EMPIEMA. Universitas Sumatera Utara

dokumen-dokumen yang mirip
EMPIEMA. Rita Rogayah Dept. Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI - RS Persahabatan

BAB I PENDAHULUAN. Efusi pleura merupakan manifestasi penyakit pada pleura yang paling sering

BAB 1 PENDAHULUAN. kejadiannya secara internasional diperkirakan lebih dari 3000 orang dalam 1 juta

BAB I PENDAHULUAN. kelompok penyakit yang berhubungan dengan infeksi. Penyakit ini banyak ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan

PENDAHULUAN ETIOLOGI EPIDEMIOLOGI

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan fibrin. Pneumonia masih

BAB I PENDAHULUAN. Meningitis adalah kumpulan gejala demam, sakit kepala dan meningismus akibat

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

JOURNAL READING Imaging of pneumonia: trends and algorithms. Levi Aulia Rachman

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. jamur, dan parasit (Kemenkes RI, 2012; PDPI, 2014). Sedangkan infeksi yang

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kegagalan Penanganan Empiema Tuberkulosis dengan Penyaliran Selang Dada di RS Persahabatan

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih

BAB I PENDAHULUAN. dunia dan menyebabkan angka kematian yang tinggi. Penyakit ini

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia. adalah infeksi. Sekitar lima puluh tiga juta kematian

PENDAHULUAN. kejadian VAP di Indonesia, namun berdasarkan kepustakaan luar negeri

BAB 1 PENDAHULUAN. Infeksi bakteri yang berkembang menjadi sepsis, merupakan suatu respons

BAB 1 PENDAHULUAN. negara berkembang disebabkan oleh bakteri terutama Streptococcus pneumoniae,

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. permeabilitas mikrovaskular yang terjadi pada jaringan yang jauh dari sumber infeksi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pneumonia, mendapatkan terapi antibiotik, dan dirawat inap). Data yang. memenuhi kriteria inklusi adalah 32 rekam medik.

BAB 1 PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) masih menjadi penyebab kesakitan dan kematian yang

BAB I PENDAHULUAN. terisi dengan cairan radang, dengan atau tanpa disertai infiltrasi dari sel

BAB I PENDAHULUAN. sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise,

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian...

I. PENDAHULUAN. Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang didapat selama pasien dirawat di

BAB 1 PENDAHULUAN. lapisan, yaitu pleura viseral dan pleura parietal. Kedua lapisan ini dipisahkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. diikuti oleh kompensasi anti-inflamasi atau fenotip imunosupresif yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Materi Penyuluhan Konsep Tuberkulosis Paru

BAB 1. Infeksi terkait dengan perawatan kesehatan melalui pemasangan alat-alat medis

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. akhir tahun 2011 sebanyak lima kasus diantara balita. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Universitas Sumatera Utara

1. Etiologi 2. Tatalaksana Tatalaksana Nonmedikamentosa Tatalaksana Diet

BAB I PENDAHULUAN. Angka morbiditas dan mortalitas pneumonia di seluruh dunia sangat

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Influenza adalah suatu penyakit infeksi saluran pernafasan. akut yang disebabkan oleh virus influenza. Penyakit ini dapat

BAB 6 PEMBAHASAN. pneumonia yang terjadi pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik setelah 48

BAB I PENDAHULUAN. dengan dokter, hal ini menyebabkan kesulitan mendiagnosis apendisitis anak sehingga 30

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di

BAB III EFUSI PLEURA 1. DEFINISI 3,4 (1) Dalam keadaan normal, jumlah cairan dalam rongga pleura sekitar ml. a. Hidrotoraks b.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pleura visceral yang membungkus paru-paru dan pleura parietal yang

BAB I PENDAHULUAN. virus DEN 1, 2, 3, dan 4 dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedesal

BAB I PENDAHULUAN. Sindrom klinik ini terjadi karena adanya respon tubuh terhadap infeksi, dimana

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran napas bawah masih tetap menjadi masalah utama dalam

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah. kesehatan yang terus berkembang di dunia. Peningkatan

TUBERKULOSIS PADA PASIEN DENGAN HIV AIDS. dr. Bambang Satoto,Sp.Rad(K),M.Kes Departemen Radiology F.K Undip /RSUP Dr Kariadi Semarang

BAB I PENDAHULUAN. jantung, seorang pasien harus memiliki tampilan berupa gejala gagal. gangguan fungsi struktur atau fungsi jantung saat istirahat.

I. PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia.

BAB I KONSEP DASAR. dalam kavum Pleura (Arif Mansjoer, 1999 : 484). Efusi Pleura adalah

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) adalah penyakit paru kronik

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Apendisitis akut merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering memerlukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. bawah 5 tahun dibanding penyakit lainnya di setiap negara di dunia. Pada tahun

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang merupakan salah satu masalah kesehatan. anak yang penting di dunia karena tingginya angka

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Efusi pleura adalah keadaan dimana terjadi akumulasi cairan yang abnormal. dalam rongga pleura. (Tierney, 2002)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta

INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

BAB I PENDAHULUAN. dengan imunitas pejamu, respon inflamasi, dan respon koagulasi (Hack CE,

I. PENDAHULUAN. Enterobacteriaceae merupakan kelompok bakteri Gram negatif berbentuk

I. PENDAHULUAN. Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah bakteri. Staphylococcus aureus yang mengalami kekebalan terhadap antibiotik

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENGARUH KOINSIDENSI DIABETES MELITUS TERHADAP LAMA PENGOBATAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA TAHUN

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I. PENDAHULUAN. Staphylococcus aureus, merupakan masalah yang serius, apalagi didukung kemampuan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. adalah penyakit infeksi pada saluran pernapasan yang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. baru atau berulang. Kira-kira merupakan serangan pertama dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pneumonia merupakan salah satu infeksi berat penyebab 2 juta kematian

STREPTOCOCCUS PNEUMONIAE

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya

BAB I PENDAHULUAN. ini terdapat diseluruh dunia, bahkan menjadi problema utama di negara-negara

BAB 1 PENDAHULUAN. mikroba yang terbukti atau dicurigai (Putri, 2014). Sepsis neonatorum adalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Infeksi virus dengue maupun demam berdarah dengue (DBD) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. menggambarkan kolonisasi kuman penyebab infeksi dalam urin dan. ureter, kandung kemih dan uretra merupakan organ-organ yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.

Ekspertise Efusi Pleura

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian yang berjudul Evaluasi Ketepatan Penggunaan Antibiotik

BAB I PENDAHULUAN. karena adanya penurunan absorbsi cairan. Efusi dapat ditimbulkan oleh berbagai

Definisi. Mesothelioma adalah keganasan yang berasal dari sel mesotel yang terletak di rongga pleura.

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Kolonisasi bakteri merupakan keadaan ditemukannya. koloni atau sekumpulan bakteri pada diri seseorang.

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia. 1. merupakan pneumonia yang didapat di masyarakat. 1 Mortalitas pada penderita

Transkripsi:

EMPIEMA Alwinsyah Abidin, E.N.Keliat, Ayu Nurul Zakiah Divisi Pulmonologi Alergi-Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran PENDAHULUAN Definisi Empiema adalah nanah (pus) yang terdapat dalam rongga pleura, meskipun studi dan uji klinis paling sering menggunakan istilah infeksi pleura untuk mencakup empiema dan efusi parapneumonik (PPE) terkomplikasi. 1 Empiema didefinisikan oleh penampilannya; cairan sangat buram (opaq), kuning keputihan, cairan kental yang merupakan hasil dari serum koagulasi protein, debris seluler dan pengendapan fibrin. Empiema berkembang terutama akibat tertundanya pengobatan pada pasien dengan pneumonia dan infeksi pleura progresif dan, jarang, dari manajemen klinis yang tidak sesuai. 2 Weese mendefinisikan sebagai cairan dengan gravitasi spesifik lebih dari 1018, jumlah leukosit lebih dari 500/sel mm, atau kadar protein lebih dari 2,5 g%. Vianna mendefinisikan empiema sebagai cairan pleura dengan kultur bakteri yang positif atau jumlah leukosit lebih dari 15.000/sel mm dan kadar protein lebih dari 3 g%. karena banyak efusi pleura masuk dalam kriteria ini, definisi paling tepat adalah cairan pleura yang tebal dan purulen. 3 Empiema biasanya merupakan komplikasi dari pneumonia tetapi dapat muncul infeksi dari tempat lain. Di India, tuberkulosis empiema adalah penyebab paling banyak. Gejala klinis dan etiologi mikroba dapat berbeda tergantung dari trauma lokal, pembedahan atau kondisi yang mendasari seperti malignansi, penyakit vaskular kolagen, kelainan imunodefisiensi, dan infeksi yang melibatkan orofaring, esofagus, mediastinum atau jaringan subdiafragma. 3 Infeksi pleura merupakan satu dari penyakit tertua dan penyakit yang berat. 1 Infeksi pleura merupakan masalah klinis umum yang berhubungan dengan mortalitas dan morbiditas yang tinggi. 4,5 Drainase rongga pleura dilakukan oleh Hippokrates lebih dari 2000 tahun yang lalu untuk mengobati empiema. Selama pandemik influenza tahun 1917 1919, drainase pleura tertutup menjadi terapi yang paling banyak digunakan untuk mengobati empiema parapneumonik. Pengenalan yang cepat dari perkembangan empiema merupakan waktu yang

krusial untuk menentukan keberhasilan pengobatan; meskipun dengan terapi yang sesuai, mortalitas pasien dengan empiema sebesar 15-20% dan lebih tinggi pada pasien imunokompromais. 1 EPIDEMIOLOGI Empiema dapat mengenai semua kelompok usia, jenis kelamin dan etnis dan lebih dari 65.000 pasien menderita infeksi pleura setiap tahun di Inggris dan Amerika Serikat, dengan perkiraan biaya rumah sakit sekitar 500 juta USD. 1 Kejadian secara keseluruhan infeksi pleura meningkat. juga diakui bahwa infeksi pleura paling sering terjadi pada anak-anak dan populasi tua dan studi kohort skala besar baru-baru ini setuju dengan temuan ini. Farjah et al studi pada 4424 pasien dengan infeksi pleura dan mengamati peningkatan insidensi sebesar 2,8% per tahun (95% CI 2.2 3,4%). Demikian pula, dalam sebuah studi populasi 11294, antara tahun 1995 2003 Finley et al menemukan peningkatan infeksi pleura incidence rate ratio (IRR) 2.2 (95% CI 1,56 untuk 3,10) pada pasien yang berusia < 19 tahun dan 1,23 (1.14-1.34) pada orang yang berusia > 19 tahun. 5 Di Skotlandia, insiden dari empiema meningkat 10 kali pada anak-anak usia 1 4 tahun sejak 1998, dengan laporan serupa dari Amerika Serikat, Kanada dan Eropa, dan begitu juga pada orang dewasa. 1 Angka kematian dari empiema tinggi dan berkisar antara 6% 24%. 6 PATOFISIOLOGI Rongga pleura normalnya diisi dengan ~5 10 ml cairan serous, dimana terutama disekresi dari pleura parietal dengan rata-rata 0.01 ml/kgbb/jam dan diabsorpsi melalui limfatik pleura parietal. Pada kondisi klinis tertentu, keseimbangan antara sekresi dan absorpsi dapat terganggu dan cairan mulai terakumulasi di rongga pleura. Efusi pleura secara klasik dibagi menjadi transudat dan eksudat berdasarkan kriteria Light (tabel 1). Pada transudat, akumulasi cairan di rongga pleura akibat peningkatan tekanan hidrostatik atau penurunan tekanan onkotik melalui kapiler membran pleura. Sedangkan pada eksudat, kapiler itu sendiri merupakan penyakit dan meningkatkan permeabilitas yang menyebabkan cairan masuk ke rongga pleura. 7

Tabel 1. Perbedaan transudat dan eksudat berdasarkan kriteria Light 7 PPE berkembang pada sekitar 57% pasien yang dirawat di rumah sakit dengan pneumonia bakterial. Dengan adanya PPE, angka kematian meningkat pada pasien sekitar 3 6 kali lipat. 6 Perkembangan empiema yang berhubungan dengan pneumonia adalah proses yang progresif dan diklasifikasi menjadi 3 tahap, yaitu : 1. Eksudat simpel, 2. Tahap fibrinopurulen, dan 3. Tahap pembentukan jaringan ikat. Gambar 1. Perkiraan waktu jika efusi parapneumonia tidak diobati atau tidak tepat pengobatan. Secara umum, empiema akan berkembang 4 6 minggu setelah terjadinya aspirasi bakteri ke dalam paru-paru. 2

Tabel 2. Tahap yang berbeda dalam evolusi efusi pleura terinfeksi dengan perubahan patologis yang terkait dan temuan cairan pleura. 8 Pada awal tahap eksudat, ada pergerakan cairan ke rongga pleura akibat meningkatnya permeabilitas vaskular kapiler. Hal ini diikuti oleh produksi sitokin proinflamasi seperti interleukin 8 (IL-8) dan Tumor Necrosis Factor α (TNF α). 1,5 Hal ini menyebabkan perubahan yang aktif pada sel mesotelial pleura untuk memfasilitasi cairan masuk ke rongga pleura. Awalnya, cairan eksudat tersebut dikarakteristikkan dengan jumlah leukosit yang rendah, kadar LDH kurang dari setengah dari kadar serum (< 1000 IU/l), ph normal (> 7,2) dan kadar glukosa (< 2,2 mmol/l) yang normal dan tidak mengandung bakteri. Tahap ini, ketika cairan pleura merupakan eksudat steril sederhana, sering disebut dengan efusi parapneumonik simpel. Pada tahap ini dibutuhkan pengobatan dengan antibiotik yang adekuat dan paling tidak memerlukan tindakan drainase. 5,6,9 Jika pengobatan tidak dimulai, PPE simpel ini dapat menjadi tahap fibrinopurulen dengan peningkatan akumulasi cairan dan invasi bakteri melalui endotel yang rusak. Invasi bakteri mempercepat respon imun, memicu perpindahan neutrofil dan aktivasi kaskade koagulasi

memicu meningkatnya prokoagulan dan menekan aktivitas fibrinolitik. Peningkatan kadar Plasminogen Activator Inhibitor dan menurunnya tissue type plasminogen activator (tpa) terlihat dimana deposisi fibrin dan memicu pembentukan septa-septa di cairan. Fagositosis neutrofil dan matinya bakteri memicu proses inflamasi dengan melepaskan lebih banyak fragmen dinding sel bakteri dan protease. Kombinasi hal ini menyebabkan peningkatan asam laktat dan produksi karbondioksida sehingga ph cairan pleura menurun, diikuti dengan meningkatnya metabolisme glukosa dan meningkatnya kadar LDH karena lisisnya leukosit. Sehingga hal tersebut merupakan karakteristik biokimia dari fibrinopurulen tetapi bukan purulen dimana ph < 7.2, glukosa < 2,2 mmol/l dan LDH > 1000 IU/l konsisten dengan efusi parapneumonik terkomplikasi dan mungkin pewarnaan gram positif dan/atau kultur bakteri. Jika tidak diobati, akan berkembang menjadi nanah yang jelas (empiema). 5,6,9 Tahap akhir adalah fase dimana terdapat proliferasi fibroblas. Pleura fibrous solid mulai membentuk yang kadang-kadang menyelubungi paru-paru yang mencegah re-ekspansi, mengganggu fungsi paru dan menciptakan ruang pleura persisten dengan potensi untuk terjadinya infeksi. 5,9 Infeksi pleura juga dapat muncul tanpa ada bukti adanya pneumonia disebut empiema primer. 5 ETIOLOGI Bakterial - Infeksi Pleura yang didapat di komunitas Pada percobaan besar baru-baru ini pada 434 pasien berasal lebih dari 40 center di UK dengan infeksi pleura, organisme aerob gram-positif adalah organisme yang paling sering diidentifikasi pada infeksi pleura yang didapat di komunitas. Streptococcus sp termasuk grup organisme S milleri dan S aureus sekitar 65% dari kasus. Organisme gram-negatif contohnya, Enterobacteriaceae, Escherichia coli dan Hemophilus influenza jarang dijumpai dari hasil kultur dan sering terlihat pada pasien dengan komorbid. 5 Frekuensi isolat anaerob meningkat dan kultur cairan pleura positif pada kebanyakan laporan kasus sekitar 12 34%. Sedangkan, ketika identifikasi menggunakan metode yang berbeda seperti amplifikasi DNA, anaerob dapat ditemukan sebanyak 76% kasus dan mungkin yang bersifat pathogen hanya 14% dari kasus infeksi dengan hasil kultur yang positif anaerob cenderung memiliki onset klinis yang mendadak, dengan sedikit demam, penurunan berat badan

yang banyak dan lebih sering diikuti adanya aspirasi pneumonia dan dengan kebersihan gigi yang buruk. 4,5 - Infeksi pleura yang didapat di rumah sakit Pada pasien dengan infeksi yang didapat di RS, 50% dari pasien dengan kultur isolat cairan pleura positif S aureus. Methicillin-resisten S aureus (MRSA) mungkin sebanyak 2/3 dari keseluruhan kasus. Organisme gram-negatif, kebanyakan E.coli, Enterobacter spp. Dan Pseudomonas spp., bertanggungjawab sebagai penyebab lainnya dan angka kejadian yang cukup tinggi secara signifikan dari aerob gram-negatif telah dilaporkan pada pasien yang memerlukan perawatan di ICU. 4,5 Infeksi polimikroba sering pada organisme gram-negatif dan anaerob dimana jarang terjadi pada isolasi dan lebih sering pada pasien usia tua dan pasien dengan penyakit komorbid. 5 Tuberkulosis (TB) Empiema tuberculosis merupakan infeksi aktif, kronis dari rongga pleura yang berisi sejumlah besar mycobacterium tuberculosis. Komplikasi yang jarang dari pleuropulmonary TB dibandingkan dengan efusi pleura TB yang dihasilkan dari suatu respon inflamasi yang berlebihan terhadap infeksi pleura pausibasilary lokal. 10,11 Proses inflamasi mungkin sudah ada tetapi dengan gejala klinis yang tidak jelas. Seringnya, pasien datang pada saat foto thoraks rutin atau setelah berkembangnya fistula bronkopleural atau empiema necessitates. 11 Jamur Empiema yang disebabkan oleh jamur jarang terjadi (< 1% dari infeksi pleura). Candida sp paling banyak sebagai penyebabnya dan dapat dijumpai pada pasien imunosupresif. Angka kematian tinggi (mencapai 73%). 5 Candida sp merupakan patogen yang paling sering dijumpai pada empiema thoraks yang disebabkan oleh jamur; empiema thoraks yang disebabkan oleh jamur filament lain sangat jarang, dan hanya kasus sporadik telah dilaporkan. Empiema candida telah dilaporkan sebagai komplikasi dari operasi, fistula gastropleural, dan ruptur esofagus spontan. Empiema aspergilus jarang ditemukan dan disebabkan oleh ruptur kavum aspergiloma atau komplikasi dari empiema kronis yang sudah ada. Kriptokokus pleura telah dilaporkan berhubungan dengan infeksi HIV, sirosis hati, dan agammaglobulinemia Bruton. 12 Pasien dengan imunitas menurun, malignansi yang mendasari, penggunaan antibiotik spektrum-luas, gagal nafas yang terjadi bersamaan, dan/atau isolat jamur yang lebih dari satu dapat meningkatkan mortalitas. Bagaimanapun, hanya imunitas menurun dan gagal nafas yang

secara signifikan berhubungan dengan mortalitas dalam analisis regresi logistik multivariat. 12 Dari hasil penelitian Ko, CS et al. (2000) mendapatkan spesies penyebab pada 73 pasien dengan empiema jamur seperti pada tabel 3 dibawah ini : Tabel 3. Banyaknya isolat jamur dari 73 spesimen efusi pleura klinis 12 GEJALA KLINIS Manifestasi klinis dari PPE bervariasi menurut infeksi yang mendasari; di UK-Based Multicentre Intrapleural Sepsis Trial (MIST) pada 430 pasien, durasi gejala sebelum median (interquartile kisaran) perekrutan adalah 14 hari (8-28 hari). 1 Manifestasi klinis dari PPE dan empiema tergantung pada apakah pasien mendapat infeksi aerob atau nonaerob. 13 Infeksi pneumonia aerob akan muncul dengan gejala demam akut, nyeri dada pleuritik terlokalisasi, produksi dahak dan leukositosis. Infeksi anaerob cenderung menyebabkan klinis yang lebih buruk, subfebris dan adanya gejala sistemik, seperti penurunan nafsu makan dan berat badan; seperti infeksi lebih umum pada mereka dengan kebersihan gigi yang buruk, pecandu alkohol dan mereka yang sering pingsan sehingga dapat menyebabkan aspirasi isi lambung. 1 Jika demam menetap lebih dari 48 jam setelah pemberian antibiotik, PPE atau empiema dapat dipertimbangkan. 13 Gejala pneumonia yang melibatkan PPE atau empiema (yakni demam, malaise, batuk, dyspnea, dan nyeri dada pleuritik) mirip dengan pneumonia tanpa PPE. 2,7,14 Pasien lansia mungkin relatif asimptomatik, hanya menunjukkan gejala kelelahan atau perubahan status mental, tanpa gejala paru. Faktor lain seperti usia, puncak suhu, jumlah leukosit, atau jumlah lobus yang terlibat, tidak dapat memprediksi munculnya PPE atau membedakan antara orang dengan dan orang tanpa PPE. 1,2

Infeksi pleura harus diduga pada semua pasien dengan pneumonia, khususnya orangorang yang gagal respon terapi antibiotik yang sesuai, didefinisikan dengan demam yang persisten, leukositosis dan meningkatnya penanda inflamasi seperti C-reaktif protein. Ukuran efusi bervariasi, dan tidak dapat digunakan untuk memprediksi etiologi infeksi. 1 DIAGNOSIS Darah Kultur darah dan PCR pneumokokus dilakukan dengan darah EDTA harus diperiksakan pada semua anak dengan empiema. Plasma albumin sering rendah pada anak-anak dan dewasa dengan empiema (dibandingkan dengan simpel pneumonia), meskipun hal ini jarang membutuhkan pengobatan khusus. Pengukuran longitudinal penanda inflamasi (CRP, leukosit, trombosit) dapat membantu dalam menilai respon terapi. 14 Foto thoraks (CXR) Pada CXR mungkin hanya menunjukkan hilangnya sudut kostofrenikus atau "putih" seluruhnya, tidak selalu bisa membedakan konsolidasi berat/kolaps dari pleura tetapi adanya pergeseran mediastinum dari patologis mendukung diagnosis cairan pleura. 14 Efusi pleura mungkin dapat terlihat pada foto dada dan adanya infiltrat dan cairan paru seharusnya mengingatkan klinisi untuk kemungkinan suatu cairan parapneumonik. CXR lateral dapat mengkonfirmasi cairan pleura tidak disangkakan pada CXR posteroanterior, bagaimanapun ultrasonografi thoraks banyak digunakan dan merupakan alat yang lebih dipilih. Namun, ultrasound tidak secara rutin digunakan pada rawat jalan dan jika tujuannya untuk follow up atau pemantauan, CXR masih merupakan pilihan sebagai pencitraan awal. 5 Thoracic Ultrasound (TUS) Thoracic Ultrasound (TUS) adalah alat yang mudah digunakan untuk menilai keberadaan dan ukuran efusi lebih akurat dibandingkan dengan CXR. Ekogenisitas cairan dan adanya lokulasi dalam mendiagnosis empiema dan memutuskan apakah drainase atau aspirasi diagnostik diperlukan. 4,5,14 Pada sebuah studi dari 320 pasien dengan efusi pleura, semua efusi ekogenik disebabkan oleh eksudat dan efusi ekogenik homogen disebabkan empiema atau perdarahan. 5 TUS menurunkan komplikasi dari prosedur pleura. National Patient Safety Agency Rapid Response melaporkan bahwa pemandu ultrasound sangat dianjurkan ketika memasukkan drain

untuk cairan. Panduan BTS merekomendasikan TUS untuk seluruh prosedur pleura, khususnya pada pasien dengan ventilasi mekanik, dimana pneumothoraks merupakan komplikasi yang serius. 4 Computed Tomography Computed Tomography (CT) tidak seakurat ultrasound dalam mendeteksi septa-septa. Tetapi, CT lebih baik untuk mendeteksi abnormalitas yang mendasari seperti perforasi esofagus, atau karsinoma bronkus. CT juga bisa membedakan antara empiema dan abses paru. Hal ini penting, sebagaimana sebelumnya selalu membutuhkan drainase eksternal sedangkan biasanya bisa diselesaikan dengan terapi medis dan insersi drain thoraks dapat mengakibatkan pembentukan fistula bronko-pleura (BPF). Empiema biasanya berbentuk lentikular, menekan paru-paru, dan menciptakan bentuk sudut seperti mengikuti kontur dinding dada. Biasanya ada batas tidak jelas antara parenkim paru dan abses paru, yang membentuk sebuah sudut dimana ada kontak dengan dinding dada. Tanda 'split pleura', dimana pleura parietalis dan viseralis terlihat berpisah, bisa terdapat pada empiema, 4,5 Penebalan pleura terlihat pada 86-100% dari empiema dan 56% dari PPE eksudatif. Ketebalan pleura pada CT scan lebih besar pada pasien dengan efusi purulen yang jelas, sedangkan tidak adanya penebalan pleura menunjukkan PPE simpel. 5 MRI MRI tidak rutin dilakukan dan tidak memiliki kelebihan dibandingkan dengan CT scan untuk infeksi pleura; bagaimanapun MRI dapat dipertimbangkan pada situasi tertentu seperti alergi terhadap kontras atau pasien muda/hamil dimana paparan radiasi ion diminimalisasi. MRI juga dapat menolong untuk melihat keterlibatan dengan infeksi (contoh, empiema necessitans atau empiema tuberkulosa). 5 Aspirasi Aspirasi dibolehkan untuk mendiagnosis empiema dan membedakan antara PPE simpel dan yang memerlukan drainase. Pemeriksaan yang diperlukan dapat dilihat pada tabel 4. Cairan untuk pengukuran ph harus dikumpulkan dalam syringe yang diberi heparin dan tidak mengandung lidokain, karena bersifat asam. 4,5

Tabel 4. Pemeriksaan yang diperlukan dari aspirasi pleura. LDH, laktat dehidrogenase; MC + S. mikroskopi, kultur dan sensitivitas; AFB, basil tahan asam; TB, tuberkulosis Tabel 5. Analisis cairan pleura pada PPE dan empiema Cairan pleura dari PPE atau empiema merupakan eksudat inflamasi. Polimorfonuklear (PMN) leukosit mendominasi, tapi total jumlah leukosit cairan pleura bervariasi antara efusi simpel dan empiema. Dominasi limfosit dalam eksudat harus dipikirkan kemungkinan keganasan atau tuberkulosis. 5 Perlu dipertimbangkan pemeriksaan pewarnaan BTA (Bakteri Tahan Asam), kultur mikobakterial, PCR mikobakterial, dan ADA (Adenosine Deaminase) jika tuberkulosis pleura sedang dipertimbangkan. 14 Diagnosis empiema jamur, dapat dijumpai isolasi spesies jamur dari cairan pleura atau dari darah, sputum atau luka operasi yang menunjukkan invasi jaringan. Isolat jamur dari selang thorakostomi yang digunakan untuk pneumothoraks atau empiema bakterial diasumsikan koloni berasal dari selang dada, kecuali infeksi sudah ada tanpa terapi anti jamur. 12 Bakteriologi Kultur cairan pleura tetap negatif pada 40% aspirat. 4,5 Walaupun PCR dapat mengidentifikasi organisme penyebab lebih sensitif daripada metode kultur konvensional, namun PCR belum menjadi bagian dari pemeriksaan rutin pada praktik klinis di UK. 5

Prevalensi organisme penyebab dari infeksi pleura bervariasi diberbagai negara; data epidemiologi lokal diperlukan untuk memandu pengobatan. Studi dari Inggris, Kanada dan Selandia Baru semua menunjukkan bahwa isolat Streptococcus milleri yang paling umum pada orang dewasa dengan empiema yang didapat dari komunitas, dengan proporsi yang berkisar antara 32 dan 50% kasus. Organisme lain yang paling banyak diisolasi dari empiema adalah Streptococcus pneumoniae dan anaerob untuk infeksi pleura yang didapat dari komunitas dan S. aureus (termasuk methicillin-resisten S.Aureus (MRSA) untuk kasus yang didapat dari rumah sakit. Laporan terkini dari Taiwan mengkonfirmasi insiden yang lebih tinggi infeksi dari aerobik dan anaerobik gram-negatif pada pasien dengan empiema dari pneumonia yang didapat dari rumah sakit. 1 Isolasi patogen berbeda antara pasien dengan infeksi pleura komunitas atau didapat di rumah sakit (tabel 6) dan etiologi iatrogenik, contohnya, setelah pembedahan thoraks. Perbedaan bakteriologis menolong sebagai pedoman terapi antibiotik empiris. 5 Tabel 6. Bakteriologi dari infeksi pleura komunitas dan didapat di rumah sakit Bronkoskopi Peran bronkoskopi pada pasien dengan empiema tidak dilakukan pada beberapa studi. Bronkoskopi hanya direkomendasikan jika ada kecurigaan obstruksi bronkus contohnya, massa atau hilangnya volume pada pencitraan radiografi atau riwayat kemungkinan tertelan benda asing diman hal-hal tersebut merupakan faktor predisposisi infeksi pleura itu sendiri. 5

MANAJEMEN Pengobatan utama untuk infeksi pleura tetap antibiotik yang sesuai, dikeluarkannya cairan pleura, dan gizi yang memadai. Terapi Antibiotik Antibiotik harus diberikan kepada semua pasien dengan infeksi pleura dan jika mungkin harus didasarkan pada kultur cairan pleura dan uji sensitivitas. Faktor lainnya yang dapat mempengaruhi pilihan antibiotik adalah kemampuan dari antibiotik menembus rongga pleura dan adanya gangguan ginjal atau hati. 6 Dimana kultur tidak tersedia, regimen antibiotik harus termasuk mencakup anaerobik dan untuk organisme resisten penisilin. Pada infeksi yang didapat di rumah sakit, harus mencakup MRSA dan juga organisme aerob gram-positif dan gram negatif dan organisme anaerobik. Aminoglikosida tidak menembus rongga pleura dan seharusnya tidak digunakan. 4 Proporsi yang signifikan dari kedua organisme aerob dan anaerob dari infeksi pleuropulmonary dapat menunjukkan resistensi terhadap penisilin, tapi β-lactams tetap menjadi agen pilihan untuk infeksi yang disebabkan S pneumoniae dan S milleri. Aminopenisilin, penisilin (misalnya, dikombinasikan dengan penghambat β-laktamase Co-amoxiclav, piperacillin-tazobactam) dan sefalosporin menunjukkan penetrasi yang baik pada rongga pleura. Aminoglikosida harus dihindari karena memiliki penetrasi yang buruk ke rongga pleura dan mungkin tidak aktif jika terdapat asidosis cairan pleura. Tidak terdapat bukti bahwa pemberian antibiotik langsung ke rongga pleura memiliki keuntungan. 2,5 Pada infeksi yang didapat di komunitas, pengobatan dengan aminopenisilin (misalnya, amoxicillin) akan mencakup organisme seperti S pneumonia dan H influenzae, tapi penghambat β-laktamase seperti Co-amoxiclav atau metronidazol juga akan diberikan karena sering adanya aerob penisilin-resisten termasuk S aureus dan bakteri anaerobik. 5 Untuk infeksi pleura dengan hasil kultur negatif, rejimen yang diusulkan oleh Pedoman BTS adalah cefuroxime intravena 1,5 gram per 8 jam ditambah metronidazol 500 miligram per 8 jam atau Benzil penisilin intravena 1.2 gram per 6 jam ditambah siprofloksasin 400 miligram per 12 jam atau meropenem intravena 1 gram per 8 jam ditambah metronidazol 500 miligram per 8 jam untuk infeksi yang didapat di komunitas. 6

Klindamisin memiliki penetrasi yang baik pada rongga pleura yang terinfeksi dan merupakan antimikroba yang memadai. Pasien yang alergi penisilin dapat diberikan Klindamisin saja atau kombinasi dengan siprofloksasin atau sefalosporin. Kloramfenikol, karbapenem seperti meropenem, sefalosporin generasi ketiga dan penisilin antipseudomonas spektrum luas seperti piperasilin juga memiliki aktivitas anti anaerobik yang baik dan merupakan agen alternatif. 5 Pada empiema yang didapat di rumah sakit, biasanya sekunder terhadap pneumonia nosokomial, trauma atau operasi, antibiotik harus dipilih untuk mengobati organisme aerob gram-positif dan gram-negatif dan anaerobik. Studi terbaru menunjukkan bahwa ada peningkatan yang signifikan infeksi MRSA pada pneumonia yang didapat di rumah sakit dan empiema, jadi antibiotik empiris seharusnya dari awal sudah menutupi untuk MRSA sampai hasil mikrobiologi ada. 5 Kultur negatif pada infeksi yang didapat di rumah sakit, pedoman BTS mengusulkan piperasilin intravena ditambah tazobactam 4.5 gram per 6 jam atau ceftazidime 2 gram per 8 jam atau meropenem 1 gram per 8 jam dimana metronidazol dapat ditambahkan pada dosis 500 miligram per 8 jam. 6 Pemberian antibiotik intravena sering sesuai pada awalnya tetapi dapat diubah ke rute oral ketika perbaikan klinis secara objektif dan biokimia terlihat. Untuk terapi oral, pedoman BTS menganjurkan amoksisilin 1 gram per 8 jam ditambah asam clavulanic 125 miligram per 8 jam atau amoksisilin 1 gram 8 per jam ditambah metronidazol 400 miligram per 8 jam atau Klindamisin 300 miligram per 8 jam. Durasi pengobatan untuk infeksi pleura tidak dievaluasi pada percobaan klinis secara detail, namun antibiotik sering dilanjutkan selama minimal 3 minggu, berdasarkan respon klinis, biokimia (contohnya, CRP) dan radiologis. 5,6 Drainase Cairan Pleura Pasien dengan infeksi pleura memerlukan drainase akan berkembang menjadi cairan pleura yang asam yang terkait dengan meningkatnya kadar LDH dan kadar glukosa yang menurun. Data dari sistemik meta-analisis meninjau kriteria tersebut telah dibenarkan untuk digunakan. Laporan ini menunjukkan bahwa ph cairan pleura < 7.2 juga salah satu indikator yang paling kuat untuk memprediksi kebutuhan untuk drainase, dan bahwa LDH cairan pleura (>1000 IU/l) dan glukosa (< 3.4 mmol/l) tidak meningkatkan akurasi diagnostik. Dimana pengukuran ph cairan pleura tidak tersedia maka glukosa dan LDH harus diukur, kadar glukosa cairan pleura < 3.4 mmol/l dapat digunakan sebagai penanda alternatif untuk mengindikasikan

kebutuhan untuk drainase. Namun, glukosa cairan pleura dapat menurun dalam situasi selain infeksi pleura, seperti efusi rheumatoid, dan ini harus diingat ketika menafsirkan hasil. 5 Indikasi untuk drainase cairan pleura terdapat di tabel 7. Indikasi Cairan purulen atau keruh/berawan Adanya organisme yang diidentifikasi oleh pewarnaan gram + kultur cairan pleura non purulen ph < 7.2 dengan dugaan infeksi Cairan pleura terlokulasi Kemajuan klinis yang buruk dengan antibiotik Tabel 7. Indikasi untuk drainase cairan pleura Tabel 8. Staging efusi pleura dan rekomendasi drainase 8 Fibrinolitik Intrapleura Terapi fibrinolisis intrapleural ini pertama kali digunakan lebih dari 60 tahun yang lalu. Setelah percobaan awal terapi ini, ada jarak selama 32 tahun sampai studi kedua diterbitkan pada tahun 1981 terutama untuk mengatasi efek streptokinase intrapleural pada fibrinolisis sistemik; ini mungkin kekhawatiran tentang efek samping yang disebabkan streptokinase intrapleural selama penggunaan periode tersebut. Sejak tahun 1981, beberapa studi observasi dan beberapa percobaan kontrol telah diterbitkan. 6 Obat-obatan fibrinolitik bervariasi dalam mekanisme kerjanya. tpa menginduksi fibrinolisis trombus yang terbentuk oleh plasminogen teraktivasi terikat fibrin dan tidak mengaktifkan plasminogen sistemik. Streptokinase menggabungkan dengan plasminogen yang ada di sirkulasi untuk membentuk kompleks aktivasi, yang penyebab terbatasnya proteolitik dari

molekul plasminogen lain terhadap plasmin. Streptokinase mengaktifkan konversi plasminogen (profibrinolisin) menjadi plasmin (fibrinolisin), yang merangsang konversi fibrin (tidak larut) menjadi fragmen fibrin (larut). Urokinase fibrin juga merupakan selektif-fibrin dan dikonversi ke urokinase dari prourokinase berikatan dengan fibrin. Langsung mengubah plasminogen menjadi plasmin. Ketiga obat tersebut telah digunakan dalam percobaan fibrinolisis intrapleural pada orang dewasa dan anak-anak. 9 Tidak ada indikasi penggunaan fibrinolisis intrapleura secara rutin pada pasien dengan infeksi pleura. 5 Fibrinolitik seperti streptokinase dan urokinase telah digunakan secara luas dalam pengobatan infeksi pleura, terutama dengan drain, untuk memecah lokulasi dan cairan kental, cairan kaya fibrin yang sering menyumbat drain. 4,6 Percobaan besar, acak, kontrol menunjukkan bahwa penggunaan rutin tidak meningkatkan kematian atau mengurangi jumlah pasien yang membutuhkan pembedahan. Namun, ini percobaan yang dibuat sebelum munculnya USG pleura dan tidak membedakan antara efusi simpel dan lokulasi. Semua pasien dengan ph cairan pleura < 7.2 atau pus diberikan fibrinolitik, terlepas dari apakah cairan dikeluarkan dengan mudah atau tidak. Pedoman BTS merekomendasikan penggunaannya pada cairan yang banyak, lokulasi yang tidak dapat dilakukan drainase dimana pembedahan thoraks tidak dianggap menjadi suatu alternatif atau tidak tersedia. 4 Urokinase merupakan non-antigenik tetapi tetap menyebabkan reaksi akut (disebabkan oleh hipersensitivitas tipe cepat dan pelepasan histamin) dengan demam dan aritmia kardiak. Ada laporan mengenai sindrom distress pernafasan dewasa pada pasien yang menerima streptokinase dan urokinase untuk drainase empiema. Dosis fibrinolitik yang digunakan pada studi tersebut bervariasi tetapi termasuk streptokinase 250.000 IU per hari atau 250.000 IU per 12 jam atau urokinase 100.000 IU per hari dalam 24 jam di rongga pleura. 5 Maskell et al. melaporkan hasil dari percobaan besar (427 pasien), multicenter, acak, double-blind di UK yang menunjukkan tidak ada keuntungan dari streptokinase atas saline berkaitan dengan tingkat mortalitas atau kebutuhan operasi pada 3 atau 12 bulan pada pasien yang memiliki empiema (83%). Dalam percobaan single-center, acak, double-blind, 44 pasien (81% memiliki empiema) diacak untuk menerima baik Streptokinase (250.000 U per hari) atau salin selama 4-5 hari. Di hari ke 7, kelompok streptokinase lebih sedikit dilakukan operasi (43% vs 9%; PP.02) dan tingkat keberhasilan klinis yang lebih baik (82 vs 48%; PP.02). 2 Beberapa obat-obatan fibrinolitik intrapleura dapat dilihat pada tabel 9 dibawah ini :

Tabel 9. Beberapa fibrinolitik intrapleura 8 Pembedahan Banyak teknik bedah telah digunakan dalam pengobatan empiema termasuk debridemen melalui VATS (video-assisted thoracic surgery), dekortikasi, thoracoplasty, dan thoracostomy terbuka. Debridement melalui VATS paling popular sejak pertengahan 1990-an, dan tingkat keberhasilan berkisar 68-93%. Tingkat keberhasilan debridement VATS sangat tergantung pada tahap efusi parapneumonik dan jika pasien pada fase pembentukan jaringan ikat, lebih tinggi tingkat kegagalannya. 6 Pembedahan harus dipertimbangkan tanpa penundaan pada pasien yang gagal diterapi dengan antibiotik dan drainase selang dada, dan yang memiliki gejala infeksi persisten, demam, leukositosis dan peningkatan penanda inflamasi. Bertentangan dengan kepercayaan populer, bersihan cairan pleura secara radiologis bukanlah indikator yang baik dari kemajuan penyakit. Dua penelitian longitudinal telah menunjukkan bahwa opacity radiologis dari infeksi pleura meningkat pada pasien dewasa dan anak-anak pada bulan berikutnya, tanpa perlu dilakukan operasi. Demikian juga, perubahan restriksi pada tes fungsi paru biasanya perbaikan secara paralel, dari waktu ke waktu; sangat sedikit pasien memiliki gangguan fungsi dari sisa fibrosis pleura. 1 Dekortikasi adalah metode pilihan ketika paru-paru pada dasarnya tidak mampu mengembang karena inflamasi yang tebal dan pasien cocok untuk operasi besar. Dekortikasi telah terbukti secara substansial meningkatkan kapasitas vital dan volume ekspirasi paksa pada detik pertama. Thoracoplasty memerlukan remodeling dari dinding osteomuskular kavum thoraks untuk mengontrol proses inflamasi tapi ini jarang dilakukan belakangan ini. Prosedur

operasi lain - thoracostomy terbuka - dilakukan pada pasien yang lemah, ketika thoracoplasty bukanlah alternatif dan ketika VATS telah gagal untuk mengendalikan penyakit tersebut. 6 Dalam beberapa studi retrospektif, pasien yang terlambat dirujuk untuk operasi memiliki komplikasi lebih banyak dan tingkat keberhasilan lebih rendah dari VATS, dan perawatan di rumah sakit yang lebih lama. VATS adalah prosedur pilihan, sama-sama efektif tetapi kurang invasif (sehingga tinggal di rumah sakit lebih pendek dan komplikasi yang lebih sedikit), daripada drainase oleh thoracotomy pada orang dewasa dan anak-anak, meskipun sekitar 20% pasien, VATS tidak adekuat dan konversi ke drainase thoracotomy terbuka diperlukan. Thoracoscopy medis telah terbukti aman dan efektif dalam satu seri retrospektif 127 pasien. 1 Pengobatan yang mendasari faktor predisposisi klinis, seperti dental atau immunodefisiensi, adalah penting, dan dukungan gizi penting, dengan analisis besar baru-baru ini dari faktor prognostik pada empiema yang didapat dari komunitas mengidentifikasi bahwa pemberian albumin serum < 30 g/l sebagai faktor risiko independen untuk kematian. 1

DAFTAR PUSTAKA 1. Brims, FJH, et al. Empyema Thoracis : new insights into an old disease. European Respiratory Review 2010;19;117;220-228 2. Sahn, SA. Diagnosis and Management of Parapneumonic Effusions and Empyema. Chicago Journal : Clinical Infectious Disease 2007:45 3. Vardhan, MV, et al. Empyema Thoracis-Study of Present Day Clinical & Etiological Profile and Management Techniques. Inj. J. Tub. 1998, 45, 155 4. Walters, J, et al. Pus in the thorax : Management of empyema and lung abscess. British Journal of Anesthesia : Oxford University Press 2011 5. Davies, HE, et al. Management of Pleural Infection in Adults. British Thorax Society pleural disease guideline 2010;65 6. Ahmed, AEH, Tariq, EY. Empyema Thoracis. Clinical Medicine Insights: Circulatory, Respiratory and Pulmonary Medicine 2010:4 7. Yu, H. Management of Pleural Effusion, Empyema and Lung Abscess. Seminars In Interventional Radiology 2011;28;75-86 8. Girdhar, A, et al. Management of Infectious Processes of the Pleural Space : A Review. Pulmonary Medicine 2012 9. Ahmed, AEH, Tariq, EY. Intrapleural Therapy in management of complicated parapneumonic effusions and empyema. Clinical Pharmacology: Advances and Applications 2010:2;213 221 10. Long, R, et al. Treatment of a Tuberculous Empyema with Simultaneous Oral and Intrapleural Antituberculosis Drugs. Can Respir J Vol 15 No 5 July/August 2008 11. Sahn, SA, Iseman. Tuberculous Empyema. Semin Respir Infect. 1999 Mar;14(1):82-7 12. Ko, SC, et al. Fungal Empyema Thoracis An Emerging Clinical Entity. CHEST 2000;6;117 13. Limsukon, A, Hoo, GWS. 2009. Parapneumonic Pleural Effusions and Empyema Thoracis. Available at : www.emedicine.medscape.com 14. Government of Western Australia Department of Health Child and Adolescent Helath Service. Management of children and adolescent with pleural empyema. Princess Margaret Hospital Clinical Practice Guideline 2010