BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masa bayi dan anak adalah masa mereka mengalami masa pertumbuhan dan perkembangan yang cepat dan sangat penting atau sering disebut masa kritis anak pada usia 6 24 bulan karena kelompok umur ini merupakan saat periode pertumbuhan kritis dan kegagalan tumbuh growth failure, dimana nantinya merupakan landasan yang menentukan kualitas penerus generasi bangsa. (Amin dkk, 2004). Derajat kesehatan masyarakat dapat dilihat dari berbagai indikator yang meliputi indikator angka harapan hisup, angka kematian, angka kesakitan, dan status gizi masyarakat sehingga banyak program-program kesehatan yang dilakukan pemerintah terutama pada penduduk usia rentan seperti program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), program Maternal and Neonatal Tetanus Elimination (MNTE), dan program pemberantasan Penyakit menular (Depkes RI, 2010). Tujuan pembangunan milinium yang dicanangkan oleh masyarakat dunia atau yang sering disebut dengan Millenium Development Goals (MDGs) adalah menurunkan angka kematian anak usia di bawah lima tahun pada rentang waktu antara 1990-2015. Kemudian ditegaskan kembali bahwa tujuan MDGs yang belum tercapai secara merata khususnya dinegara berkembang termasuk Indonesia adalah menurunkan angka kematian oleh Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). (Depkes 1
2 RI, 2005). World Helth Organization (WHO) memperkirankan insidens ISPA di negara berkembang 0,29% dan negara industri 0,05% (WHO, 2012). ISPA menempati urutan pertama penyakit yang diderita pada kelompok bayi dan balita di Indonesia. Masa balita merupakan masa yang sangat penting dari seluruh kehidupan manusia dan merupakan masa kritis yang menentukan kualitas hidup anak selanjutnya. Masa pertumbuhan dan perkembang tercepat dalam kehidupan terjadi pada masa balita. (Triton, 2006). Usia balita juga merupakan masa paling pesat dalam hal pertumbuhan dan perkembangan dibandingkan dengan tahapan umur berikutnya. balita adalah anak yang berusia dari 0-59 bulan (Depkes RI, 2005). ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak. Insidens menurut kelompok umur balita diperkirakan 0,29 kejadian per anak/tahun di negara berkembang dan 0,05 kejadian per anak/tahun di negara maju. Ini menunjukkan bahwa terdapat 156 juta kejadian kasus baru di dunia per tahun dimana 151 juta kejadian (96,7%) terjadi di negara berkembang. Kasus terbanyak terjadi di India (43 juta), China (21 juta) dan Pakistan (10 juta) dan Bangladesh, Indonesia, Nigeria masing-masing 6 juta kejadian. Dari semua kasus yang terjadi di masyarakat, 7-13% kasus berat dan memerlukan perawatan rumah sakit. Kejadian batuk-pilek pada Balita di Indonesia diperkirakan 2-3 kejadian kasus per tahun. (Ruden et al Bulletin WHO, 2008). Penyakit ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di puskesmas (40%-60%) dan rumah sakit (15%-30%). (Kemenkes RI, 2011).
3 Kematian balita secara global mengalami penurunan sebesar 41%, dari tingkat estimasi 87 kematian per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1990 menjadi 51 kematian per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2011, dan memperkirakan insidens ISPA di negara berkembang 0,29% dan negara industri 0,05%. (Kemenkes RI, 2012) Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, menunjukan insidens nasional penyakit ISPA 25,5%,dimana angka kesakitan (morbiditas) pada bayi 23,8% dan balita 15,5% dan pada tahun 2013 hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukan insiden ISPA secara nasional 25,0% karateristik penduduk dengan ISPA yang tertinggi pada kelompok umur 1-4 tahun (25,8%) dinama ISPA tertinggi adalah Nusa Tengga Timur (41,7%), Papua (31,1), Aceh (30,0), Nusa Tenggara Barat (28,3), dan Jawa Timur (28,3%), dan pada Riskesdas 2007 Nusa Teggara Timur juga merupakan provinsi tertinggi ISPA. Kematian balita akibat ISPA terjadi pneumonia yang tidak cepat ditolong secara dini dan diberikan pengobatan yang tepat. Dalam upaya pencegahan dan menghindari peningkatan kejadian pneumonia yang berakibat kematian balita disebabkan oleh pneumonia dilakukan upaya program detiksi dini ISPA pada balita. Case Detection Rate (CDR) pneumonia balita selama kurun waktu 2010-2012, jumlah kasus ISPA terlihat berfluktuasi pada tahun 2010 sebesar 25,8% menurun cukup signifikan dibandingkan tahun 2011 sebesar 15,8% dan pada atahun 2012 mengalami peningkatan yaitu 17,8% (Dinkes Aceh, 2013) Berdasarkan data Dinas Kesehatan Aceh Barat (2013) jumlah balita di Kabupaten Aceh Barat sebanyak 7.505 balita, diantaranya terdapat (10,5%) yang
4 mengalami penyakit ISPA dan berdasarkan data kunjungan pasien ke Puskesmas Meutulang pada tahun 2013 terdapat sepuluh penyakit terbesar yaitu ISPA 20,8% comondcoold 19.6%, dyspepsia 10,8%, rhaeumatoid arthritis10,1%, hypertensi 9,9, 9,0%, hypotensi 6,3%, karies gigi 5,8%, cepealgia 4,6%,penyakit infeksi lainya 3,0%. Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian ISPA terbagi atas faktor instrinsik dan ekstrisik. Faktor instrinsik meliputi umur, jenis kelamin, staus gizi, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), status imunisasi, pemberian Air Susu Ibu (ASI) dan pemberian vitamin A. Faktor ekstrinsik seperti kondisi fisik lingkungan rumah yang meliputi kepadatan hunian, polusi udara, tipe rumah, vintilasi, asap rokok, pengunaan bahan bakar serta faktor ibu baik pendidikan ibu maupun prilaku ibu. (Dewi, 2012). Secara umum ada tiga faktor risiko terjadinya ISPA yaitu faktor lingkungan, faktor individu anak serta faktor perilaku. Faktor lingkungan meliputi pencemaran udara dalam rumah, kondisi fisik rumah, dan kepadatan hunian. Faktor individu anak meliputi umur anak, berat badan lahir, status gizi, vitamin A, dan status imunisasi sedangkan faktor perilaku berhubungan dengan pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA pada bayi dan balita dalam hal ini adalah praktek penanganan ISPA di keluarga baik yang dilakukan oleh ibu ataupun anggota keluarga lainya. (Depkes, 2002). Berdasarkan hasil penelitian Khin dkk tahun 2002-2003 di Myanmar, didapkan bahwa insidens penyakit ISPA pada balita sebesar 1,8 dari 1000 balita
5 dalam sehari, hal ini berhubungan dengan populasi udara dalam rumah yang kurang mendukung kesehatan balita. Penelitian Hariyani (2010), menunjukan bahwa stastus gizi balita dan status imunisasi balita berhubungan dengan penyakit ISPA pada balita usia 12-60 bulan. Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk mengetahui Hubungan stastus sosioekonomi dan status gizi dengan ISPA pada anak umur 1-2 tahun di Puskesmas Meutulang Kecamatan Panton Reu Kabupaten Aceh Barat. 1.2. Permasalahan Belum diketahuinya hubungan stastus sosioekonomi dan status gizi dengan ISPA pada anak umur 1-2 tahun di Puskesmas Meutulang Kecamatan Panton Reu Kabupaten Aceh Barat. 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan status sosioekonomi, status gizi, stasus imunisasi, pemberian ASI dengan penyakit ISPA pada anak umur 1-2 tahun di Puskesmas Meutulang Kecamatan Panton Reu Kabupaten Aceh Barat. 1.3.2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui hubungan status sosioekonomi dengan kejadian penyakit ISPA pada anak umur 1-2 tahun. b. Untuk mengetahui hubungan stasus gizi dengan kejadian penyakit ISPA pada anak umur 1-2 tahun.
6 c. Untuk mengetahui hubungan pemberian ASI dengan kejadian penyakit ISPA pada anak umur 1-2 tahun. d. Untuk mengetahui hubungan stasus imunisasi dengan kejadian penyakit ISPA pada anak umur 1-2 tahun. 1.4. Hipotesis a. Ada hubungan status sosioekonomi dengan kejadian penyakit ISPA pada anak umur 1-2 tahun b. Ada hubungan stasus gizi dengan kejadian penyakit ISPA pada anak umur 1-2 tahun. c. Ada hubungan status imunisasi dengan kejadian penyakit ISPA pada anak umur 1-2 tahun d. Ada hubungan pemberian ASI dengan kejadian penyakit ISPA pada anak umur 1-2 tahun 1.5. Manfaat Penelitian Sebagai bahan masukan bagi petugas kesahatan dalam merencanakan upaya penanggulangan kejadian ISPA pada anak umur 1-2 tahun.