BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Selama dua dekade ini, kecurangan pelaporan keuangan menjadi isu yang penting karena telah menyebabkan kerugian finansial dan non finansial seperti permasalahan sistem keuangan dan kebangkrutan. Perusahaan global seperti Enron, Worldcom, Tyco, dan Symbol Technologies merupakan contoh dari kecurangan pelaporan keuangan yang memiliki akibat sangat serius (Schilit & Perler, 2010). Hasil survei yang dilakukan Ernst & Young (2013) menunjukan, 30% dari responden yang disurvei meyakini bahwa perusahaan yang ada di negara responden menyajikan laporan keuangan tidak sebagaimana mestinya. Laporan EY tersebut juga mengungkap bahwa di negara yang masuk sebagai kategori pasar yang berkembang, 67% responden meyakini praktik suap dan korupsi semakin meluas. Kecurangan pelaporan keuangan secara nyata telah menyebabkan kerugian finansial dan non finansial. Dalam riset yang dilakukan KPMG (2012), jumlah total kerugian yang terjadi mencapai sekitar 4,5 triliyun rupiah dimana setiap organisasi rata-rata mengalami kerugian sebesar 36 milyar rupiah. Fenomena kecurangan pelaporan keuangan ini menarik perhatian untuk diteliti, misalnya seperti penelitian yang dilakukan oleh Johnson, et al. (2013) tentang persepsi auditor mengenai narsisme klien, Rijsenbilt & Commandeur (2013) tentang kecurangan pelaporan keuangan yang dilakukan seseorang dengan narsisme, dan Gullkvist & Jokipii (2013) tentang bendera merah. Di sisi lain, respon dari praktisi juga muncul seperti 1
diwujudkan dalam perubahan standar audit yang berlaku. Salah satu organisasi profesi akuntansi terkemuka, American Institute of Certified Public Accountants (AICPA) mengeluarkan standar baru yakni Statement on Auditing Standard (SAS) 99 yang membahas mengenai karakteristik kecurangan dan sikap yang harus ditunjukan auditor terhadap kecurangan yang mungkin ataupun telah terjadi. Berkaitan dengan kecurangan pelaporan keuangan pula, profesi akuntansi di Indonesia melalui Institut Akuntan Publik Indonesia telah menerbitkan Standar Audit Seksi 316 (IAPI, 2011). Salah satu pembahasan dari SA Seksi 316 adalah penilaian risiko kecurangan. Penilaian risiko kecurangan merupakan bentuk tanggung jawab auditor eksternal dalam rangka memperoleh keyakinan bahwa laporan keuangan sebuah entitas telah bebas dari salah saji material yang disebabkan kecurangan menurut SA Seksi 316 paragraf dua belas (IAPI, 2011). Penilaian ini dilakukan auditor eksternal sejak tahap perencanaan audit hingga tahap evaluasi bukti audit. Auditor harus berperan secara aktif untuk selalu menggali informasi mengenai di bagian mana dari laporan keuangan ataupun proses bisnis yang rentan terhadap kecurangan (Vona, 2008). Dalam menetapkan risiko kecurangan auditor dapat menggunakan bendera merah (red flags) sebagai sinyal adanya kecurangan pelaporan keuangan seperti yang disebutkan dalam SAS 99. Bendera merah merupakan istilah yang lazim digunakan dalam proses audit untuk mendeteksi kecurangan dan merupakan indikator yang efektif. Beberapa penelitian akuntansi telah banyak dilakukan untuk 2
menilai efektivitas bendera merah dalam audit, seperti yang telah dilakukan Smith, et al. (2005), Moyes (2008), Akbar (2008), Sengur (2012), dan Utomo (2014). Salah contoh bendera merah ialah narsisme klien, seperti disebutkan dalam penelitian Johnson, et al. (2013). Johnson, et al. (2013 menggolongkan narsisme sebagai faktor risiko perilaku kecurangan dan menurut penelitian Hammersley (2011), dapat dikategorikan sebagai petunjuk khusus pada situasi tertentu. Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) mendefinisikan narsisme sebagai sifat kekaguman terhadap diri sendiri secara berlebihan. Paulhus & Williams (2002) berpendapat bahwa narsisme terkenal sebagai karakteristik personal yang menyimpang. Narsisme dapat berwujud dalam berbagai macam bentuk, seperti kinerja intelektual, ketertarikan terhadap suatu fisik tertentu, dominasi dan orientasi umum (Morf & Rhodewalt, 2001). Narsisme merupakan perilaku menyimpang yang dapat dijumpai pada berbagai macam individu. Pada tahun 2007, sebuah penelitian akuntansi telah mengungkapkan adanya hubungan antara indikator narsisme dari Chief Executive Officer (CEO) seperti foto dalam laporan tahunan dan penggunaan kata ganti orang pertama dengan tindakan berisiko yang mungkin diambil oleh CEO tersebut (Chatterjee & Hambrick, 2007). Seseorang yang memiliki narsisme tinggi akan lebih fokus pada tujuan akhir yang akan dicapai daripada proses mencapai tujuan tersebut (Furtner, et al., 2011; Morf & Rhodewalt, 2001). Faktor lain yang juga diduga mempengaruhi penilaian auditor eksternal atas risiko kecurangan adalah skeptisme profesional. Sebagai usaha mengurangi dampak buruk kecurangan pelaporan keuangan, auditor menjadi bagian terdepan 3
dari sistem pencegahan kecurangan pelaporan keuangan. Pengetahuan dan karakter yang dimiliki auditor memiliki kaitan dengan tingkat skeptisme profesional auditor (Nelson, 2009). Oleh karena itu, auditor perlu mengembangkan skeptisme profesionalnya dalam rangka mengurangi dampak buruk dari kecurangan pelaporan keuangan. Terutama bagi auditor yang selama karirnya belum pernah menemui kecurangan sebelumnya, skeptisme profesional yang lebih tinggi sangat diperlukan (Payne & Ramsay, 2005). Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini melihat adanya dua faktor yang mempengaruhi penilaian auditor eksternal atas risiko kecurangan yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal misalnya skeptisme profesional auditor dan faktor eksternal misalnya narsisme klien. Dengan adanya faktor skeptisme profesional, auditor akan lebih peka terhadap salah saji material yang disebabkan oleh kecurangan, kemudian menjadi lebih baik dalam membuat penilaian risiko kecurangan. Sedangkan faktor narsisme dalam diri klien dapat mengarahkan seseorang kepada perilaku menyimpang sehingga auditor perlu melihat narsisme sebagai indikasi kecurangan pada saat membuat penilaian risiko kecurangan. Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui pengaruh kedua faktor tersebut terhadap penilaian risiko kecurangan dalam konteks auditor eksternal di Indonesia. Penelitian ini akan berbeda dengan sebelumnya karena menggabungkan skeptisme profesional dan narsisme klien sebagai faktor internal dan faktor eksternal auditor. Lebih lanjut, penelitian kecurangan pelaporan keuangan yang telah dipublikasi di negara berkembang masih terbatas jumlahnya sehingga penelitian ini akan menjadi literatur tambahan bagi negara berkembang, terutama Indonesia. 4
1.2. Pertanyaan Penelitian Perumusan masalah yang disajikan dalam penelitian ini dibuat dalam bentuk pertanyaan penelitian, yakni: 1.2.1. Apakah skeptisme profesional mempengaruhi secara positif penilaian auditor eksternal atas risiko kecurangan? 1.2.2. Apakah level dari narsisme klien mempengaruhi secara positif penilaian auditor eksternal atas risiko kecurangan? 1.3. Tujuan Penulisan Penelitian dilakukan untuk menguji secara empiris apakah skeptisme profesional sebagai faktor internal dan narsisme klien sebagai faktor eksternal berpengaruh positif terhadap penilaian auditor eksternal atas risiko kecurangan. 1.4. Manfaat Penulisan Penelitian yang dilaksanakan ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk berbagai macam pihak, yakni: 1.4.1. Memberikan informasi empiris mengenai pengaruh skeptisme profesional dan narsisme klien terhadap penilaian auditor eksternal atas risiko kecurangan. 1.4.2. Memberikan masukan bagi profesi di Indonesia mengenai pengaruh skeptisme profesional dan narsisme klien terhadap penilaian auditor eksternal atas risiko kecurangan sehingga dapat digunakan sebagai pertimbangan pembuatan kebijakan profesi. 5
1.5. Sistematika Penulisan Penelitian mengenai pengaruh skeptisme profesional dan narsisme klien terhadap penilaian auditor eksternal atas risiko kecurangan disusun sebagai berikut: BAB I : Pendahuluan Bab pertama berisi mengenai latar belakang masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penulisan, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II : Landasan Teori dan Pengembangan Hipotesis Bab kedua membahas mengenai landasan teori penelitian, rerangka konseptual, serta pengembangan hipotesis. Landasan teori yang digunakan adalah penilaian risiko kecurangan, skeptisme profesional, bendera merah dan narsisme. BAB III : Metodologi Penelitian Bab ketiga berisi metodologi penelitian yang digunakan selama penelitian berlangsung. Dalam bab metodologi penelitian ini dijelaskan lebih mendalam mengenai desain penelitian, partisipan, ukuran variabel operasional, instrumen penelitian, prosedur eksperimen, uji reliabilitas, uji validitas, uji cek manipulasi, serta pengujian hipotesis. BAB IV : Analisis Data Bab keempat menjelaskan mengenai analisis dan hasil penelitian yang telah dilakukan. Penjelasan dilakukan menggunakan tabel berisi angka statistika dan deskripsi secara umum. 6
BAB V : Keterbatasan, Saran, dan Kesimpulan Penelitian Pada kelima berisi keterbatasan penelitian, saran untuk penelitian selanjutnya dan kesimpulan penelitian. 7