Bab II Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka pada bab ini akan membahas tentang sejarah pada awal kemerdekaan sampai masa kini dan hubungannya dengan keberadaan DPR dan juga pendapat ahli hukum tentang DPR. 1. Sejarah 1) Masa awal kemerdekaan ( 1945 1949 ) Pada awal kemerdekaan, lembaga-lembaga negara yang diamanatkan UUD 1945 belum dibentuk. Dengan demikian, sesuai dengan pasal 4 aturan peralihan dalam UUD 1945, dibentuklah Komite Nasional Pusat ( KNIP ). Komite ini merupakan cikal bakal badan legislatif di Indonesia. Anggota KNIP tersebut berjumlah 60 orang tetapi sumber yang lain menyatakan terdapat 103 anggota KNIP. KNIP sebagai MPR sempat bersidang sebanyak 6 kali, dalam melakukan kerja DPR dibentuk Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, Badan Pekerja tersebut berhasil menyetujui 133 RUU disamping pengajuan mosi, resolusi, usul dan lain - lain. 2) Masa Republik Indonesia Serikat ( 1949 1950 ) Pada masa ini tidak diketahui secara pasti bagaimana keberadaan DPR karena sedang terjadi kekacauan politik, dimana fokus utama berada di pemerintah federal RIS. 3) Masa Dewan Perwakilan Rakyat Sementara ( 1950 1956 ) Pada tanggal 14 Agustus 1950, DPR dan Senat RIS menyetujui Rancangan UUDS NKRI ( UU No. 7/1850, LN No. 56/1950 ). Pada tanggal 15 Agustus 1950, DPR dan Senat RIS mengadakan rapat dimana dibacakan piagam pernyataan terbentuknya NKRI yang bertujuan: 1. Pembubaran secara resmi negara RIS yang berbentuk federasi, 2. Pembentukan NKRI yang meliputi seluruh daerah Indonesia dengan UUDS yang mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950. Sesuai isi Pasal 77 UUDS, ditetapkan jumlah anggota DPRS adalah 236 orang, yaitu 148 anggota dari DPR - RIS, 29 anggota dari Senat RIS, 46 anggota dari Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, dan 13 anggota dari DPA RI Yogyakarta.
4) Masa DPR hasil pemilu 20 Maret 1956 ( 1956 1959 ) DPR ini adalah hasil pemilu 1956 yang jumlah anggota yang dipilih sebanyak 272 orang. Pemilu 1956 juga memilih 542 orang anggota konstituante. Tugas dan wewenang DPR hasil pemilu 1955 sama dengan posisi DPRS secara keseluruhan, karena landasan hukum yang berlaku adalah UUDS. Banyaknya jumlah fraksi di DPR serta tidak adanya satu dua partai yang kuat, telah memberi bayangan bahwa pemerintah merupakan hasil koalisi. Dalam masa ini terdapat 3 kabinet yaitu kabinet Burhanuddin Harahap, kabinet Ali Sastroamidjojo, dan kabinet Djuanda. 5) Masa DPR Hasil Pemilu 1959 berdasarkan UUD 1945 ( 1959 1965 ) Jumlah anggota sebanyak 262 orang kembali aktif setelah mengangkat sumpah. Dalam DPR terdapat 19 fraksi, didominasi PNI, Masjumi, NU, dan PKI. Dengan Penpres No. 3 tahun 1960, Presiden membubarkan DPR karena DPR hanya menyetujui 36 milyar rupiah APBN dari 44 milyar yang diajukan. Sehubungan dengan hal tersebut, presiden mengeluarkan Penpres No. 4 tahun 1960 yang mengatur Susunan DPR - GR. DPR - GR beranggotakan 283 orang yang semuanya diangkat oleh Presiden dengan Keppres No. 156 tahun 1960. Adapun salah satu kewajiban pimpinan DPR - GR adalah memberikan laporan kepada Presiden pada waktu - waktu tertentu, yang mana menyimpang dari pasal 5, 20, 21 UUD 1945. Selama 1960-1965, DPR - GR menghasilkan 117 UU dan 26 usul pernyataan pendapat. 6) Masa DPR Gotong Royong tanpa Partai Komunis Indonesia ( 1965 1966 ) Setelah peristiwa G.30.S/PKI, DPR-GR membekukan sementara 62 orang anggota DPR-GR eks PKI dan ormas - ormasnya. DPR-GR tanpa PKI dalam masa kerjanya 1 tahun, telah mengalami 4 kali perubahan komposisi pimpinan, yaitu: a) Periode 15 November 1965-26 Februari 1966. b) Periode 26 Februari 1966-2 Mei 1966. c) Periode 2 Mei 1966-16 Mei 1966. d) Periode 17 Mei 1966-19 November 1966. Secara hukum, kedudukan pimpinan DPR - GR masih berstatus sebagai pembantu Presiden sepanjang Peraturan Presiden No. 32 tahun 1964 belum dicabut. Dalam rangka menanggapi situasi masa transisi, DPR - GR memutuskan untuk membentuk 2 buah panitia : a) Panitia politik, berfungsi mengikuti perkembangan dalam berbagai masalah bidang politik.
b) Panitia ekonomi, keuangan dan pembangunan, bertugas memonitor situasi ekonomi dan keuangan serta membuat konsepsi tentang pokok - pokok pemikiran ke arah pemecahannya. 7) Masa Orde Baru ( 1966 1999 ) Berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, yang kemudian dikukuhkan dalam UU No. 10/1966, maka DPR-GR Masa Orde Baru memulai kerjanya dengan menyesuaikan diri dari Orde Lama ke Orde Baru. Kedudukan, tugas dan wewenang DPR - GR 1966-1971 yang bertanggung jawab dan berwewenang untuk menjalankan tugas - tugas utama sebagai berikut: 1. Bersama - sama dengan pemerintah menetapkan APBN sesuai dengan pasal 23 ayat 1 UUD 1945 beserta penjelasannya. 2. Bersama - sama dengan pemerintah membentuk UU sesuai dengan pasal 5 ayat 1, pasal 20, pasal 21 ayat 1 dan pasal 22 UUD 1945 beserta penjelasannya. 3. Melakukan pengawasan atas tindakan - tindakan pemerintah sesuai dengan UUD 1945 dan penjelasannya, khususnya penjelasan bab 7. Selama masa orde baru DPR dianggap sebagai tukang stempel kebijakan pemerintah yang berkuasa karena DPR dikuasai oleh Golkar yang merupakan pendukung pemerintah. 8) Masa reformasi ( 1999 sekarang ) Banyaknya skandal korupsi dan kasus pelecehan seksual merupakan bentuk nyata bahwa DPR tidak lebih baik dibandingkan dengan yang sebelumnya. Mantan ketua MPR - RI 1999-2004, Amien Rais, bahkan mengatakan DPR yang sekarang hanya merupakan stempel dari pemerintah karena tidak bisa melakukan fungsi pengawasannya demi membela kepentingan rakyat. Hal itu tercermin dari ketidakmampuan DPR dalam mengkritisi kebijakan pemerintah yang terbilang tidak pro rakyat seperti kenaikan BBM, kasus lumpur Lapindo, dan banyak kasus lagi. Selain itu, DPR masih menyisakan pekerjaan yakni belum terselesaikannya pembahasan beberapa undang - undang. Buruknya kinerja DPR pada era reformasi membuat rakyat sangat tidak puas terhadap para anggota legislatif. Ketidakpuasan rakyat tersebut dapat dilihat dari banyaknya aksi demonstrasi yang menentang kebijakan - kebijakan pemerintah yang tidak dikritisi oleh DPR. Banyaknya judicial review yang diajukan oleh masyarakat dalam menuntut keabsahan undang - undang yang dibuat oleh DPR saat ini juga mencerminkan bahwa produk hukum yang dihasilkan mereka tidak memuaskan rakyat.
Dalam konsep Trias Politika, di mana DPR berperan sebagai lembaga legislatif yang berfungsi untuk membuat undang-undang dan mengawasi jalannya pelaksanaan undangundang yang dilakukan oleh pemerintah sebagai lembaga eksekutif. Fungsi pengawasan dapat dikatakan telah berjalan dengan baik apabila DPR dapat melakukan tindakan kritis atas kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang tidak sesuai dengan kepentingan rakyat. Sementara itu, fungsi legislasi dapat dikatakan berjalan dengan baik apabila produk hukum yang dikeluarkan oleh DPR dapat memenuhi aspirasi dan kepentingan seluruh rakyat. 2. Pendapat Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH tentang fungsi legislasi DPR Seringkali dipahami bahwa fungsi legislasi hanya terkait dengan fungsi pembuatan undang - undang dalam pengertian yang sempit. Karena itu, yang biasa dipahami sebagai lembaga legislatif berdasarkan UUD 1945 pasca reformasi hanya DPR dan DPD saja. Bahkan, banyak pula tokoh-tokoh politik kita yang memahaminya lebih sempit lagi, yaitu bahwa lembaga yang mempunyai kewenangan langsung di bidang pembuatan undangundang itu hanya DPR, sedangkan DPD hanya berfungsi sebagai advisory council terhadap fungsi DPR. Jika kita mengacu kepada pendapat Frank Goodn0w, kekuasaan negara dapat dibedakan antara fungsi pembuatan kebijakan ( policy making ) dan pelaksanaan kebijakan ( policy executing ). Teori Goodnow ini dapat dinamakan sebagai teori duo-politica. Berbeda dari Goodnow, fungsi-fungsi kekuasaan, menurut Montesquieu, terdiri atas tiga cabang atau trias politica yaitu legislature, executive, dan judiciary. Executive adalah pelaksana, sedangkan judiciary menegakkannya jika timbul sengketa atau pelanggaran terhadap kebijakan. Namun, baik menurut Goodnow maupun menurut Montesquieu, yang dimaksud dengan fungsi legislatif atau legislature itu berkaitan dengan semua kegiatan yang dengan mengatasnamakan atau mewakili rakyat membuat kebijakan-kebijakan negara. Inilah yang disebut sebagai legislature atau fungsi legislatif. Pelembagaan fungsi legislature itulah yang disebut parlemen. Di berbagai negara ada yang melembagakannya dalam satu forum saja ( unicameral atau monocameral ), ada pula yang dua forum (bicameral),. Bahkan ada pula negara-negara yang mempunyai struktur parlemen multi kameral atau terdiri atas lebih dari dua kamar atau lebih dari dua institusi 1. Salah satunya adalah Indonesia yang mempunyai tiga institusi atau tiga forum parlemen sekaligus, yaitu DPR, DPD, dan MPR. DPR merupakan lembaga perwakilan politik ( political representation ), DPR merupakan perwakilan daerah ( regional representation ), sedangkan MPR merupakan penjelmaan keseluruhan rakyat, baik dari segi politik maupun kedaerahan. 1 Lihat disertasi Dr. Fatmawati, Struktur dan Fungsi Legislasi Parlemen dengan Sistem Multikameral: Studi Perbandingan antara Indonesia dan Berbagai Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2009.
Di samping fungsi lainnya, DPR berfungsi untuk membentuk undang-undang, DPD memberikan pertimbangan dalam pembentukan undang - undang, sedangkan MPR menetapkan UUD sebagai kebijakan tertinggi. Di berbagai negara, DPD atau yang disebut dengan nama lain, seperti Senat, biasanya berperan dalam pengambilan keputusan pembentukan undang-undang atau undang - undang tertentu. Akan tetapi, berdasarkan UUD 1945 yang berlaku sekarang, keputusan - keputusan DPD sama sekali tidak menentukan dalam proses pembentukan undang - undang itu. Peranan DPD hanya bersifat advisoris terhadap DPR. Sementara itu, menurut Montesquieu, pembentukan undang - undang dasar juga dinamakan legislasi. Karena itu, dengan mengacu kepada pendapat Montesquieu dan Frank Goodnow tersebut di atas, kita dapat mengatakan bahwa dalam struktur parlemen Indonesia dewasa ini terdapat tiga forum parlemen yang sama - sama mempunyai fungsi legislasi dalam arti yang luas. Karena itu, saya sering menamakan struktur parlemen Indonesia dewasa ini sebagai parlemen trikameral. Kita tidak menganut prinsip unikameralisme, bukan pula buikameralisme, melainkan trikameralisme. Dengan demikian, adanya MPR, DPR, dan DPD dalam sistem ketatanegaraan kita berdasarkan UUD 1945 dewasa ini merupakan satu kesatuan kelembagaan parlemen Indonesia yang mempunyai tiga forum perwakilan dan permusyawaratan dalam rangka pengambilan keputusan mengenai kebijakan negara berdasarkan UUD 1945. 3. Perbandingan Kewenangan DPR dalam Pembentukan Perundang - Undangan Sebelum Amandemen Pasal 20 UUD 1945 : (1) Tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (2) Jika sesuatu rancangan undang - undang tidak mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu. Setelah Amandemen ke empat Pasal 20 UUD 1945 : (1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang undang. (2) Setiap rancangan undang undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. (3) Jika rancangan undang undang itu tidak mendapatkan persetujuan bersama, rancangan undang undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat pada masa itu. (4) Presiden mengesahkan rancangan undang undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang undang.
(5) Dalam hal rancangan undang undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan pundang undang tersebut disetujui, rancangan undang undang tersebut sah menjadi undang undang dan wajib diundangkan. Dalam Amandemen Keempat UUD 1945 ini terlihat bahwa kekuasaan membuat UU sangat legislative heavy, dalam artian ada satu pasal yang mengatakan bahwa kalau dalam 30 hari rancangan undang - undang tidak ditandatangani presiden maka akan diberlakukan, akan tetapi tidak ada pasal yang menyatakan sebaliknya. Dalam Amandemen Keempat UUD 1945 tidak terdapat pasal yang mengatakan bahwa kalau Presiden mengajukan RUU, dalam 30 hari tidak disetujui parlemen, maka akan jadi UU. Dengan demikian hak veto-nya hanya dimiliki oleh parlemen dan tidak oleh presiden. Dewan Perwakilan Rakyat pemberi persetujuan kepada tiap Rancangan Undang - undang. Apabila kita melihat isi Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 dan Penjelasannya, serta uraian pada huruf D, maka pertanyaan selanjutnya yang dimaksud mengenai dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat adalah, dalam hal ini setiap rancangan undang - undang dari pemerintah itu tidak boleh dikesampingkan; Dewan Perwakilan Rakyat haruslah memberikan suu consent atau suatu kesepakatan dalam arti menolak atau menerima rancangan undang - undang tersebut. Dengan demikian, perkataan dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat itu seharusnya diartikan dengan kesepakatan Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan adanya perubahan ini, jelaslah bahwa kekuasaan legislatif yang semula utamanya dipegang oleh Presiden dengan persetujuan DPR, dialihkan dan dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Sedangkan Presiden hanya dinyatakan baerhak mengajukan RUU, bukan sebagai pemegang kekuasaan legislatif yang utama. Perubahan ini merupakan pergeseran kekuasaan legislatif dari Presiden dan DPR. Jika wakil pemerintah mempunyai kepentingan maka kepentingan atau aspirasinya itu haruslah disalurkan melalui anggota DPR yang berasal dari partai pemerintah. Perbedaan pendapat diantara DPR dan pemerintah dalam hal ini bisa saja memakan waktu, tergantung pada perkembangan dukungan opini umum dalam masyarakat. Namun, secara hukum, pemerintah dapat saja menolak, menyetujui sebagian ataupun seluruh materi RUU tersebut, meskipun seluruh anggota DPR telah menyetujui RUU yang bersangkutan. Dengan perkataan lain, sebelum RUU yang bersangkutan disetujui bersama oleh Presiden dan DPR, terlebih dahulu dapat dilakukan pembahasan : (1) Perancangan RUU secara sendiri-sendiri oleh Presiden/pemerintah atau oleh DPR,
(2) Pembahasan oleh pemerintah terhadap RUU yang diajukan oleh DPR, pembahasan oleh DPR terhadap RUU yang diajukan oleh Pemerintah/Presiden, (3) Pembahasan bersama oleh institusi DPR sebagai satu kesatuan berhaapan dengan pemerintah dalam hal RUU tersebut berasal dari inisiatif DPR, atau (4) Pembahsan bersama antar anggota DPR bersama-sama dengan wakil pemerintah sebagai narasumber dalam hal RUU tersebut berasal dari inisiatif pemerintah. Pasal 20 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa : (1) Suatu RUU dapat saja tidak mendapat persetujuan bersama antara DPR dan pemerintah. Misalnya, pemerintah dapat menyatakan menolak untuk memberikan persetujan terhadap suatu materi atau seluruh materi yang bersangkutan. Demikian pula DPR dapat menyatakan menolak sebagian atau seluruh materi RUU yang diajukan oleh pemerintah, meskipun hal itu telah diadakan pembahasan bersama yang bertujuan mendapatkan persetujuan bersama; (2) RUU yang tidak mendapat persetujuan bersama tersebut, baik yang berasal dari inisiatif pemerintah ataupun inisiatif DPR, tidak dapat lagi dimajukan dalam masa persidangan yang bersangkutan. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin jangan sampai Jadwal ketatanegaraan terganggu karenanya. Pengesahan yang dimaksudkan Pasal 20 ayat ( 4 ) UUD 1945 bersifat administratif, yaitu pengundangan Undang - Undang tersebut ke dalam Lembaran Negara dan Tambahan Lembaran Negara yang menentukan efek pengumuman hukum ( publication and promulgation of the law ) dan daya ikat atau efektifitas legalitas undang - undang tersebut bagi para subjek hukum diaturnya. Dalam pasal 21 ( 1 ) UUD 1945 hanya disebutkan bahwa anggota DPR berhak mengajukan Rancangan Undang - undang. Kata berhak dalam pasal ini mengandung arti dua pilihan, yaitu boleh atau mungkin tidak bersedia, yang kesemuanya tergantung kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Di sini sama sekali tidak ada keharusan. Presiden berdasarkan Pasal 21 ayat ( 2 ) diberikan hak untuk menolak suatu Rancangan Undang - Undang yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Penolakan ini dikatakan bahwa Presiden mempunyai kekuasaan semacam hak veto. Sebenarnya, Dewan Perwakilan Rakyat sendiri berhak untuk menolak Rancangan Undang - Undang yang diajukan oleh Presiden. Dalam setiap Rancangan Undang - Undang, kedua lembaga ini bekerja sama dilandasi musyawarah mufakat. Musyawarah inilah yang menyebabkan setiap perbedaan pendapat antara Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat diselesaikan dengan dilandasi sikap toleransi.