukan direksi,

- 39 - Pengendali; c. orang perseorangan atau badan usaha yang bertindak sebagai pengendali dari badan usaha sebagaimana dimaksud pada huruf b; d. badan usaha yang pengendaliannya dilakukan oleh: 1. orang perseorangan dan/atau badan usaha sebagaimana dimaksud pada huruf a; 2. orang perseorangan dan/atau badan usaha sebagaimana dimaksud pada huruf c; e. dewan komisaris atau direksi pada Perusahaan Syariah; f. pihak yang mempunyai hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua, baik horisontal maupun vertikal: 1. dari orang perseorangan yang merupakan pengendali Perusahaan Syariah sebagaimana dimaksud pada huruf a; 2. dari dewan komisaris atau direksi pada Perusahaan Syariah sebagaimana dimaksud pada huruf e; dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi atau dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi dan/atau mempengaruhi tindakan direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi atau dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi. Yang dimaksud dengan hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua baik horisontal maupun vertikal adalah pihak-pihak sebagai berikut: 1. orang tua kandung/tiri/angkat; 2. saudara kandung/tiri/angkat; 3. anak kandung/tiri/angkat; 4. kakek atau nenek kandung/tiri/angkat; 5. cucu kandung/tiri/angkat; 6. saudara kandung/tiri/angkat dari orang tua; 7. suami atau istri; 8. mertua atau besan; 9. suami atau istri dari anak

- 40 - g. dewan komisaris atau direksi pada badan usaha sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan/atau huruf d; h. badan usaha yang dewan komisaris dan/atau direksi merupakan: 1. dewan komisaris atau direksi pada Perusahaan Syariah; kandung/tiri/angkat; 10. kakek atau nenek dari suami atau istri; 11. suami atau istri dari cucu kandung/tiri/angkat; 12. saudara kandung/tiri/angkat dari suami atau istri beserta suami atau istrinya dari saudara yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan direksi bagi badan usaha yang bukan berbentuk perseroan terbatas atau koperasi adalah pihak yang melakukan fungsi pengurusan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan dewan komisaris bagi badan usaha yang bukan berbentuk perseroan terbatas atau koperasi adalah pihak yang melakukan fungsi pengawasan dan pemberian nasihat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

- 41-2. dewan komisaris atau direksi pada badan usaha sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan/atau huruf d; i. badan usaha dimana: 1. dewan komisaris atau direksi pada Perusahaan Syariah sebagaimana dimaksud pada huruf e bertindak sebagai Pengendali; 2. dewan komisaris atau direksi dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan/atau huruf d, bertindak sebagai Pengendali; dan j. badan usaha yang memiliki ketergantungan keuangan (financial interdependence) dengan Perusahaan Syariah dan/atau pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, dan/atau huruf i. (5) Perusahaan Syariah wajib memiliki dan menata-usahakan daftar rincian pihak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Pasal 19 (1) Perusahaan Syariah wajib memenuhi ketentuan BMPPS kepada 1 Ketergantungan keuangan (financial interdependence) sebagaimana dimaksud pada huruf j adalah kondisi dimana terdapat saling ketergantungan keuangan antara perusahaan pembiayaan dengan pihak lain antara lain berupa transaksi pinjam-meminjam dalam jumlah yang signifikan lebih besar dari nilai Ekuitas perusahaan pembiayaan, pinjaman subordinasi dan sebagainya. Contoh perhitungan BMPPS per 1 (satu)

- 42 - (satu) Konsumen yang bukan merupakan pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari Ekuitas Perusahaan Syariah. pihak tidak terkait: Pada tanggal 30 April 2022, PT ASD memiliki fasilitas pembiayaan dari PT ABC Finance Syariah dengan nilai plafon pembiayaan sebesar Rp150 miliar dan nilai total saldo Aset Produktif Pembiayaan (Outstanding Principal) sebesar Rp240 miliar. Berdasarkan data Laporan Bulanan per 30 April 2022, PT ABC Finance Syariah memiliki ekuitas senilai Rp1 triliun. PT ASD bukan merupakan perusahaan terkait dengan PT ABC Finance Syariah. Pada tanggal 5 Mei 2022, PT ASD memperoleh plafon pembiayaan baru senilai Rp100 miliar dengan pencairan dilakukan secara bertahap sebagai berikut: 1. tahap pertama dicairkan pada tanggal 5 Mei 2022 sebesar Rp30 miliar; dan 2. tahap kedua dicairkan pada tanggal 12 Mei 2022 dengan nilai Rp70 miliar. Pada pencairan pertama pada tanggal 5 Mei 2018, PT ABC Finance Syariah tidak

- 43 - (2) Perusahaan Syariah wajib memenuhi ketentuan BMPPS kepada 1 (satu) kelompok Konsumen yang bukan merupakan pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) paling tinggi 40% melanggar ketentuan BMPPS per Konsumen bukan pihak terkait dengan perhitungan sebagai berikut: Ekuitas per 30 April 2022 Rp1 triliun BMPPS per Konsumen bukan pihak terkait 20% x Rp1 triliun = Rp200 miliar Total Saldo Aset Produktif (Outstanding Principal) per 5 Mei 2022 = Rp240 miliar + Rp30 miliar =Rp270 miliar (27% dari nilai Ekuitas). Pada pencairan kedua pada tanggal 12 Mei 2022, PT ABC Finance Syariah melanggar ketentuan BMPPS per debitur bukan pihak terkait dengan perhitungan sebagai berikut: Ekuitas per 30 April 2022 Rp1 triliun BMPP per Konsumen bukan merupakan pihak terkait 20% x Rp1 triliun = Rp200 miliar. Total Saldo Aset Produktif (Outstanding Principal) per 12 Mei 2018 = Rp240 miliar + Rp30 miliar +Rp70 miliar = Rp340 miliar (34% dari nilai Ekuitas). Contoh ketentuan BMPPS kepada 1 (satu) kelompok Konsumen yang bukan merupakan pihak terkait:

- 44 - (empat puluh persen) dari Ekuitas Perusahaan Syariah. Berdasarkan data laporan bulanan per 30 April 2022, PT ABC Finance Syariah memiliki Ekuitas senilai Rp1 triliun. PT ASD bukan merupakan perusahaan terkait dengan PT ABC Finance Syariah. PT ABC Finance Syariah juga telah menyalurkan pembiayaan kepada perusahan-perusahaan lain dalam 1 grup yang terafilisiasi dengan PT ASD sebesar Rp350 miliar. Pada tanggal 5 Mei 2022, PT ASD memperoleh plafon pembiayaan baru senilai Rp100 miliar dengan pencairan dilakukan secara bertahap sebagai berikut: 1. tahap pertama dicairkan pada tanggal 5 Mei 2022 sebesar Rp30 miliar; dan 2. tahap kedua dicairkan pada tanggal 12 Mei 2022 dengan nilai Rp70 miliar. Pada pencairan pertama pada tanggal 5 Mei 2022, PT ABC Finance Syariah tidak melanggar ketentuan BMPPS kelompok Konsumen yang bukan merupakan pihak terkait dengan perhitungan sebagai

- 45 - (3) Pemenuhan ketentuan BMPPS kepada 1 (satu) kelompok Konsumen yang bukan merupakan pihak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap sebagai berikut: Ekuitas per 30 April 2018 Rp1 triliun. BMPPS kelompok Debitur yang bukan merupakan pihak terkait = 40% x Rp1 triliun = Rp400 miliar Total Saldo Aset Produktif (Outstanding Principal) per 5 Mei 2018 = Rp350 miliar + Rp30 miliar =Rp380 miliar (38% dari nilai Ekuitas). Pada pencairan kedua pada tanggal 12 Mei 2022, PT ABC Finance Syariah melanggar ketentuan BMPPS kelompok Debitur yang bukan merupakan pihak terkait dengan perhitungan sebagai berikut: Ekuitas per 30 April 2022 Rp1 triliun BMPPS kelompok Konsumen yang bukan merupakan pihak terkait = 50% x Rp1 triliun = Rp500 miliar Total Saldo Aset Produktif (Outstanding Principal) per 12 Mei 2018 = Rp350 miliar + Rp30 miliar +Rp70 miliar = Rp450 miliar (45% dari nilai Ekuitas).

- 46 - berikut: a. paling tinggi 45% (empat puluh lima persen) dari Ekuitas Perusahaan Pembiayaan paling lama pada tanggal 31 Desember 2019; dan b. paling tinggi 40% (empat puluh persen) dari Ekuitas Perusahaan Pembiayaan paling lama pada tanggal 31 Desember 2020. (4) Dasar perhitungan ekuitas dalam menghitung BMPPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah ekuitas dalam laporan bulanan terakhir Perusahaan Syariah sebelum penyaluran pembiayaan syariah dilakukan. (5) Konsumen digolongkan sebagai anggota suatu kelompok Konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila Konsumen mempunyai hubungan pengendalian dengan Konsumen lain baik melalui hubungan kepemilikan, kepengurusan, dan/atau keuangan, yang meliputi: a. Konsumen merupakan pengendali Konsumen lain; b. 1 (satu) pihak yang sama merupakan Pengendali dari beberapa Konsumen (common ownership); c. Konsumen memiliki ketergantungan keuangan (financial interdependence) dengan Konsumen lain; d. Konsumen menerbitkan jaminan (guarantee) untuk mengambil alih dan/atau melunasi sebagian atau seluruh kewajiban Konsumen lain dalam hal Konsumen lain tersebut gagal memenuhi kewajibannya (wanprestasi) kepada

- 47 - Perusahaan Syariah; dan/atau e. dewan komisaris dan/atau direksi Konsumen menjadi komisaris dan/atau direksi pada Konsumen lain. Pasal 20 (1) Ketentuan BMPPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) dikecualikan bagi penyaluran pembiayaan sebagai berikut: a. pengadaan barang dan/atau jasa dalam rangka program pemerintah: b. bagian penyaluran pembiayaan yang dijamin dengan: 1) deposito di bank, simpanan jaminan (security deposit); 2) emas dan/atau logam mulia; 3) Sertifikat Bank Indonesia, Sertifikat Bank Indonesia Syariah, Surat Utang Negara, sukuk, dan/atau surat berharga lainnya yang diterbitkan oleh pemerintah atau Bank Indonesia; dan/atau 4) jaminan pemerintah dan pemerintah asing yang termasuk dalam kategori yang layak untuk investasi (investment grade); 5) pendanaan yang diterima oleh Perusahaan Pembiayaan Syariah dari Konsumen atau perusahaan terkait dengan Konsumen; dan/atau 6) penjaminan kredit atau asuransi kredit.

- 48 - (2) Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 5) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. jangka waktu pemblokiran paling singkat sama dengan jangka waktu piutang pembiayaan; dan b. memiliki pengikatan hukum yang kuat dan dapat dieksekusi (legally enforceable) apabila Konsumen wanprestasi. BAB VII MITIGASI RISIKO PEMBIAYAAN SYARIAH Pasal 21 (1) Perusahaan Syariah wajib melakukan mitigasi risiko Pembiayaan Syariah. (2) Mitigasi risiko Pembiayaan Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan cara: a. mengalihkan risiko Pembiayaan Syariah melalui mekanisme penjaminan syariah; b. mengalihkan risiko atas barang yang dibiayai atau barang yang menjadi agunan dari kegiatan Pembiayaan Syariah Yang dimaksud dengan mitigasi risiko pembiayaan syariah adalah upaya yang dilaksanakan oleh Perusahaan Syariah untuk mengurangi risiko yang ditanggung oleh Perusahaan Syariah karena ketidakmampuan/kegagalan Debitur untuk memenuhi kewajiban membayar kepada Perusahaan Syariah. Perusahaan Syariah dapat melakukan mitigasi risiko pembiayaan syariah dengan cara lain diluar ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b dan/atau huruf c.