BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perusahaan merupakan sekelompok orang yang bekerja untuk mencapai suatu tujuan dalam suatu organisasi. Tujuan jangka pendek perusahaan yaitu memaksimalkan kemakmuran pemegang saham. Sedangkan tujuan jangka panjang yang menjadi prioritas suatu perusahaaan adalah memaksimalkan atau meningkatkan nilai perusahaan. Nilai perusahaan adalah harga sebuah saham yang telah beredar di pasar saham yang harus dibayar oleh investor untuk dapat memiliki sebuah perusahaan go public. Semakin tinggi nilai perusahaan menggambarkan semakin sejahtera pula pemiliknya. Nilai perusahaan akan tercermin dari harga pasar sahamnya (Fama dalam Ramadhan, 2014:21). Jensen (2001) menjelaskan bahwa untuk memaksimumkan nilai perusahaan tidak hanya nilai ekuitas saja yang harus diperhatikan, tetapi juga semua klaim keuangan seperti hutang, warran, maupun saham preferen. Manajer perusahaan mempunyai tujuan untuk meningkatkan nilai perusahaan melalui implementasi keputusan keuangan yang terdiri dari keputusan investasi, keputusan pendanaan, dan kebijakan deviden. Oleh sebab itu, dalam pelaksanaannya harus dilakukan dengan hati-hati dan tepat, mengingat setiap keputusan keuangan yang diambil akan mempengaruhi keputusan keuangan lainnya dan akan berdampak terhadap pencapaian tujuan perusahaan. Persaingan perusahaan yang begitu kompetitif, harus didukung dengan penyajian laporan keuangan yang wajar dan relevan.laporan keuangan dapat 1
2 memperlihatkan kinerja keuangan suatu perusahaan.laporan keuangan yang baik haruslah mencerminkan keadaan perusahan yang sesungguhnya. Pihak manajemen sebagai pihak yang secara langsung terlibat di dalam perusahaan pasti memiliki informasi yang lebih memadai dibandingkan dengan investor.investor cenderung hanya menerima informasi yang disampaikan oleh pihak manajemen melalui laporan keuangan tanpa mengetahui kondisi perusahaan yang susungguhnya.hal ini lah yang kemudian mencuat dan memunculkan agency theory. Permasalahan agency (agency problem) muncul ketika kepengurusan suatu perusahaan terpisah dari pemilikannya. Dewan komisaris dan direksi yang berperan sebagai agent dalam suatu perusahaan diberi kewenangan untuk mengurus jalannya perusahaan dan mengambil keputusan atas nama pemilik. Dengan kewenangan yang dimiliki, maka manajer mempunyai kemungkinan untuk tidak bertindak bagi kepentingan pemilik karena adanya perbedaan kepentingan. Agency theory menekankan pentingnya pemilik perusahaan (pemegang saham) menyerahkan pengelolaan perusahaan kepada tenaga-tenaga ahli (agent) yang lebih mengerti dalam menjalankan pengelolaan perusahaan (Sutedi, 2011).Jensen dan Meckling (1976) juga menyatakan bahwa hubungan keagenan adalah sebuah kontrak antara manajer (agent) dengan investor (principal).konflik kepentingan antara pemilik dan agen terjadi karena kemungkinan agen tidak selalu berbuat sesuai dengan kepentingan principal. Manajer sebagai pengelola
3 perusahaan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemilik (pemegang saham). Hal ini akhirnya mendesak akan adanya suatu sistem pengawasan yang baik yang dikenal dengan Good Corporate Governance (GCG) untuk memberi jaminan keamanan atas dana atau aset yang tertanam pada perusahaan tersebut sekaligus efisiensinya. Menurut Muh. Arief Effendi (2009) dalam bukunya The Power of Good Corporate Governance, pengertian GCG adalah suatu sistem pengendalian internal perusahaan yang memiliki tujuan utama mengelola risiko yang signifikan guna memenuhi tujuan bisnisnya melalui pengamanan asset perusahaan dan meningkatkan nilai investasi pemegang saham dalam jangka panjang. Bank Dunia (World Bank) mendefinisikan GCG sebagai kumpulan hukum, peraturan dan kaidah-kaidah yang wajib dipenuhi, yang dapat mendorong kinerja sumber-sumber perusahaan untuk berfungsi secara efisien guna menghasilkan nilai ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun masyarakat sekitar keseluruhan (Effendi, 2009). Secara umum, GCG adalah sistem dan struktur yang baik dalam mengelola perusahaan dengan meningkatkan nilai pemegang saham mengakomodasi berbagai pihak yang berkepentingan perusahaan (stakeholder), seperti: kreditor, pemasok, asosiasi bisnis, konsumen, pekerja, pemerintah dan masyarakat luas (Syakhroza, 2004). Hadirnya GCG dalam pemulihan krisis di Indonesia menjadi mutlak diperlukan, mengingat GCG mensyaratkan suatu pengelolaan yang baik dalam
4 sebuah organisasi. GCG merupakan sistem yang mampu memberikan perlindungan dan jaminan hak kepada stakeholders, termasuk di dalamnya adalah shareholders, lenders, employees, executives, government, customers dan stakeholders yang lain. (Naim,2000) Dua hal yang menjadi perhatian utama konsep ini adalah pertama, pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar (akurat) dan tepat pada waktunya. kedua, kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclosure) secara akurat tepat pada waktunya, dan transparan mengenai semua hal yang berkaitan dengan kinerja perusahaan, kepemilikan dan pemegang kepentingan (stakeholder) (YPPMI & Sinergy Communication, 2002). Mekanisme corporate governance yang diterapkan dengan tepat di dalam perusahaan, dapat meningkatkan efektifitas perusahaan tersebut sehingga dapat melaporkan kegiatan usahanya dengan baik melalui laporan keuangan sebagai sumber informasi kepada stakeholder. Perusahaan yang telah menerapkan corporate governance dengan baik seharusnya dapat meminimalkan risiko keputusan yang salah satu nya hanya dapat menguntungkan salah satu pihak saja.dengan begitu, tentu saja keputusan yang diambil akan semakin matang sehingga dapat meningkatkan nilai perusahaan. GCG merupakan salah satu elemen kunci dalam meningkatkan efisiensi ekonomis, yang meliputi serangkaian hubungan antara manajemen perusahaan, dewan komisaris, para pemegang saham dan stakeholders lainnya. Terdapat empat mekanisme GCG yang dipakai dalam penelitian ini yang bertujuan untuk
5 mengurangi konflik keagenan, yaitu kepemilikan institutional, kepemilikan manajerial, komisaris independen, dan komite audit (Andri dan Hanung, 2007). Melalui mekanisme kepemilikan institusional, efektivitas pengelolaan sumber daya perusahaan oleh manajemen dapat diketahui dari informasi yang dihasilkan melalui reaksi pasar atas pengumuman laba. Kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk mengendalikan pihak manajemen melalui proses monitoring. Presentase saham tertentu yang dimiliki institusi dapat mempengaruhi proses penyusunan laporan keuangan yang tidak menutup kemungkinan terdapat akrualisasi sesuai kepentingan pihak manajemen (Boediono, 2005:175). Kepemilikan saham manajerial, diharapkan manajer akan bertindak sesuai dengan keinginan principal karena manajer akan termotivasi untuk meningkatkan kinerja dan nantinya dapat meningkatkan nilai perusahaan (Siallagan dan Machfoedz, 2006). Ross et al. (dalam Siallagan dan Machfoedz, 2006) menyatakan bahwa semakin besar kepemilikan manajemen dalam perusahaan maka manajemen akan cenderung berusaha meningkatkan kinerjanya untuk kepentingan pemegang saham dan kepentingan sendiri. Kepemilikan saham manajemen adalah proporsi saham biasa yang dimiliki oleh para manajemen (Suranta dan Merdistuti, 2003). Peran dewan komisaris independen adalah melakukan fungsi pengawasan terhadap operasional perusahaan oleh pihak manajemen. Komposisi dewan komisaris independen dapat memberikan kontribusi yang efektif terhadap hasil dari proses penyusunan laporan keuangan yang berkualitas. Komite audit bertanggung jawab untuk mengawasi laporan keuangan, audit eksternal dan
6 sistem pengendalian internal. Bebarapa penelitian mengungkapkan bahwa perusahaan yang mempunyai komite audit memiliki resiko yang lebih kecil dibandingkan dengan perusahaan yang tidak mempunyai komite audit. Agar penyelenggaraan GCG dapat berjalan dengan baik, pemerintah telah mengeluarkan beberapa peraturan, antara lain Bapepam dengan surat edaran No. SE-03/PM/2000 mensyaratkan bahwa setiap perusahaaan publik di Indonesia wajib membentuk komite audit dengan anggota minimal 3 orang yang diketuai oleh satu orang komisaris independen perusahaan dengan dua orang eksternal yang independen terhadap perusahaan serta menguasai dan memiliki latar belakang akuntansi dan keuangan (Wulandari dalam Frysa, 2011:24). Dengan dibuatnya pedoman tersebut, maka diharapkan akan dapat mendorong terciptanya GCG bagi perusahaan. Perusahaan yang telah menerapkan GCG, wajib memenuhi prinsip-prinsip GCG sebagaimana dimuat dalam Pedoman GCG Perbankan Indonesia yang dikeluarkan oleh Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (2004) adalah suatu tata kelola yang mengandung lima prinsip utama yaitu keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability), tanggung jawab (responsibility), independensi (independency), dan kewajaran (fairness). Dengan adanya lima prinsip tersebut diharapkan dapat menjadi suatu jalan dalam mengurangi konflik keagenan serta nilai perusahaan akan dapat dinilai dengan baik oleh investor. Penerapan prinsip GCG secara konkret memiliki beberapa tujuan, antara lain memudahkan akses terhadap investasi domestik maupun asing, mendapatkan cost of capital yang lebih murah, memberikan
7 keputusan yang lebih baik dalam meningkatkan kinerja ekonomi perusahaan, meningkatkan keyakinan dan kepercayaan stakeholder terhadap perusahaan, melindungi direksi dan komisaris dari tuntutan hukum serta melindungi hak pemegang saham minoritas. Sektor perbankan merupakan industri yang memiliki karakteristik dan kompleksitas yang berbeda dengan sektor lain (Effendi, dalam Sefiana 2009:212). Karakteristik yang membedakan sektor perbankan dengan sektor lainnya adalah bahwa perbankan sebagai lembaga intermediasi di bidang keuangan yang dalam menjalankan usahanya menghadapi berbagai macam resiko usaha dan kegagalan kegiatan perbankan mempunyai pengaruh luas terhadap sektor ekonomi lainnya, baik mikro maupun makro. Selain itu, sebagai industri jasa bank harus memberikan pelayanan yang baik sesuai dengan fungsinya. Oleh karena itu, sektor perbankan mempunyai lembaga perbankan otoritas yang secara khusus melakukan pengawasan dan pembinaan. Hal lain yang menjadi karakteristik perbankan adalah kehati-hatian yang merupakan aspek sangat penting bagi suatu bank (Susilo dan Simamarta dalam Sefiana 2009:212). Industri perbankan mempunyai regulasi yang lebih ketat dibandingkan dengan industri lain, misalnya suatu bank harus memenuhi kriteria CAAR minimum. Bank Indonesia menggunakan laporan keuangan sebagai dasar dalam penentuan status suatu bank (apakah bank tersebut merupakan bank yang sehat atau tidak). Bank Indonesia selaku regulator lembaga perbankan telah mengeluarkan peraturan terkait upaya penerapan GCG di Indonesia, salah satunya adalah peraturan No. 8/4/PBI/2006 tanggal 30 januari 2006 tentang pelaksanaan GCG bagi bank umum
8 yang selanjutnya diubah dengan peraturan No. 8/14/PBI/2006 tentang pelaksanaan GCG bagi bank umum (FCGI 2008). Oleh karena itu, GCG diharapkan bisa berfungsi sebagai alat untuk memonitor kinerja bank dan untuk memberikan keyakinan kepada para investor bahwa mereka akan menerima return yang sesuai dengan investasi yang ditanamkan. Krisis moneter yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997-1998 membuat perekonomian nasional menjadi buruk. Pada pertengahan tahun 1998, bursa ditinggalkan oleh hampir semua investor asing, hanya pemain domestik yang bertahan di bursa saat itu. Indonesia dianggap sebagai negara yang tidak kompetitif untuk investasi jangka panjang, bahkan bursa Indonesia mencapai titik terendah dalam lima tahun terakhir bursa beroperasi, dan kini krisis global yang terjadi sejak Oktober 2008 juga membuat perekonomian nasional menjadi limbung. Salah satu penyebabnya adalah lemahnya penerapan praktik GCG pada perusahaan di Indonesia, seperti lemahnya hukum, standar akuntansi dan pemeriksaan keuangan (auditing) yang belum mapan, lemahnya pengawasan komisaris, dan terabaikannya hak minoritas (Kusumawati dan Riyanto, 2005). Sejak saat itu, baik pemerintah maupun investor mulai memberikan perhatian yang cukup signifikan dalam praktik corporate governance. Terjadinya krisis tahun 1997 di Indonesia juga berdampak pula pada salah satu sektor penyangga ekonomi yaitu perbankan, yang mengakibatkan krisis terparah dalam sejarah perbankan Indonesia. Sehingga pemerintah pada Maret 1999 mengeluarkan 2 kebijakan dengan melakukan penutupan bank, pengambilalihan 7 bank, rekapitulasi 9 bank, dan menginstruksikan 73 bank untuk
9 mempertahankan operasinya tanpa melakukan rekapitulasi sehingga pada tahun 2001 jumlah bank yang tersisa sebanyak 151 bank. Selain melaksanakan kebijakan reformasi perbankan, pada tahun 2004 pemerintah melalui Bank Indonesia (BI) melakukan pembenahan fundamental terhadap perbankan nasional yaitu dengan dikeluarkannya API (Arsitektur Perbankan Indonesia). API dibentuk bertujuan untuk membentuk sistem perbankan nasional yang bersifat menyeluruh dan memberikan arahan, bentuk, dan tatanan industri perbankan untuk rentang waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan. Corporate Governance yang lemah menjadi salah satu penyebab terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut. Ciri utamanya dari lemahnya GCG adalah adanya tindakan mementingkan diri sendiri di pihak manajer perusahaan (Darmawati dkk,2004). Hal ini membuat investor kehilangan kepercayaan terhadap pengembalian investasi yang telah mereka investasikan pada perusahaan. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengukur pengaruh mekanisme GCG terhadap nilai perusahaan dan ditemukan hasil yang beragam. Di Indonesia penelitian yang dilakukan oleh Suranta dan Machfoedz (2003) yang meneliti analisis struktur kepemilikan, nilai perusahaan, investasi dan ukuran dewan direksi menemukan bahwa kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional dan ukuran dewan direksi berkorelasi positif terhadap nilai perusahaan. Siallagan dan Machfoedz (2006) yang menguji mekanisme corporate governance, kualitas laba, dan nilai perusahaan periode 2001-2004 pada sektor manufaktur dan menemukan bahwa mekanisme GCG yang terdiri dari kepemilikan manajerial, dewan
10 komisaris, dan komite audit secara statistik berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Menurut Klapper dan Love (2002) menemukan adanya hubungan positif antara corporate governance dengan kinerja perusahaan yang diukur dengan return on asset (ROA) dan Tobin s Q serta penerapan GCG di tingkat perusahaan lebih memiliki arti dalam negara berkembang dibandingkan dalam negara maju. Hal tersebut menunjukkan bahwa perusahaan yang menerapkan GCG yang baik akan memperoleh manfaat yang lebih besar di negara-negara yang lingkungan hukumnya buruk. Di samping itu ada sebagian besar penelitian terdahulu yang menyebutkan bahwa GCG tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Diantaranya penelitian Che Haat, Rahman, dan Mahenthiran (2008) yang menyimpulkan antara independensi dewan komisaris, cross-directorship dewan, kepemilikan manajerial tidak berpengaruh signifikan dan berkorelasi negatif terhadap nilai perusahaan yang diukur dengan menggunakan Tobin s Q. Berdasarkan uraian diatas kita dapat lihat adanya ketidakkonsistenan pada hasil penelitian yang dialami perusahaan karena buruknya penerapan GCG. Oleh sebab itu penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut apakah GCG secara konsisten memiliki pengaruh terhadap nilai perusahaan dengan menggunakan periode pengamatan tahun 2012-2015. Penulis menggunakan periode pengamatan yang lebih panjang dan seluruh perusahaan perbankan yang terdaftar di BEI untuk mendapatkan data yang lebih banyak dan hasil penelitian ini mempunyai daya komparabilitas yang lebih baik.
11 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian singkat yang telah dikemukakan pada latar belakang permasalahan diatas maka dapat dirumuskan suatu permasalahan penelitian adalah: 1. Apakah kepemilikan manajerial berpengaruh terhadap nilai perusahaan? 2. Apakah kepemilikan institusional berpengaruh terhadap nilai perusahaan? 3. Apakah komisaris independen berpengaruh terhadap nilai perusahaan? 4. Apakah komite audit berpengaruh terhadap nilai perusahaan? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah untuk memperoleh bukti empiris mengenai: 1. Pengaruh kepemilikan manajerial terhadap nilai perusahaan. 2. Pengaruh kepemilikan institusional terhadap nilai perusahaan. 3. Pengaruh komisaris independen terhadap nilai perusahaan. 4. Pengaruh komite audit terhadap nilai perusahaan. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat terhadap beberapa pihak, antara lain: 1.4.1 Kontribusi Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan bagi penulis dan pembaca tentang pengaruh dari penerapan good corporate governance terhadap nilai perusahaan pada perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia(BEI).
12 1.4.2 Kontribusi Teoritis Sebagai acuan referensi yang dapat memberikan manfaat kontribusi dalam pengembangan teori ilmu akuntansi dan keuangan, terutama yang berkaitan dengan praktik Good Corporate Governance di Indonesia. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Untuk memfokuskan permasalahan, maka ruang lingkup dalam penelitian ini difokuskan pada kajian dan pembahasan mengenai pengaruh mekanisme Good Corporate Governance terhadap nilai perusahaan, yang terdiri atas: kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, komite audit dan komisaris independen. Perusahaan yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah semua perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan telah mempublikasi laporan keuangan selama periode 2012-2015.