II. TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Morfologi Umum Primata

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MENGENAL BEBERAPA PRIMATA DI PROPINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM. Edy Hendras Wahyono

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ilmiah siamang berdasarkan bentuk morfologinya yaitu: (Napier and

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

KEANEKARAGAMAN DAN SEBARAN SATWA PRIMATA DI TAMAN NASIONAL TESSO NILO YANG BERBATASAN DENGAN KEBUN KELAPA SAWIT PT. INTI INDOSAWIT SUBUR, UKUI, RIAU

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Menurut Napier dan Napier (1985) monyet ekor panjang dapat. Superfamili : Cercopithecoidea

Lutung. (Trachypithecus auratus cristatus)

TINJAUAN PUSTAKA. (1) secara ilmiah nama spesies dan sub-spesies yang dikenali yang disahkan

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah

2. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Napier dan Napier (1967), klasifikasi ilmiah simpai sebagai berikut :

II. TINJAUAN PUSTAKA. frugivora lebih dominan memakan buah dan folivora lebih dominan memakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK KELOR, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK KALITOPO, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang

I. PENDAHULUAN. Semua lahan basah diperkirakan menutupi lebih dari 20% luas daratan Indonesia

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK BEKOL, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Monyet ekor panjang merupakan mamalia dengan klasifikasi sebagai berikut

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK MANTING, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK KAJANG, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL

MONITORING KEBERADAAN LUTUNG (Trachypithecus auratus cristatus) DI BLOK SUMBERBATU, RESORT BAMA SEKSI KONSERVASI WILAYAH II BEKOL

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB V HASIL. Gambar 4 Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP.

I. PENDAHULUAN. menguntungkan antara tumbuhan dan hewan herbivora umumnya terjadi di hutan

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

Burung Kakaktua. Kakatua

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat

OWA JAWA SEBAGAI SATWA PRIMATA YANG DILINDUNGI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

UKURAN KELOMPOK SIMPAI (Presbytis melalophos) DI HUTAN DESA CUGUNG KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG MODEL GUNUNG RAJABASA LAMPUNG SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar,

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

I. PENDAHULUAN. tailed macaque) (Lekagul dan Mcneely, 1977). Macaca fascicularis dapat ditemui di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kukang adalah salah satu spesies primata dari genus Nycticebus yang

2015 LUWAK. Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total

TINJAUAN PUSTAKA Tikus

I. PENDAHULUAN. Macaca endemik Sulawesi yang dapat dijumpai di Sulawesi Utara, antara lain di

BAB I PENDAHULUAN. seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera

Aktivitas Harian Bekantan (Nasalis larvatus) di Cagar Alam Muara Kaman Sedulang, Kalimantan Timur

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. rawa, hutan rawa, danau, dan sungai, serta berbagai ekosistem pesisir seperti hutan

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang

PENDAHULUAN Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. sumatera. Klasifikasi orangutan sumatera menurut Singleton dan Griffiths

BAB I. PENDAHULUAN. spesies dilindungi atau untuk mendukung biodiversitas, tidak terlepas dari

BAB V PROFIL SATWALIAR GUNUNG PARAKASAK

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Napier dan Napier (1967), klasifikasi monyet ekor panjang adalah

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Taksonomi dan Morfologi Siamang (Hylobathes syndactilus) Hylobatidae. Yang memiliki nama ilmiah Hylobathes syndactilus.

DINAS KEHUTANAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

JENIS_JENIS TIKUS HAMA

TINJAUAN PUSTAKA. Deskripsi Area. Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan satu kesatuan

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 4. KEANEKARAGAMAN MAKHLUK HIDUP DALAM PELESTARIAN EKOSISTEMLatihan Soal 4.3

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub

Evaluasi Rehabilitasi Merak Hijau (Pavo muticus) Dari Hasil Sitaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di Seksi Karangtekok

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Morfologi Orangutan. tetapi kedua spesies ini dapat dibedakan berdasarkan warna bulunnya

OWA KELAWAT (Hylobates muelleri) SEBAGAI OBYEK WISATA PRIMATA DI TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA

KEANEKARAGAMAN HAYATI. Keanekaragaman Jenis Keanekaragaman Genetis Keanekaragaman ekosistem

Pola Aktivitas Harian Lutung (Presbytis cristata, Raffles 1821) di Hutan Sekitar Kampus Pinang Masak, Universitas Jambi

POTENSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA SATWALIAR PADA HUTAN KONSERVASI (Kasus : SM. Barumun, Sumatera Utara)

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beruang madu (H. malayanus) merupakan jenis beruang terkecil yang tersebar di

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan yang mencapai sekitar pulau. Perbedaan karakteristik antar pulau

3. METODE PENELITIAN. Penelitian tentang ukuran kelompok simpai telah dilakukan di hutan Desa Cugung

BAB I. PENDAHULUAN. beragam dari gunung hingga pantai, hutan sampai sabana, dan lainnya,

TINJAUAN PUSTAKA. Pongo pygmaeus di Borneo dan orangutan Pongo abelii di Sumatera merupakan

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996)

Klasifikasi Udang Air Tawar Peranan Udang Air Tawar dalam Ekosistem

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

UKURAN KELOMPOK MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI HUTAN DESA CUGUNG KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG GUNUNG RAJABASA LAMPUNG SELATAN

BRIEF Volume 11 No. 05 Tahun 2017

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Morfologi Umum Primata Secara keseluruhan primata sudah mengalami spesialisasi untuk hidup di pohon. Menurut J.R. Napier dan P.H. Napier (1967), klasifikasi ilmiah primata adalah : Kingdom : Animalia Phyllum : Chordata Sub Phyllum : Vertebrata Class : Mamalia Ordo : Primata Primata umumnya dibagi kedalam 3 sub ordo yaitu : Prosimii, Tarsii, dan Simii. Dari sekitar 195 jenis primata yang ada di dunia, 40 jenis ditemukan di Indonesia. Di Indonesia terdapat 2 jenis (Nycticebus) dari sub ordo Prosimii (famili Lorisidae), 5 jenis (Tarsius) dari sub ordo Tarsii (famili Tarsidae) dan jenis-jenis dari sub ordo Simii termasuk dalam famili Cercopithecidae, Hylobatidae, dan Pongidae. Pada famili Cercopithecidae. Di Indonesia terdapat 25 jenis terbagi Macaca (11 jenis), Presbytis (12 jenis), Simias (1 jenis) dan Nasalis (1 jenis). Famili Hylobatidae terdapat 6 jenis (Hylobates) dan Pongidae 2 jenis (Pongo) (Supriatna dan Wahyono, 2000). 2.2. Beberapa Jenis Primata di Indonesia 2.2.1. Macaca fascicularis (Monyet ekor panjang) Menurut Kurland (1973) dalam Pamungkas (2001), perbandingan ekor dan tubuh merupakan suatu ciri khusus secara morfologi yang dapat digunakan untuk membedakan antara Macaca fascicularis dengan Macaca jenis lainnya, dan ukuran tubuh yang kecil berwarna cokelat dengan bagian perutnya berwarna lebih muda, seringkali berwarna keputih-putihan yang jelas pada bagian muka. Pada monyet-monyet yang belum dewasa sering memiliki jambang mengelilingi muka, walaupun tidak terpisah secara nyata pada Macaca nemestrina (Lekagul dan Mc Neely, 1977).

4 Monyet ekor panjang merupakan satu dari jenis primata yang paling berhasil dalam penyebarannya. Penyebarannya meliputi seluruh kawasan Asia Tenggara yaitu antara 20º LU 10º LS dan 92º BT 128º BT (Wheatly, 1980 dalam Pamungkas, 2001). Lekagul dan Mc Neely (1977) menyatakan bahwa penyebaran monyet ini adalah di Indonesia, Thailand, Burma (Myanmar), Malaya, Philipina dan beberapa pulau kecil lainnya. Di Indonesia Macaca fascicularis terdapat di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Kepulauan Lingga dan Riau, Bangka, Belitung, Kepulauan Tambelan, Kepulauan Natuna, Simalur, Nias, Jawa dan Bali, Matasari, Pulau Bawean, Pulau Timor, Pulau Lombok, Pulau Sumba, Pulau Sumbawa dan Flores (Ditjend PHPA, 1986). Monyet ekor panjang hidup dalam kelompok-kelompok. Satu kelompok monyet ekor panjang dapat terdiri dari 8-40 ekor atau lebih termasuk beberapa betina (Medway, 1978 dalam Pamungkas, 2001). Menurut Lekagul dan Mc. Neely (1977), suatu kelompok monyet ekor panjang dapat terdiri lebih dari 100 individu dan betina yang sedang menyusui dapat hamil kembali. Hal ini menunjukkan suatu kecenderungan kearah perluasan populasi. Tekanan populasi yang tinggi karena cepat bereproduksi dapat menjelaskan mengapa monyet ini telah memperluas habitatnya sampai mangrove dan tipe hutan pantai yang umumnya diabaikan oleh jenis lain. Menurut Medway (1978) dalam Pamungkas (2001), monyet ekor panjang bersifat arboreal, meskipun sering turun kebawah. Monyet ekor panjang beradaptasi dengan kehidupan manusia. Mereka takut air, dapat berenang dengan cepat dan terampil (Lekagul dan Mc. Neely, 1977). Habitat adalah tempat dimana organisme tersebut hidup atau tempat dimana organisme tersebut dapat ditemukan (Odum, 1971). Suatu habitat merupakan kesatuan dari sejumlah komponen fisik yang terdiri dari air, tanah, topografi dan iklim (mikro dan makro) serta komponen biologis yang terdiri dari manusia, vegatasi dan margasatwa (Semiet, 1986). Sedangkan menurut Yoakum (1971), bahwa komponen habitat yang terpenting bagi kehidupan

5 margasatwa adalah makanan, air, tempat berlindung dan ruang (dalam Pamungkas, 2001). Satwaliar menempati habitat sesuai dengan lingkungan yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya. Oleh karena itu, habitat suatu jenis satwaliar belum tentu sesuai untuk jenis lain. Habitat suatu jenis satwaliar mengandung suatu sistem yang terbentuk dari interaksi antar komponen fisik dan biotik. Sistem tersebut dapat mengendalikan kehidupan satwaliar yang hidup di dalamnya (Alikodra, 1990). Menurut Lekagul dan Mc Neely (1977), meskipun habitat klasik Macaca fascicularis adalah hutan rawa mangrove, namun mereka juga ditemukan di hutan primer dan sekunder sampai ketinggian 2000 mdpl, di hutan bekas tebangan dan daerah-daerah pertanian dimana mereka dianggap sebagai hama. Sebaliknya menurut Supriatna dan Wahyono (2000), monyet ini hidup pada hutan primer sampai sekunder mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi sekitar 1000 mdpl. Seringkali juga ditemukan di hutan bakau, perkebunan sampai ke hutan dekat perkampungan. Monyet ini pemakan segala jenis makanan (omnivora), namun komposisinya mengandung lebih banyak buah-buahan (60%), selebihnya berupa bunga, daun muda, biji, umbi. Monyet yang hidup di rawa-rawa kadang-kadang turun ke tanah pada air surut dan berjalan menelusuri sungai mencari serangga. Monyet yang hidup di daerah bakau atau pesisir, sering dijumpai memakan kepiting atau jenis moluska lainnya. Sehingga sering monyet ini disebut Crabs eating macaque. Hingga kini monyet ini belum dilindungi undang-undang dan resikonya masih rendah terhadap kepunahan. Penangkapan langsung dari habitatnya untuk dijadikan percobaan atau peliharaan, merupakan sisi lain dari terganggunya populasi di alam. Monyet ini merupakan hama bagi penduduk, karena dapat merusak lahan pertanian padi, jagung, perbenihan karet dan pohon buah-buahan. Sejak tahun 70-an, monyet ekor panjang diekspor untuk keperluan riset biomedik dan juga penelitian psikologi.

6 2.2.2. Macaca nemestrina (Monyet ekor pendek/beruk) Monyet ini berbadan besar, tegap dengan dimorfisme seksual yang tampak jelas yaitu terdapat perbedaan yang jelas antara jantan dan betina. Diantara semua jenis monyet, warna jenis dari beruk ini sangat bervariasi. Akan tetapi, secaca umum warna yang dominan adalah cokelat keabu-abuan dan kemerahmerahan. (Lekagul dan Mc Neely, 1977). Monyet ekor pendek tersebar mulai dari India timur laut, Assam, Thailand, Malaysia dan Borneo. Di Indonesia terdapat di pulau Sumatera, Mentawai, dan Kalimantan. Monyet ini tidak terdapat di Jawa baik kehidupannya maupun tanda-tanda yang berupa fosil (Lekagul dan Mc Neely, 1977). Di Sumatera beruk terdapat di semua provinsi yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Bengkulu, Jambi, dan Lampung (Wilson dan Wilson, 1980 dalam Pamungkas, 2001). Penyebaran beruk juga terdapat di Suaka Margasatwa Pleihari dan Suaka Margasatwa Kutai, Kalimantan. Monyet ekor pendek digolongkan kedalam bentuk kelompok multimales group yaitu mempunyai lebih dari satu ekor jantan dewasa dalam satu kelompok. Southwick dan Cadigan (1972) dalam Pamungkas (2001) dari hasil penelitiannya menemukan bahwa beruk di Malaya sering dijumpai di hutan sekunder dalam populasi yang cukup rendah, demikian juga di hutan primer. Hal ini disebabkan oleh pola pergerakan dan tingkah laku yang lebih menyukai pohon-pohon kecil. Kesukaan untuk berada di tanah bukan ketika berjalan saja, bahkan pada waktu memakan buah yang sudah dipetik dari pohon pun sering dibawa turun ke tanah (Wilson dan Wilson, 1975 dalam Pamungkas, 2001). Menurut Lekagul dan Mc Neely (1977), pada Macaca nemestrina mendiami hutan primer dan sekunder di pedalaman dan jarang ditemukan di pinggir pantai atau hutan pantai.

7 Beruk mengkonsumsi berbagai jenis makanan. Komposisi pakannya adalah buah dan biji 73%, daun-daunan 5%, bunga 1%, dan beberapa jenis makanan lain seperti serangga, kepiting sungai, rayap, telur burung sekitar 12%. Sisanya berupa jamur atau bagian tumbuhan lainnya. Beruk ini memakan lebih dari 160 jenis tumbuhan yang berbeda. Ancaman utama keberadaan beruk adalah penangkapan satwa ini dari habitat alamnya, terutama di Sumatera, untuk diperdagangkan dalam jumlah yang cukup besar. Beruk diklasifikasikan sebagai primata yang rentan dalam daftar IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources), dan dimasukkan ke dalam Appendix II CITES (Convention on International Trade Of Endengared Species Flora and Fauna). Beruk juga sering digunakan sebagi hewan percobaan dalam penelitian biomedik, seperti halnya monyet ekor panjang. Di Sumatera, tenaga beruk sering dimanfaatkan sebagai pengambil atau pemanjat pohon kelapa untuk memetik buahnya. Beruk sering dianggap sebagai hama tanaman perkebunan dan pertanian. 2.2.3 Presbytis melalophos (Simpai) Monyet ini berukuran sedang sampai besar, dengan kepala bulat, hidung pesek dan perut yang besar, memiliki ekor yang lebih panjang dari ukuran kepala dan badannya. Rambut yang menutupi tubuhnya cukup panjang dan tebal dan yang berada dikepala membentuk jambul berujung runcing. Alis meremang, kaku mengarah kedepan (Napier dan Napier, 1967). Simpai adalah salah satu jenis Presbytis yang memiliki wilayah penyebaran terluas di Sumatera, yaitu mulai dari Sumatera bagian selatan hingga bagian utara Danau Toba serta Kalimantan. Habitat yang disukai adalah hutan hujan bawah sampai pegunungan dengan ketinggian sekitar 2000 mdpl. Mereka jarang dijumpai pada daerah rawa-rawa atau tepian aliran sungai (Ditjend PHPA, 1986).

8 Simpai memiliki ukuran kelompok yang relatif kecil yaitu 5-13 ekor dan bersifat poligami dengan satu ekor jantan memimpin kelompok (Wilson dan Wilson, 1975 dalam Pamungkas, 2001). Simpai banyak dijumpai pada pohonpohon pada strata tajuk lapisan tengah dan bawah sebagai tempat mencari makan dan melakukan aktivitas harian. Sebagai tempat untuk beristirahat dan tidur dipilih tajuk lapisan atas dengan ketinggian lebih dari 20 m (paling sering sekitar 40 m). Jarang sekali simpai turun ke tanah atau lantai hutan (Ruhiyat, 1983 dalam Pamungkas, 2001). Simpai lebih suka tinggal di hutan-hutan pedalaman dan sering dijumpai pada hutan primer dataran rendah sampai pegunungan hingga 2500 mdpl. Mereka jarang dijumpai pada daerah rawa-rawa atau tepian aliran sungai. Penyusutan hutan menyebabkan mereka kadang-kadang dijumpai di daerah perkebunan (Supriatna dan Wahyono, 2000). Simpai banyak dijumpai pada pohon-pohon pada strata tajuk lapisan tengah dan bawah sebagai tempat mencari makan dan melakukan aktivitas harian. Sebagai tempat untuk beristirahat dan tidur dipilih tajuk lapisan atas dengan ketinggian lebih dari 20 m (paling sering sekitar 40 m). Jarang sekali simpai turun ke tanah atau lantai hutan. Pohon-pohon tempat tidur tersebut umumnya terletak di punggung bukit dan daerah-daerah yang lebih tinggi (Ruhiyat, 1983 dalam Pamungkas, 2001). Pakan simpai adalah buah-buahan, bunga, biji, pucuk daun dan beberapa jenis serangga kecil. Simpai mengkonsumsi lebih dari 55 jenis tumbuhan yang berbeda. Komposisi pakan simpai iniantara daun 33%, buah 46%, bunga 17%, dan makanan lain sampai 4%. Informasi tentang populasi satwa ini di alam belum banyak diketahui. Namun, penyusutan habitat mengancam kelangsungan populasi simpai di seluruh daerah sebarannya. Meskipun dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan, kondisi tersebut dapat meningkatkan kematian anak-anak simpai.

9 Hal inilah yang mendorong perlindungan satwa ini melalui Undang-undang No. 5 tahun 1990. 2.2.4. Trachypithecus auratus (Budeng) Monyet ini mempunyai warna rambut hitam, diselingi dengan warna keperak-perakkan. Bagian ventral, berwarna kelabu pucat dan kepala mempunyai jambul. Anak lutung yang baru lahir berwarna kuning jingga dan tidak berjambul, setelah meningkat dewasa warnanya berubah menjadi hitam kelabu. Lutung budeng tersebar mulai dari Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Beberapa jenis dari lutung budeng seperti T.a. auratus dan mauritius tersebar di Jawa Barat bagian barat dan tenggara, sedangkan jenis T.a. cristatus, tersebar di Bangka, Belitung, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur dan Selatan, Sumatera bagian selatan termasuk juga Jawa Timur, Bali dan Lombok. Habitat yang disukainya adalah hutan bakau, hutan dataran rendah hingga hutan dataran tinggi baik primer atau sekunder. Lutung ini juga mendiami daerah perkebunan. Dalam hidupnya lutung budeng membentuk kelompok dengan beberapa individu mulai dari 6-23 ekor. Dalam setiap kelompok terdapat jantan sebagai pimpinan kelompok, dan beberapa betina serta anak-anak yang masih dalam asuhan induknya. Lutung ini aktif pada siang hari (diurnal) dan hidup pada berbagai lapisan hutan (arboreal). Dalam melakukan pergerakan, lebih sering meloncat saat pindah pohon. Kadang-kadang mereka juga berjalan dengan keempat anggota tubuhnya yaitu kedua tangan dan kakinya saat bergerak di cabang pohon yang besar atau saat turun di tanah. Lutung ini sering memilih pohon tidur di sekitar sungai. Tidur pada dahan atau percabangan pohon. Lutung budeng hidup di hutan bakau, hutan dataran rendah hingga hutan dataran tinggi baik primer atau sekunder. Lutung ini juga mendiami perkebunan (Supriatna dan Wahyono, 2000).

10 Lutung budeng memakan lebih dari 66 jenis tumbuhan yang berbeda. Komposisi makanan 50% berupa daun, 32% buah, 13% bunga dan sisanya bagian dari tumbuhan atau serangga. Akibat dari pengurangan habitat untuk berbagai peruntukan, maka semenjak tanggal 22 September 1999, Lutung budeng dan Lutung hitam telah dilindungi undang-undang, berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 733/Kpts-II/1999. Selain itu tahun 1996 lutung ini oleh IUCN dikategorikan sebagai primata yang rentan (Vulnerable). 2.2.5. Hylobates syndactylus (Siamang) Siamang adalah sejenis kera yang memiliki rambut panjang dan kasar, hitam seluruhnya kecuali disekeliling muka dan dagu. Tangan lebih panjang dari tubuhnya, kaki pendek tetapi besar. Ukuran badan secara keseluruhan adalah paling besar dari semua spesies yang ada. Pada tangan siamang dijumpai selaput kulit yang menghubungkan jari kedua dan ketiga, hal ini merupakan pembeda yang khas terhadap spesies Gibbon yang lain. Siamang mempunyai kantung suara pada tenggorokannya. Kantung suara ini dapat dikembangkan sebesar kepalanya, untuk mengumandangkan suara pada waktu-waktu tertentu (Sastrapradja, 1982). Siamang terdapat di semenanjung Malaysia dan Sumatera (Napier dan Napier, 1967 ; Wilson dan Wilson, 1976 ; Chivers, 1972 ; Gittins dan Raemakers, 1980 dalam Pamungkas, 2001). Siamang menempati hutan-hutan dataran rendah sampai di hutan pegunungan sampai ketinggian 1200 mdpl. Keterampilannya dalam mencari makan dari tajuk ke tajuk melebihi spesies Gibbon yang lain. Hal ini ditunjang oleh kecakapan yang seimbang antar tangan dan kakinya (Sastrapradja, 1982). Siamang bersifat monogami, hidup dengan pasangan jantan dan betina yang tetap, serta diikuti oleh beberapa anak yang belum dapat mandiri

11 (Supriatna dan Wahyono, 2000). Dalam satu keluarga gibbon hanya terdiri dari 3 sampai 4 individu (Bismark, 1984). Pada Gibbon umumnya hidup secara arboreal, yaitu pada tajuk-tajuk dan puncak-puncak pohon. Sifat arboreal ini menjadikan gibbon hampir tidak pernah bergerak turun ke bawah. Pohon-pohon dengan tajuk-tajuk yang rapat sangat disukai gibbon untuk istirahat malam maupun siang hari (Napier dan Napier, 1967). Siamang menempati hutan tropik primer atau sekunder, mulai dari hutan dataran rendah hingga hutan perbukitan sampai ketinggian 3800 mdp (Supriatna dan Wahyono, 2000). Pada Gibbon umumnya hidup secara arboreal, yaitu pada tajuk-tajuk dan puncak-puncak pohon. Gibbon menempati lantai hutan hujan tropis, hutan setengah menggugurkan daun, serta hutan pegunungan dibawah ketinggian 2000 mdpl (Napier dan Napier, 1967). Sifat arboreal ini menjadikan gibbon hampir tidak pernah bergerak turun ke bawah. Pohon-pohon dengan tajuk-tajuk yang rapat sangat disukai gibbon untuk istirahat malam maupun siang hari. Siamang memakan hampir semua bagian tumbuhan seperti, daun, buah, biji, dan bunga. Selain itu, satwa ini juga mengkonsumsi beberapa jenis serangga. Komposisi makanan siamang adalah 59% daun, 31% buah, 8% bunga, dan 3% berbagai jenis serangga. Siamang dikenal sebagai penyebar biji-bijian (seed dispersal) beberapa jenis tumbuhan Ficus. Status populasinya siamang di alam tergolong genting, artinya dikhawatirkan satwa ini akan punah jika tidak dilakukan upaya pelestarian, terutama perlindungan habitatnya. Untuk melindunginya Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan beberapa peraturan dan undang-undang, yaitu SK Menteri Pertanian 14 Februari 1973 No. 66/Kpts/um/2/1973, SK Menteri Kehutanan 10 Juni 1991 No. 301/Kpts-II/1991, dan diperkuat dengan Undangundang No. 5 tahun 1990.

12 2.2.6. Hylobates agilis (Unko) Pada kera jenis ini, pergelangan dan jari tangan maupun kakinya berwarna hitam. Biasanya warna tersebut lebih gelap dari warna tubuhnya yang kadangkadang berwarna cokelat gelap. Pada punggung terdapat rambut berwarna putih, jantan mempunyai lengkungan putih yang lebih jelas disekelilingnya jika dibandingkan dengan betina (Sastrapradja, 1982). Wau-wau tangan hitam (ungko) banyak dijumpai di semenanjung Malaysia dan Sumatera (Napier dan Napier, 1967). Spesies ini juga tersebar di daerah Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan (Sastrapradja, 1982). Terdapat dua sub spesies yang dikenal dengan Hylobates agilis-agilis cuvier di Sumatera dan Hylobates agilis albibarbis di Kalimantan (Sastrapradja et al, 1982 ; Chivers, 1978 dalam Bismark, 1984). Ungko hidup membentuk keluarga atau pasangan (monogamous) serta diikuti oleh 1 atau 2 anak yang belum dapat mandiri. Ungko berpindah dengan cara bergelantungan atau berayun dari dahan satu ke dahan yang lain. Kadangkadang bila berada di tanah atau di dahan yang besar, mereka dapat berjalan menggunakan kedua kakinya (bipedal) (Supriatna dan Wahyono, 2000). Aktivitas hariannya dilakukan pada siang hari (diurnal). Diawali dari terbit fajar sampai beberapa saat menjelang senja (Chivers, 1972 dalam Pamungkas, 2001). Ungko hidup di hutan primer datran rendah dan hutan rawa. Selain itu, mereka sering ditemukan di daerah batas antara hutan rawa dan tanah kering. Apabila ungko bersuara, oleh masyarakat Kalimantan Tengah dijadikan pertanda bahwa tidak jauh dari mereka terdapat daratan atau rawa (Supriatna dan Wahyono, 2000). Aktivitas hariannya dilakukan pada siang hari (diurnal). Diawali dari terbit fajar sampai beberapa saat menjelang senja (Chivers, 1972 dalam Pamungkas, 2001).

13 Pakan ungko terdiri dari buah, daun, bunga dan beberapa jenis serangga kecil. Umumnya mereka makan sambil bergantungan pada dahan dan memetik satu persatu buah, biji, bunga atau daun muda. Kadang-kadang juga menarik ranting yang ada pakannya. Primata ini mengkonsumsi buah 58%, daun 39%, bunga 3% dan sisanya yaitu sekitar 1% berbagai jenis serangga. Penyusutan habitat akibat pembukaan hutan untuk lahan pertanian, perkebunan, atau pembalakan, menyebabkan penurunan populasi satwa ini di alam. Menurut IUCN, ungko dikategorikan sebagai satwa genting yang hampir punah jika tidak ditangani dengan segera. Pemerintah Indonesia melindunginya melalui SK Menteri Kehutanan 10 Juni 1991 No. 301/Kpts- II/1991, dan diperkuat dengan Undang-undang No. 5 tahun 1990.