BAB I PENDAHULUAN. mendelegasikan sebagian wewenang untuk pengelolaan keuangan kepada daerah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. sejahtera, pemerintah Indonesia berusaha untuk mewujudkan tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. reformasi tata kelola pemerintah. Khususnya mengenai aset tetap, hal ini sudah

BAB I PENDAHULUAN. krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Krisis ekonomi yang terjadi pada awal

BAB I PENDAHULUAN. berupa laporan keuangan. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. karena memiliki sumber daya ekonomi yang tidak kecil, bahkan bisa dikatakan

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan dan pertanggungjawaban, maka dalam era otonomi daerah sekarang ini

BAB I PENDAHULUAN. salah satunya prinsip transparansi dan akuntabilitas. Berdasarkan Undang-Undang

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. arah dan tujuan yang jelas. Hak dan wewenang yang diberikan kepada daerah,

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam pengelolaan keuangan dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Teori entitas yang dikemukakan oleh Paton menyatakan bahwa organisasi

BAB I PENDAHULUAN. menjadi isu yang sangat penting di pemerintahan Indonesia. Salah satu kunci

BAB I PENDAHULUAN. sebelumnya yang menerapkan sistem sentralisasi dimana segala kekuasan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. banyak mendapatkan perhatian khusus dibandingkan masa-masa sebelumnya

BAB I PENDAHULUAN. 2004) tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Mustikarini, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi di Indonesia setidaknya telah mengeluarkan dua undangundang

BAB I PENDAHULUAN. telah membawa perubahan bagi politik dan sistem pemerintahan maupun

BAB I PENDAHULUAN. akuntabilitas sesuai dengan prinsip-prinsip dasar good governance pada sektor

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pertimbangan yang

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Seiring dengan adanya perubahan masa dari orde baru ke era

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Terjadinya krisis pada tahun 1996 merupakan faktor perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan otonomi daerah yang dilandasi oleh Undang-Undang Nomor 32

BAB 1 PENDAHULUAN. yang dapat diraih melalui adanya otonomi daerah.indonesia memasuki era otonomi

BAB I PENDAHULUAN. Pergantian pemerintahan dari orde baru kepada orde reformasi yang

BAB I PENDAHULUAN. tata kelola yang baik diperlukan penguatan sistem dan kelembagaan dengan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang baik (good government governance), telah mendorong

BAB I PENDAHULUAN. daerah berdasarkan azas otonomi. Regulasi yang mendasari otonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. mencatat desentralisasi di Indonesia mengalami pasang naik dan surut seiring

BAB I PENDAHULUAN. Good Government Governance merupakan function of governing. Salah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara dengan wilayah yang luas yang terdiri

ANALISIS PENGARUH KARAKTERISTIK PEMERINTAH DAERAH TERHADAP TINGKAT PENGUNGKAPAN LAPORAN KEUANGAN SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang baik (good government governance), telah mendorong

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang baik (good government governance), telah mendorong

BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN

BAB 1 PENDAHULUAN. mandiriurusan pemerintahannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. berbagai hal, salah satunya pengelolaan keuangan daerah. Sesuai dengan Undang-

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia mulai menerapkan otonomi daerah setelah berlakunya Undang-

BAB I PENDAHULUAN. sebagai dasar pengambilan keputusan. Oleh karena itu pemerintah diharuskan

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi politik di tanah air. Walaupun masih dalam batas-batas tertentu, perubahan ini

BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI. Setelah penulis menggali dan mengganalisis data temuan BPK RI Perwakilan

BAB 1 PENDAHULUAN. disebut dengan Good Governance. Pemerintahan yang baik merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dewasa ini masyarakat Indonesia semakin menuntut pemerintahan untuk

dalam pelaksanaan kebijakan otonomi daerah. Sejak diberlakukannya otonomi desantralisasi mendorong perlunya perbaikan dalam pengelolaan dan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan tuntutan masyarakat terhadap terselenggaranya

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pengelolaan keuangan, pemerintah melakukan reformasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pemeriksaan Tanggung Jawab Keuangan Negara, BPK RI diamanatkan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang

BAB II LANDASAN TEORI. Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2010 tentang. maka Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan Daerah yaitu dengan menyampaikan laporan

BAB I PENDAHULUAN. dengan Good Government Governance (GGG). Mekanisme. penyelenggaraan pemerintah berasaskan otonomi daerah tertuang dalam

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah yang merupakan hak, wewenang dan kewajiban daerah

I. PENDAHULUAN. melakukan pengelolaan keuangan serta mempertanggungjawabkan pelaksanaan

I. PENDAHULUAN. Perubahan paradigma pengelolaan keuangan baik pemerintah pusat maupun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Pemerintah telah menerbitkan peraturan tentang tingkat pengungkapan

BAB 1 PENDAHULUAN. berlangsung secara terus menerus. Untuk bisa memenuhi ketentuan Pasal 3. Undang-Undang No.17 tahun 2003 tentang keuangan, negara

BAB I PENDAHULUAN. setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas,

BAB I PENDAHULUAN. reformasi yang semakin luas dan menguat dalam satu dekade terakhir. Tuntutan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ghia Giovani, 2015

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Ulum, 2004). (Stanbury, 2003 dalam Mardiasmo, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. Akuntanbilitas publik merupakan kewajiban pihak pemegang amanah (agent) untuk

BAB I PENDAHULUAN. Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dan seiring

BAB 1. Pendahuluan A. LATAR BELAKANG. Reformasi pada pemerintahan Indonesia mengakibatkan perubahan

BAB I PENDAHULUAN. melalui UU No. 22 Tahun Otonomi daerah memberikan Pemerintah Daerah

BAB I PENDAHULUAN. Penyajian laporan keuangan di daerah-daerah khususnya di SKPD (Satuan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa

BAB I PENDAHULUAN. pesat dengan adanya era reformasi dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pelaporan keuangan membantu memenuhi kewajiban pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. reformasi dapat dinilai kurang pesat, pada saat itu yang lebih mendapat perhatian

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar dengan diterapkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. untuk menerapkan akuntabilitas publik. Akuntabilitas publik dapat diartikan sebagai bentuk

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 pasal 32 ayat 1 dan 2 tentang keuangan

BAB I PENDAHULUAN. telah direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004 menyatakan bahwa setiap

BAB I PENDAHULUAN. Berlakunya Undang-Undang no 22 tahun 1999 dan Undang-Undang no 25

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang menitik beratkan pada pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah telah ditetapkan di Indonesia sebagaimana yang telah

BAB I PENDAHULUAN. ini menimbulkan peningkatan tanggung jawab penyelenggara pemerintah di

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah mengeluarkan Undang Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. No.12 Tahun Menurut Undang-Undang Nomer 23 Tahun 2014 yang

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. yang dapat dijadikan milik Negara (UU no 17 pasal1 ayat1). Undang undang

BAB I PENDAHULUAN. daerah merupakan tujuan penting dalam reformasi akuntansi dan administrasi

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Otonomi Daerah di Indonesia, Pemerintah Daerah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mewujudkan tata kelola yang baik (good governance),

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Good Government Governance di Indonesia semakin meningkat.

BAB I PENDAHULUAN. Mardiasmo (2004) mengatakan, instansi pemerintah wajib melakukan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan yang cukup substansial dalam sistem, prosedur, dan mekanisme

BAB I PENDAHULUAN. Dengan semakin maju dan terbukanya sistem informasi dewasa ini, isu-isu

BAB I PENDAHULUAN. Sejak Indonesia mulai memasuki era reformasi, kondisi pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. telah membawa perubahan terhadap sistem politik, sosial, kemasyarakatan serta

BAB I PENDAHULUAN. yang mensyaratkan bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun. transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara.

AKUNTANSI, TRANSPARANSI DAN AKUNTABILITAS KEUANGAN PUBLIK (SEBUAH TANTANGAN) OLEH : ABDUL HAFIZ TANJUNG,

BAB I PENDAHULUAN. pengalokasian sumber daya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Otonomi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Salah satu upaya konkrit untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan. daerah sebagai penyelenggara pemerintah daerah.

BAB I PENDAHULUAN. yang sering disebut good governance. Pemerintahan yang baik ini. merupakan suatu bentuk keberhasilan dalam menjalankan tugas untuk

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah yang sedang bergulir ini merupakan bagian dari adanya

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perkembangan akuntansi sektor publik tidak bisa dilepaskan dari peran pemerintah, mengingat pemerintah merupakan entitas sektor publik yang paling besar dan dominan di negara ini. Indonesia mengalami krisis ekonomi pada awal tahun 1996 dan puncaknya pada tahun 1997 mendorong pemerintah pusat mendelegasikan sebagian wewenang untuk pengelolaan keuangan kepada daerah sehingga diharapkan daerah dapat membiayai pembangunan dan pelayanan atas dasar keuangan sendiri (Azhar, 2008). Indonesia memasuki era otonomi daerah dan desentralisasi fiskal setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 dan 25 tahun 1999 kemudian direvisi melalui Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah. Urusan pemerintah sebagian dialihkan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Urusan pemerintah yang pada saat sebelum reformasi sebagian besar ditangani oleh pemerintah pusat, maka setelah reformasi sebagian besar urusan pemerintah tersebut dilimpahkan ke daerah. Dengan demikian, pemerintah daerah diharapkan dapat mengelola sumber daya yang dimilikinya dan melaksanakan tata kelola pemerintahan yang baik sehingga akan berdampak pada pelayanan yang diberikan kepada masyarakat (Handra dan Maryati, 2009). Pengalihan kewenangan tersebut juga bertujuan agar kelak pemerintah daerah dapat membiayai pembangunan daerah dan pelayanan 1

2 publik dengan pengelolaan keuangannya sendiri. Minimalisir campur tangan pemerintah pusat dalam pengelolaan keuangan pemerintah daerah diharapkan dapat mengembangkan potensi daerah. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menyatakan bahwa efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintah daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintah daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluasluasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintah negara. Oleh karena itu pemerintah daerah harus mampu menyelenggarakan pemerintahannya agar tercipta tata kelola pemerintahan daerah yang baik. Sistem evaluasi, monitoring, dan pengukuran kinerja yang sistematis diperlukan guna mengukur kemajuan yang dicapai pemerintah daerah dalam kurun waktu tertentu. Pertanggungjawaban atas otonomi tersebut menjadi sangat diperhatikan sejalan dengan reformasi keuangan pada tahun 2003. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menegaskan bahwa seiring dengan kewenangan yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, maka pemerintah daerah dituntut untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas terhadap pengelolaan keuangannya agar tercipta pemerintahan yang bersih. Salah satu upaya konkrit yang dilakukan adalah dengan menyampaikan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja

3 Negara(APBN) atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) berupa laporan keuangan yang disusun berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintahan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010. Laporan keuangan yang dibuat pemerintah daerah meliputi, Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas, Catatan atas Laporan Keuangan, Laporan Operasional, Laporan Perubahan Ekuitas dan Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih. Dengan mengikuti Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), maka laporan keuangan dapat diakui konsistensinya dan dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah telah memenuhi kewajiban dalam hal akuntabilitas dan transparansi keuangan publik melalui laporan keuangan. Kriteria dan unsur-unsur pembentuk kualitas informasi yang menjadikan informasi dalam laporan keuangan pemerintah mempunyai nilai atau manfaat yang disebutkan dalam Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 terdiri dari: (a) relevan, (b) andal, (c) dapat dibandingkan dan (d) dapat dipahami. Dalam Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) Nomor 1 dalam paragraf 24 dinyatakan bahwa: Laporan Keuangan memberikan informasi tentang sumber daya ekonomi dan kewajiban entitas pelaporan pada tanggal pelaporan dan arus sumber daya ekonomi selama periode berjalan. Informasi ini diperlukan pengguna untuk melakukan penilaian terhadap kemampuan entitas pelaporan dalam menyelenggarakan kegiatan pemerintahan di masa mendatang. Penyediaan informasi dalam laporan keuangan dilakukan untuk kepentingan transparansi, yaitu dengan memberikan informasi keuangan yang terbuka dan jujur kepada masyarakat. Dalam Konsep Kebijakan Governance (2008:7), dinyatakan bahwa transparansi mengandung unsur pengungkapan

4 (disclosure) dan penyediaan informasi yang memadai dan mudah di akses oleh pemangku kepentingan. Pengungkapan dan penyediaan informasi menjadi unsur penting dalam laporan keuangan. Oleh karena itu, pemerintah daerah harus mengungkapkan berbagai informasi dalam laporan keuangan sebagai bentuk akuntabilitas dan transparansi keuangan publik. Laporan keuangan perlu diaudit terlebih dahulu serta harus dilampiri dengan pengungkapan (Wulandari, 2009) karena laporan keuangan merupakan salah satu bentuk mekanisme pertanggungjawaban dan sebagai dasar untuk pengambilan keputusan bagi pihak eksternal (Fitria, 2006). Pengungkapan dalam laporan keuangan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu pengungkapan wajib (mandatory disclosure) dan pengungkapan sukarela (voluntary disclosure) (Suhardjanto dan Yulianingtyas, 2011). Mandatory disclosure merupakan pengungkapan informasi yang wajib dikemukakan sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan oleh badan otoriter. Voluntarydisclosure merupakan pengungkapan yang disajikan diluar item-item yang wajib diungkapkan sebagai tambahan informasi bagi pengguna laporan keuangan. Aturan pengungkapan tertera jelas dalam Standar Akuntansi Pemerintahan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010. Pengungkapan tersebut merupakan pengungkapan wajib (mandatory disclosure), yaitu informasi-informasi yang harus dan wajib disajikan dalam laporan keuangan pemerintah daerah. Kesesuaian format penyusunan dan penyampaian laporan keuangan yang sesuai dengan standar akuntansi, akan mencerminkan kualitas, manfaat, dan kemampuan laporan keuangan itu sendiri (Suhardjanto, Rusmin, Mandasari, dan Brown, 2010).

5 Dengan mengikuti standar yang telah ditetapkan, maka pemerintah daerah telah mentaati Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Lebih lanjut, laporan keuangan tersebut telah memenuhi kriteria transparansi bagi pengguna laporan keuangan. Tingkat pengungkapan wajib Laporan Keuangan Pemerintah Daerah(LKPD) terhadap Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) di Indonesia masih rendah, rata-rata sebesar 35,45% (Liestiani 2008), 22% (Lesmana 2010), dan 51,56% (Suhardjanto et al. 2010). Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah belum sepenuhnya mengungkapkan item pengungkapan wajib dalam laporan keuangannya. Dari hasil Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Tahun Anggaran 2010 yang memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) hanya 32 pemerintah daerah atau 9% dari 358 Laporan Keuangan Pemerintah Daerah yang diperiksa pada semester 1 Tahun 2011 (www.bpk.go.id) itu berarti 91% lainnya dari Laporan Keuangan Pemerintah Daerah yang dibuat oleh pemerintah daerah masih kurang baik. Rendahnya perolehan opini wajar tanpa pengecualian tersebut terjadi pula di Provinsi Jawa Barat. Selama periode 2006-2010, Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota Provinsi Jawa Barat hanya satu kali memperoleh opini wajar tanpa pengecualian. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Kepala Badan Pemeriksa Keuangan(BPK) Perwakilan Jawa Barat, Slamet Kurniawan, (www.bandung.bpk.go.id) yang menyatakan bahwa : Dari hasil pemeriksaan tiga tahun terakhir, BPK masih menemukan temuan yang berulang yang menjadi pengecualian dalam pemberian opini, yaitu 1) penatausahaan dan pelaporan asset tetap belum memadai; 2) Penyajian persediaan tidak didukung dengan rincian daftar persediaan dan tidak dilengkapi dengan Berita Acara Stock Opname pada tanggal neraca pada seluruh SKPD; 3) Penyajian dan/atau pengungkapan penyertaan modal

6 pemerintah kepada perusahaan daerah di atas 20% tidak disajikan dengan metode ekuitas sebagaimana dinyatakan dalam Standar Akuntansi. Berdasarkan pendapat diatas, penyajian dan pengungkapan masih menjadi permasalahan. Serta dari hasil penelitian terdahulu menunjukkan belum adanya konsistensi hasil penelitian, maka kondisi tersebut membuat peneliti tertarik untuk menganalisis lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang memengaruhi pengungkapan wajib Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) terhadap Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Penelitian ini menggunakan mandatory disclosure karena membandingkan antarapengungkapan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah dengan yang seharusnya diungkapkan berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintahan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010. Penelitian terkait dengan laporan keuangan pemerintah dan tingkat pengungkapannya sudah banyak dilakukan di luar negeri. Steccolini (2002) melakukan penelitian di Italia dengan tujuan mengetahui bagaimana peranan dari laporan keuangan pemerintah lokal sebagai media akuntabilitas publik. Ingram (1984), Robbins dan Austin (1986), Ryan et al. (2002) meneliti tentang tingkat pengungkapan dari laporan keuangan pemerintah. Di Indonesia, Patrick (2007) menemukan bahwa ukuran,kesempatan berinovasi, diferensiasi fungsional,spesialisasi pekerjaan, ketersediaan slack resources, dan pembiayaan utang merupakankarakteristik yang memiliki asosiasi positifterhadap penerapan inovasi administrasigasb 34, sedangkan intergovernmental revenue memiliki asosiasi negatif.liestiani (2008) menemukan bahwakekayaan, kompleksitas pemerintahan,dan jumlah temuan audit memengaruhi tingkat pengungkapan Laporan Keuangan Pemerintah

7 Daerah,Lesmana (2010) menemukan bahwa umurpemda dan rasio kemandirian keuangandaerah berpengaruh positif terhadap tingkatpengungkapan wajib Laporan Keuangan Pemerintah Daerah, sedangkan Setyaningrum dan Syafitri (2012) menemukan bahwa ukuran legislatif, umur administratif, dan kekayaan berpengaruh positif terhadap tingkat pengungkapan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. Hasil penelitian tersebut berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Suhardjanto et al. (2010). Dalam penelitiannya, Suhardjanto et al. (2010) menggunakan dua komponen organisasi Patrick (2007) sebagai karakteristik pemerintah daerah, sedangkan kepatuhan pengungkapan wajib dengan yang sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan merupakan sebuah inovasi administratif di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya latar belakang pendidikan kepala pemerintahan dan intergovernmental revenue (jumlah dana perimbangan daerah) yang berpengaruh positif terhadap kesesuaian pengungkapan wajib pemerintah daerah. Penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Setyaningrum dan Syafitri (2012) dengan dua perbedaan. Perbedaan pertama, adalah meneliti tingkat pengungkapan wajib Laporan Keuangan Pemerintahan Daerah berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010, perbedaan kedua adalah pemilihan lokasi penelitian yaitu pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat. Kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat merupakan daerah yang cukup besar dan berkembang. Jumlah penduduk di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2012 sebesar 44.548.43 jiwa dari keseluruhan penduduk Indonesia. Maka dengan banyaknya

8 jumlah penduduk, serta dengan perkembangan cara berfikir masyarakat, tuntutan akan keterbukaan informasi akan semakin bertambah, sehingga pemda wajib memberikan transparansi informasi kepada masyarakat. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan kepada Pemerintah Daerah(Pemda) agar memperbaiki tingkat kepatuhan pengungkapan wajib dalam laporan keuangan pemerintah daerah sehingga dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangannya demi terwujudnya pemerintahan yang bersih. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: Pengaruh Karakteristik Pemerintah Daerah Terhadap Kepatuhan Pengungkapan Wajib Dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat Tahun 2011-2013. 1.2 Identifikasi Masalah Terfokus pada fenomena yang telah dikemukakan pada latar belakang penelitian, maka pokok permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana karakteristik Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat. 2. Bagaimana pengungkapan wajib Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat.

9 3. Apakah karakteristik Pemerintah Daerah memiliki pengaruh terhadap pengungkapan wajib Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat. 1.3 Tujuan Penelitian Sesuai dengan latar belakang penelitiantujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui karakteristik Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat. 2. Untuk mengetahui pengungkapan wajib Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat. 3. Untuk mengetahui karakteristik Pemerintah Daerah memiliki pengaruh terhadap pengungkapan wajib Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat. 1.4 Kegunaan Penelitian 1. Bagi Penulis, sebagai pembelajaran awal dalam melakukan penelitian, juga menambah pengetahuan dan pemahaman tentang pengungkapan wajib dalam laporan keuangan pemerintah daerah berdasarkan SAP. Dalam hal ini sesuai dengan mata kuliah Akuntansi Sektor Publik yang ditempuh serta hubungan antara karakteristik pemerintah daerah terhadap kepatuhan pengungkapan wajib dalam laporan kauangan pemerintah daerah dan sebagai salah satu syarat dalam menempuh

10 ujian Sarjana Ekonomi pada program studi Akuntansi pada Fakultas Ekonomi Universitas Widyatama. 2. Pemerintah pusat, penelitian ini memberikan gambaran mengenai kondisi yang dapat mempengaruhi pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia terutama dalam hal pengungkan wajib dalam laporan keuangan dengan mengikuti Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), maka laporan keuangan dapat diakui konsistensinya dan dapat dikatakan bahwa pemerintah telah memenuhi kewajiban dalam hal akuntabilitas dan transparansi keuangan publik melalui laporan keuangan. 3. Pemerintah daerah, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan bahan pertimbangan mengenai penyelenggaraan pemerintah daerah agar dapat mewujudkan transparansi dan akuntabilitas terhadap pengelolaan keuangannya. 4. Masyarakat, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan pengungkapan wajib dalam laporan keuangan pemerintah daerah serta sebagai penyediaan informasi dalam laporan keuangan yang dilakukan untuk kepentingan transparansi, yaitu dengan memberikan informasi keuangan yang terbuka dan jujur kepada masyarakat. 5. Akademis, penelitian ini bisa menjadi literatur dan bahan untuk pengembangan penelitian berikutnya tentang kepatuhan pengungkapan wajib dalam laporan keuangan pemerintah daerah.

11 1.5 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan data sekunder. Untuk memperoleh data dan menjawab masalah yang sedang diteliti,penulis mengadakan penelitian dengan mengambil data dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Perwakilan Provinsi Jawa Barat yang terletak Jl. Mochammad Toha No. 164, Bandung 40252.Adapun waktu penelitian dilakukan dari bulan Maret 2015 sampai bulan September 2015.