BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara berpikir remaja mengarah pada tercapainya integrasi dalam hubungan sosial (Piaget dalam Hurlock, 1980). Masa remaja merupakan masa yang penuh konflik, periode perubahan yang terjadi pada pola perilaku dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial, serta merupakan masa pencarian identitas. Perubahanperubahan tersebut bagi remaja kadang-kadang merupakan situasi yang tidak menyenangkan dan sering menimbulkan masalah. Permasalahan-permasalahan tersebut menuntut suatu penyelesaian agar tidak menjadi beban yang dapat mengganggu perkembangan selanjutnya (Hurlock, 1980) Havighurst (dalam Hurlock, 1980) mengatakan salah satu tugas perkembangan remaja adalah mencapai kemandirian. Erikson (dalam Steinberg, 2002) menambahkan bahwa perkembangan kemandirian merupakan suatu isu psikososial penting sepanjang rentang kehidupan dan paling menonjol terjadi ketika masa remaja. Selama masa remaja, terjadi pergerakan dari ketergantungan masa kanak-kanak menuju kemandirian masa dewasa. Kemandirian merupakan kemampuan individu untuk bertingkah laku sesuai keinginannya, kemampuan untuk dapat menjalani kehidupan tanpa adanya ketergantungan kepada orang lain, dapat melakukan kegiatan sehari-hari, mengambil keputusan, serta mengatasi masalah (Gracinia, 2004).
Steinberg (2002) membagi kemandirian menjadi beberapa aspek penting yaitu: kemandirian emosi, kemandirian perilaku dan kemandirian nilai. Kemandirian emosi berhubungan dengan kemampuan remaja untuk mulai melepaskan diri secara emosi dengan orang tua mereka dan mengalihkannya pada hubungan dengan teman sebaya tanpa memutuskan hubungan dengan orang tua. Remaja yang mandiri secara emosi dapat melihat serta berinteraksi dengan orang tua mereka sebagai orang-orang yang dapat mereka ajak untuk bertukar pikiran. Kemandirian dalam berperilaku merupakan kemampuan remaja untuk bisa mandiri dalam membuat keputusanya sendiri dan mengetahui kepada siapa dia harus meminta nasehat dalam situasi yang berbeda-beda. Kemandirian nilai berhubungan dengan kemampuan remaja berpikir secara abstrak. Artinya, remaja akan berpikir tentang suatu masalah dalam beberapa sudut pandang untuk menyatakan benar dan salah. Remaja yang mandiri secara nilai memiliki keyakinan-keyakinan yang berhubungan dengan moral, politik dan agama. Perkembangan aspek-aspek kemandirian di atas pada umumnya tidak terjadi secara bersamaan. Kemandirian emosional berkembang lebih awal dan menjadi dasar bagi perkembangan kemandirian perilaku dan nilai. Pada saat remaja mengembangkan secara lebih matang kemandirian emosionalnya, secara perlahan remaja mengambangkan kemandirian perilaku. Kemandirian nilai pada remaja berkembang lebih akhir dalam rentang usia antara 18 sampai dengan 21 tahun, sedangkan kemandirian emosional dan perilaku berlangsung selama masa remaja awal dan pertengahan (Steinberg, 2002).
Menurut Mappiare (1982) kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk tidak selalu tergantung pada orang tua atau orang dewasa lainnya secara emosional, mampu mengatur keuangannya sendiri dan dapat memilih serta mempersiapkan dirinya ke arah pekerjaan. Seorang remaja yang mandiri dapat menentukan pilihan tanpa menggantungkan diri pada orang-orang di sekitarnya untuk menentukan pilihan yang akan diambilnya, termasuk dalam memenuhi kebutuhannya. Steinberg (2002) menambahkan bahwa remaja yang mandiri adalah remaja yang memiliki kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri secara bertanggung jawab meskipun tidak ada pengawasan dari orangtuanya. Pencapaian kemandirian sangat penting bagi remaja, karena hal itu sebagai tanda kesiapannya untuk memasuki fase berikutnya dengan berbagai tuntutan yang lebih beragam sebagai orang dewasa. Kegagalan dalam pencapaian kemandirian dapat berdampak negatif pada diri remaja. Ketergantungan pada orang lain menyebabkan seorang remaja selalu ragu-ragu dalam mengambil keputusan sendiri, tidak percaya diri, mudah terpengaruh oleh orang lain (Mappiare, 1982). Yunita, dkk (2002) mengatakan selama masa remaja, tuntunan terhadap kemandirian ini cukup besar. Kemandirian remaja secara spesifik menuntut suatu kesiapan remaja baik secara fisik maupun emosional untuk mengatur, melakukan aktivitas dan bertanggung jawab tanpa banyak tergantung pada orang lain. Kurangnya pengalaman remaja dalam menghadapi berbagai masalahnya, akan membuat remaja kesulitan untuk dapat memperoleh kemandirian.
Menurut Hurlock (1999) salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kemandirian individu adalah pola asuh. Baumrind (dalam Maccoby, 1982) mendefinisikan pola asuh sebagai interaksi antara orang tua dengan remaja yang meliputi proses mendidik, membimbing, mendisiplinkan dan melindungi remaja untuk mencapai kedewasaan yang sesuai dengan norma-norma yang ada pada masyarakat. Suatu kegiatan yang selalu terjadi di dalam kehidupan manusia dengan proses kompleks yang melibatkan kegiatan kelahiran, melindungi anak, merawat anak serta membimbing anak (Colbert. 1997). Pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Sikap tersebut meliputi cara orangtua memberikan aturan-aturan dan memberikan perhatian (Gunarsa, 2002). Baumrind (dalam Santrock, 2003) membagi pola asuh menjadi tiga tipe yaitu otoriter, otoritatif dan permisif. Pola asuh otoriter merupakan bentuk pola asuh orangtua yang pada umumnya sangat ketat dan kaku ketika berinteraksi dengan anaknya. Remaja dengan pola asuh otoriter cenderung akan bergantung pada orang tua tidak mampu membuat keputusan dan tidak bertanggung jawab dengan apa yang dilakukannya. Pola asuh otoritatif merupakan bentuk pola asuh anak dilibatkan dalam membuat keputusan yang berkaitan dengan keluarga dan kegiatan anak. Orangtua dengan pola asuh ini akan terlihat hangat namun tetap tegas. Remaja dengan pola asuh ini akan memiliki rasa percaya diri dan pengendalian diri yang baik mereka juga akan mandiri. Selanjutnya adalah pola asuh permisif dimana orang tua hanya membuat sedikit perintah dan jarang menggunakan kekerasan dan kekuasaan untuk mencapai pengasuhan anak, orang
tua cenderung memperbolehkan anak remajanya bertingkah laku semaunya. Anak lebih bebas berbuat sekehendaknya dan orang tua dianggap tidak perlu berkuasa dan tidak mendorong anak untuk patuh. Orangtua dengan pola asuh permisif juga kurang memonitor perilaku anaknya. Pada umumnya remaja dengan pola asuh ini kurang mandiri, kurang bertanggungjawab dan suka menang sendiri. Menurut Baumrind pola asuh otoritatif adalah pola asuh yang ideal. Pola asuh yang mampu menghasilkan remaja yang mandiri sedangkan pola asuh lainnya otoriter dan permisif akan menghasilkan remaja yang kurang mandiri. Remaja yang mendapat pola asuh otoriter cenderung tidak mandiri, karena terlalu banyaknya tuntutan dari orangtua dan kontrol yang sangat ketat sehingga remaja tidak diberi kesempatan untuk menentukan apa yang diinginkannya dan tidak mampu mengungkapkan apa yang dirasakannya. Hal berbeda dengan pola asuh permisif, fenomena yang datang dari peneliti sendiri dan beberapa orang yang mendapat pola asuh permisif dari orangtua ternyata dapat menjadi remaja yang mandiri. Pola asuh permisif yang saya dapat dari orangtua, memberi banyak kebebasan pada saya untuk dapat melakukan banyak hal membuat saya menjadi mandiri. Pelajaran yang didapat dari lingkungan membuat saya mampu membedakan mana yang baik dan yang buruk. Menentukan pilihan sesuai keinginan tanpa ada pengaruh dari orang lain. Dari hasil wawancara singkat dan pengambilan data dengan kuisioner terhadap enam orang remaja yang mendapat pola asuh permisif dari orangtuanya, keenam remaja ini rata-rata mandiri. Baik secara emosi yang tidak tergantung lagi dengan orangtua dan telah
mengalihkannya dengan teman sebaya, secara perilaku kemampuan dalam penyelesaian masalah dan tanggungjawab. Secara nilai dapat membedakan hal-hal yang baik dan yang buruk. Fenomena di atas dikuatkan dengan teori pandangan liberal di Inggris, juga menyarankan supaya anak sebaiknya diberikan kebebasan penuh untuk melakukan apa yang menjadi keinginannya. Jika anak berbuat kesalahan, maka orang tua tidak perlu ikut serta untuk memperbaikinya dan memberi kesempatan pada anak untuk memperbaiki sendiri dirinya sendiri. Paham ini memandang bahwa seorang anak secara alamiah telah memiliki suatu kemampuan untuk dapat mengurus dan mengatur dirinya sendiri, sehingga orang lain tidak perlu ikut campur tangan agar anak jadi mandiri (Neill dalam Basembun, 2008). Perbedaan pandangan dan fenomena yang ada mengenai pola asuh permisif terhadap kemandirian remaja, membuat peneliti tertarik untuk meneliti gambaran kemandirian pada remaja dengan pola asuh permisif. B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian pada latar belakang penelitian, maka dalam penelitian ini peneliti ingin melihat bagaimana gambaran kemandirian remaja yang diasuh dengan pola asuh permisif. Bagaimana gambaran kemandirian remaja ditinjau dari setiap aspek kemandirian. Adapaun pertanyaan lain dalam penelitian ini yang akan peneliti pada hasil penelitian adalah gambaran kemandirian remaja ditinjau dari perbandingan tiap aspek kemandirian.
C. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan kemandirian remaja dengan pola asuh permisif. D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi kemajuan atau pengembangan ilmu psikologi khususnya psikologi perkembangan masa remaja. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya teori-teori mengenai kemandirian remaja dan pola asuh permisif. 2. Manfaat praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi : a. Orang tua Memberi masukan kepada orang tua yang menggunakan pola asuh permisif mengenai baik atau buruknya pola asuh yang digunakannya dan seperti apa nantinya kemandirian remaja tersebut. b. Remaja Memberi masukan serta penjelasan kepada remaja mengenai perkembangan kemandirian yang dimilikinya dipengaruhi oleh interaksi antara orang tua dengan remaja.
E. SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : BAB I. Pendahuluan. Pada bab ini akan dijelaskan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. BAB II. Landasan Teori. Pada bab ini akan diuraikan landasan teori tentang pola asuh permisif, kemandirian dan remaja. BAB III. Metode Penelitian. Pada bab ini akan dijelaskan mengenai metode penelitian yang digunakan. Di sini akan dijabarkan mengenai definisi operasional penelitian, variabel penelitian, subjek penelitian, metode pengumpulan data dan instrumen alat ukur yang digunakan. BAB IV. Analisa Data dan Pembahasan. Bab ini berisikan uraian hasil penelitian, analisis data dan pembahasan hasil penelitian. BAB V. Kesimpulan dan Saran. Bab ini membahas mengenai kesimpulan hasil penelitian dan saran untuk penyempurnaan penelitian atau bahan rujukan penelitian di masa yang akan datang, saran bagi orangtua dan remaja.