BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pleura sama dengan mikroorganisme yang ditemukan di sputum maupun aspirasi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Infeksi nosokomial adalah infeksi yang di dapat setelah pasien dirawat di rumah

SOP (STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR) SUCTION VIA ETT (ENDOTRACHEAL TUBE)

BAB I PENDAHULUAN. Angka morbiditas dan mortalitas pneumonia di seluruh dunia sangat

BAB 6 PEMBAHASAN. pneumonia yang terjadi pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik setelah 48

BAB I PENDAHULUAN. Ventilator Associated Pneumonia (VAP) merupakan suatu peradangan pada paru (Pneumonia)

Skala Jawaban I. KUISIONER A : DATA DEMOGRAFI

BAB I PENDAHULUAN. salah satu aspek yang penting dan banyak digunakan bagi perawatan pasien yang

PENDAHULUAN. kejadian VAP di Indonesia, namun berdasarkan kepustakaan luar negeri

BAB I PENDAHULUAN. paru. Bila fungsi paru untuk melakukan pembebasan CO 2 atau pengambilan O 2 dari atmosfir

BAB 4 METODE PENELITIAN. Kelompok penelitian dibagi menjadi dua kelompok sebagai berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dimana pasien yang di rawat disini adalah pasien-pasien yang berpenyakit

BAB 1. Infeksi terkait dengan perawatan kesehatan melalui pemasangan alat-alat medis

BAB 4 METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan meliputi Anestesiologi dan Terapi Intensif.

PRAKTIKUM 10 AUSKULTASI PARU, SUCTION OROFARINGEAL, PEMBERIAN NEBULIZER DAN PERAWATAN WSD

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

1 PEMBERIAN NEBULIZER 1.1 Pengertian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parencym paru, distal dari bronkiolus terminalis

LAPORAN PENDAHULUAN. PROGRAM PROFESI NERS PSIK FK UNSRI Keperawatan Gawat Darurat & Intensif

BAB I PENDAHULUAN. kelompok penyakit yang berhubungan dengan infeksi. Penyakit ini banyak ditemukan

I. PENDAHULUAN. Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang didapat selama pasien dirawat di

BAB I PENDAHULUAN. pemantauan intensif menggunakan metode seperti pulmonary arterial

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pasien tersebut. Pasien dengan kondisi semacam ini sering kita jumpai di Intensive

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. WHO (1957) mendefinisikan sehat dengan suatu keadaaan sejahtera sempurna. merawat kesehatan (Adisasmito, 2007).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang biaknya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Infeksi nosokomial atau disebut juga infeksi rumah sakit, adalah infeksi yang

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. penyakit (kuratif) dan pencegahan penyakit (preventif) kepada masyarakat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Ventilator Associated Pneumonia (VAP) pada penderita dengan ventilator

BAB 1 PENDAHULUAN. jamur, dan parasit (Kemenkes RI, 2012; PDPI, 2014). Sedangkan infeksi yang

BAB IV PEMBAHASAN DAN SIMPULAN. nafas dan nutrisi dengan kesenjangan antara teori dan intervensi sesuai evidance base dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

L A M P I R A N. : dr. Boynardo Simamora Tempat / Tgl Lahir : Medan, 7 Februari 1982 : Kristen Protestan : Jl Teh 2 No 28 P.

I. PENDAHULUAN. Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah bakteri. Staphylococcus aureus yang mengalami kekebalan terhadap antibiotik

Penghisapan Orofaringeal dan Nasofaringeal

I. PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia.

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Infeksi nosokomial atau Hospital-Acquired Infection. (HAI) memiliki kontribusi yang besar terhadap tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan yang memberikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Ventilasi mekanik merupakan terapi definitif pada klien kritis yang mengalami

adalah pneumonia yang timbul dalam waktu 48 jamsetelah rawat inap dan tidak sedang dalam masa inkubasi saat pasien masuk.

ETT. Ns. Tahan Adrianus Manalu, M.Kep.,Sp.MB. SATU dalam MEDISTRA membentuk tenaga keperawatan yang Profesional dan Kompeten

Perawatan Ventilator

BAB I PENDAHULUAN UKDW. mikroorganisme yang didapat dari orang lain (cross infection) atau disebabkan oleh

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Bakteriuria adalah ditemukannya bakteri dalam urin yang berasal dari ISK atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Infeksi nosokomial adalah infeksi yang ditunjukkan setelah pasien

KEJADIAN VENTILATOR ASSOCIATED PNEUMONIA

1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

PENDAHULUAN ETIOLOGI EPIDEMIOLOGI

BAB I PENDAHULUAN. terisi dengan cairan radang, dengan atau tanpa disertai infiltrasi dari sel

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) akan mengalami peningkatan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. keberadaannya sejak abad 19 (Lawson, 1989). Flora konjungtiva merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sakit maupun pelayanan kesehatan lainnya. Infeksi nosokomial memiliki rentang

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran napas bawah masih tetap menjadi masalah utama dalam

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. seseorang selama di rumah sakit (Darmadi, 2008). Infeksi nosokomial merupakan

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah. Staphylococcus adalah bakteri gram positif. berbentuk kokus. Hampir semua spesies Staphylococcus

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (WHO, 2002). Infeksi nosokomial (IN) atau hospital acquired adalah

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pneumonia, mendapatkan terapi antibiotik, dan dirawat inap). Data yang. memenuhi kriteria inklusi adalah 32 rekam medik.

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. menggambarkan kolonisasi kuman penyebab infeksi dalam urin dan. ureter, kandung kemih dan uretra merupakan organ-organ yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) menurut Global Initiative of

LAPORAN ANALISA TINDAKAN SUCTION MELALUI OROPHARYNGEAL AIRWAY (OPA)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), HAI s (Healthcare

PENGARUH PEMBERIAN POVIDONE IODINE 1% SEBAGAI ORAL HYGIENE TERHADAP JUMLAH BAKTERI OROFARING PADA PENDERITA DENGAN VENTILATOR MEKANIK

PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Infeksi nosokomial atau disebut juga hospital acquired infection dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir, angka kejadian penyakit infeksi

MONITORING DAN ASUHAN KEPERAWATANA PASIEN POST OPERASI

PENGARUH PEMBERIAN CHLORHEXIDINE SEBAGAI ORAL HYGIENE TERHADAP JUMLAH BAKTERI OROFARING PADA PENDERITA DENGAN VENTILATOR MEKANIK

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pelayanan kesehatan umum seperti rumah sakit dan panti jompo. Multidrugs

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. khusus yang ditujukan untuk observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang

BAB II TINJAUAN TEORI

PEMASANGAN DAN PERAWATAN PASIEN DENGAN OROPHARYNGEAL TUBE. A. Pengertian Oropharyngeal tube adalah sebuah tabung / pipa yang dipasang antara

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas

BAB I PENDAHULUAN. ke pasien, operator ke lingkungan dan lingkungan ke pasien (Infection Control

BAB 1 PENDAHULUAN. yang resisten terhadap minimal 3 kelas antibiotik. 1 Dari penelitian yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. angka yang pasti, juga ikut serta dalam mengkontribusi jumlah kejadian infeksi. tambahan untuk perawatan dan pengobatan pasien.

BAB II TINJAUAN TEORI. sehat, baik itu pasien, pengunjung, maupun tenaga medis. Hal tersebut

KOMPARASI PEMBERIAN HEXADOL DAN CHLORHEXIDINE SEBAGAI ORAL HYGIENE TERHADAP PENCEGAHAN VENTILATOR ASSOCIATED PNEUMONIA (VAP) Hadi Kusuma Atmaja

1. Batuk Efektif. 1.1 Pengertian. 1.2 Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Ventilator Associated Pneumonia

Kekurangan volume cairan b.d kehilangan gaster berlebihan, diare dan penurunan masukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pneumonia terkait ventilator/ ventilator associated pneumonia (VAP)

BAB 1 PENDAHULUAN. neonatus dan 50% terjadi pada minggu pertama kehidupan (Sianturi, 2011). Menurut data dari

Materi Penyuluhan Konsep Tuberkulosis Paru

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ventilator Associated Pneumonia (VAP) 1. Pengertian VAP didefinisikan sebagai pneumonia nosokomial yang terjadi setelah 48 jam pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik baik itu melalui pipa endotrakeal maupun pipa trakeostomi. Sedangkan American College of Chest Physicians mendefinisikan VAP sebagai suatu keadaan dimana terdapat gambaran infiltrat baru dan menetap pada foto toraks disertai salah satu tanda yaitu, hasil biakan darah atau pleura sama dengan mikroorganisme yang ditemukan di sputum maupun aspirasi trakea, kavitasi pada foto torak, gejala pneumonia atau terdapat dua dari tiga gejala berikut yaitu demam, leukositosis dan sekret purulen (Ibrahim dkk, 2000). Ibrahim, 2000 dalam Wiryana, 2007 juga membagi VAP menjadi onset dini yang terjadi dalam 4 hari pertama pemberian ventilasi mekanis dan onset lambat yang terjadi 5 hari atau lebih setelah pemberian ventilasi mekanik. VAP onset dini yang terjadi pada 4 hari pertama perawatan di ICU pada umumnya memiliki prognosis lebih baik karena disebabkan oleh kuman yang masih sensitif terhadap antibiotika. VAP onset lambat yang terjadi setelah 5 hari atau lebih perawatan memiliki prognosis yang lebih buruk karena disebabkan oleh kuman pathogen yang multi drug resisten (MDR).

2. Etiologi VAP ditentukan berdasarkan 3 komponen tanda infeksi sistemik yaitu demam, takikardi, dan leukositosis disertai gambaran infiltrat baru ataupun perburukan di foto toraks dan penemuan bakteri penyebab infeksi paru. Beberapa kuman ditengarai sebagai penyebab VAP ( Farthoukh dkk, 2003). Bakteri penyebab VAP pada kelompok I adalah kuman gram negative (Enterobacter spp, Escherichia coli, Klebsiella spp, Proteus spp, Serratia marcescens), Haemophilus influenza, Streptococcus pneumoniae dan Methicillin sensitive staphylococcus aureus (MSSA). Bakteri penyebab kelompok II adalah bakteri penyebab kelompok I ditambah kuman anaerob, Legionella pneumophilia dan Methicillin resistan Staphylococcus aureus (MRSA). Bakteri penyebab kelompok III adalah Pseudomonas aeruginosa, Acinetobacter spp dan MRSA (Sirvent, 2003) 3. Klasifikasi Menurut Torres dkk dalam Wiryana, 2007 berdasarkan derajat penyakit, faktor risiko dan onsetnya maka ada klasifikasi untuk mengetahui kuman penyebab VAP, sebagai berikut : a. Penderita dengan faktor risiko biasa, derajat ringan-sedang dan onset kapan saja selama perawatan atau derajat berat dengan onset dini. b. Penderita dengan faktor risiko spesifik dan derajat ringan-sedang yang terjadi kapan saja selama perawatan c. Penderita derajat berat dan onset dini dengan faktor risiko spesifik atau onset lambat.

4. Patogenesis Patofisiologi dari VAP, adalah melibatkan dua proses utama yaitu kolonisasi pada saluran pernafasan dan saluran pencernaan serta aspirasi sekret dari jalan nafas atas dan bawah. Kolonisasi bakteri mengacu pada keberadaan bakteri tanpa adanya gejala. Kolonisasi bakteri pada paru-paru dapat disebabkan oleh penyebaran organisme dari berbagai sumber, termasuk orofaring, rongga sinus, nares, plak gigi, saluran pencernaan, kontak pasien, dan sirkuit ventilator. Inhalasi bakteri dari salah satu sumber ini dapat menyebabkan timbulnya gejala, dan akhirnya terjadi VAP (Wiryana, 2007). Kolonisasi mikroorganisme patogen dalam sekret akan membentuk biofilm dalam saluran pernapasan. Mulai pada awal 12 jam setelah intubasi, biofilm mengandung sejumlah besar bakteri yang dapat disebarluaskan ke dalam paru-paru melalui ventilator. Pada keadaan seperti ini, biofilm dapat terlepas oleh cairan ke dalam selang endotrakeal, suction, batuk, atau reposisi dari selang endotrakeal (Niederman dkk, 2005). Selang endotrakeal menyebabkan gangguan abnormal antara saluran napas bagian atas dan trakea, melewati struktur dalam saluran napas bagian atas dan memberikan bakteri jalan langsung ke saluran napas bagian bawah. Karena saluran napas bagian atas kehilangan fungsi karena terpasang selang endotrakeal, kemampuan tubuh untuk menyaring dan melembabkan udara mengalami penurunan. Selain itu, refleks batuk sering mengalami penurunan bahkan hilang akibat pemasangan selang endotrakeal dan kebersihan mukosasilier bisa terganggu karena

cedera mukosa selama intubasi. Selang endotrakeal menjadi tempat bagi bakteri untuk melekat di trakea, keadaan ini dapat meningkatkan produksi dan sekresi lendir lebih lanjut. Penurunan mekanisme pertahanan diri alami tersebut meningkatkan kemungkinan kolonisasi bakteri dan aspirasi ( Augustyne, 2007). Pneumonia akibat pemasangan ventilator (VAP) adalah umum di unit perawatan intensif (ICU). VAP dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan kematian, lama tinggal di rumah sakit, dan biaya. Tingkat kematian yang timbul dari VAP adalah 27% dan mencapai 43% saat agen penyebab adalah resisten antibiotik. Lama tinggal di unit perawatan intensif meningkat sebesar 5 sampai 7 hari dan memperpanjang lama perawatan di rumah sakit 2 sampai 3 kali lipat pada pasien dengan VAP. Biaya perawatan VAP diperkirakan bertambah $ 40000 per pasien dan sekitar $ 1,2 miliar per tahun (Augustyn, 2007). 5. Faktor yang mempengaruhi Faktor risiko yang mempengaruhi kejadian VAP dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu pejamu, peralatan yang digunakan, dan faktor petugas yang terlibat dalam perawatan pasien. Faktor penjamu disini adalah kondisi pasien yang sudah ada sebelumnya seperti penyakit dasar dari pasien misalnya penurunan kekebalan, penyakit paru obstruktif kronis, dan sindrom gangguan pernapasan akut. Faktor pejamu lainnya yang dapat mempengaruhi kejadian VAP adalah posisi tubuh pasien, tingkat kesadaran, jumlah intubasi, dan obat-obatan, termasuk agen obat penenang dan antibiotik (Ernawati, 2006; Agustyne, 2007; Cindy, 2009). Selain dari hal diatas, Ttietjen dalam bukunya juga mencantumkan faktor usia dan status nutrisi sebagai

faktor yang dapat berpengaruh terhadap kejadian infeksi nosokomial. Pada keadaan malnutrisi sering dikaitkan dengan penurunan imunitas sehingga menimbulkan risiko ketergantungan terhadap ventilator, menigkatkan angka kejadian infeksi dan penyembuhan luka yang lama (Wiryana, 2007) Adapun peralatan yang menjadi faktor risiko VAP adalah termasuk selang endotrakeal, sirkuit ventilator, dan adanya selang nasogastrik atau orogastrik (Augustyne, 2007). Sementara faktor risiko VAP yang termasuk kategori petugas yang terlibat dalam perawatan pasien diantaranya kurangnya kepatuhan tenaga kesehatan dalam melaksanakan prosedur cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan, prosedur pemasangan ventilator mekanik, prosedur pemasangan pipa nasogastrik, perawatan mulut, dan prosedur penghisapan lendir (suction) (Ernawati, 2006; Agustyne, 2007; Cindy, 2009). Selain itu, dalam satu studi, Torres menyatakan bahwa kontaminasi bakteri sekresi endotrakeal lebih tinggi pada pasien dalam posisi terlentang dibandingkan pada pasien dalam posisi semirecumbent. Apakah karena obat, proses patofisiologi, atau cedera, penurunan tingkat kesadaran yang mengakibatkan hilangnya refleks batuk dan muntah berkontribusi terhadap risiko aspirasi dan oleh karena itu peningkatan risiko untuk VAP ( Schleder, 2003). Reintubasi dan aspirasi selanjutnya dapat meningkatkan kemungkinan VAP 6 kali lipat ( Torres, 1995).

6. Pencegahan VAP Meskipun VAP memiliki beberapa faktor risiko, intervensi keperawatan banyak berperan dalam mencegah kejadian VAP. Ada dua cara pencegahan (Wiryana, 2007): a. Tindakan pencegahan kolonisasi bakteri di orofaring dan saluran pencernaan. Tindakan keperawatan yang perlu dilakukan antara lain : 1) Mencuci tangan Selalu mencuci tangan selama 10 detik harus dilakukan sebelum dan setelah kontak dengan pasien. Selain itu, sarung tangan harus dipakai bila kontak dengan atau endotrakeal sekresi oral (Porzecanski, 2006). 2) Suction Suction endotrakeal merupakan prosedur penting dan sering dilakukan untuk pasien yang membutuhkan ventilasi mekanis. Prosedur ini dilakukan untuk mempertahankan patensi jalan napas, memudahkan penghilangan sekret jalan napas, merangsang batuk dalam, dan mencegah terjadinya pneumonia (Smeltzer, 2002). 3) Oral dekontaminasi Oral dekontaminasi atau perawatan mulut juga merupakan salah satu tindakan mengurangi jumlah bakteri dalam rongga mulut pasien. yang dapat dilakukan dengan intervensi mekanis dan farmakologis. Intervensi mekanik termasuk menyikat gigi dan pembilasan dari rongga mulut untuk menghilangkan plak gigi. Adapun intervensi farmakologis melibatkan penggunaan antimikroba ( Luna, 2003). Penggunaan antibiotik profilaksis

sistemik tidak menurunkan kejadian VAP dan ketika agen-agen yang digunakan tidak tepat, dapat mengembangkan resistensi antibiotik (Mandell, 2007). 4) Perubahan posisi tidur Rutin mengubah pasien minimal setiap dua jam dapat meningkatkan drainase paru dan menurunkan resiko VAP. Penggunaan tempat tidur mampu rotasi lateral terus menerus dapat menurunkan kejadian pneumonia tetapi tidak menurunkan angka kematian atau durasi ventilasi mekanis (Pineda dkk, 2006). b. Tindakan pencegahan untuk mencegah aspirasi ke paru-paru. Selain strategi untuk mencegah kolonisasi, strategi untuk mencegah aspirasi juga dapat digunakan untuk mengurangi risiko VAP. Strategi tersebut meliputi : 1) Menyapih dan ekstubasi dini Karena adanya suatu selang endotrakeal merupakan predisposisi pasien VAP, oleh karena itu pasien harus diobservasi setiap hari. Jika memungkinkan menyapih dan ekstubasi lebih dini dari ventilasi mekanis lebih dianjurkan (Wiryana, 2007). 2) Posisi semifowler Memberikan posisi pasien dalam posisi semifowler dengan kepala tempat tidur ditinggikan 30 sampai 45 mencegah refluks dan aspirasi bakteri dari lambung ke dalam saluran napas. Cukup mengangkat kepala 30 tempat tidur dapat menurunkan VAP sebesar 34% (AACN, 2007).

7. Metode Penilaian Clinical Pulmunary Infection Score (CPIS) Kejadian VAP bisa dilihat dengan penilaian Clinical Pulmonary Infection Score (CPIS). Penilaian CPIS awal dilakukan dalam 48 jam sejak pertama kali pasien terintubasi dan menggunakan ventilasi mekanik di ICU dan pemeriksaan mikrobiologi dilakukan jika terdapat gejala klinis. Selanjutnya penilaian CPIS dilakukan berkala. Biakan kuman diambil berdasarkan teknik protected specimen brush, bronchoalveolar lavage, ataupun blind suctioning sekret bronkial (Sirvent, 2003). Diagnosis VAP ditegakkan setelah menyingkirkan adanya pneumonia sebelumnya, terutama pneumonia komunitas (Community Acquired Pneumonia). Bila dari awal pasien masuk ICU sudah menunjukkan gejala klinis pneumonia maka diagnosis VAP disingkirkan, namun jika gejala klinis dan biakan kuman didapatkan setelah 48 jam dengan ventilasi mekanik serta nilai total CPIS > atau = 6, maka diagnosis VAP dapat ditegakkan, jika nilai total CPIS <6 maka diagnosis VAP disingkirkan. Penilaian CPIS meliputi beberapa komponen yaitu suhu tubuh, leukosit, sekret trakea, fraksi oksigenasi, pemeriksaan radiologi. Dalam penilaian CPIS klasik disertai pemeriksaan mikrobiologi, sedangkan penilaian CPIS modifikasi tanpa disertai pemeriksaan kultur (Luna CM,2003)

B. Tindakan Suction 1. Pengertian Suction endotrakeal merupakan prosedur penting dan sering dilakukan untuk pasien yang membutuhkan ventilasi mekanis. Prosedur tindakan suction merupakan salah satu cara non farmakologi yang dapat mencegah kejadian VAP. Suction endotrakeal menghilangkan sekresi dari pohon trakeobronkial, menjamin oksigenasi optimal dan menghindari akumulasi sekret, menyebabkan oklusi tabung, peningkatan kerja pernafasan, atelektasis, dan infeksi paru. Namun suction endotrakeal juga mungkin memiliki efek yang merugikan, seperti seperti gangguan pada irama jantung, hipoksemia (karena gangguan ventilasi mekanik dan kemudian penurunan tekanan intratorakal), kontaminasi mikroba saluran napas dan lingkungan, dan berkembangnya pneumonia yang berhubungan dengan ventilator (VAP) ( Irene dkk, 2007). Disamping itu, Sole mengungkapkan bahwa tujuan melakukan suction mulut adalah untuk mempertahankan kebersihan mulut dan kenyamanan bagi pasien, serta menghapus darah atau muntahan dalam situasi darurat. Sementara suction endotrakeal bertujuan menghapus sekret dari paru pada pasien yang tidak mampu batuk dan mengalami penurunan kesadaran. Sekresi dibersihkan dari pasien saluran udara ini untuk mempertahankan patensi jalan nafas, untuk mencegah atelektasis sekunder untuk penyumbatan saluran udara lebih, dan untuk memastikan bahwa pertukaran gas yang memadai (terutama oksigenasi) terjadi (Sole, 2002). Karena sekresi cenderung mengumpul di balon selang endotrakeal, lendir dalam selang endotrakeal dapat menjadi stagnan dan berfungsi sebagai media untuk

pertumbuhan bakteri. Penerapan teknik aseptik saat melakukan suction endotrakeal sangat penting untuk mencegah kontaminasi saluran napas (Singh N, 2000). Tekanan dalam balon juga harus diukur dan dipertahankan. Tekanan yang berkurang memungkinan sekret akan bocor di sekitar balon sehingga memudahkan pertumbuhan bakteri di paru (Burn, 2003). Studi yang dilakukan Kollef pada epidemiologi dan pencegahan VAP menekankan peran sekresi subglotis dalam peningkatan kejadian VAP. Penumpukan sekresi di atas balon selang endotrakeal, bakteri dan sekresi dapat memperoleh akses ke bagian bawah saluran pernapasan oleh karena adanya celah di sekitar balon. Sekresi oral dapat menjadi sekresi subglotis dengan penumpukan di atas balon selang endotrakeal dan mengakibatkan mikroaspirasi sekresi ke bagian bawah jalan napas. Oleh karenanya pembersihan saluran napas dengan suction subglotis menjadi penting dan dapat menurunkan kejadian VAP sebesar 50% (Sole, 2002). Setelah 24 jam pemakaian ventilator, peralatan hisap yang paling memiliki potensi patogen VAP meliputi peralatan suction 94%, selang suction 83%, dan konektor kateter suction 61%. Peralatan yang terkontaminasi dengan banyak kuman patogen yang mempunyai kultur yang sama dengan sekresi oral dan / atau dahak yaitu bakteri Gram-positif (Sole, 2002). Tindakan suction endotrakeal disarankan untuk menggunakan kateter dengan ukuran yang kecil bila memungkinkan, karena tekanan hisap akan memiliki pengaruh sedikit pada volume paru. Ukuran yang ideal adalah kurang dari setengah diameter tabung endotrakeal. Untuk diameter tertentu selang endotrakeal (ETT),

tingkat tekanan negatif ditentukan oleh kombinasi dari ukuran kateter dan tekanan hisap (Ruben, 2010). Keputusan untuk melakukan suction endotrakeal harus didasarkan pada penilaian pasien yang komprehensif bukan didasarkan atas pertimbangan pelaksanaan tindakan suction dilakukan dengan frekuensi yang teratur (Higgin, 2005). 2. Komplikasi Suction endotrakeal adalah prosedur yang sangat diperlukan untuk pasien dengan bantuan ventilator mekanis. Tidak ada kontraindikasi mutlak untuk endotrakeal suction, karena keputusan menahan suction untuk menghindari reaksi negatif yang mungkin timbul, pada kenyataannya, akan berakibat fatal (Ruben, 2010). Namun demikian bahaya atau komplikasi telah teridentifikasi dalam penggunaan suction endotrakeal dan harus tetap diperhatikan selama pelaksanaan tindakan. Adapun komplikasi tersebut dapat meliputi penurunan kapasitas pengembangan paru, kapasitas residu fungsional, atelektasis, hipoksia / hipoksemia, trauma jaringan pada trakea dan atau mukosa bronkial, bronkokonstriksi / bronkospasme, peningkatan kolonisasi mikroba saluran napas bagian bawah, perubahan aliran darah serebral dan tekanan intrakranial meningkat. Disamping itu hipertensi, hipotensi, disritmia jantung merupakan komplikasi yang selalu mengancam (Higgin, 2005; Ruben, 2010).

3. Prosedur Pelaksanaan tindakan suction endotrakeal semestinya mengikuti standar dan prosedur yang telah ditetapkan. Adapun Standar Prosedur Operasional yang telah ditetapkan meliputi (SPO RSUP Dr Kariadi Semarang, 2004): a. Standar alat: 1) Set penghisap sekresi atau suction portable lengkap dan siap pakai 2) Kateter penghisap steril dengan ukuran 20 untuk dewasa 3) Pinset steril atau sarung tangan steril 4) Cuff inflator atau spuit 10 cc 5) Klem arteri 6) Alas dada atau handuk 7) Kom berisi cairan desinfektan untuk merendam alat 8) Kom berisi cairan desinfektan untuk membilas kateter 9) Cairan deinfektan dalam tempatnya untuk merendam kateter yang telah digunakan 10)Ambubag/ air viva dan selang O2 11) Pelicin/ jelly 12) NaCl 0,9% 13)Spuit 5 cc b. Standar pasien 1) Pasien diberi penjelasan tentang prosedur yang akan dilakukan 2) Posisi pasien diatur sesuai dengan kebutuhan.

c. Prosedur 1) Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan 2) Sebelum dilakukan penghisapan sekresi : Memutar tombol oksigen menjadi 100% 3) Menggunakan air viva dengan memompa 4-5 kali dengan oksigen 10 liter/menit 4) Menghidupkan mesin penghisap sekresi 5) Menyambung selang suction dengan kateter steril kemudian perlahan-lahan dimasukkan ke dalam selang pernapasan melalui selang endotrakeal (ETT) 6) Membuka lubang pada pangkal kateter penghisap pada saat kateter dimasukkan ke ETT 7) Menarik kateter penghisap kira-kira 2 cm pada saat ada rangsangan batuk untuk mencegah trauma pada carina 8) Menutup lubang dengan melipat pangkal kateter penghisap kemudian kateter penghisap ditarik dengan gerakan memutar 9) Mengobservasi hemodinamik pasien 10)Memberikan oksigen setelah satu kali penghisapan dengan cara bagging 11)Bila melakukan suction lagi beri kesempatan klien untuk bernapas 3-7 kali 12)Melakukan bagging 13) Mengempiskan cuff, sehinggaa sekresi yang lengket disekitar cuff dapat terhisap 14) Mengisi kembali cuff dengan udara menggunakan cuff inflator setelah ventilator dipasang kembali

15) Membilas kateter penghisap sampai bersih kemudian rendam dengan cairan desinfektan dalam tempat yang telah disediakan 16)Mengobservasi dan mencatat : a) Tekanan darah, nadi, dan pernapasan b) Hipoksia c) Tanda perdarahan, warna bau, konsentrasi d) Disritmia

C. Kerangka Teori Pasien terpasang ventilator mekanik Kolonisasi mikroorganisme Penyakit dasar Lamanya terpasang ventilator Tindakan suction Aspirasi VAP Perawatan mulut usia status nutrisi Komponen CPIS Sekret trakea leukosit X foto suhu PaO2/FiO2 thorak Skema 2.1. Kerangka Teori

D. Kerangka konsep Variabel bebas Tindakan suction variabel terikat VAP Skema 2.2. Kerangka Konsep E. Hipotesis Ha : ada hubungan tindakan suction dengan kejadian Ventilator Associated pneumonia di ICU RSUP Dr. Kariadi Semarang