BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

dokumen-dokumen yang mirip
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

KEJAHATAN DAN PELANGGARAN TERHADAP NYAWA DAN TUBUH ORANG

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

BAB II PENERAPAN KONSEP NOODWEER DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN SEBAGAI AKIBAT ADANYA TINDAK PIDANA KEHORMATAN KESUSILAAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Bab XXI : Menyebabkan Mati Atau Luka-Luka Karena Kealpaan

BAB III DESKRIPSI PASAL 44 AYAT 4 UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG KETENTUAN PIDANA KEKERASAN SUAMI KEPADA ISTERI DALAM RUMAH TANGGA

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan

BAB III ANALISIS PERBANDINGAN PENGANIYAAN TERHADAP IBU HAMIL YANG MENGAKIBATKAN KEGUGURAN JANIN ANTARA HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF

BAB IV ANALISIS FIQH JINAYAH TERHADAP PIDANA CABUL KEPADA ANAK DI BAWAH UMUR

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP SANKSI ABORSI YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DIBAWAH UMUR

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB III KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PRESPEKTIF HUKUM POSITIF (UNDANG-UNDANG R.I NOMOR 23 TAHUN 2004)

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KARENA KELALAIANNYA MENYEBABKAN ORANG LAIN MENINGGAL DUNIA PADA KECELAKAAN LALU-LINTAS.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

I. PENDAHULUAN. Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam Undang-undang

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP HUKUMAN BAGI RESIDIVIS PENCURIAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II. Regulasi penerbangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun. itu harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 102 ayat (1) KUHAP yang

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMENJARAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN NO.203/PID.SUS/2011/PN.

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

BAB XX KETENTUAN PIDANA

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

BAB II. PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Hukum Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pertanggungjawaban pidana Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Fisik Dalam Lingkup Rumah Tangga

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ANAK TURUT SERTA DENGAN SENGAJA MEMBUJUK ANAK MELAKUKAN PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

Lex Et Societatis Vol. V/No. 9/Nov/2017

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. mempunyai tiga arti, antara lain : 102. keadilanuntuk melakukan sesuatu. tindakansegera atau di masa depan.

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM ATAS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI SIDOARJO TERHADAP TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG DILAKUKAN ANAK DIBAWAH UMUR

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak

BAB V PEMBAHASAN. Penelitian yang dilakukan pada 80 (delapan puluh) lembar putusan dari 7

BAB II PENGATURAN MALAPRAKTEK KEDOTERAN DI INDONESIA

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

I. PENDAHULUAN. Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah warga negara Indonesia yang

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

Wajib Lapor Tindak KDRT 1

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

Pengadilan Tinggi tersebut;

TINJAUAN HUKUM TERHADAP SANTUNAN BAGI KELUARGA KORBAN MENINGGAL ATAU LUKA AKIBAT KECELAKAAN LALU LINTAS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BAB III KONSEP DASAR TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN ANAK OLEH ORANG TUANYA MENURUT HUKUM PIDANA POSITIF

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBUNUHAN BERENCANA. tertentu tanpa menyebutkan wujud dari tindak pidana. Unsur-unsur yang dapat

BAB II ATURAN HUKUM YANG MENGATUR MENGENAI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. A. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

KEBIJAKAN SANKSI PIDANA TERHADAP ORANG TUA YANG TIDAK MELAKSANAKAN PENETAPAN UANG NAFKAH ANAK OLEH PENGADILAN PASCA PERCERAIAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

Bab XXV : Perbuatan Curang

Transkripsi:

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA A. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Kekekerasan Fisik terhadap Istri dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Suatu perbuatan digolongkan dalam tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana yang diatur dalam undang-undang ini apabila kekerasan tersebut dilakukan terhadap orang-orang yang mempunyai hubungan darah, kekerabatan, atau orang lain yang bekerja dan menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut, sebagaimana yang termuat dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yaitu: 1. Suami, istri, dan anak 2. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang yang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga dan/atau 3. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, kekerasan fisik didefenisikan sebagai perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

Namun dalam Pasal 6 tersebut tidak dijelaskan mengenai klasifikasi dan bentuk-bentuk daripada tindak kekerasan fisik tersebut tetapi dijelaskan hanya akibat dari perbuatan kekerasan fisik tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa kekerasan fisik ini merupakan perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memberikan rasa tidak enak (rasa sakit) pada diri seseorang sehingga menyebabkan timbulnya akibat-akibat tersebut. Dalam rumusan Pasal 6 tersebut selain memuat mengenai batasan pengertian dari kekerasan fisik tersebut sekaligus juga memuat unsur-unsur dari tindak pidananya tersebut sebagai persyaratan untuk menggolongkan suatu perbuatan dalam sebuah tindak pidana dan harus dibuktikan satu persatu dalam persidangan. Adapun unsur-unsurnya adalah sebagai berikut: 1. Perbuatan, 2. Yang mengakibatkan, 3. Rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat Dalam rumusan tindak kekerasan fisik tersebut terdapat unsur perbuatan yang berarti adalah perbuatan seeorang yang dilakukan secara sadar dan sengaja, akibat yang kelihatan dari perbuatan itu, atau mungkin keadaan tertentu yang menyertai perbuatan tersebut yang dilakukan oleh subjek hukum yang mampu bertanggungjawab. 65 Perbuatan dalam ketentuan rumusan ini dapat diartikan sebagai perbuatan yang melukai fisik seperti memukul dengan tangan kosong, menendang, menampar, mencekik, memukul dengan benda, dan lain sebagainya. 65 Sudarto, op. cit., hlm. 41.

Sedangkan unsur yang mengakibatkan merupakan timbulnya suatu bentuk atau keadaan baru bagi orang atau korban yang mengalaminya akibat terjadinya perbuatan kekerasan fisik tersebut. Bentuk atau keadaan baru bagi orang yang mengalami kekerasan fisik tersebut yang berupa rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Pengertian dari rasa sakit ini adalah suatu keadaan dimana korban mengalami penurunan kesehatan atau penderitaan yang menyebabkan rasa tidak nyaman atau tidak enak pada anggota tubuh tertentu. Sedangkan jatuh sakit dapat dipahami sebagai keadaan dimana seseorang yang mengalami penurunan kesehatan atau penderitaan yang akut dan menyebabkan terganggunya keadaan fisik menjadi tidak normal sehingga tidak dapat menjalankan aktifitas sehari-hari. Luka berat merupakan penyakit atau luka yang diharapkan tidak akan sembuh lagi dengan sempurna atau mendatangkan bahaya maut, terus menerus, tidak cakap lagi menjalankan jabatan atau pekerjaan, gangguan terhadap panca indera, gugurnya kandungan seorang perempuan, dan kematian pada korban. 66 Kekerasan fisik ini dapat dibagi dalam kekerasan fisik berat dan kekerasan fisik ringan yang dilihat dari akibat perbuatannya tersebut seperti: 61 1. Kekerasan fisik berat, berupa penganiayaan berat seperti menendang, memukul, menyundut, melakukan percobaan pembunuhan, atau pembunuhan dan semua perbuatan lain yang mengakibatkan: 66 Pasal 90 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) 61 http://lbh.apik.or.id/kdrt-bentuk.html diakses tanggal 15 April 2015 pukul 22.00 WIB

a. Cedera berat b. Tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari c. Pingsan d. Luka berat pada tubuh korban yang sulit disembuhkan atau menyebabkan bahaya mati e. Kehilangan salah satu panca indera f. Mendapat cacat g. Gugurnya kandungan seorang perempuan h. Kematian korban 2. Kekerasan fisik ringan, berupa menampar, menjambak, mendorong, atau perbuatan lain yang mengakibatkan: a. Cedera ringan b. Rasa sakit dan luka fisik yang tidak termasuk dalam kategori berat Kekerasan fisik sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang ini menimbulkan ketentuan-ketentuan pidana terhadap siapa saja yang secara sah dan meyakinkan terbukti melakukan tindak kekerasan fisik yang dilakukan terhadap istri dalam lingkup rumah tangga. Dalam pengaturan mengenai sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan fisik ini, hukuman terhadap pelalu dibedakan berdasarkan akibat-akibat yang ditimbulkan daripada perbuatan pelaku tersebut. Adapun pengaturan tentang penjatuhan sanksi pidana dijatuhkan secara terpisah sesuai dengan perbuatan dan akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana

kekerasan fisik terhadap istri tersebut seperti yang diatur dalam Pasal 44 Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Adapun bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut: (1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana yang dimaksud Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). (2) Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). (3) Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). (4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap suami terhadap istri atau sebaliknya tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari dipidana dengan pidana 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah). Dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku, hakim juga dapat menjatuhkan pidana tambahan terhadap pelaku seperti yang tercantum dalam Pasal 50 Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang terdiri dari: a. Pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku. b. Penetapan pelaku mengikuti program konseling dibawah pengawasan lembaga tertentu. Ketentuan pidana sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 44 undangundang ini tergolong dalam rumusan tindak pidana berbentuk gekwalifikasir yang

dalam rumusannya hanya memuat unsur perbuatannya dan disertai dengan unsur pemberatannya saja. Dalam tindak kekerasan fisik yang dikategorikan sebagai tindak pidana kekerasan fisik ringan sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 44 ayat (4) dijadikan sebagai delik aduan. 67 Akibat dari berlakunya delik aduan ini maka proses penegakan hukum sesuai dengan mekanisme hukum pidana hanya baru dapat dilakukan apabila adanya pengaduan dari pihak korban yang merasa dirugikan atas suatu tindak pidana kekerasan fisik dalam rumah tangga dan pihak korban atau pihak yang merasa dirugikan tersebut dapat juga mencabut tuntutannya tersebut terhadap pelaku sehingga mengakibatkan berhentinya proses penyidikan dan menutup perkara tindak pidana tersebut. Diberlakukannya delik aduan dalam ketentuan pasal ini dilatarbelakangi oleh karena akibat yang timbulkan dari kekerasan fisik sebagaimana tercantum dalam pasal tersebut tidak menimbulkan akibat atau penderitaan yang parah seperti sakit, jatuh sakit, ataupun luka parah. Sehingga penyelesaian dari tindak pidana tersebut selain dengan ketentuan hukum pidana, dapat juga diselesaikan secara kekeluargaan atau mediasi apabila pihak yang menjadi korban tindak pidana mencabut tuntutannya. Sedangkan ketentuan dalam Pasal 44 ayat ayat (1), (2), dan (3) merupakan tindak pidana kekerasan fisik dalam rumah tangga berat sehingga dijadikan sebagai delik biasa yang proses penuntutannya dilakukan tanpa harus Rumah Tangga 67 Pasal 51 Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

menunggu adanya pengaduan dari pihak korban. Proses hukumnya juga tidak dapat dihentikan meskipun pihak istri atau korban telah mencabut tuntutannya dan pelaku harus tetap mempertanggungjawabakan perbuatannya tersebut sesuai dengan ketentuan hukum pidana. Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan pasal-pasal tersebut bersifat publik. Hal yang melatarbelakangi tindak pidana tersebut dijadikan sebagai delik biasa adalah sebab pada tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana yang dirumusakan dalam Pasal 44 ayat (1), (2), dan (3) mengakibatkan timbulnya akibat yang besar dan sangat merugikan pihak iatri sebagai korban. Sehingga untuk memberi efek jera bagi pelaku dan mencegah orang lain untuk melakukan perbuatan serupa, maka tindak pidana tersebut dimasukkan dalam delik biasa yang penyelesaiannya menggunakan ketentuan hukum pidana dan mempunyai hukuman pidana maksimum yang tinggi serta denda maksimum yang besar. Dalam undang-undang ini juga diatur secara rinci mengenai hak-hak istri sebagai korban tindak pidana kekerasan fisik yang terdiri dari mendapatkan perlindungan, pelayanan kesehatan, penanganan secara khusus yang berkaitan dengan kerahasiaan korban, pendampingan oleh pekerja sosial atau bantuan hukum, dan pelayanan bimbingan rohani serta diatur juga mengenai kewajiban masyarakat untuk mencegah berlangsungnya tindak pidana, memberikan perlindungan kepada korban, memberikan pertolongan darurat, dan membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.

Dalam proses peradilan pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan fisik terhadap istri menggunakan hukum acara yang digunakan adalah ketentuan hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia pada saat ini yakni Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang disebut juga sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Namun dapat juga dilakukan perubahan apabila ditentukan lain sesuai dengan Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, tergantung dari jenis tindak pidana dan korbannya. Sehingga dengan demikian, pada setiap proses penyidikan, penuntutan, pemeriksaan dan pembuktian di muka persidangan terhadap pelaku kekerasan fisik terhadap istri ini harus sesuai dan berdasarkan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) demi menjamin perlindungan dan hak-hak asasi pelaku. B. Batasan Pengaturan Tindak Pidana Penganiayaan terhadap Istri dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tindak pidana penganiayaan terhadap istri tergolong dalam kejahatan terhadap badan seseorang dan di defenisikan sebagai perbuatan yang sengaja mengakibatkan rasa tidak enak, sakit, atau luka pada tubuh korban. Atau dalam pengertian lain penganiayaan adalah sengaja merusak kesehatan orang lain. Setiap perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja dan tidak dengan maksud yang patut atau melewati batas yang diizinkan. 68 68 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Politeia, Bogor, 1994, hlm. 245.

Tindak pidana penganiayaan terhadap istri pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diatur dalam Bukum II Bab XX, Pasal 356 ayat (1) yang termasuk dalam kategori tindak pidana penganiayaan tertentu yang memberatkan Hukuman. Dalam Pasal 356 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut hukuman terhadap pelaku dapat ditambah dengan sepertiga dari hukuman tindak pidana penganiayaan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 351, 353, 354, dan 355. Dalam Pasal 356 ayat (1), berlakunya ketentuan pasal tersebut apabila tindak pidana penganiayaan tersebut dilakukan terhadap ibu, bapak, suami, istri dan anak pelaku. Diaturnya tindak pidana penganiayaan yang dilakukan terhadap sesama anggota keluarga dalam lingkup rumah tangga karena tindak pidana tersebut dipandang sebagai perbuatan yang lebih buruk dan mempunyai kesalahan yang lebih besar daripada penganiayaan terhadap orang lain. Tujuan diperberatnya hukuman pada tindak penganiayaan tersebut adalah suntuk melindungi kerukunan rumah tangga dan mencegah dilakukannya penganiayaan dalam rumah tangga Sebab terhadap sesama anggota keluarga seharusnya bersikap dan bertindak penuh kasih sayang, sebab diantara mereka ada hubungan ketergantungan, masing-masing saling membutuhkan, dan keterikatan batin. 69 2010, hlm. 37. 69 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Rajawali Press, Jakarta,

Adapun jenis-jenis tindak pidana penganiayaan sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 356 ayat (1) tersebut dapat di kategorikan dalam beberapa bentuk yaitu: 1. Tindak Pidana Penganiayaan Biasa Tindak pidana penganiayaan biasa ini diatur dalam Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dari rumusan pasal ini tidak memuat tentang unsur-unsur yang terdapat dalam tindak pidana tersebut tetapi hanya menyebutkan kualifikasi umum dari tindak pidana penganiayaan dan ancaman hukuman terhadap orang melakukannya. Berdasarkan rumusan pasal ini, tindak pidana penganiayaan biasa ini merupakan suatu perbuatan merusakkan kesehatan seseorang yang menyebabkan timbulnya rasa sakit atau luka pada tubuh seseorang. Berdasarkan doktrin dan pendapat dari arrest-arrest HR, maka tindak pidana penganiayaan dalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan ditunjukkan untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain, yang mana akibat tersebut merupakan tujuan dari si pelaku. Dari pengertian tersebut maka penganiayaang mempunyai unsur-unsur sebagaimana berikut: a. Adanya kesengajaan b. Adanya perbuatan c. Adanya akibat perbuatan (dituju) yakni: 1. Rasa sakit, tidak enak pada tubuh 2. Lukanya tubuh

d. Akibat mana menjadi satu-satunya tujuan. Walaupun unsur-unsur tersebut tidak ada dalam Pasal 351, akan tetapi harus disebutkan dalam surat dakwaan dan harus dibuktikan di persidangan. 70 Suatu perbuatan dikategorikan sebagai tindak pidana penganiayaan biasa ini telah cukup apabila telah termuat unsur-unsur yang dapat menyebabkan rasa sakit atau luka sebagai tujuan atau kehendak dari pelaku. 71 Sehingga walaupun korbannya sampai meninggal dunia, tetap dikategorikan sebagai tindak pengaiayaan biasa sebab tujuan pelaku melakukan penganiayaan tersebut adalah hanya untuk memberikan rasa sakit atau luka pada tubuh korban dan meninggalnya korban tersebut adalah diluar kehendak dari pelaku. Untuk membuktikan mengenai timbulnya rasa sakit atau luka akibat dari suatu tindak pidana penganiayaan maka harus dibuktikan dari keterangan dokter atau rumah sakit yang memeriksa korban tindak pidana penganiayaan itu. Adapun sanksi pidana terhadap tindak penganiayaan biasa ini dibedakan menjadi: a. Tindak pidana penganiayaan dihukum penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan penjara. b. Jika perbuatan penganiayaan tersebut menjadikan luka berat, pelaku dihukum selama-lamanya 5 (lima) tahun penjara. 70 Ibid., hlm. 10. 71 Moch. Anwar, op. cit., hlm. 103.

c. Jika perbuatan itu menyebabkan matinya korban, pelaku dihukum selama-lamanya 7 (tujuh) tahun penjara. Terhadap percobaan dalam melakukan tindak pidana penganiayaan biasa ini tidak dapat dihukum. 2. Tindak Pidana Penganiayaan yang Direncanakan Pengertian dari tindak pidana penganiayaan yang direncanakan ini bahwa antara adanya maksud pelaku dengan terjadinya tindak pidana tersebut mempunyai jeda waktu untuk pelaku memikir dan merancang bagaimana penganiayaan itu dapat dilakukan. Jeda waktu ini juga tidak boleh terlalu pendek dan juga tidak perlu terlalu lama, yang terpenting adalah pelaku dapat dengan tenang berpikir guna melakukan tindak pidana tersebut dan masih ada kesempatan untuk pelaku membatalkan perbuatannya tersebut. 72 Adapun sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana ini sebagaimana diatur dalam Pasal 353 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), diantaranya adalah: a. Terhadap tindak pidana penganiayaan biasa dihukum penjara selamalamanya 4 (empat) tahun. b. Terhadap tindak pidana penganiayaan biasa yang menyebabkan luka berat dihukum penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun. c. Terhadap tindak pidana penganiayaan biasa yang menyebabkan kematian dihukum penjara selama-lamanya 9 (sembilan) tahun. 72 Ibid., hlm. 241.

Sedangkam dalam Pasal 355 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diatur tentang penganiayaan berat yang direncanakan dengan sanksi pidana sebagai berikut: a. Terhadap tindak pidana penganiayaan berat yang direncanakan terlebih dahulu dihukum penjara selama-lamanya 12 (dua belas) tahun penjara. b. Terhadap tindak pidana penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian dihukum penjara 15 (lima belas) tahun penjara. 3. Tindak Pidana Penganiayaan Berat Dalam rumusan Pasal 354 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), hal yang paling esensi dalam tindak pidana penganiayaan berat ini adalah adanya niat dan maksud pelaku untuk menyebabkan luka berat pada diri korban, namun apabila tidak ada niat atau maksud dari pelaku tersebut, maka perbuatan pelaku tersebut digolongkan dalam penganiayaan biasa yang berakibat luka berat atau kematian. 73 Unsur-unsur perbuatannya terdiri dari unsur subjektif: dengan sengaja, unsur objektif: melukai berat orang lain. Adapun sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan berat ini adalah: a. Apabila pelaku dengan sengaja melakukan penganiayaan berat dihukum dengan penjara selama-lamanya 8 (delapan) tahun. Apabila direncanakan terlebih dahulu, dihukum penjara selama-lamanya 12 (dua belas) tahun penjara. 73 Ibid., hlm. 247.

b. Jika tindak pidana penganiayaan tersebut mengakibatkan meninggalnya seseorang pelaku dihukum penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun. Dalam tindak pidana penganiayaan ringan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 352 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak termasuk dalam jenis tindak pidana yang diatur dalam Pasal 356 ayat (1) tersebut. Sehingga apabila tindak pidana penganiayaan ringan tersebut dilakukan terhadap orang-orang dalam lingkup rumah tangga, maka tidak termasuk dalam kategori tindak pidana penganiayaan ringan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 352 tersebut, tetapi tetap dikategorikan dalam tindak pidana penganiayaan yang memberatkan hukuman sebagaimana dalam Pasal 356 ayat (1) Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP). 74 Dalam Pasal 352 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dimaksud dengan tindak pidana penganiayaan ringan adalah tindak pidana penganiayaan yang tidak menjadikan sakit atau halangan untuk melakukan jabatan atau pekerjaan kecuali yang tersebut dalam Pasal 353 dan 356 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tindak pidana ini dikategorikan sebagai kejahatan ringan yang akibat atau rasa sakit yang ditimbulkan terhadap korban tidaklah berat sehingga tidak mengganggu kesehatan korban secara signifikan. 74 R. Soesilo, Op. Cit., hlm. 246.

Ancaman pidana terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan ringan ini adalah pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyakbanyaknya Rp. 4.500,00 (empat ribu lima ratus rupiah. Percobaan terhadap tindak pidana ini tidak dapat dihukum. Namun tindak pidana ini yang dilakukan dengan perencanaan terlebih dahulu tidak termasuk dalam ruang lingkup pasal ini. Dari penjabaran di atas, tindak pidana penganiayaan dalam rumah tangga yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) membedakan sanksi pidana dari tiap-tiap tindak pidana penganiayaan sesuai dengan unsurunsur perbuatan dan akibat yang ditimbulkan dari terjadinya tindak pidana tersebut. Semua jenis tindak pidana penganiayaan dalam ketentuan undangundang ini termasuk dalam delik biasa sebab tidak ada diatur mengenai jenis delik dalam pasal-pasal tindak pidana penganiayaan tersebut. Dalam ketentuan hukum mengenai tindak pidana penganiayaan dalam rumah tangga sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ini, tidak ada mengatur secara khusus mengenai perlindungan dan pemulihan terhadap korban. Adapun mekanisme yang dapat ditempuh oleh korban sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 98 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hukuman pokok yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana penganiayaan lebih banyak bersifat hukuman langsung terhadap fisik (hukuman penjara). Alternatif hukuman selain penjara hanya ada berupa hukuman denda sebagaimana yang termuat dalam Pasal 351.

Hukuman tambahan juga dapat dijatuhkan kepada pelaku hanya pada tindak pidana penganiayaan dalam rumah tangga yang termuat dalam Pasal 353 tentang penganiayaan yang direncanakan dan Pasal 355 tentang penganiayaan berat yang direncanakan yakni berupa pencabutan hak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 35 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) nomor 1 sampai dengan 4 yang terdiri dari: 1. Hak untuk menjabat segala jabatan atau jabatan yang ditentukan 2. Hak untuk dapat masuk ke dalam angkatan bersenjata 3. Hak untuk memilih dan dipilih pada pemilihan umum 4. Hak untuk menjadi penasehat, wali, wali yang diakui negara, kurator, dan kurator pengawas atas orang lain dan anaknya sendiri Terhadap hukuman tambahan ini tidak ada kewajiban bagi hakim untuk menjatuhkannya pada setiap tindak pidana tersebut, hakim hanya menjatuhkan hukuman tambahan tersebut apabila berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukumnya, hakim berpendapat bahwa hukuman tambahan tersebut perlu dijatuhkan terhadap pelaku. Cakupan berlakunya ketentuan pidana dalam tindak pidana penganiayaan terhadap istri ini adalah bagi setiap subjek hukum yang tidak terdapat alasan pemaaf maupun pembenar serta mampu bertanggungjawab atas perbuatannya. Dalam proses peradilan pidananya, harus sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai hukum formilnya dan proses pemeriksaan dimuka pengadilan menggunakan acara pemeriksaan biasa.

C. Perbedaan Rumusan Tindak Pidana Kekerasan Fisik/Penganiayaan terhadap Istri dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dengan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan suatu perbuatan yang mengakibatkan timbulnya rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Sedangkan dalam tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan suatu perbuatan yang menyebabkan timbulnya rasa sakit atau luka pada tubuh seseorang. Berdasarkan dari defenisi di atas, kekerasan fisik terhadap istri dan tindak pidana penganiayaan terhadap istri terdapat kesamaan dalam hal unsur-unsurnya maupun akibat dari perbuatannya walaupun ada perbedaan istilah pada kedua rumusan tindak pidana yang diatur dalam kedua peraturan perundang-undangan tersebut. Secara umum pada kedua bentuk tindak pidana tersebut menyatakan bahwa akibat dari terjadinya tindak pidana itu mengakibatkan timbulnya penurunan kesehatan dan timbulnya penderitaan pada tubuh istri yang menjadi korbannya. Kekerasan fisik sebagaimana yang diatur dalam Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan bagian dari ketentuan tindak pidana khusus yang pengaturannya diluar dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dengan demikian berlakulah asas lex specialis derogat lex generalis (ketentuan hukum yang bersifat khusus

mengenyampingkan ketentuan hukum yang bersifat umum). Asas tersebut telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang termuat di dalam Pasal 63 ayat (2) yang mengatur bahwa jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, kemudian diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan. Dalam hal ini ketentuan yang bersifat khusus adalah kekerasan fisik yang diatur dalam Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan ketentuan yang bersifat umum adalah tindak pidana penganiayaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sehingga dengan demikian setiap perbuatan tindak pidana penganiayaan atau kekerasan fisik yang dilakukan dalam rumah tangga termasuk dalam ruang lingkup Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sehingga proses penegakan hukumnya menggunakan ketentuan dalam undang-undang tersebut dan mengenyampingkan ketentuan yang bersifat umum yakni tindak penganiayaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Begitu juga selama tidak ada ketentuan yang bersifat khusus tersebut, maka tetap berlaku ketentuan yang bersifat umum. Seperti dalam tindak pidana penganiayaan yang dilakukan dalam rumah tangga termasuk dalam ruang lingkup Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagai ketentuan yang bersifat khusus. Sedangkan terhadap tindak pidana penganiayaan yang dilakukan terhadap orang lain diluar anggota keluarga

tetap menggunakan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai ketentuan yang bersifat umum. Perkembangan kriminalitas di masyarakat juga telah mendorong lahirnya ketentuan pidana khusus yang pengaturannya ada di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagaimana yang telah dijelaskan dalam latar belakang pembentukan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 75 Tujuan daripada dibentuknya pengaturan terhadap tindak-tindak pidana yang bersifat khusus ini adalah untuk mengisi kekurangan ataupun kekosongan hukum yang tidak tercakup pengaturannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), namun dengan pengertian bahwa pengaturan itu masih tetap dan berada dalam batas-batas yang diperkenankan oleh hukum pidana materil maupun formil. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada dasarnya juga telah diatur mengenai tindak penganiayaan yang dilakukan terhadap istri dalam lingkup rumah tangga sebagaimana yang termuat dalam Pasal 356 ayat (1). Namun dalam ketentuan Pasal tersebut tidak ada dijelaskan secara khusus mengenai istilah rumah tangga tetapi dalam rumusannya hanya menjelaskan bahwa tindak pidana penganiayaan yang dilakukan terhadap ibu, bapak, suami, istri dan anak dari pelaku dengan bentuk tindak pidana penganiayaan yang ditentukan dalam Pasal 351, 353, 354, dan 355 Kitab Undang-Undang Hukum 75 Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 10-11.

Pidana (KUHP) maka hukumannya dapat ditambah sepertiga dari masing-masing hukuman tindak pidana yang ditentukan dalam pasal-pasal tersebut. Sedangkan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dapat dijatuhi hukuman pidana adalah setiap orang yang melakukan kekerasan fisik terhadap: a. Suami, istri, dan anak b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang yang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga dan/atau c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ruang lingkup rumah tangga hanya mencakup ibu, bapak, suami, istri, dan anak dari pelaku saja. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ruang lingkup selain yang disebutkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di atas, juga mengalami perluasan ruang lingkup yang meliputi orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang yang sebagaimana dimaksud pada karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga dan orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

Dalam rumusan tindak pidana kekerasan fisik dalam rumah tangga sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, seseorang yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengan pelaku juga menjadi subjek hukum dalam tindak pidana kekerasan fisik dalam rumah tangga dengan syarat orang itu bekerja dan menetap dalam rumah tangga tersebut sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 2 huruf c undang-undang tersebut. Sehingga dapat diketahui bahwa ruang lingkup cakupan pada tindak pidana kekerasan fisik dalam rumah tangga yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga mempunyai cakupan yang lebih luas dibanding tindak pidana penganiayaan dalam rumah tangga sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam penerapan sanksi pidana terhadap pelaku, terdapat perbedaan rumusan antara kekerasan fisik atau penganiayaan terhadap istri yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dengan Pasal 356 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pada tindak pidana kekerasan fisik terhadap istri dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, pelaku dijatuhi sanksi pidana seseuai dengan akibat yang ditimbulkan oleh perbuatannya tersebut setelah memenuhi unsur-unsur utama sebagaimana yang

ditentukan dalam Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Sedangkan pada tindak pidana penganiayaan terhadap istri pada Pasal 356 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dikategorikan sebagai tindak pidana penganiayaan dengan pemberatan yang hukuman terhadap pelaku dapat ditambah sepertiga sesuai dengan jenis tindak pidana penganiayaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 351, 353, 354, dan 355 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP). Adapun perbedaan maksimal hukuman pidana pada kedua rumusan tindak pidana tersebut secara lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 1 Perbedaan Sanksi Pidana Maksimum Tindak Pidana Kekerasan Fisik/Penganiayaan terhadap Istri yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Jenis tindak pidana Penganiayaan biasa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Paling lama 5 (lima tahun) penjara atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Paling lama 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan penjara atau denda paling banyak Rp. 4.500,00 (empat ribu lima ratus rupiah) Apabila ditambah sepertiga: Paling lama kurang lebih 3 (tiga) tahun 8 (delapan) bulan penjara

Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat Penganiayaan yang mengakibatkan kematian Paling lama 10 (sepuluh) tahun penjara atau denda paling banyak Rp. 30.000.000 (tiga puluh juta rupiah) Paling lama 15 (lima belas) tahun penjara atau denda paling banyak Rp. 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah) Paling lama 5 (lima) tahun penjara Apabila ditambah sepertiga: Paling lama kurang lebih 6 (enam) tahun 6 (enam) bulan penjara Paling lama 7 (tujuh) tahun penjara Apabila ditambah sepertiga: Paling lama kurang lebih 9 (sembilan) tahun 3 (tiga) bulan penjara Penganiayaan ringan Paling lama 4 (empat) bulan penjara atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) (Penganiayaan yang dilakukan terhadap istri tidak digolongkan dalam penganiayaan ringan) Pada tabel ketentuan tindak pidana penganiayaan terhadap istri yang dirumuskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah ketentuan Pasal 356 ayat (1) juncto Pasal 351 dengan ditambah sepertiganya. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak ada dijelaskan lebih rinci mengenai jenis-jenis tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sehingga penulis menganggap ketentuan dalam Pasal 351 tersebut adalah yang paling sesuai berdasarkan unsur-unsur yang termuat di dalam ketentuan pidana yang dirumuskan dalam Pasal 44 ayat (1) Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Berdasarkan pada uraian dapat terlihat perbedaan hukuman pidana pokok antara tindak pidana kekerasan fisik atau penganiayaan terhadap istri dalam

rumah tangga pada kedua peraturan perundang-undangan tersebut. Sanksi pidana terhadap pelaku kekerasan fisik terhadap istri dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga mempunyai hukuman maksimum yang lebih tinggi dan denda maksimum yang jauh lebih banyak daripada sanksi pidana tindak pidana penganiayaan terhadap istri yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga juga telah diatur mengenai bentuk tindak pidana kekerasan fisik ringan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 44 ayat (4). Sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tindak pidana penganiayaan ringan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 352 apabila dilakukan terhadap istri ataupun anggota keluarga lainnya di dalam lingkup rumah tangga tidak dapat digolongkan dalam tindak pidana penganiayaan ringan. Dengan demikian, setiap tindak pidana penganiayaan yang dilakukan terhadap bapak, ibu, anak, istri, atau suami pelaku tetap berlaku ketentuan Pasal 356 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Selain bentuk pidana pokok, pada kedua aturan hukum tersebut juga diatur mengenai bentuk pidana tambahan. Namun bentuk pidana tambahan dalam tindak pidana kekerasan fisik atau penganiayaan terhadap istri yang diatur pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga berbeda dengan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pelaku tindak pidana kekerasan fisik terhadap istri, pelaku dapat dijatuhkan hukuman tambahan yang berupa: 1. Pembatasan gerak pelaku yang bertujuan untuk menjauhkan korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku 2. Penetapan pelaku mengikuti program konseling dibawah pengawasan lembaga tertentu Sedangkan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hukuman tambahan terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan terhadap istri diatur dalam Pasal 357 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bentuk hukuman tambahan yang dapat dijatuhkan kepada pelaku hanya berlaku pada ketentuan Pasal 356 ayat (1) juncto Pasal 353 tentang penganiayaan yang direncanakan dan Pasal 355 tentang penganiayaan berat yang direncanakan, yang berupa pencabutan hak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 35 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana nomor 1 sampai dengan 4 yang terdiri dari: 1. Hak untuk menjabat segala jabatan atau jabatan yang ditentukan 2. Hak untuk dapat masuk ke dalam angkatan bersenjata 3. Hak untuk memilih dan dipilih pada pemilihan umum 4. Hak untuk menjadi penasehat, wali, wali yang diakui negara, kurator, dan kurator pengawas atas orang lain dan anaknya sendiri Jenis delik yang terdapat dalam tindak kekerasan fisik terhadap istri dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tangga dibedakan dalam delik biasa dan delik aduan.

Semua jenis tindak pidana kekerasan fisik terhadap istri termasuk dalam delik biasa kecuali pada tindak pidana kekerasan fisik ringan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari yang termasuk dalam delik aduan. Sedangkan pada tindak pidana penganiayaan terhadap istri sebagaimana yang diatur Pasal dalam 356 ayat (1) juncto Pasal 351, 353, 354, dan 355 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada disebutkan mengenai tindak pidana penganiayaan yang termasuk dalam delik aduan maupun delik biasa. Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semua jenis tindak pidana penganiayaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut termasuk dalam delik biasa yang penyelesaiannya harus dengan menggunakan ketentuan hukum pidana. Mengenai aspek perlindungan terhadap korban, dalam dalam Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga diatur secara rinci mengenai hal tersebut yang terdiri dari: 1. Hak-hak korban 2. Kewajiban pemerintah dan masyarakat 3. Pemulihan terhadap korban Sedangkan dalam tindak pidana penganiayaan dalam rumah tangga sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada mengatur aspek-aspek perlindungan korban sebagaimana yang diatur dalam Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Pada dasarnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak mengatur mengenai pemberian ganti rugi ataupun perlindungan terhadap korban sebagai pidana pokok maupun pidana tambahan. Ganti rugi terhadap korban hanya diatur dalam Pasal 14c pada hukuman pidana bersyarat. Namun ganti rugi disini bukan sebagai jenis atau bentuk pidana, melainkan hanya sebagai syarat agar pelaku tidak menjalani pidana pokok yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim. 76 Sehingga pada tindak pidana penganiayaan terhadap istri yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), mekanisme yang dapat ditempuh oleh korban untuk menuntut hak-haknya dalam sistem peradilan pidana di Indonesia adalah sama dengan tindak pidana lainnya secara umum, yakni hanya dalam bentuk mendapatkan ganti rugi. Tata cara untuk mendapatkan ganti rugi tersebut adalah dengan meminta hakim yang menangani perkara tersebut untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian ke dalam perkara tindak pidana penganiayaan tersebut yang dilakukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan sanksi pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 76 Maya Indah, Perlindungan Korban Suatu Persfektif Viktimologi dan Kriminologi, Kencana Pramedia Group, Jakarta, 2014, hlm. 173.