BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Diabetes melitus tipe 2 adalah sindrom metabolik yang memiliki ciri hiperglikemia, ditambah dengan 3 patofisiologi dasar : sekresi insulin yang terganggu, resistensi insulin perifer, dan pembentukan glukosa yang berlebihan oleh hepar (Harrison, 2008). Menurut Panduan American Association of Clinical Endocrinologist tahun 2011, kriteria diagnosis dari diabetes melitus meliputi: (1) glukosa darah puasa 8 jam lebih dari atau sama dengan 126 mg/dl (2) glukosa darah plasma 2 jam setelah administrasi 75 gram glukosa oral lebih dari atau sama dengan 200 mg/dl (3) terdapat gejala hiperglikemi tidak terkontrol yang dikenal dengan trias diabetika : polidipsi, polifagi, dan poliuria ditambah glukosa darah plasma sewaktu lebih dari atau sama dengan 200 mg/dl (4) kadar HbA1c 6,5% atau lebih (AACE, 2011). Indonesia menduduki peringkat jumlah penderita diabetes melitus ke 4 setelah India, China, Amerika, diikuti oleh Jepang, Pakistan, Rusia, Brazil, Itali, dan 1
Bangladesh (Whiting et al., 2011). Diabetes merupakan salah satu penyakit metabolik dengan prevalensi terbesar yaitu 2,8% atau 7,1 juta penduduk menurut survei yang dilakukan oleh WHO pada tahun 2000, dan diramalkan akan mencapai 4,4% pada tahun 2030. Di Indonesia presentase ini dapat mencapai 5,7 % di daerah urban (Depkes, 2009). Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), jumlah pasien rawat jalan di rumah sakit sebanyak 1.695 orang, dan merupakan salah satu penyebab kematian pasien rawat inap (3,15%) (DINKES Yogyakarta, 2008). Diabetes melitus tipe 2 memiliki 3 patofisiologi dasar yaitu resistensi insulin perifer,sekresi insulin yang terganggu, dan pembentukan glukosa berlebihan oleh hepar. Resistensi insulin disebabkan oleh kombinasi dari faktor genetik dan obesitas. Patogenesis dari faktor genetik adalah adanya defek dari sinyal phospatidylinositide 3-kinase (PI-3 kinase), sehingga mengurangi translokasi glucose transporter 4(GLUT-4) pada membran plasma. Obesitas membuat asam lemak berlebih sehingga mengganggu penggunaan glukosa pada otot skelet, menambah pembentukan glukosa oleh hepar, dan mengganggu fungsi sel beta pankreas. Penyebab sekresi insulin yang 2
terganggu masih belum jelas, terdapat teori yang menjelaskan bahwa polipeptida amiloid dari sel islet pankreas atau amilin banyak di ko-sekresi bersama insulin dalam jangka panjang oleh sel beta pada pasien diabetes melitus tipe 2, tetapi masih belum diketahui apakah amilin tersebut merupakan kejadian primer atau sekunder. Pembentukan glukosa yang berlebihan oleh hepar disebabkan oleh resistensi sel hepar terhadap insulin sehingga menyebabkan hiperglikemi pada saat puasa dan berkurangnya kadar glikogen postprandial pada hepar (Harrison, 2008). Diabetes melitus dapat menimbulkan komplikasi makrovaskular, dan mikrovaskular. Komplikasi makrovaskular meliputi penyakit arteri koroner, vaskular perifer, dan cerebrovaskuler. Komplikasi mikrovaskular meliputi penyakit mata, nefropati, dan neuropati (Harrison 2008). Klasifikasi lain komplikasi penyakit diabetes meliputi penyakit komplikasi akut dan kronis. Komplikasi akut meliputi ketoasidosis diabetikum, status hiperglikemi hiperosmolar, serta asidosis laktat. Komplikasi kronis meliputi retinopati diabetikum, nefropati diabetikum, neuropati sensorimotor diabetikum, neuropati otonom diabetikum, sindrom kaki diabetikum, dan 3
penyakit arteri perifer (Sachdev, 2009). Penderita diabetes melitus memiliki resiko gangguan hati dan stroke sebesar 50% dan gagal ginjal sebesar 10-20% dibandingkan orang yang tidak menderita diabetes melitus (WHO, 2012). Diagnosis diabetes melitus tipe 2 didapat dari anamnesis terarah untuk menemukan gejala polidipsi, polifagi, dan poliuria. Diagnosis penunjang yang menjadi baku emas meliputi konsentrasi glukosa darah puasa dan sewaktu, tes toleransi glukosa oral, serta kadar HbA1c dalam darah. Glukosa darah puasa 8 jam bernilai positif apabila memiliki kadar 126 mg/dl. Tes toleransi glukosa oral bernilai positif apabila kadar glukosa darah plasma 2 jam setelah administrasi 75 gram glukosa oral 200 mg/dl. Glukosa darah plasma sewaktu memiliki nilai positif apabila memiliki kadar 200 mg/dl. Tes kadar HbA1c bernilai positif apabila memiliki kadar 6,5% (AACE, 2011). Terapi yang dianjurkan dalam penatalaksanaan diabetes melitus tipe 2 diawali dengan terapi awal berupa modifikasi gaya hidup dan pemberian obat antidiabetes yaitu metformin. Jika penatalaksanaan yang telah dijelaskan tidak memberikan hasil yang optimal maka 4
dilakukan tatalaksana selanjutnya yaitu penambahan satu obat oral antidiabetes seperti sulfonilurea, inhibitor alfa glukosidase, thiazolidinedion, atau inhibitor lipase intestinal. Jika dengan penambahan obat fase kedua masih belum memberikan hasil, diberikan administrasi kombinasi metformin dengan dua obat antidiabetes. Manajemen lini terakhir adalah administrasi insulin dosis jamak (ADA, 2012). Dikarenakan setiap obat antidiabetes memiliki mekanisme kerja berbeda maka efektivitas terhadap penurunan kadar glukosa darah juga berbeda. Maka dibutuhkan studi lebih lanjut mengenai efektivitas penurunan glukosa darah terhadap berbagai macam obat antidiabetes sebagai terapi tambahan pada metformin (Monami et al., 2008). Terapi kombinasi metformin dengan sulfonylurea merupakan terapi kombinasi yang direkomendasiken karena memiliki kadar penurunan HbA1c lebih baik daripada thiazolidinedione dan memiliki efikasi yang sama dengan penambahan insulin (Monami, 2008). Sulfonylurea juga memiliki keuntungan karena tidak memiliki efek samping dalam menaikkan berat badan tubuh (ADA, 2012).Sulfonylurea terdiri dari tiga golongan yaitu 5
generasi satu seperti glibenclamide, generasi dua seperti glicazide, gliburide, dan generasi tiga seperti glimepiride.karena memiliki banyak jenis, diperlukan analisis dalam mengambil keputusan pemilihan terapi kombinasi metformin dengan sulfonylurea. I.2 Perumusan Masalah Dari uraian di atas, dapat ditentukan 2 rumusan masalah : 1. Pemilihan terapi kombinasi metformin dengan satu obat sulfonylurea manakah yang paling efektif pada pasien diabetes melitus tipe 2 berdasarkan penurunan kadar glukosa darah sebagai parameter? 2. Pemilihan terapi kombinasi metformin dengan satu obat sulfonylurea manakah yang paling efisien pada pasien diabetes melitus tipe 2 berdasarkan rerata harga obat sebagai parameter? I.3 Tujuan Penelitian I.3.1 Tujuan umum Melakukan analisis pemilihan terapi kombinasi metformin dengan satu obat antidiabetes 6
sulfonylureapaling efektif dan efisien menurunkan glukosa darah pada penderita diabetes melitus tipe 2. I.3.2 Tujuan khusus 1. Membandingkan pengobatan metformin + glibenclamide, metformin + glicazide, dan metformin + glimepiride terhadap kadar gula darah puasa pada pada penderita diabetes melitus tipe 2. 2. Membandingkan pengobatan metformin + glibenclamide, metformin + glicazide, dan metformin + glimepiride terhadap rerata harga obat. I.4 Keaslian Penelitian Penelitian mengenai pengaruh 5 macam terapi lini dua dalam manajemen farmakologi penyakit diabetes melitus terhadap kadar glukosa darah sewaktu belum pernah dilakukan sebelumnya. Namun, ditemukan beberapa penelitian terkait,antara lain : 1. Monami et al. (2008) Judul penelitian tersebut adalah Comparison of different drugs as add-on treatments to metformin in type 2 diabetes: A meta-analysis. Tujuan penelitian ini adalah 7
untuk membandingkan efek penurunan glukosa darah pada terapi kombinasi metformin dan satu obat antidiabetes. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa terapi kombinasi menggunakan sulfonilurea, inhibitor alfa glukosidase, dan thiazolidinedion mampu menurunkan HbA1c secara berurutan sebesar 0,85; 0,61; dan 0,42 bila dibandingkan dengan plasebo. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian peneliti adalah penggunaan HbA1c sebagai parameter yang lebih baik dibandingkan dengan glukosa darah puasa dalam memonitor penderita diabetes melitus tipe 2. Selain itu terdapat beberapa studi yang meneliti beberapa terapi kombinasi metformin dan satu obat antidiabetes : Tabel 1. Jurnal-jurnal perbandingan terapi kombinasi metformin dengan satu obat antidiabetes Golongan Peneliti Judul Subyek Hasil perbedaan 8
Metformin + sulfonilurea Metformin + sulfonilurea González -Ortiz et al., 2009 Hsin-his et al., 2007 Efficacy of glimepirid/me tformin combination versus glibenclamide /metformin in patients with uncontrolled type 2 diabetes melitus Effect of Glyburide metformin combination tablets in patient with type 2 diabetes n = 125 uji acak terkend ali n = 166 uji acak terkend ali Dalam 12 bulan terapi kombinasi metformin dan glimepirid memiliki pasien yang mencapai target maksimal HbA1c <7% sebanyak 44,6% dibandingkan metformin dengan glibenclamide dengan 26,8% dari 152 subjek penelitian Pasien yang mendapat glyburide/ metformin 2.5 mg/ 500 mg b.i.d mengalami penurunan HbA1c 1,77% Metode uji acak terkendali, kriteria inklusi berbeda, hanya 2 jenis sulfonilurea, variabel tergantung HbA1c Metode uji acak terkendali, kriteria inklusi berbeda, hasil keluaran HbA1c I.5 Manfaat Penelitian 1. Klinisi Sebagai acuan untuk memilih obat dalam menangani pasien diabetes melitus tipe 2. 2. Masyarakat Dapat menerima peresepan obat diabetes melitus tipe dua lebih efektif dan sesuai dengan kondisi masing masing individu di masyarakat. 9