BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Industri tapioka merupakan industri rumah tangga yang memiliki dampak positif bila dilihat dari segi ekonomis. Namun dampak pencemaran industri tapioka sangat dirasakan bagi masyarakat yang berada di sekitar wilayah industri tapioka tersebut. Dampak tersebut merupakan pengaruh limbah cair yang tidak mengalami proses pengolahan terlebih dahulu sebelum dibuang ke badan air atau permukaan tanah sehingga dapat mengganggu kesehatan serta nilai estetika. Hal ini disebabkan karena sifat atau karakteristik dari limbah cair industri tapioka. Limbah cair industri tapioka tradisional mencapai 14-18 m 3 per ton ubi kayu. Dengan teknologi yang lebih baik jumlah limbah cair dapat direproduksi menjadi 8 m 3 /ton ubi kayu. Limbah cair industri tapioka mengandung padatan tersuspensi 1.000-10.000 mg/l dan bahan organik 1.500-5.300 mg/l. 22 Desa Ngemplak Kidul Kecamatan Margoyoso Kabupaten Pati merupakan salah satu sentral industri tapioka yang dekat dengan aliran sungai Suwatu di sepanjang desa hingga ke arah timur menuju laut. Limbah cair tapioka yang dihasilkan dari industri tersebut dibuang ke aliran sungai tanpa melewati proses pengolahan limbah cair terlebih dulu. Karakteristik kualitas air limbah dari sentra industri tapioka di desa Ngemplak Kidul kecamatan Margoyoso adalah sebagai berikut : BOD : 4.000 6.000 mg/l; COD : 5.000 10.000 mg/l; TSS : 1.200 1.300 mg/l; CN - : 0,0 0,6 mg/l. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 89 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air bahwa kandungan zat organik dan asam sianida (HCN) maksimum yang diperbolehkan pada limbah cair industri tapioka, yaitu : BOD : 150 mg/l; COD : 300 mg/l; TSS : 100 mg/l; CN - : 0,3 mg/l; ph : 6 9. 6 Singkong (Manihot Utilissima) merupakan bahan utama pembuatan tapioka.
Di dalam singkong, baik pada umbi maupun daunnya mengandung glikosida cyanogenik. Zat ini dapat menghasilkan HCN atau senyawa asam biru yang bersifat sangat toksik (beracun). Umbi dan daun singkong yang mengandung racun biasanya ditandai dengan berasa pahit dan baunya yang langu. Perebusan dan perendaman dalam air mengalir dapat mengurangi kandungan racun HCN di dalamnya, hal ini dikarenakan sifat dari HCN yang larut di dalam air. Akan tetapi berdasarkan penelitian Nurrohim (2005), ditemukan kandungan HCN pada limbah cair keluaran produksi tapioka melebihi batas maksimum yang diperbolehkan pada limbah cair industri tapioka. 17 Penurunan kandungan HCN merupakan upaya di dalam mengolah limbah cair tapioka. Hal ini dikarenakan HCN merupakan salah satu bahan pencemar anorganik yang paling penting. Dalam air, sianida terdapat sebagai HCN, suatu asam lemah dengan pka = 6 x 10-10. Ion sianida mempunyai afinitas kuat terhadap banyak ion logam, dan merupakan gas yang mudah menguap dan beracun. 1 Perlu adanya alternatif dalam pengolahan limbah cair untuk mengurangi beban pencemar, zat pencemar tersebut merupakan kandungan zat organik dan HCN pada limbah cair industri tapioka. Pencucian ubi kayu dalam air mengalir dan pemanasan yang cukup, sangat ampuh untuk mencegah terbentuknya HCN yang beracun. Proses pemanasan juga dapat menghilangkan kandungan racun HCN. Kadar HCN pada ubi kayu sangat bervariasi sesuai dengan jenis atau varietasnya. Begitupun dengan setiap proses perlakuan memberikan tingkat penekanan kadar HCN yang berbeda. 21 Limbah kulit udang yang berupa kulit, kepala dan ekor yang mudah didapat mengandung senyawa kimia berupa protein, kalsium karbonat dan kitin. Senyawa ini dapat diolah dan dimanfaatkan sebagai bahan bahan pengolahan limbah cair yang dihasilkan oleh limbah industri. Hal ini dimungkinkan karena senyawa senyawa tersebut memiliki sifat sebagai pengemulsi, koagulasi, reaktifitas kimia dan meyebabkan sifat polielektrolit kation sehingga berperan sebagai penukar ion (ion exchanger).
Pemanfaatan senyawa kitin dapat digunakan sebagai penetral kandungan HCN dalam limbah cair tapioka. Kitin berasal dari bahasa Yunani yang berarti baju rantai besi. Kitin sebagai prekursor kitosan pertama sekali ditemukan pada tahun 1811 oleh Henri Braconnot yang diisolasi dari jamur, dan 10 tahun kemudian ditemukan kitin dari kulit serangga. Pada tahun 1823 Odins mengisolasi suatu senyawa kultikula serangga Jenis ekstra yang disebut dengan nama kitin. Kitin merupakan kostituen organik yang penting pada hewan golongan orthopoda, annelida, molusca, corlengterfa dan nematoda. Kitin berkonjugasi dengan protein dan tidak hanya terdapat pada kulit dan kerangkanya saja. Tetapi juga terdapat pada trachea, insang, dinding usus, dan pada bagian dalam kulit cumi cumi. 23 Kitin merupakan polimer kedua terbesar dibumi setelah selulosa dan merupakan konstituen utama dari kulit luar binatang air crustacea. Pada umumnya keberadaan kitin di alam tidak terdapat dalam keadaan bebas, akan tetapi berikatan dengan protein, mineral, dan berbagai macam pigmen (zat warna). Walaupun kitin tersebar luas di alam, sumber utama yang dapat digunakan memproduksi kitin dalam skala besar dan dijadikan untuk pengembangan lebih lanjut adalah kitin yang terdapat pada Crustaceae yang dipanen secara komersil seperti kepiting, udang, dan lobster. Kitin dari jenis Crustaceae ini banyak tersedia dalam jumlah besar sebagai limbah industri pangan. 23 Senyawa kitin merupakan suatu biopolimer (poli-n Asetil Glukosamin). Deasetilasi kitin akan menghasilkan senyawa yang lebih potensial, yaitu kitosan atau poli [β-(1-4)-2-amino-2-deoksi-d-glukopiranosa] atau D glukosamina, dengan derajat deasetilasi tertentu. Kitin banyak sekali pemanfaatannya, seperti pada bidang farmasi, kesehatan, pertanian dan industri. Kitin juga dapat digunakan sebagai koagulan dan flokulan dalam pengolahan air. 3 Kitin yang memiliki gugus amina yaitu adanya unsur N bersifat sangat reaktif dan bersifat basa. Prinsip netralisasi kitin adalah menukar ion dimana garam amina yang terbentuk karena reaksi amina dengan asam akan mempertukarkan proton yang dimiliki logam pencemar dengan elektron yang dimiliki oleh nitrogen (N). Kitin merupakan salah satu contoh dari polielektrolit. Polielektrolit merupakan
bagian dari polimer khusus yang dapat terionisasi dan mempunyai kemampuan untuk membuat terjadinya suatu flokulasi dalam medium cair sehingga dapat mengikat ion dalam asam sianida. 23 Dalam proses netralisasi asam - basa, terdapat sejumlah besar asam dan basa yang dapat ditetapkan dengan proses titrimetri. Jika HA menyatakan asam yang akan ditetapkan dan BOH basanya, reaksinya adalah 4 : Berdasarkan latar belakang tersebut, maka akan diteliti seberapa efektifkah senyawa kitin dalam menurunkan kadar HCN dalam limbah cair industri tapioka. Penelitian ini merupakan modifikasi upaya pengolahan air yang didasarkan dari penelitian Iyan Ferdiyana (2007) dan Ari Andrian (2007) tentang manfaat senyawa kitin dalam pengolahan limbah cair. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan masalah yaitu Bagaimanakah efektifitas senyawa kitin pada perubahan kadar HCN dalam proses netralisasi limbah cair tapioka? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui efektifitas senyawa kitin pada perubahan kadar HCN dalam limbah cair tapioka. 2. Tujuan Khusus a Menganalisis perubahan suhu sebelum dan sesudah proses netralisasi berdasarkan dosis senyawa kitin. b. Menganalisis perubahan ph limbah cair tapioka sebelum dan sesudah proses netralisasi berdasarkan dosis senyawa kitin
c. Menganalisis perubahan kadar HCN pada limbah cair tapioka sebelum dan setelah proses netralisasi dengan senyawa kitin. d. Menentukan dosis senyawa kitin yang efektif dalam menetralisir HCN dalam limbah cair tapioka D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat bagi industri tapioka Dapat menjadi bahan masukan bagi pengelola industri tapioka dalam kegiatan pengolahan limbah cair industri tapioka. 2. Manfaat bagi ilmu pengetahuan Dapat menjadi bahan wacana keilmuan kesehatan masyarakat di bidang kesehatan lingkungan terutama pengolahan limbah cair. E. Bidang Ilmu Penelitian ini merupakan penelitian di bidang ilmu kesehatan masyarakat dengan menitikberatkan pada aspek kesehatan lingkungan. F. Keaslian Penelitian Penelitian ini mengacu pada beberapa penelitian sebelumnya yang tersaji dalam tabel 1.1 berikut ini :
Tabel 1.1 Keaslian Penelitian No Peneliti Judul Desain Variabel bebas Hasil (th) Studi dan terikat 1. Iyan Unjuk Kinerja Eksperiment Adsorben Terjadi efisiensi Ferdiyana Adsorben kitosan pengurangan BOD, (2007) Kitosan Degradasi COD, TSS, Pada Degradasi amoniak amoniak, sulfide Amoniak dan krom 2 Ari Uji Kinerja Eksperiment - Kitosan ph 8 dan Andrian Kitosan - Koagulasi waktu kontak (2007) Sebagai 80 menit Koagulan merupakan Pada kondisi Pengolahan optimum Limbah Cair adsorbsi kimia Industri dalam limbah Tekstil model pada kitosan Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Iyan Ferdiyana adalah pada modifikasi konsentrasi senyawa kitin sebagai penetral dan penggunaan limbah cair tapioka sebagai sampelnya. Dalam penelitian Iyan Ferdiyana tersebut, peneliti menggunakan senyawa kitin untuk mengadsorbsi degradasi amoniak pada limbah cair. Penelitian kali ini akan digunakan ekstrak senyawa kitin dengan variasi konsentrasi 0,5 gr; 1,0 gr; 1,5 gr; 2,0 gr. Dari keempat variasi konsentrasi ekstrak senyawa kitin tersebut, peneliti akan menguji efektifitas penurunan kandungan HCN dalam limbah cair tapioka. 2, 6