1.1. Latar Belakang Penelitian I. PENDAHULUAN Usaha perunggasan di Indonesia telah menjadi sebuah industri yang memiliki komponen lengkap dari sektor hulu sampai ke hilir. Perkembangan usaha tersebut memberikan kontribusi nyata dalam pembangunan pertanian dan memiliki nilai strategis khususnya dalam upaya pemenuhan kebutuhan protein hewani dalam negeri serta mempunyai peranan dalam memanfaatkan peluang kesempatan kerja. Pemilihan telur ayam ras sebagai sumber protein hewani merupakan alternatif yang banyak dipilih masyarakat. Selera masyarakat cenderung semakin menyukai telur ayam ras dari lapisan perkotaan hingga masyarakat pedesaan. Meskipun permintaan masyarakat terhadap telur ayam ras fluktuatif, tetapi pada saat-saat tertentu permintaan masyarakat terhadap telur ayam ras sangat tinggi, misalnya untuk keperluan hajatan, harihari besar dan sebagainya. Hal tersebut merupakan peluang bagi pengembangan peternakan ayam ras petelur baik untuk skala besar maupun untuk skala kecil (Mappigau dan Esso, 2011). Ketersediaan telur ayam di pasar merupakan faktor pendorong tingginya konsumsi telur ayam, di samping kemudahan dalam pengolahannya. Selain itu, harga telur ayam relatif lebih murah dibanding dengan komoditi sumber protein hewani yang lain, sehingga harga dapat dijangkau oleh masyarakat. Widiyanti (2001) menyebutkan bahwa telur ayam merupakan barang kebutuhan pokok bagi masyarakat Jawa Tengah. Prospek usahaternak ayam niaga petelur di Indonesia dinilai sangat baik dilihat dari pasar dalam negeri maupun luar negeri, baik dari sisi permintaan dan penawaran. Di sisi permintaan, saat ini produksi telur ayam ras baru mencukupi kebutuhan pasar dalam negeri sebesar 65%. Standar kebutuhan protein hewani berdasarkan Widya Karya Nasional yaitu telur 6,5 kg/kapita/tahun atau setara 104 butir, sedangkan konsumsi telur di
2 Indonesia tahun 2013 hanya 86 butir/kapita/tahun, Konsumsi telur tersebut masih rendah dibanding negara lain di asean, misalnya Malaysia sebesar 311 butir/kapita/tahun; Thailand sebesar 216 butir/kapita/tahun; Philipina sebesar 120 butir/kapita/tahun; dan Singapura sebesar 500 butir/kapita/tahun.. Di sisi penawaran, kapasitas produksi peternakan ayam niaga petelur di Indonesia masih belum mencapai kapasitas produksi yang sesungguhnya. Hal tesebut terlihat dari masih banyaknya perusahaan pembibitan, pakan ternak, dan obat-obatan yang masih berproduksi di bawah kapasitas terpasang. Artinya, prospek pengembangannya masih sangat terbuka. Tabel 2 menyajikan perkembangan produksi telur tahun 2007 hingga 2013. Produksi telur ayam meningkat sebesar 22,85 persen dari tahun 2007 hingga 2013 (ratarata meningkat 5,71 persen per tahun). Produksi rata-rata selama tujuh tahun di pulau Jawa lebih tinggi (60,25 %) dibanding produksi di luar pulau Jawa (39,74 %). Jawa Tengah merupakan produsen telur ayam tertinggi di Indonesia setelah Jawa Timur. BPS (2011) melaporkan produksi telur ayam ras di Jawa Tengah tahun 2010 sebesar 174.883.787 kg, sedang produksi telur ayam ras di Kabupaten Banyumas sebesar 13.242.448 kg dan merupakan 7,57 persen produksi telur ayam ras Jawa Tengah. Tabel 1.1. Perkembangan Produksi Telur (ton) Wilayah Tahun 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Sumatra 201.233 190.182 224.416 233.451 249.834 296.428 333.561 Jawa Barat 105.361 105.046 95.628 103.428 115.787 120.123 131.586 Banten 52.756 54.866 43.620 23.361 57.626 47.455 46.751 Jawa Tengah 129.862 135.057 169.146 174.884 179.974 192.071 204.357 DIYogyakarta 18.304 23.921 26.250 41.581 26.111 25.802 24.660 Jawa Timur 324.918 292.786 204.147 209.516 235.832 270.700 293.532 Bali, Kalimantan Indonesia Timur 111.702 154.141 146.313 159.416 162.682 187.370 189.955 Indonesia 1.145.369 1.146.181 1.133.936 1.179.088 1.277.680 1.436.377 1.557.963 Sumber: Badan Pusat Statistik (2014)
3 Kemampuan peternak dalam mengelola usahanya merupakan faktor yang sangat menentukan tercapainya tingkat keuntungan optimal dan efisiensi ekonomis. Dalam mengelola usahapeternak ayam, tiap peternak harus memahami 3 (tiga) unsur penting dalam produksi, yaitu : breeding (pembibitan), feeding (makanan ternak/pakan), dan manajemen (pengelolaan usaha peternakan). Peternak harus mampu mengkombinasikan penggunaan faktor faktor produksi secara efisien, dalam hal ini bibit ayam (DOC), pakan, obat-obatan dan vitamin, serta tenaga kerja, merupakan faktor-faktor yang sangat penting dalam budidaya ayam niaga petelur agar bisa mencapai keuntungan yang maksimal dan tingkat efisiensi yang diharapkan. Efisiensi dalam usaha sangat menentukan keberhasilan pengelolaan usaha peternakan ayam niaga petelur agar mampu menghasilkan produk yang dapat bersaing di pasar. Penelitian yang dilakukan oleh Yunus (2009) melaporkan bahwa analisis efisiensi teknis yang dicapai peternak ayam ras pedaging secara keseluruhan adalah sebesar 0,868. Selain dipengaruhi secara nyata oleh faktor produksi bibit; pakan; vaksin, obat dan vitamin; tenaga kerja dan bahan bakar, namun juga dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial ekonomi, dan yang secara nyata mempengaruhi efisiensi teknis adalah tingkat umur peternak, peternak berusia muda memiliki tingkat produktivitas yang lebih tinggi maka akan menambah efisiensi teknis, sedangkan faktor pengalaman, jenis kelamin dan tingkat pendidikan walaupun tidak berpengaruh secara nyata namun menunjukkan hubungan yang sesuai terhadap pencapaian tingkat efisiensi teknis. Pencapaian efisiensi harga/alokatif dan efisiensi ekonomis pada peternak pola kemitraan sebesar 1,816 dan 1,587, sedangkan efisiensi harga/alokatif peternak mandiri adalah sebesar 1,838 dan efisiensi ekonomis sebesar 1,593. Peternakan ayam niaga petelur berpotensi menimbulkan sengketa dengan masyarakat setempat, karena lokasinya yang tidak jarang berada di dekat permukiman
4 penduduk. Manure ayam dapat mencemari lingkungan melalui potensi bau dan hewan (lalat, tikus, dan kecoa) serta kotor dari aspek sanitasi dan higienis. Manure ayam memiliki bau yang sangat menyengat karena memiliki kandungan amoniak yang tinggi. Ayam niaga petelur rata-rata menghasilkan 0,05 kg manure per ekor per hari (Ismawati, 2003) dan limbah ini secara biologis dapat menjadi perkembangbiakan lalat. Kandungan air 27-85 persen merupakan media yang baik bagi lalat untuk bertelur dan pertumbuhan larva disamping pertumbuhan bakteri patogen. Debu dari manure kering dengan konsentrasi 6.000 mg/m 3 dapat mengakibatkan infeksi saluran pernafasan. (Sunu, 2001). Amoniak sangat berpotensi mengganggu kesehatan ayam dan peternaknya. Manure ayam segar mengandung 1 % nitrogen (Agriculture and Agri-Food Canada, 1990). Jumlah ayam petelur di Kabupaten Banyumas tahun 2009 adalah 1.324.103 ekor (Kabupaten Banyumas dalam Angka, 2010), produk samping berupa manure yang dihasilkan lebih dari 24.164 ton atau setara dengan 241 ton nitrogen. Manure adalah salah satu sumberdaya alam yang dapat diperbaharui namun memiliki nilai ekonomi sangat rendah dan jika tidak dikelola dengan baik dan benar akan dapat menimbulkan masalah lingkungan. Manure memiliki potensi yang sangat baik untuk diolah menjadi kompos kandang karena manure ayam niaga petelur kaya akan kandungan nitrogen (N), Phosphor dan Kalium yang merupakan unsur hara utama pada kompos kandang. Kandungan amonia pada manure berbahaya bagi peternak dan bagi ternak. Industri perunggasan di Indonesia berkembang sesuai dengan kemajuan perunggasan global yang mengarah kepada sasaran mencapai tingkat efisiensi usaha yang optimal, namun upaya pembangunan industri perunggasan tersebut masih menghadapi tantangan global yang mencakup kesiapan daya saing produk, utamanya bila dikaitkan
5 dengan lemahnya kinerja penyediaan bahan baku pakan yang merupakan 60-70 % dari biaya produksi karena sebagian besar masih sangat tergantung dari impor. Usahaternak ayam niaga petelur, seperti juga usaha lain, memiliki kelemahan dan kekuatan. Kelemahan sistem usahaternak ayam niaga petelur antara lain (a) besarnya jumlah pakan yang harus diimpor baik sebagai sumber energi maupun untuk sumber protein yaitu jagung, bungkil kedelai dan tepung hewani. Kebutuhan ketiga bahan tersebut dengan populasi yang ada sekarang sekitar 3 juta ton. (b) belum terpenuhinya kebutuhan bahan baku pakan dari dalam negeri yang dapat meningkatkan efisiensi produksi produk (Talib dkk, 2007). Beberapa faktor yang menjadi kekuatan pengembangan usahaternak ayam niaga petelur adalah (a) sistem agribisnis peternakan yang sudah mantap, artinya usaha peternakan tidak hanya berada pada tingkat budidaya, tetapi juga adanya industri hulu sebagai penyedia produksi, dengan demikian telah terdapat dukungan sarana produksi yang tersedia setiap saat, (b) teknologi budidaya ayam niaga petelur mudah dikuasai oleh masyarakat, (c) sistem pemasaran bukan merupakan masalah, karena telah terbentuk jalurjalur distribusi sampai ke berbagai lapisan masyarakat dan pelosok wilayah, dan (d) adanya dukungan sumberdaya lahan yang luas dan jumlah tenaga kerja tersedia merupakan kekuatan pengembangan ayam niaga petelur secara nasional. Fakta tersebut menunjukkan adanya keunggulan kompetitif usahaternak ayam niaga petelur. Peningkatan produksi domestik berpotensi menimbulkan pemborosan sumberdaya, padahal sumberdaya tersedia dalam jumlah yang terbatas sementara alternatif penggunaannya tersebar pada berbagai aktivitas ekonomi lainnya. Dengan demikian, pilihan aktivitas ekonomi harus didasarkan kepada efisiensi penggunaan sumberdaya domestik atau atas dasar keunggulan komparatifnya. Hal tersebut perlu dilakukan karena secara ekonomi sangat rasional jika pilihan kebijakan diarahkan kepada aktivitas ekonomi
6 yang efisien dalam menggunakan sumberdaya domestik atau yang memiliki keunggulan komparatif. Tabel 1.2. Harga Domestik dan Harga Impor Telur Ayam Ras serta Kurs $ US Tahun Harga Domestik Harga Impor Kurs $ US (Rp per kg) 1 ($ US per kg) 2 (Rp per $ US 1) 1 2004 6.945,00 1,68 9.290,00 2005 7.532,61 1,24 9.830,00 2006 7.795,35 1,23 9.020,00 2007 9.089,67 1,28 9.419,00 2008 12.698,44 1,68 10.950,00 2009 12.760,86 1,93 9.400,00 2010 13.242,17 2,03 8,991,00 2011 14.697,14 2,16 9.068,00 2012 15.773,06 2,30 9.670,00 Sumber: 1 Indikator Ekonomi (2013) 2 BPS (2013) diolah Harga domestik telur ayam ras mengalami peningkatan sebesar tujuh persen setiap tahun dari tahun 2004 hingga 2012, dan perbedaan dengan harga impor semakin jauh (Tabel 1.2.). Kondisi tersebut diduga menjadi salah satu sumber keunggulan komparatif usahaternak ayam niaga petelur domestik. Pengembangan usahaternak ayam niaga petelur masih sangat terbuka. Dukungan pemerintah terhadap usahaternak ayam niaga petelur yang mempunyai andil besar dalam pemenuhan protein hewani masyarakat dipandang sebagai usaha potensial untuk peningkatan pendapatan masyarakat. Selain sebagai sumber protein hewani asal ternak, potensi pasar telur ayam ras sebagai bahan baku industri makanan cukup besar akan memberi peluang pengembangan usahaternak ayam niaga petelur. 1.2. Perumusan Masalah Tujuan usahaternak ayam niaga petelur, adalah memaksimumkan keuntungan usaha. Perolehan keuntungan maksimum berkaitan erat dengan efisiensi dalam
7 berproduksi. Proses produksi tidak efisien dapat disebabkan oleh dua hal berikut: pertama, karena secara teknis tidak efisien. Hal tersebut terjadi karena ketidakberhasilan mewujudkan produktivitas maksimal; artinya per unit paket masukan (input bundle) tidak dapat menghasilkan produksi maksimal. Kedua, secara alokatif tidak efisien karena pada tingkat harga-harga masukan (input) dan keluaran (output) tertentu, proporsi penggunaan masukan tidak optimum. Hal tersebut terjadi karena produk penerimaan marjinal (marginal revenue product) tidak sama dengan biaya marjinal (marginal cost) masukan (input) yang digunakan. Efisiensi ekonomi mencakup efisiensi teknis (technical efficiency) maupun efisiensi alokatif (allocative efficiency) sekaligus. Ketiga jenis efisiensi tersebut oleh Khai dan Yabe (2011) dinyatakan sebagai efisiensi produksi. Pada aspek yang lain, yaitu keunggulan kompetitif, usahaternak ayam niaga petelur di Indonesia memiliki potensi yang cukup besar untuk bersaing dengan telur impor. Hal tersebut ditunjukkan oleh fakta dominannya penggunaan sumberdaya domestik yaitu lahan, tenaga kerja, dan pakan bukan konsentrat (jagung dan dedak padi). Alasan keunggulan kompetititf inilah yang melatarbelakangi adanya upaya untuk terus meningkatkan produksi usahaternak ayam niaga petelur. Pilihan aktivitas ekonomi harus didasarkan kepada efisiensi penggunaan sumberdaya domestik atau atas dasar keunggulan komparatifnya. Upaya peningkatan produksi usahaternak ayam niaga petelur tidak akan sesuai dengan produksi yang diharapkan jika penggunaan input produksi usahaternak ayam niaga petelur tidak sebanding dengan hasil produksi dan pendapatan yang diperoleh. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut.
8 1. Seberapa jauh usahaternak ayam niaga petelur memiliki tingkat efisiensi teknis, alokatif, dan ekonomi serta faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi teknis, alokatif, dan ekonomi? 2. Seberapa jauh usahaternak ayam niaga petelur memiliki tingkat efisiensi lingkungan serta faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi lingkungan? 3. Apakah usahaternak ayam niaga pedaging memiliki daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif)? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan untuk : 1. Mengetahui tingkat efisiensi teknis, alokatif, dan ekonomi serta faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi teknis, alokatif, dan ekonomi pada usahaternak ayam niaga petelur. 2. Mengetahui tingkat efisiensi lingkungan serta faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi lingkungan pada usahaternak ayam niaga petelur. 3. Mengetahui daya saing (keunggulan komparatif dan kompetetif) usahaternak ayam niaga petelur. 1.4. Kegunaan Penelitian 1. Pemerintah, berupa masukan dalam menentukan kebijakan pola pengembangan usahaternak ayam niaga petelur. 2. Lembaga terkait, untuk meningkatkan dukungannya bagi pengembangan usahaternak ayam niaga petelur.
9 3. Peneliti, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh derajat doktor dalam bidang ilmu ekonomi pertanian pada Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 4. Peneliti lain, sebagai salah satu informasi dan pembanding. 1.5. Keaslian dan Hal Baru dalam Penelitian Penelitian tentang efisiensi dan daya saing berbagai komoditi telah banyak dilakukan, namun penelitian yang berfokus pada komoditas ayam niaga petelur, tidak banyak ditemukan. Kajian tentang efisiensi usahaternak ayam niaga petelur adalah penelitian yang dilakukan oleh Yusuf dan Malomo (2007) yang meneliti efisiensi teknis pada telur ayam di Wilayah Ogun Nigeria, dengan pendekatan DEA. Sedangkan Alabi dan Aruna (2006) menganalisis efisiensi teknis produksi unggas tingkat keluarga di Nigeria. Dengan demikian penelitian ini memiliki kebaruan dalam menganalisis tidak saja efisiensi teknis, namun juga efisiensi alokatif dan ekonomi dengan estimasi fungsi produksi frontier stochastic. Penelitian tentang efisiensi lingkungan dan efisiensi teknis juga telah banyak dilakukan, namun dari hasil telusur pustaka efisiensi lingkungan dan teknis yang terfokus pada bidang peternakan adalah penelitian yang dilakukan oleh Reinhard et al. (1999) yang mengestimasi efisiensi teknis dan lingkungan pada usahaternak sapi perah di Belanda menggunakan fungsi produksi frontier stochastic. Peneliti lain yaitu Yang (2009) menganalisis efisiensi produksi dan lingkungan serta faktor-faktor yang mempengaruhinya pada usahaternak babi di Taiwan. Dengan demikian penelitian efisiensi lingkungan pada usahaternak ayam niaga petelur merupakan hal yang dianggap baru. Penelitian tentang daya saing pada bidang pertanian sangat banyak ditemukan, sedangkan penelitian yang terfokus pada bidang peternakan dari hasil telusur pustaka adalah penelitian yang dilakukan oleh Sunandar (2005) tentang analisis insentif ekonomi,
10 keunggulan komparatif, dan keunggulan kompetitif usahaternak sapi potong di Kabupaten Gunung Kidul. Dengan demikian penelitian tentang daya saing usahaternak ayam niaga petelur dianggap memiliki kebaruan. Hal baru yang kemudian ditambahkan dalam penelitian ini adalah menggabungkan antara efisiensi produksi, lingkungan dan daya saing terhadap usahaternak ayam niaga petelur yang dilakukan di Kabupaten Banyumas, terlebih lagi di Kabupaten Banyumas terdapat 60 orang penerima Kredit Usaha Rakyat untuk ayam niaga petelur yang merupakan proyek percontohan pertama di Indonesia. Selain hal tersebut penelitian ini juga melihat hubungan efisiensi produksi dengan efisiensi lingkungan, serta efisiensi produksi dengan daya saing.