BAB V KESIMPULAN Barus merupakan bandar pelabuhan kuno di Indonesia yang penting bagi sejarah maritim Nusantara sekaligus sejarah perkembangan Islam di Pulau Sumatera. Pentingnya Barus sebagai bandar pelabuhan pada masa lalu telah dituliskan dalam berbagai sumber atau laporan perjalanan bangsa-bangsa asing baik berasal dari Timur Tengah, Cina hingga Eropa. Kawasan Barus terus eksis sebagai salah satu bandar pelabuhan di Pantai Barat Sumatera sejak abad ke-9 M hingga awal abad ke-20 M. Namun sayangnya, pelabuhan Barus terus meredup sejak awal kemerdekaan hingga saat ini, meski terdapat beberapa wacana oleh Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah untuk menghidupkan pelabuhan itu kembali. Kawasan Barus saat ini tidak ubahnya hanya sebagai kawasan pesisir biasa yang serupa dengan kawasan pesisir lainnya. Kejayaan pelabuhan Barus selama berabad-abad lamanya telah memudar, menyisakan kawasan pesisir yang sepi dan terpencil dan seolah tidak memiliki jejak sejarah apapun. Daripada sebagai kota pelabuhan, saat ini Kawasan Barus lebih dikenal sebagai lokasi masuknya Islam di Pulau Sumatera. Oleh sebab itu, hanya tinggalan arkeologis berupa sebaran kompleks makam yang hingga saat ini dikenal dan diapresiasi baik oleh masyarkat lokal maupun masyaraka luar daerah. Tidak banyak orang yang mengetahui bahwa Kawasan Barus masih menyimpan tinggalan arkeologis dari kejayaan kota pelabuhannya pada masa lalu di lanskap 228
229 budayanya. Dari berbagai penelitian arkeologi yang telah dilakukan di Kawasan Barus memperlihatkan bahwa kawasan ini merupakan satuan ruang geografis atau kawasan cagar budaya yang sangat penting yang menyimpan banyak tinggalan arkeologis seperti struktur benteng tanah dan struktur benteng batu karang. Bagi masyarakat lokal, tinggalan yang ada telah menjadi bagian dari warisan budaya mereka yang terus dilestarikan melalui tradisi lisan dan berbagai kesenian lokal hingga saat ini. Masyarakat lokal Barus memiliki kebanggaan terhadap sejarah tempat tinggalnya sebagai lokasi pelabuhan kuno yang berusia ratusan tahun sekaligus tempat sejarah Islam yang dianggap memiliki nilai kesakralan yang tinggi. Meskipun mereka juga mengakui bahwa keberadaan mereka saat ini di Kawasan Barus tidak memiliki keterkaitan langsung dengan warisan budaya yang ada. Akan tetapi warisan budaya tersebut telah diakui secara kolektif oleh masyarakat lokal sebagai identitas kawasan tempat tinggal mereka. Namun kondisi warisan budaya yang ada jauh dari kata lestari, kecuali pada lima kompleks makam yang telah dikelola oleh BPCB Banda Aceh. Warisan budaya di Kawasan Barus terus mengalami penurunan nilai baik pada aspek kebendaanya maupun aspek lanskapnya. Masyarakat lokal yang menganggap tinggalan tersebut bagian dari warisan budaya mereka, namun juga tidak menunjukkan partisipasi yang besar dalam melakukan upaya pelestarian selama ini. Masyarakat lokal sebagai pemilik warisan tersebut selama ini juga belum pernah dilibatkan secara aktif pada berbagai aktivitas pengelolaan baik yang dilakukan oleh BPCB Banda Aceh maupun Pemkab. Tapanuli Tengah. Hingga saat ini Kawasan Barus belum memiliki model pengelolaan yang berorientasi
230 pada pelestarian warisan budaya sekaligus pelestarian daya dukung lanskap dengan melibatkan masyarakat lokal sebagai pemilik warisan budaya tersebut. Oleh sebab itu, itu diperlukan suatu kajian untuk menyusun rancangan model pengelolaan Kawasan Barus yang berbasis karakteristik lanskap dan komunitas masyarakat lokal, sebagaimana yang telah dilakukan dalam penelitian ini. Untuk mengidentifikasi karakteristik lanskap Kawasan Barus sebagai objek yang akan dilestarikan, penelitian ini menggunakan metode survey transek yang menghasilkan pembagian Kawasan Barus ke dalam empat kluster. Keempat kluster tersebut adalah Kluster Lobu Tua, Kluster Aek Dakka, Kluster Mahligai dan Papan Tinggi serta Kluster Kedai Gedang yang saling memiliki perbedaan pada lanskap alami, sosial dan budayanya. Pada Kluster Lobu Tua, karakteristik lanskap yang ada terdiri dari lanskap alami yakni berupa kawasan pantai dan perbukitan, lanskap sosial yang diisi oleh masyarakat etnis Batak Toba yang mayoritas beragama Kristen, dan lanskap budaya berupa struktur benteng tanah, mata air Putri Andam Dewi, Aek Busuk, dan Pesanggrahan Raja Uti serta dilengkapi oleh berbagai warisan budaya intangible lainnya. Selanjutnya pada Kluster Aek Dakka, karakteristik lanskap yang ada terdiri dari lanskap alami yakni berupa dataran rendah atau lembah, lanskap sosial yang diisi oleh masyarakat etnis Batak Toba dan Batak Mandailing yang mayoritas beragama Islam, dan lanskap budaya berupa sebaran 12 kompleks makam kuno dan sebaran pulo-pulo. Pada lanskap budaya di Kluster Aek Dakka juga diisi oleh berbagai warisan budaya intangible baik yang berkaitan dengan warisan budaya tangible maupun tidak.
231 Untuk Kluster Mahligai dan Papan Tinggi, karakteristik lanskap yang ada terdiri dari lanskap alami berupa perbukitan, lanskap sosial yang diisi oleh etnis Batak Toba yang mayoritas beraga Kristen, dan lanskap budaya berupa sebaran 10 kompleks makam, struktur benteng karang dan Aek Pintu Raya. Selain itu lanskap budaya di kluster ini juga diisi oleh warisan budaya intangible. Kemudian pada Kluster Kedai Gedang, karakteristik lanskap yang ada terdiri dari lanskap alami berupa kawasan pantai, lanskap sosial yang diisi oleh berbagai etnis seperti Minangkabau, Aceh, Melayu, Batak Mandailing, dan Batak Toba yang mayoritas beragama Islam, dan lanskap budaya berupa sebaran 3 kompleks makam kuno. Selain itu lanskap budaya di Kluster Kedai Gedang juga diisi oleh warisan budaya intangible. Dari penentuan dan pembobotan nilai penting yang telah dilakukan di seluruh kluster dihasilkan suatu pemeringkatan pada skala kawasan yakni kluster yang memiliki nilai penting yang tinggi peringkat pertama adalah Kluster Mahligai dan Papan Tinggi, kemudian diikuti oleh Kluster Aek Dakka, Kluster Lobu Tua, dan Kluster Kedai Gedang. Dari penelitian yang telah dilakukan juga ditemukan berbagai permasalahan atau isu-isu strategis yang ada di dalam masyarakat lokal di Kawasan Barus terkait keberadaan warisan budaya. Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain berupa isu keberadaan dan perlakuan terhadap warisan budaya, isu identitas kawasan dan sejarah masyarakat lokal, isu penggunaan lahan dan kepentingan ekonomi, serta isu pengelolaan warisan budaya.
232 Dalam penelitian ini juga dilakukan evaluasi terhadap pengelolaan yang telah atau sedang berlangsung hingga saat ini. Pada pengelolaan baik yang dilakukan oleh Pemkab. Tapanuli Tengah maupun BPCB Banda Aceh memiliki beberapa kelemahan antara lain tidak adanya koordinasi antar kedua instansi, kurangnya sosialisasi, serta tidak adanya pelibatan peran serta masyarakat lokal mulai dari tahap perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan hingga evaluasi. Dari hasil analisis berdasarkan data nilai penting, berbagai permasalahan atau isu yang ada, serta hasil dari evaluasi yang telah dilakukan maka menghasilkan model pengelolaan yang berbeda antar setiap kluster. Perbedaan pengelolaan tersebut juga disebabkan saling berbedanya potensi sumber-sumber daya dukung baik yang ada pada lanskap sosial maupun lanskap budaya Kawasan Barus. Penilaian Lanskap sosial pada keempat kluster memperlihatkan perbedaan dari aspek sumberdaya manusia, partisipasi masyarakat lokal dan aksesibilitas yang ada. Kluster Mahligai dan Papan Tinggi serta Kluster Aek Dakka merupakan kluster yang memiliki potensi lanskap sosial yang paling tinggi sebab memiliki potensi sumberdaya manusia yang besar. Akan tetapi Kluster Lobu Tua dan Kluster Kedai Gedang tidak memiliki potensi lanskap sosial yang tinggi sebab sumberdaya manusia yang ada masih sangat terbatas. Keterbatasan itu disebabkan oleh tidak adanya tokoh masyarakat, ataupun masyarakat lokal pada umumnya, atau organisasi kemasyarakatan yang memiliki perhatian dan menunjukkan partisipasi yang besar terhadap keberadaan warisan budaya. Selanjutnya pada empat kluster tersebut juga memiliki potensi warisan budaya yang saling berbeda. Kluster Lobu Tua, Kluster Mahligai dan Papan
233 Tinggi, dan Kluster Aek Dakka memiliki potensi lanskap budaya yang besar sebab warisan budaya yang ada baik bersifat bendawi (tangible) maupun tak bendawi (intangible) memiliki nilai penting yang tinggi. Berbeda halnya dengan Kluster Kedai Gedang yang tidak memiliki potensi lanskap budaya yang besar karena keterbatas warisan budaya yang ada serta nilai pentingnya yang tidak begitu tinggi atau sedang. Oleh sebab itu maka diusulkan model pengelolaan Kawasan Barus berbasis karakteristik lanskap dan komunitas masyarakat lokal yakni berupa : 1. Pengelolaan harus dilakukan pada skala kawasan dan tidak terbatas hanya pada beberapa warisan budaya bersifat bendawi (tangible) seperti kompleks makam atau struktur benteng, namun juga pada warisan budaya yang sifatnya (intangible); 2. Pengelolaan harus memperhatikan seluruh aspek pada lanskap budaya dengan tujuan untuk melestarikan daya dukung yang ada pada lanskap budaya tersebut; 3. Pengelolaan juga harus melibatkan masyarakat pada seluruh tahapan pengelolaan, mulai dari tahap identifikasi, dokumentasi, penentuan nilai penting, menyusun perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan hingga evaluasi. Oleh sebab itu masyarakat lokal berperan sebagai subjek pengelola kawasan Barus; 4. Dalam upaya pengelolaan berbasis masyarakat lokal tersebut diusulkan untuk dibentuk suatu badan pengelolaan dengan nama Badan Pengelola Warisan Sejarah dan Budaya Barus (Bapwasbub) yang diisi sepenuhnya oleh
234 masyarakat lokal dengan mendapatkan pendampingan dari pemerintah, akademisi maupun organisasi kemasyarakatan atau LSM lainnya yang bergerak pada bidang yang sama; 5. Pendampingan dari pemerintah berupa pembangunan berbagai infrastruktur pendukung dari kegiatan pariwisata seperti pondok wisata, tempat berteduh pengunjung, area parkir, phamplet atau keterangan warisan budaya, pembangunan jalan atau gang menuju kompleks makam, benteng atau lokasi hutan kapur barus, pembangunan kios-kios, membebaskan lahan dan pelatihan-pelatihan berkaitan tentang pengelolaan pariwisata; 6. Pendampingan oleh BPCB Banda Aceh, akademisi maupun LSM dalam hal memberikan bekal mengenai pengelolaan yang tepat dan berorientasi pada pelestarian lanskap; 7. Kluster Lobu Tua dan Kluster Kedai Gedang sebaiknya dikelola dalam bentuk pelestarian sebab masih memiliki keterbatasan dalam aspek sumberdaya manusia, pendanaan, aksesibilita, dan kondisi warisan budaya dalam kondisi rusak. Kegiatan pelestarian yang dapat dilakukan berupa penyelamatan, pengamanan, pemeliharaan, pemugaran, dan konservasi pada seluruh warisan budaya yang ada seperti struktur benteng tanah, mata air Putri Andam Dewi, Aek Busuk, hutan kapur barus, serta beberapa kompleks makam yang telah rusak; 8. Kluster Aek Dakka dan Kluster Mahligai dan Papan Tinggi sebaiknya dikelola dalam bentuk pelestarian dan juga dapat dimanfaatkan sebagai objek wisata. Kegiatan pelestarian yang dapat dilakukan sama seperti dengan yang
235 ada di Kluster Lobu Tua dan Kedai Gedang, sedangkan kegiatan pemanfaatan berupakan menjadikan warisan budaya dan lanskap budaya di Kluster Aek Dakka dan Kluster Mahligai dan Papan Tinggi sebagai objek pariwisata. Dengan menjadikan warisan budaya dan lanskap budaya sebagai objek wisata, masyarakat lokal tidak hanya mendapat keuntungan ekonomi semata namun juga non ekonomi yakni semakin kuatnya eksistensi masyarakat lokal di kawasan tersebut serta menjadi peluang bagi masyarakat lokal baik beragama Islam maupun Kristen untuk menunjukkan identitasnya masingmasing. Dalam hal ini maksudnya masyarakat Islam bisa mendapatkan kebanggaan karena mereka tinggal pada suatu lokasi yang menyimpan warisan Islam yang sangat penting dan menjadi bagian dari warisan budayanya, sedangkan bagi masyarakat Kristen menjadi kesempatan bagi mereka untuk menunjukkan mereka adalah kelompok masyarakat yang toleran dan menghargai warisan budaya yang ada meski tidak sesuai dengan agamanya. Selain itu keuntungan non-ekonomi lainnya yakni masyarakat Batak yang ada di Kawasan Barus dapat menunjukkan bahwa mereka memiliki adat istiadat yang kuat dan selalu memiliki hubungan yang erat antar masyarakat baik mereka telah menjadi Islam, Kristen maupun masih mengatut kepercayaan tradisional Batak yaitu Parmalim.