BAB II KAJIAN PUSTAKA Penelitian ini menggunakan teori sinyal (signaling theory) sebagai teori pemayung (grand theory) dan teori keagenan (agency theory) sebagai teori pendukung (supporting theory) serta definisi-definisi yang berhubungan dengan variabel-variabel yang dibahas. 2.1. Teori Sinyal (Signalling Theory) Menurut Morris (1987), teori sinyal menunjukkan bagaimana masalah asimetris informasi dalam pasar dapat dikurangi dengan memberikan sinyal informasi yang lebih banyak kepada pihak lain. Asimetris informasi dalam pasar modal terjadi karena pihak perusahaan (manajemen) memiliki informasi yang lebih banyak dibandingkan dengan pihak luar perusahaan (investor). Godfrey et al. (2006) juga berpendapat bahwa teori sinyal berbicara mengenai manajer yang menggunakan akun-akun dalam laporan keuangan untuk memberikan sinyal harapan dan tujuan masa depan perusahaan. Jadi, teori sinyal merupakan teori tentang bagaimana seharusnya sebuah perusahaan memberikan sinyal kepada para pengguna laporan keuangan berupa informasi mengenai apa saja yang telah dilakukan manajemen perusahaan untuk merealisasikan keinginan para pemilik perusahaan serta informasi-informasi lain yang menunjukkan bahwa perusahaan tersebut lebih baik dari perusahaan lain. 9
10 Astika (2011:66) menyatakan bahwa teori sinyal menjelaskan alasan mengapa manajer suatu perusahaan memiliki insentif secara sukarela untuk melaporkan informasi-informasi kepada pasar modal, walaupun tidak ada yang mengharuskan. Kemampuan perusahaan memperoleh modal akan meningkat jika perusahaan memiliki reputasi baik yang tercermin dari laporan keuangannya. Nilai perusahaan dapat ditingkatkan jika manajemen secara sukarela melaporkan (memberi sinyal) informasi privat tentang perusahaan yang dikelolanya secara kredibel, sehingga mengurangi ketidakpastian yang dihadapi pihak luar mengenai prospek masa depan investasinya. Studi yang dilakukan Spence (1973) dalam Marisanti (2012) menujukkan bukti bahwa biaya atas sinyal bad news lebih tinggi dariapada good news. Oleh karena itu, manajemen perusahaan lebih termotivasi untuk mengungkapkan modal intelektual sebagai informasi privat secara sukarela. Dengan melakukan pengungkapan yang lebih tentang modal intelektual yang dimiliki perusahaan, diharapkan dapat mengirimkan sinyal good news kepada pihak eksternal perusahaan bahwa perusahaan saat ini sedang berinventasi dalam bentuk modal intelektual yang diharapkan akan memberikan keuntungan ekonomi untuk perusahaan dimasa yang akan datang sehingga dapat meningkatkan nilai perusahaan (Marisanti, 2012). 2.2 Teori Agensi (Agency Theory) Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan hubungan keagenan sebagai sebuah kontrak yang terjadi antara satu orang atau lebih, dimana pemilik
11 (principal) menyewa orang lain (agent) untuk melakukan beberapa jasa atas nama pemilik yang meliputi pendelegasian wewenang pengambilan keputusan kepada agen. Dengan kata lain, principal memberikan suatu tanggung jawab kepada agent untuk melaksanakan tugas tertentu sesuai kontrak kerja yang telah disepakati. Pihak yang disebut sebagai principal adalah pemilik modal atau investor, sedangkan yang disebut sebagai agent adalah manajer perusahaan. Teori ini memiliki asumsi bahwa tiap-tiap individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara principal dan agent. Konflik kepentingan tersebut berupa asimetri informasi yang dapat memengaruhi kualitas laba yang dilaporkan karena pihak agent memiliki informasi lebih banyak dibandingkan principal. Hal tersebut cenderung membuat pihak agent akan menyusun laporan laba yang sesuai dengan tujuannya, yaitu memaksimalkan kompensasinya, bukan sesuai tujuan principal, yaitu memaksimumkan return on invesment (ROI) dan harga saham (Astika, 2011:65). Jadi bisa dikatakan bahwa pihak agent lebih mengutamakan kepentingan pribadinya, sedangkan pihak principal tidak menyukai hal tersebut dan lebih memilih untuk mendapatkan kompensasi dari perusahaan sebesarbesarnya melalui saham. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa masalah keagenen muncul jika proporsi kepemilikan saham kurang dari 100%. Hal inilah yang cenderung mendorong manajer untuk mengejar kepentingannya sendiri dan tidak berdasarkan maksimalisasi nilai dalam pengambilan keputusan pendanaan. Salah satu cara manajemen untuk memaksimumkan kepuasan dan kemakmurannya
12 adalah dengan melakukan perataan laba, yaitu dengan cara memilih metode akuntansi dengan tujuan untuk menarik perhatian invenstor yang cenderung terpusat pada informasi laba tanpa memperhatikan proses yang digunakan (Mursalim, 2006). Untuk mengatasi masalah ini, dapat dilakukan dengan beberapa cara, salah satunya adalah meningkatkan kepemilikan saham perusahaan oleh pihak pemilik (prinsipal) dengan harapan manajer akan merasakan langsung akibat dan manfaat dari keputusan yang diambilnya, sehingga manajemen tidak mungkin bertindak oportunistik lagi (Jensen dan Meckling, 1976). Jensen dan Meckling (1976), juga Watts and Zimmerman (1986) menyatakan bahwa penyusunan laporan keuangan diharapkan dapat meminimalkan konflik yang terjadi. Sebagai pertanggungjawaban kinerjanya, agent diwajibkan melaporkan laporan keuangan kepada principal agar principal dapat menilai, mengukur dan mengawasi sampai sejauh mana agent bekerja untuk meningkatkan kesejahteraannya, serta sebagai dasar pemberian kompensasi kepada agent. 2.3 Nilai Perusahaan Agnes (2013) menyatakan nilai perusahaan merupakan nilai pasar dari seluruh komponen keuangan perusahaan yang bersedia dibayar oleh calon pembeli yang tercermin dari harga sahamnya. Secara umum, nilai perusahaan merupakan pandangan investor terhadap perusahaan yang dikaitkan dengan harga saham. Semakin tinggi harga saham suatu perusahaan, maka semakin tinggi pula nilai perusahaan (Prayudi dan Daud, 2013). Nilai perusahaan juga dikatakan
13 sebagai suatu ukuran keberhasilan manajemen perusahaan dalam operasi masa lalu dan prospek dimasa depan untuk meyakinkan para pemegang saham (Yasinta, 2014). Menurut theory of the firm, tujuan utama perusahaan adalah untuk memaksimalkan kekayaan atau nilai perusahaan, yang berarti juga memaksimalkan kemakmuran pemegang saham (Salvatore, 2005). Hal serupa juga dijelaskan oleh Sudibya dan Restuti (2014), dimana tujuan jangka panjang perusahaan adalah memaksimalkan nilai perusahaan, sehingga jika suatu perusahaan dianggap memiliki suatu nilai, itu berarti perusahaan tersebut berharga atau memiliki prospek masa depan. Weston and Copeland (1992) menyatakan bahwa ukuran yang paling tepat untuk mengukur nilai perusahaan adalah rasio penilaian (valuation), yaitu market value ratio yang terdiri dari price earning ratio, price/cash flow ratio dan price to book value ratio. 2.4 Kepemilikan Manajerial Menurut Downes dan Goodman (1999) dalam Murwaningsari (2009), kepemilikan manajerial adalah para pemegang saham yang juga berarti dalam hal ini sebagai pemilik dalam perusahaan dari pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan pada suatu perusahaan yang bersangkutan. Jensen dan Meckling (1976) menunjukkan bahwa untuk meminimalkan konflik keagenan dapat dilakukan dengan meningkatkan kepemilikan manajerial di dalam perusahaan. Salah satu cara untuk meningkatkan kepemilikan manajerial adalah dengan pemberian kompensasi berbasis ekuitas kepada manajer
14 (Prempanichnukul dan Krittaya, 2012). Kepemilikan manajemen dalam sebuah perusahaan, akan menimbulkan suatu dugaan bahwa hal tersebut akan meningkatkan nilai perusahaan, sebagai akibat dari meningkatnya kepemilikan manajemen (Putra, 2013). Semakin besar kepemilikan saham yang dimiliki oleh manajemen, maka semakin kuat kecenderungan manajemen tersebut untuk mengoptimalkan penggunaan sumber daya yang ada dalam perusahaan, sehingga mengakibatkan kenaikan nilai perusahaan (Jensen dan Meckling, 1976). 2.5 Modal Intelektual Organization for Co-operation and Development (OECD) menjelaskan modal intelektual sebagai nilai ekonomi dari dua kategori aset tak berwujud, yaitu (Ulum, 2007): 1) Organizational (structural) Capital, yang mengacu pada hal-hal seperti sistem perangkat lunak, jaringan distribusi, dan rantai pasokan. 2) Human Capital, yang meliputi sumber daya manusia dalam organisasi (sumber daya tenaga kerja) dan sumber daya eksternal yang berkaitan dengan organisasi, seperti konsumen dan pemasok. Sementara menurut William (2001), modal intelektual adalah informasi dan pengetahuan yang diaplikasikan dalam pekerjaan untuk menciptakan nilai. Modal intelektual mencakup semua pengetahuan karyawan, organisasi dan kemampuan mereka untuk menciptakan nilai tambah dan menyebabkan keunggulan kompetitif berkelanjutan (Putra, 2012). Bontis et al (2000)
15 menyatakan bahwa secara umum modal intelektual terdiri dari tiga elemen utama, yaitu: 1) Human capital (HC), merupakan keahlian dan kompetensi yang dimiliki karyawan dalam meproduksi barang dan jasa, serta kemampuannya dalam berhubungan baik dengan pelanggan. Keahlian dan kompetensi yang dimaksud adalah pendidikan, pengalaman, dan keterampilan. Jika perusahaan berhasil mengelola pengetahuan karyawannya, maka akan meningkatkan human capital. 2) Structural capital (SC), merupakan infrastruktur yang dimiliki perusahaan dalam memenuhi kebutuhan pasar. Infrastruktur yang dimaksud adalah sistem teknologi, sistem operasional perusahaan, paten, merk dagang, dan kursus pelatihan. 3) Customer capital (CC), merupakan orang-orang yang berhubungan dengan perusahaan, yaitu orang-orang yang menerima pelayanan yang diberikan oleh perusahaan tersebut, seperti pemerintah, pasar, pemasok dan pelanggan. 2.6 Perataan Laba Belkaoui (2007:192) menyatakan bahwa definisi terbaik dari perataan laba disajikan oleh Beidleman, dimana perataan dari laba yang dilaporkan dapat didefinisikan sebagai pengurangan fluktuasi yang disengaja terhadap beberapa tingkatan laba yang saat ini dianggap normal oleh perusahaan, serta mencerminkan suatu usaha dari manajemen perusahaan untuk menurunkan variasi
16 yang abnormal dalam laba sejauh yang diizinkan oleh prinsip-prinsip akuntansi dan manajemen yang baik. Perataan laba juga dapat dilihat sebagai fenomena proses manipulasi profil waktu dari pendapatan atau laporan pendapatan untuk membuat laporan laba menjadi kurang bervariasi, sekaligus tidak meningkatkan pendapatan yang dilaporkan selama periode tersebut (Fudenberg and Tirole, 1995). Tindakan manajemen untuk melakukan perataan laba dikarenakan beberapa alasan, yaitu menaikkan nilai perusahaan, sehingga muncul anggapan bahwa perusahaan tersebut memiliki resiko yang rendah (Foster 1986), menaikkan harga saham perusahaan (Kirschenheiter dan Melumad, 2005), mendapatkan kompensasi (Wild et al, 2001 dalam Poll, 2004), dan mempertahankan posisi jabatannya (Fudenberg dan Tirole, 1995). Untuk meratakan laba, para manajer mengambil tindakan dengan menaikkan pendapatan yang dilaporkan saat pendapatan rendah, dan menurunkan pendapatan yang dilaporkan saat pendapatan relatif tinggi, dan hal inilah yang membedakan perataan laba dengan proses yang berhubungan dengan melebih-lebihkan laba (Fudenberg and Tirole, 1995). Meskipun perataan laba diizinkan oleh prinsip-prinsip akuntansi, namun praktik perataan dapat menyebabkan laba yang diungkapkan menjadi tidak memadai, bahkan menyesatkan, sehingga investor tidak memiliki informasi akurat mengenai laba dan gagal dalam menaksir resiko investasi mereka (Aji dan Mita, 2010). Menurut Eckel (1981), ada dua jenis perataan laba, yaitu naturally smoothing dan intentionally smoothing. Naturally smoothing memiliki indikasi bahwa sifat proses perolehan laba itu sendiri yang menghasilkan suatu aliran
17 penghasilan atau laba yang rata. Sedangkan intentionally smoothing merupakan perataan laba yang mengandung intervensi manajemen. Ada dua bentuk intentionally smoothing, yaitu (1) artificial smoothing, yaitu tindakan perataan laba yang terjadi apabila manajemen mengatur saat pencatatan akuntansi untuk menghasilkan aliran laba yang rata, dan (2) real smoothing, yaitu tindakan perataan laba yang terjadi apabila manajemen mengambil tindakan untuk menggunakan transaksi atau kejadian ekonomis dalam perusahaan sehingga menghasilkan aliran laba yang merata. Barton (2001) dan Huang et al (2009) menyatakan bahwa artificial smoothing menggunakan discretionary accrual sebagai sarana, sedangkan real smoothing menggunakan instrumen derivatif sebagai sarana. 2.7 Hasil Penelitian Sebelumnya Wardana (2013) meneliti pengaruh perataan laba pada nilai perusahaan dengan kualitas laba sebagai variabel intervening. Hasilnya menunjukkan bahwa perataan laba secara langsung berpengaruh negatif terhadap nilai perusahaan, namun berpengaruh positif terhadap kualitas laba. Sedangkan secara tidak langsung, kualitas laba memediasi pengaruh perataan laba terhadap nilai perusahaan. Sama halnya dengan hasil penelitian Oktavia (2011) yang meneliti tentang perataan laba dan kaitannya dengan nilai perusahaan, dimana ia mendapatkan hasil bahwa penggunaan derivatif untuk mengukur perataan laba tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan.
18 Penelitian mengenai pengaruh kepemilikan manajerial terhadap nilai perusahaan dilakukan oleh Sofyaningsih dan Hardiningsih (2011). Dengan menggunakan perusahaan manufaktur sebagai sampel, peneliti mendapatkan hasil bahwa kepemilikan manajerial terbukti memengaruhi nilai perusahaan, yang artinya tinggi rendahnya kepemilkan saham oleh jajaran manajemen berkaitan dengan tinggi rendahnya nilai perusahaan. Hasil ini hampir sama dengan penelitian Putra dan Wirawati (2013), dimana hasil yang diperoleh adalah kepemilikan manajerial mampu memengaruhi hubungan antara kinerja dengan nilai perusahaan. Modal intelektual juga merupakan salah satu variabel yang dapat memengaruhi nilai perusahaan. Hal ini terbukti dengan penelitian Sudibya dan Restuti (2014). Penelitian mereka memperoleh hasil bahwa modal intelektual terbukti berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan, berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung modal terhadap nilai perusahaan, serta lebih berpengaruh secara langsung terhadap nilai pasar perusahaan daripada dimediasi oleh kinerja keuangan. Serupa dengan hasil penelitian Setijawan (2011), dimana hasil penelitiannya menunjukkan bahwa aset tidak berwujud lainnya memiliki pengaruh terhadap nilai perusahaan. Penelitian Chen et al (2005) juga mendapatkan hasil bahwa modal intelektual perusahaan berpengaruh positif terhadap nilai pasar dan kinerja keuangan dan mungkin bisa menjadi indikator untuk kinerja keuangan dimasa mendatang.