1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masih tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) maupun masih rendahnya jumlah ibu yang melakukan persalinan di fasilitasi kesehatan disebabkan kendala biaya sehingga diperlukan kebijakan terobosan untuk meningkatkan persalinan yang ditolong tenaga kesehatan di fasilitasi kesehatan. Dalam upaya menjamin askes pelayanan persalinan yang dilakukan oleh dokter atau bidan dalam rangka menurunkan AKI dan Angka Kematian Bayi (AKB) maka pada tahun 2011 kementerian kesehatan meluncurkan upaya terobosan berupa Jaminan Persalinan (Jampersal) (Prasetyawati, 2012). Sasaran pembangunan kesehatan dalam MDG s ( Millenium Development Goals) yang terkait dengan kesehatan ibu dan anak adalah menurunkan AKI ¾ dibandingkan antara tahun 1900-2015, dan AKB 2/3 dibandingkan antara tahun 1900-2015. Penyebab langsung kematian ibu adalah kurang-lebih 90% disebabkan oleh seputar persalinan, dan kematian tersebut terjadi karena komplikasi, sedangkan sebab tidak langsungnya antara lain dilatar belakangi oleh sosial ekonomi, pendidikan, kedudukan dan peranan wanita, sosial budaya, dan transformasi yang dapat digambarkan dengan istilah Tiga Terlambat 1
2 dan Empat Terlalu. Kebijakan kementerian kesehatan dalam hal kesehatan Ibu dan Anak ini adalah mendekatkan pelayanan kesehatan Ibu dan Bayi Baru Lahir berkualitas kepada masyarakat (Prasetyawati, 2012). AKI mengacu kepada jumlah kematian ibu yang terkait dengan masa kehamilan, persalinan, dan nifas. Laporan Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) terakhir memperkirakan AKI adalah 228 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007. Bahkan WHO, UNICEF, UUNFPA, dan World Bank memperkirakan AKI yang lebih tinggi, yaitu 420 per 100.000 kelahiran hidup (Trisnantoro L, 2011). World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa jumlah perempuan yang meninggal akibat dari komplikasi selama kehamilan dan persalinan mengalami penurunan sebesar 34% dari 546.000 di tahun 1990 2008 menjadi 358.000. Para petugas Organisasi Kesehatan Dunia dan meteri kesehatan telah melakukan pembahasan khusus tentang AKI di kawasan Asia Tenggara yang masih tinggi. WHO menyebutkan bahwa kematian ibu di kawasan Asia Tenggara menyumbang hampir sepertiga jumlah kematian ibu dan anak secara global (WHO, 2010). Salah satu indikator yang digunakan untuk menggambarkan pencapaian pembangunan suatu Negara adalah Human Development Index (HDI)/ Indek Pembangunan Manusia (IPM) yang terdiri dari tiga domain yakni kesehatan, pendidikan, ekonomi. IPM negara Indonesia
3 berda di peringkat 108 dari 177 negara di dunia, lebih rendah dari negara-negara ASEAN lainnya seperti Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand. Dari tahun ketahun, AKI dan AKB sebagai salah satu bagian dari indikator Indek Pembangunan Manusia (IPM) menurun dan masih menjadi masalah. Dari lima juta kelahiran yang terjadi di Indonesia setiap tahunnya, diperkirakan 20.000 ibu meninggal akibat komplikasi kehamilan atau persalinan (Prasetyawati, 2012). AKI tahun 2010 sebesar 214 per 100.000 kelahiran hidup. AKI pada tahun 2010 sudah jauh menurun dibandingkan dengan AKI pada tahun 2007, yaitu 228 per 100.000 kelahiran hidup. Namun Angka Kematian Ibu yang dicapai masih jauh dari target Millenium Development Goals (MDG s). Target Millenium Development Goals (MDG s) AKI pada Tahun 2015 yaitu sebesar 102/100.000 kelahiran hidup (Prasetyawati, 2012). Faktor penyebab kematian ibu dibagi menjadi dua yaitu, faktor penyebab langsung dan faktor penyebab tidak langsung. Faktor penyebab langsung kematian ibu di Indonesia masih didominasi oleh perdarahan, eklampsia, dan infeksi. Sedangkan faktor tidak langsung penyebab kematian ibu karena masih banyaknya kasus 3 Terlambat dan 4 Terlalu. Penyebab langsung kematian ibu di Indonesia adalah pendarahan 28%, eklampsia 24%, infeksi 11%, partus lama 5%, aborsi 5%, dan lain-lain
4 27%, yang didalam terdapat juga penyulit pada masa kehamilan dan penyulit pada masa persalinan (Departemen Kesehatan RI, 2010). AKI di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2010 sampai tahun 2012 mengalami peningkatan. Pada tahun 2010 AKI di Provinsi Jawa Tengah adalah 104,97 per 100.000 kelahiran hidup, pada tahun 2011 AKI 116,01 per 100.000 kelahiran hidup, dan pada tahun 2012 AKI 116,34 per 100.000 kelahiran hidup (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2012). Penyebab AKI pada tahun 2012 di Provinsi Jawa Tengah adalah perdarahan 16,44%, hipertensi/pre-eklampsia 35,26%, infeksi 4,74%, abortus 0,30%, partus lama 0,30%, dan lain-lain 42,96%, Kejadian kematian ibu terbesar paling banyak terjadi pada masa nifas 11 kasus, kehamilan 10 kasus dan kemudian pada persalinan 6 kasus dimana kasus persalinan diantaranya adalah persalinan dengan gangguan atau penyulit dalam persalinan (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2012). AKI maternal di Kabupaten Semarang tahun 2011 meningkat bila dibandingkan dengan tahun 2010 yaitu dari 101,92 per 100.000 kh menjadi 146,29 per 100.000 kh pada tahun 2012. AKI Kabupaten Semarang tahun 2006-2011 sebanyaktahun 2006 terjadi 126,63 per 100 rb kh, 2007 sebanyak 157,35 per 100 rb kh, 2008 107,23 per 100 rb kh, 2009 ada 125,66 per 100 rb kh, 2010 sebanyak 101,92 per 100 rb kh, 2011 146,2 per 100 rb kh (Dinkes Kab. Semarang,2011).
5 Berdasarkan studi kasus yang peneliti peroleh telah didapatkan data tentang retensio sisa plasenta di Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa pada tahun 2011 sebanyak 6 kasus dan pada tahun 2012 mengalami peningkatan kejadian retensio sisa plasenta sebanyak 19 kasus dan pada tahun 2013 dari bulan Januari sampai bulan Maret sebanyak 1 kasus, dan untuk kasus retensio plasenta pada tahun 2011 sebanyak 4 kasus dan pada tahun 2012 juga mengalami peningkatan kejadian retensio plasenta yaitu sebanyak 6 kasus dan pada tahun 2013 terjadi sebanyak 3 kasus, berdasarkan survey yang telah peneliti lakukan kasus dari retensio sisa plasenta maupun plasenta previa kebanyakan terjadi pada anak kedua (Rekam Medik RSUD Ambarawa). Jika ditinjau dari penyebab kematian terbanyak nomor dua setelah perdarahan sehingga sangat tepat jika para tenaga kesehatan memberikan perhatian yang tinggi pada masa ini. Adanya permasalahan pada ibu akan berimbas juga kepada kesejahteraan bayi yang dilahirkannya karena bayi tersebut tidak akan mendapatkan perawatan maksimal dari ibunya (Sulistyawati, 2009). Asuhan masa nifas diperlukan dalam periode ini karena merupakan masa kritis baik ibu maupun bayinya. Diperkirakan 60% kematian ibu akibat kehamilan terjadi setelah persalinan dan 50% kematian masa nifas terjadi dalam 24 jam pertama. Masa nifas (puerperium) dimulai setelah plasenta lahir dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti
6 keadaan sebelum hamil. Masa nifas berlangsung selama kira-kira 6 minggu (Ambarwati,2010:2). Masa nifas (puerperium) dimulai setelah plaenta lahir dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil. Masa nifas berlangsung selama kira-kira 6 minggu. Batasan waktu nifas yang paling singkat (minimum) tidak ada batasan waktunya, bahkan bisa jadi dalam waktu yang relatif pendek darah sudah keluar, sedangkan batasan maksimumnya adalah 40 hari (Ambarwati, 2010). Sisa plasenta dalam nifas menyebabkan perdarahan dan infeksi. Perdarahan yang banyak dalam nifas hampir selalu disebabkan oleh sisa plasenta. Jika pada pemeriksaan plasenta ternyata jaringan plasenta tidak lengkap, maka harus dilakukan eksplorasi dari cavum uteri. Potonganpotongan plasenta yang ketinggalan tanpa diketahui biasanya menimbulkan perdarah postpartum lambat (saleha, 2009). Sisa plasenta dan ketuban yang masih tertinggal dalam rongga rahim dapat menimbulkan perdarahan postpartum dini atau perdarahan pospartum lambat (biasanya terjadi dalam 6-10 hari pasca persalinan). Pada perdarahan postpartum dini akibat sisa plasenta ditandai dengan perdarahan dari rongga rahim setelah plasenta lahir dan kontraksi rahim baik. Perdarahan akibat sisa plasenta jarang menimbulkan syok. Penilaian klinis sulit untuk memastikan adanya sisa plasenta, penolong atau bidan wajib melmeriksa kelengkapan plasenta (Depkes, 2007).
7 Tertinggalnya sebagian plasenta (sisa plasenta) merupakan penyebab umum terjadinya perdarahan lanjut dalam masa nifas (perdarahan pasca persalinan sekunder). Perdarahan post partum yang terjadi segera jarang disebabkan oleh retensi potongan-potongan kecil plasenta. Infeksi plasenta segera setelah persalinan bayi harus menjadi tindakan rutin (Yanti, 2010). Beberapa perdarahan postpartum dikarenakan karena atonia uteri, robekan jalan lahir, retensio plasenta, Tertinggalnya sisa plasenta, inversio uteri, untuk sisa plasenta pengkajian dilakukan pada saat in partu. Bidan menentukan adanya retensio sisa plasenta jika menemukan adanya kotiledon yang tidak lengkap dan masih adanya perdarahan pervagina, padahal plasenta sudah lahir (Sulistyawati, 2009). Komplikasi pada masa nifas biasanya jarang ditemukan selama pasien mendapatkan asuhan yang berkualitas, mulai dari masa kehamilan sampai dengan persalinannya. Jika pasien sering bertatap muka dengan bidan melalui pemeriksaan antenatal maka bidan mempunyai lebih banyak kesempatan untuk melakukan penapisan terhadap berbagai kemungkinan komplikasi yang mungkin muncul pada masa in partu dan nifas. Beberapa kemungkinan komplikasi masa nifas dapat bidan deteksi secara dini melalui observasi, wawancara, maupun pemeriksaan (Sulistyawati, 2009).
8 Berdasarkan latar belakang diatas, Maka dapat diambil rumusan masalah yaitu : Bagaimana penanganan kasus dengan nifas patologis retensio sisa plasenta di RSUD Ambarawa? B. Tujuan 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui penanganan ibu nifas patologi dengan retensio sisa plasenta di RSUD Ambarawa dengan manajemen 7 langkah varney. 2. Tujuan Khusus a. Mampu melakukan pengkajian data subyektif dan obyektif asuhan kebidanan pada kasus ibu nifas patologi dengan retensio sisa plasenta. b. Mampu menginterpretasikan data yang ada sehingga mampu menyusun diagnosa kebidanan, masalah dan kebutuhan pada ibu nifas patologi dengan retensio sisa plasenta. c. Mampu menerapkan diagnosa potensial pada ibu nifas patologi dengan retensio sisa plasenta. d. Mampu melaksanakan identifikasi dan menetapkan kebutuhan segera pada ibu nifas patologi dengan retensio sisa plasenta. e. Mampu merencanakan asuhan pada ibu nifas patologi dengan retensio sisa plasenta.
9 f. Mampu melaksanakan perencanaan asuhan pada ibu nifas patologi dengan retensio sisa plasenta. g. Mampu melaksanakan evaluasi pada asuhan ibu nifas patologi dengan retensio sisa plasenta. h. Mampu mendokumentasikan hasil pengkajian pada kasus ibu nifas patologi dengan retensio sisa plasenta. i. Mampu melihat adanya kesenjangan anatara teori dengan lahan praktik. 3. Ruang Lingkup a. Sasaran Ibu nifas dengan Retensio Sisa Plasenta diruang Bougenvil RSUD Ambarawa. b. Tempat Di Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa. c. Waktu Dimulai dari Bulan Maret sampai dengan bulan Mei tahun 2013. 4. Manfaat a. Bagi Tenaga Kesehatan Dapat meningkatkan pelayanan kebidanan khususnya dalam kasus retensio sisa plasenta.
10 b. Bagi Institusi kesehatan Dapat memberikan pengetahuan tentang retensio sisa plasenta pada pembelajaran selanjutnya. c. Bagi Mahasiswa Dapat melakukan asuhan kebidanan pada ibu bersalin patologi dengan retensio sisa plasenta. d. Bagi pasien Diharapkan pasien setelah pulang kerumah dapat melakukan asuhan perawatan diri sendiri pasca dilakukannya kuretase akibat dari retensio sisa plasenta. 5. Metode memperoleh data Dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah ini penulis menggunakan metode deskriptif dalam bentuk studi kasus dengan menggunakan pendekatan manajemen kebidanan yang meliputi pengkajian, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Adapun pengumpulan data yang dilakukan dengan cara : 1. Observasi Pada metode ini penulis melakukan pengamatan dan melaksanakan asuhan kebidanan kepada pasien selama di rawat dirumah sakit. Dan lebih bersifat obyektif dengan melihat respon pasien setelah dilakukan tindakan.
11 2. Wawancara Yaitu dengan cara tanya jawab dengan pasien, keluarga dan anggota tim kesehatan lain yang berhubungan dengan kasus yang penulis ambil agar memperoleh data selengkap mungkin. 3. Dokumentasi Dalam metode ini pengumpulan data dilakukan dengan mempelajari catatan baik medis maupun asuhan yang berhubungan dengan kasus yang diambil. 4. Studi Kepustakaan Dengan mempelajari buku-buku yang ada untuk membantu mengakkan diagnosa.