Eko Heryanto Dosen Program Studi S.1 Kesehatan Masyarakat STIKES Al-Ma arif Baturaja ABSTRAK

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan lima tahun. Pada usia ini otak mengalami pertumbuhan yang

7-13% kasus berat dan memerlukan perawatan rumah sakit. (2)

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TERJADINYA ISPA PADA BAYI (1-12 BULAN) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS RAJABASA INDAH BANDAR LAMPUNG TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas di masa yang akan datang.

BAB I PENDAHULUAN. lima tahun pada setiap tahunnya, sebanyak dua per tiga kematian tersebut

HUBUNGAN STATUS GIZI DAN STATUS IMUNISASI DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di Indonesia diare merupakan penyebab kematian utama pada bayi dan anak.

BAB I PENDAHULUAN. Masa balita merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan rawan

HUBUNGAN PERAN ORANG TUA DALAM PENCEGAHAN PNEUMONIA DENGAN KEKAMBUHAN PNEUMONIA PADA BALITA DI PUSKESMAS SEI JINGAH BANJARMASIN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU DENGAN UPAYA PENCEGAHAN ISPA PADA BALITA DI PUSKESMAS NGORESAN SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. disebut infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). ISPA merupakan

Jurnal Ilmiah STIKES U Budiyah Vol.1, No.2, Maret 2012

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DAN PERSONAL HYGIENE DENGAN KEJADIAN DERMATITIS PADA ANAK BALITADI WILAYAH KERJA UPTD PUSKESMAS SUKARAYA TAHUN 2016

BAB 1 PENDAHULUAN. terutama pada bagian perawatan anak (WHO, 2008). kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20%

Ernawati 1 dan Achmad Farich 2 ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. Balita. Pneumonia menyebabkan empat juta kematian pada anak balita di dunia,

BAB 1 : PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Millenium Development Goal Indicators merupakan upaya

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan masalah kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. balita di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan penyakit lain seperti

BAB V PEMBAHASAN. balita yang menderita ISPA adalah kelompok umur bulan yaitu

PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT (PHBS) DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA.

SUMMARY ABSTRAK BAB 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Oleh : Yophi Nugraha, Inmy Rodiyatam ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. pneumonia masih merupakan penyakit utama penyebab kesakitan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang harus ditangani dengan serius. Ditinjau dari masalah kesehatan dan gizi, terhadap kekurangan gizi (Hanum, 2014).

HUBUNGAN PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING ASI (MP ASI) DINI DENGAN KEJADIAN KONSTIPASI PADA BAYI DIBAWAH UMUR 6 BULAN

HUBUNGAN PENGETAHUAN, MOTIVASI DAN AKSES SARANA KESEHATAN TERHADAP PEMBERIAN IMUNISASI HEPATITIS B (0-7 HARI) DI PUSKESMAS PUTRI AYU KOTA JAMBI TAHUN

Oleh : Suharno, S.Kep.,Ners ABSTRAK

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

PENDAHULUAN atau Indonesia Sehat 2025 disebutkan bahwa perilaku. yang bersifat proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan;

BAB 1 PENDAHULUAN. anak di negara sedang berkembang. Menurut WHO (2009) diare adalah suatu keadaan

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat,

BAB I PENDAHULUAN. terbanyak yang diderita oleh anak-anak, baik di negara berkembang maupun di

Oleh : Tintin Purnamasari ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan penyakit yang. menular serta dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit

Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia ISSN : e-issn : Vol. 2, No 4 April 2017

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan masalah kesehatan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan

BAB I PENDAHULUAN. dan Angka Kematian Balita (AKABA/AKBAL). Angka kematian bayi dan balita

ABSTRAK. meninggal sebanyak 49 bayi dan 9 bayi diantaranya meninggal disebabkan karena diare. 2 Masa pertumbuhan buah hati

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa baduta (bawah dua tahun) merupakan Window of opportunity. Pada

BAB I PENDAHULUAN. di negara berkembang. ISPA yang tidak mendapatkan perawatan dan pengobatan

BAB 1 : PENDAHULUAN. peningkatan kualitas sumber daya manusia dan kualitas hidup yang lebih baik pada

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN KEJADIAN PNEUMONIA PADA BALITA USIA 1-5 TAHUN DI PUSKESMAS CANDI LAMA KECAMATAN CANDISARI KOTA SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu faktor yang menentukan tingkat kesehatan dan kesejahteraan

HUBUNGAN PEMBERIAN AIR SUSU IBU (ASI) EKSKLUSIF DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BAYI UMUR 0-6 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GADANG HANYAR

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan salah satunya adalah penyakit infeksi. Masa balita juga merupakan masa kritis bagi

BAB 1 PENDAHULUAN. terbesar baik pada bayi maupun pada anak balita. 2 ISPA sering berada dalam daftar

PERILAKU IBU DALAM MENGASUH BALITA DENGAN KEJADIAN DIARE

HUBUNGAN STATUS IMUNISASI, STATUS GIZI, DAN ASAP ROKOK DENGAN KEJADIAN ISPA PADA ANAK DIPUSKESMAS SEGERI PANGKEP

Kata kunci : Peran Keluarga Prasejahtera, Upaya Pencegahan ISPA pada Balita

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Morbiditas dan mortalitas merupakan suatu indikator yang

HUBUNGAN KONDISI FISIK RUMAH DAN SOSIAL EKONOMI KELUARGA DENGAN KEJADIAN PENYAKIT ISPA PADA BALITA

BAB 1 PENDAHULUAN. saluran pernapasan sehingga menimbulkan tanda-tanda infeksi dalam. diklasifikasikan menjadi dua yaitu pneumonia dan non pneumonia.

BAB I PENDAHULUAN. sering dijumpai pada anak-anak maupun orang dewasa di negara

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DAN SIKAP ORANG TUA DENGAN KEKAMBUHAN ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA UPTD PUSKESMAS PEKALONGAN SELATAN SKRIPSI

PERBEDAAN FAKTOR PERILAKU PADA KELUARGA BALITA PNEUMONIA DAN NON PNEUMONIA DI WILAYAH KERJA UPTD PUSKESMAS MUNJUL KABUPATEN MAJALENGKA TAHUN 2014

BAB 1 PENDAHULUAN. gejala atau infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan. parenkim paru. Pengertian akut adalah infeksi yang berlangsung

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Puskesmas Global Mongolato merupakan salah satu Puskesmas yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. (P2ISPA) adalah bagian dari pembangunan kesehatan dan upaya pencegahan serta

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah

MENARA Ilmu Vol. X Jilid 2 No.70 September 2016

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN DAN STATUS PEKERJAAN IBU DENGAN PEMBERIAN ASI ESKLUSIF DI PUSKESMAS 7 ULU PALEMBANG TAHUN 2013

Yani Maidelwita* ABSTRAK

BAB 1 PENDAHULUAN. World Health Organization (WHO) tahun 2013 diare. merupakan penyebab mortalitas kedua pada anak usia

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pandemik yang terlupakan atau the forgotten pandemic. Tidak

BAB I PENDAHULUAN. tingginya angka kematian dan kesakitan karena ISPA. Penyakit infeksi saluran

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. di paru-paru yang sering terjadi pada masa bayi dan anak-anak (Bindler dan

BAB I PENDAHULUAN. Pneumonia sering ditemukan pada anak balita,tetapi juga pada orang dewasa

DELI LILIA Dosen Program Studi S.1 Kesehatan Masyarakat STIKES Al-Ma arif Baturaja ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN UKDW. Diare merupakan penyakit dengan tanda - tanda perubahan frekuensi buang air

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

ANALISIS TERHADAP FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GIZI KURANG PADA BALITA DI DESA BANYUANYAR KECAMATAN KALIBARU BANYUWANGI

BAB 1 PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan nasional bidang kesehatan yang tercantum dalam

Nisa khoiriah INTISARI

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STATUS GIZI BAIK DAN GIZI KURANG PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PAYO SELINCAH KOTA JAMBI TAHUN 2014

BAB 1 PENDAHULUAN. utama kematian balita di Indonesia dan merupakan penyebab. diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan. 1

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG ASI EKSKLUSIF DENGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DI DESA HARJOBINANGUN PURWOREJO GITA APRILIA ABSTRAK

HUBUNGAN PENDIDIKAN DAN PENGHASILAN IBU MENYUSUI DENGAN KETEPATAN WAKTU PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING ASI (MP ASI)

BAB 1 PENDAHULUAN. Angka kejadian ISPA Di Indonesia, pada balita adalah sekitar 10-20%

BAB I PENDAHULUAN. bermanfaat sebagai makanan bayi (Maryunani, 2012). diberikan sampai usia bayi 2 tahun atau lebih (Wiji, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini

Putri E G Damanik 1, Mhd Arifin Siregar 2, Evawany Y Aritonang 3

Grafik 1.1 Frekuensi Incidence Rate (IR) berdasarkan survei morbiditas per1000 penduduk

SKRIPSI. Disusun untuk Memenuhi salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S 1 Kesehatan Masyarakat. Oleh: TRI NUR IDDAYAT J

HUBUNGAN JARAK KELAHIRAN DAN JUMLAH BALITA DENGAN STATUS GIZI DI RW 07 WILAYAH KERJA PUSKESMAS CIJERAH KOTA BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. saja sampai usia 6 bulan yang disebut sebagai ASI esklusif (DepKes, 2005). bulan telah ditetapkan dalam SK Menteri Kesehatan No.

BAB I PENDAHULUAN. yaitu program pemberantasan penyakit menular, salah satunya adalah program

STUDI TENTANG DIARE DAN FAKTOR RESIKONYA PADA BALITA UMUR 1-5 TAHUN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KALASAN SLEMAN NASKAH PUBLIKASI

Disusun Oleh: Wiwiningsih

Transkripsi:

Volume 1, Nomor 1, Juni 2016 HUBUNGAN STATUS IMUNISASI, STATUS GIZI, DAN ASI EKSKLUSIF DENGAN KEJADIAN ISPA PADA ANAK BALITA DI BALAI PENGOBATAN UPTD PUSKESMAS SEKAR JAYA KABUPATEN OGAN KOM ERING ULU TAHUN 2016 Eko Heryanto Dosen Program Studi S.1 Kesehatan Masyarakat STIKES Al-Ma arif Baturaja ekoheryanto@ymail.com ABSTRAK ISPA dikenal sebagai salah satu penyebab kematian utama pada bayi dan anak balita di negara berkembang. Di Indonesia, ISPA selalu menempati urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita. Data 10 penyakit terbanyak dari Dinkes Kabupaten OKU, kasus ISPA tahun 2015 sebanyak 19.503 kasus. Di UPTD Puskesmas Sekar Jaya jumlah kasus ISPA pada tahun 2015 sebesar 5,76%. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan status imunisasi, status gizi, dan ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada anak balita di Balai Pengobatan UPTD Puskesmas Sekar Jaya Kabupaten OKU Tahun 2016. Penelitian ini dengan desain cross sectional, pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara dengan menggunakan kuesioner. Populasi adalah seluruh anak balita yang berkunjung di Balai Pengobatan UPTD Puskesmas Sekar Jaya dengan rata-rata kunjungan perbulan berjumlah 102 balita. Sampel penelitian yaitu 82 responden. Pengolahan data menggunakan analisa univariat dan analisa bivariat dengan uji statistik Chi-Square untuk melihat hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Hasil analisa univariat diketahui sebanyak 35,4% balita menderita ISPA, sebanyak 65,9% balita dengan imunisasi lengkap, sebanyak 78% balita dengan status gizi baik, dan sebanyak 61% balita dengan ASI eksklusif. Analisis bivariat menunjukkan ada hubungan yang bermakna status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p 0,001, ada hubungan yang bermakna status gizi dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p 0,000, ada hubungan yang bermakna pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p 0,000. Semua variabel dalam penelitian ini ada hubungan yang bermakna. Artinya Status imunisasi lengkap, pemberian ASI secara Eksklusif dan status gizi balita yang baik terbukti dapat mengurangi faktor resiko ISPA pada balita. Untuk itu diharapkan petugas kesehatan berperan dalam memberikan edukasi melalui penyuluhan mengenai imunisasi, perlu dilakukan tindakan antisipatif dengan cara melakukan penimbangan yang dilakukan setiap bulannya di posyandu. Kata Kunci : Balita, ISPA, Status Imunisasi, Status Gizi, ASI Eksklusif 1

Volume 1, Nomor 1, Mei 2016 PENDAHULUAN Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dikenal sebagai salah satu penyebab kematian utama pada bayi dan anak balita di negara berkembang. Sebagian besar hasil penelitian di negara berkembang menunjukkan bahwa 20 30% kematian bayi dan anak balita di berbagai negara setiap tahun disebabkan karena menderita infeksi saluran nafas akut (ISPA). Diperkirakan 2 5 juta bayi dan anak balita di berbagai negara setiap tahunnya. Duapertiga dari kematian ini terjadi pada kelompok usia bayi, terutama bayi usia 2 bulan pertama sejak kelahiran 1. Di Indonesia, ISPA selalu menempati urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita. Selain itu ISPA juga sering berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah sakit dan puskesmas. Survei mortalitas yang dilakukan oleh Subdit ISPA tahun 2005 menempatkan ISPA/Pneumonia sebagai penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia dengan presentase 22,30% dari seluruh kematian balita. Episode kejadian ISPA pada anak balita berkisar 3 sampai 6 kali setahun. Dari sekitar 450.000 kematian balita yang terjadi setiap tahunnya diperkirakan 150.000 diantaranya disebabkan oleh ISPA terutama pneumonia. Prevalensi ISPA di Indonesia adalah 25,5% dengan morbiditas pneumonia pada bayi 2,2% dan pada balita 2. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi ISPA di Provinsi Sumatera Selatan mencapai 17,5% dengan rentang 6,3% - 33,6%. Data Perkembangan Program Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (P2ISPA) Kabupaten Kota se Sumatera Selatan menunjukkan jumlah penderita ISPA mengalami fluktuasi. Tahun 2006 sebesar 35,3%, mengalami peningkatan pada tahun 2007 menjadi 39,2% dan pada tahun 2008 turun menjadi 31,8 % 3. Berdasarkan data 10 penyakit terbanyak dari Dinas Kesehatan Kabupaten OKU, ISPA masih menduduki peringkat pertama yaitu tahun 2014 jumlah penderita ISPA sebanyak 5.818 kasus dan pada 2

Volume 1, Nomor 1, Mei 2016 tahun 2015 terjadi peningkatan yaitu sebanyak 19.503 kasus 4. Berdasarkan data 10 penyakit terbanyak Di Balai Pengobatan UPTD Puskesmas Sekar Jaya jumlah kasus ISPA pada tahun 2014 jumlah kasus ISPA sebanyak 390 kasus (7,12%) dan ditahun 2015 menjadi 1.125 kasus (5,76%) kasus 5. Sesuai dengan program pemberantasan penyakit ISPA ada banyak faktor yang harus diperhatikan dalam pencegahan dan penanggulangan ISPA pada anak balita, diantaranya yaitu dengan membawa anak ke posyandu guna mengetahui Status Gizi balita dan pemberian imunisasi, memberikan gizi yang baik dan ASI eksklusif 6. METODE PENELITIAN Desain penelitian yang digunakan adalah desain penelitian Cross Sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak balita yang berkunjung di Balai Pengobatan UPTD Puskesmas Sekar Jaya. Berdasarkan rata-rata kunjungan perbulan yaitu sebesar 102 anak balita. Besar sampel menurut rumus Notoatmodjo (2005) 7 : Berdasarkan rumus diatas, maka di dapat jumlah sampel sebesar 82 responden. Cara pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik accidental sampling (dilakukan dengan pengambilan kasus atau responden yang kebetulan ada dan tersedia), dimana seluruh anak balita yang berobat di balai pengobatan UPTD Puskesmas Sekar Jaya yang ditemui oleh peneliti pada waktu penelitian akan dijadikan responden. Waktu penelitian ini atau pengumpulan data dilakukan selama bulan Januari Maret 2016 di UPTD Puskesmas Sekar Jaya. Analisis data yang digunakan adalah analisis univariat dan analisis bivariat. N n 1 N( d 2 ) 3

Volume 1, Nomor 1, Mei 2016 HASIL Analisis Bivariat Tabel 2 Analisis Hubungan Variabel Independen dengan Variabel Dependen di Balai Pengobatan UPTD Puskesmas Sekar Jaya tahun 2016 No Variabel Independen ISPA Kejadian Hipertensi Tidak ISPA Jumlah P value 1 Status Imunisasi 1. Tidak Lengkap 2. Lengkap 17 (60,7%) 12 (22,2%) Jumlah 29 (35,4%) 11 (39,3%) 42 (77,8%) 53 (64,6%) 28 54 82 0,001 2 Status Gizi 3 1. Gizi Kurang 2. Gizi Baik 16 (88,9%) 13 (20,3%) Jumlah 29 (35,4%) 2 (11,1%) 51 (79,7%) 53 (64,6%) 18 64 82 0,000 3 ASI Eksklusif 1. Tidak Eksklusif 2. Eksklusif 19 (59,4%) 10 (20%) Jumlah 29 (35,4%) 13 (40,6%) 40 (80%) 53 (64,6%) 32 50 82 0,000 Dari hasil analisis bivariat dengan uji statistik Chi-Square menunjukkan ada hubungan yang bermakna status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p 0,001, ada hubungan yang bermakna status gizi dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p 0,000, ada hubungan yang bermakna pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p 0,000. PEMBAHASAN Hubungan Status Imunisasi dengan Kejadian ISPA pada Balita di Balai Pengobatan UPTD Puskesmas Sekar Jaya Kabupaten OKU Tahun 2016 Berdasarkan hasil analisa bivariat diketahui bahwa proporsi responden dengan status imunisasi tidak lengkap dan balitanya menderita ISPA sebanyak 60,7%, lebih besar dibandingkan dengan proporsi responden dengan status imunisasi lengkap dan balitanya menderita ISPA yaitu 22,2%. Hasil uji statistik diperoleh nilai p 0,001. Hal ini berarti bahwa ada hubungan 4

yang bermakna antara status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita. Sejalan dengan hasil penelitian Nuryanto (2012) dengan judul Hubungan Status Gizi Terhadap Terjadinya Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Ispa) Pada Balita, uji statistik menunjukkan nilai p = 0,005, berarti ada hubungan antara penyakit ISPA dengan status imunisasi balita. Imunisasi lengkap dapat memberikan peranan yang cukup berarti dalam mencegah penyakit ISPA 8. Imunisasi adalah pemberian kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit dengan memasukkan sesuatu ke dalam tubuh agar tubuh tahan terhadap penyakit yang sedang mewabah atau berbahaya bagi seseorang. Imunisasi berasal dari kata imun yang berarti kebal atau resisten. Imunisasi terhadap suatu penyakit hanya akan memberikan kekebalan atau resistensi pada penyakit itu saja, sehingga untuk terhindar dari penyakit lain diperlukan imunisasi lainnya 9. Hasil penelitian ini menunjukkan sebagian besar responden mengetahui bahwa imunisasi sangat penting bagi balita untuk mencegah terjadinya penyakit infeksi. Hal ini dapat dilihat dari besarnya jumlah responden dengan balita yang status imunisasinya lengkap yaitu sebesar 65,9%, namun masih ditemukan sebagian kecil responden yang status imunisasi balitanya tidak lengkap. Hal ini disebabkan oleh sikap orangtua yang percaya dengan budaya terdahulu (anak sehat dan aktif tidak perlu diimunisasi) dan mitos yang ada di masyarakat (percaya bahwa vaksin imunisasi mengandung bahan dari tubuh babi) serta tidak ingin anaknya sakit (panas) atau rewel jadi dapat menggangu pekerjaan orangtua. Dalam penelitian ini juga masih ditemukan balita yang menderita ISPA walaupun telah menerima imunisasi lengkap. Berdasarkan pengakuan dari responden hal ini diakibatkan karena masih ada anggota keluarga yang merokok di dalam rumah yang menyababkan rendahnya kualitas udara di dalam rumah tempat tinggal balita. Begitu juga kalau berada di tempat umum, 5

polusi asap rokok ini sangat sering dialami. Untuk itu diharapkan petugas kesehatan dapat berperan dalam memberikan edukasi kepada masyarakat dengan memberikan informasi yang benar dan meluruskan pemahaman keluarga dan orang tua bayi tersebut agar mereka mau membawa anaknya ke posyandu dan tempat layanan kesehatan lainnya untuk mendapatkan imunisasi dasar, bila perlu dengan mendatangi keluarga yang masih takut anaknya sakit/panas akibat efek samping imunisasi. Hubungan Status Gizi dengan Kejadian ISPA pada Balita di Balai Pengobatan UPTD Puskesmas Sekar Jaya Kabupaten OKU Tahun 2016 Berdasarkan hasil analisa bivariat diketahui proporsi responden dengan status gizi tidak baik dan balitanya menderita ISPA sebanyak 88,9%, lebih besar dibandingkan dengan proporsi responden dengan status gizi baik dan balitanya menderita ISPA yaitu 20,3%. Hasil uji statistik diperoleh nilai p 0,000. Hal ini berarti bahwa ada hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita. Sejalan dengan penelitian Wibowo (2007) dengan judul faktorfaktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Brangsong II Kabupaten Kendal, yang menyatakan ada hubungan antara status gizi dengan penyakit ISPA pada balita. Status gizi yang baik umumnya akan meningkatkan resistensi tubuh terhadap penyakitpenyakit infeksi. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,004, yang berarti terdapat hubungan antara penyakit ISPA dengan status gizi balita 12. Status gizi adalah ukuran keberhasilan dalam pemenuhan nutrisi untuk anak yang diindikasikan oleh berat badan dan tinggi badan per umur anak. Status gizi juga didefinisikan sebagai status kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrient. Penelitian status gizi merupakan pengukuran yang didasarkan pada data antropometri serta biokimia dan riwayat diit 13. 6

Gizi sangat penting untuk pertumbuhan, perkembangan dan pemeliharaan aktifitas tubuh. Tanpa asupan gizi yang cukup, maka tubuh akan mudah terkena penyakitpenyakit infeksi. Timbulnya gizi kurang tidak hanya dikarenakan asupan makanan yang kurang, tetapi juga penyakit. Anak yang mendapat cukup makanan tetapi sering menderita sakit, pada akhirnya dapat menderita gizi kurang. Demikian pula pada anak yang tidak memperoleh cukup makanan, maka daya tahan tubuhnya akan melemah sehingga mudah terserang penyakit. Kejadian ISPA dapat disebabkan karena daya tahan tubuh lemah, dan keadaan gizi buruk merupakan faktor risiko yang penting untuk terjadinya ISPA. Balita dengan status gizi baik mempunyai daya tahan tubuh yang lebih baik dari balita dengan status gizi kurang maupun status gizi buruk 14. Sebagian besar balita di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Sekar Jaya mempunyai status gizi baik yaitu sebesar 78%, sedangkan yang mempunyai status gizi kurang hanya 22%. Proporsi balita yang mengalami ISPA lebih banyak terjadi pada balita yang status gizinya tidak baik yaitu 88,9% dibandingkan dengan balita yang status gizinya baik yaitu 20,3%. Masih ditemukannya balita dengan statis gizi kurang hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan orang tua, terutama ibu mengenai gizi. Seorang ibu harus dapat memberikan makanan yang kandungan gizinya cukup, tidak harus mahal, bisa juga diberikan makanan yang murah, asalkan kualitasnya baik. Rendahnya status gizi disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, yaitu: ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga dan kemiskinan. Kondisi sosial ekonomi keluarga yang rendah merupakan penyebab kurang gizi pada anak. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian ISPA pada Balita di Balai Pengobatan UPTD Puskesmas Sekar Jaya Kabupaten OKU Tahun 2016 Berdasarkan hasil analisa bivariat diketahui bahwa proporsi responden yang tidak memberikan ASI Eksklusif dan balitanya menderita ISPA sebanyak 59,4%, 7

lebih besar dibandingkan dengan proporsi responden yang memberikan ASI Eksklusif dan balitanya menderita ISPA yaitu hanya 20%.. Hasil uji statistik diperoleh nilai p 0,001. Hal ini berarti bahwa ada hubungan yang bermakna antara pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian ISPA pada balita. Sejalan dengan hasil penelitian Ranantha, dkk (2014)dengan judul Hubungan antara Karakteristik Balita dengan Kejadian ISPA pada Balita di Desa Gandon Kecamatan Kaloran Kabupaten Temanggung, menunjukkan bahwa ada hubungan antara ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada balita (p=0,0001). Dapat diketahui bahwa balita yang tidak diberi ASI eksklusif mempunyai resiko 16,429 kali lebih besar untuk terjadinya ISPA daripada balita yang diberi ASI eksklusif 15. Air Susu Ibu (ASI) Ekslusif berarti hanya memberikan ASI saja, tanpa tambahan makanan atau minuman apapun termasuk air (obatobatan dan vitamin yang tidak dilarutkan dalam air mungkin dapat diberikan kalau dibutuhkan secara medis). Anak sampai usia enam bulan pertama hanya membutuhkan ASI Ekslusif menyediakan segalagalanya yang dibutuhkan anak usia ini, isapan anak menentukan kebutuhannya, oleh karenanya diberikan kesempatan sepenuhnya ia untuk dapat menghisap sepuasnya. Sedangkan menurut Rusli (2004) ASI Ekslusif adalah pemberian ASI saja kepada bayi sampai umur 6 bulan tanpa memberikan makanan/cairan lain. Bayi yang mendapat ASI Ekslusif lebih tahan terhadap ISPA (lebih jarang terserang ISPA), karena dalam air susu ibu terdapat zat anti terhadap kuman penyebab ISPA 16. Penelitian-penelitian yang dilakukan pada sepuluh tahun terakhir ini menunjukkan bahwa ASI kaya akan faktor antibodi cairan tubuh untuk melawan infeksi bakteri dan virus. Penelitian di negaranegara sedang berkembang menunjukkan menunjukkan bahwa ASI melindungi bayi terhadap infeksi saluran pernapasan berat 17. Sejalan dengan hasil penelitian Ranantha, dkk (2014) menunjukkan bahwa ada hubungan antara ASI 8

eksklusif dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Gandon (p=0,0001). Dapat diketahui bahwa balita yang tidak diberi ASI eksklusif mempunyai resiko 16,429 kali lebih besar untuk terjadinya ISPA daripada balita yang diberi ASI eksklusif 15. Hasil penelitian ini menunjukkan sebagian besar responden sudah memberikan ASI secara eksklusif kepada balitanya. Namun masih ditemukan balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif yaitu sebesar 39%. Proporsi balita yang mengalami ISPA lebih banyak terjadi pada balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif yaitu 59,4% dibandingkan dengan balita yang mendapatkan ASI Eksklusif yaitu 20%. Beberapa alasan yang menyebabkan ibu tidak memberikan ASI eksklusif pada bayinya antara lain menganggap ASI tidak mencukupi, ibu bekerja di luar rumah, beranggapan susu formula lebih baik dan lebih praktis dari ASI, serta kekhawatiran tubuh ibu menjadi gemuk. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan sebagai berikut: Ada hubungan yang bermakna antara status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita di Balai Pengobatan UPTD Puskesmas Sekar Jaya dengan nilai p 0,001, ada hubungan yang bermakna antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di Balai Pengobatan UPTD Puskesmas Sekar Jaya dengan nilai p 0,000, ada hubungan yang bermakna antara pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian ISPA pada balita di Balai Pengobatan UPTD Puskesmas Sekar Jaya dengan nilai p 0,000. SARAN Diharapkan petugas kesehatan dapat berperan dalam memberikan edukasi kepada masyarakat dengan memberikan informasi yang benar dan meluruskan pemahaman keluarga dan orang tua bayi tersebut agar mereka mau membawa anaknya ke posyandu dan tempat layanan kesehatan lainnya untuk mendapatkan imunisasi dasar. Perlunya pemahaman yang lebih bagi petugas kesehatan khususnya 9

para kader posyandu dan orang tua balita akan pentingnya meningkatkan status gizi balita. Diharapkan petugas kesehatan lebih aktif dalam memberikan KIE (Komunikasi Informasi dan Edukasi) tentang ASI Ekslusif. DAFTAR PUSTAKA 1. Djaja, Satimawar, Iwan Ariawan, Tin Afifah,2010. Determinan Perilaku Pencarian Pengobatan Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) Pada Balita, Buletin Penelitian Kesehatan, 2010, Volume 29 No.I : 1 2. Depkes RI, 2011. Pedoman Penerapan Manajemen Terpadu Balita Sakit di Puskesmas. Jakarta : Depkes RI dan WHO. 3. Dinkes Provinsi Sumatera Selatan, 2008. Profil Kesehatan Sumatera Selatan Tahun 2008. Palembang. 4. Dinas Kesehatan Kabupaten OKU, 2015. Laporan Hasil Rekapitulasi data kegiatan program P2 ISPA Di Kabupaten OKU, Baturaja. 5. UPTD Puskesmas Sekar Jaya, 2015. Laporan Hasil Rekapitulasi data kegiatan program P2 ISPA Di Kabupaten OKU, Baturaja. 6. Prasasti, C.I., Mukono, J dan Sudarmaji. 2010. Pengaruh Kualitas Udara Dalam Ruangan Ber-AC Terhadap Gangguan Kesehatan. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 1(2): 160-169 7. Notoatmodjo. S, 2005. Metodelogi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta. 8. Nuryanto, 2012. Hubungan Status Gizi Terhadap Terjadinya Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Ispa) Pada Balita. Jurnal Pembangunan Manusia Vol.6 No.2 Tahun 2012. 9. Achmadi, P.F. 2008. Imunisasi Mengapa Perlu?, Cetakan I, Buku Kompas. Jakarta. 10. Marimbi, Hanum.2010.Tumbuh Kembang, Status Gizi, dan Imunisasi Dasar Pada Balita.Yogyakarta:Nuha Medika. 11. Proverawati, Atikah. 2010.Imunisasi dan Vaksinasi.Yogyakarta:Nuha Offset. 12. Wibowo, H, 2007. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Brangsong II Kabupaten Kendal. Skripsi. 13. Soeharjo, 2005. Perencanaan Pangan Dan Gizi, Bumi Aksara, Jakarta. 14. Almatsier, S, 2010. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama 15. Ranantha, dkk, 2014. Hubungan antara Karakteristik Balita dengan Kejadian ISPA pada Balita di Desa Gandon Kecamatan Kaloran Kabupaten Temanggung. 16. Roesli, Utami. 2007. Mengenal ASI Eksklusif. Jakarta. Trubus Agriwidya. 17. Sanyoto, Dien dan Eveline PN. 2008. Air Susu Ibu dan Hak Bayi. Bedah ASI. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta. 10