BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini akan membahas tentang evaluasi terapi penggunaan antibiotik

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pneumonia, mendapatkan terapi antibiotik, dan dirawat inap). Data yang. memenuhi kriteria inklusi adalah 32 rekam medik.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. bawah 5 tahun dibanding penyakit lainnya di setiap negara di dunia. Pada tahun

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian yang berjudul Evaluasi Ketepatan Penggunaan Antibiotik

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. jamur, dan parasit (Kemenkes RI, 2012; PDPI, 2014). Sedangkan infeksi yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kelompok penyakit yang berhubungan dengan infeksi. Penyakit ini banyak ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang biaknya

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diberikan antibiotik pada saat dirawat di rumah sakit. Dari jumlah rekam medik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Angka morbiditas dan mortalitas pneumonia di seluruh dunia sangat

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan di RSUD Kabupaten Temanggung ini merupakan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepsis adalah terjadinya SIRS ( Systemic Inflamatory Respon Syndrome)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. infeksi bakteri. Resistensi antibiotik terjadi ketika bakteri berubah dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. negara berkembang disebabkan oleh bakteri terutama Streptococcus pneumoniae,

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

EVALUASI KERASIONALAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN LANSIA DENGAN PNEUMONIA DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP PROF. DR. R. D

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENDAHULUAN. kejadian VAP di Indonesia, namun berdasarkan kepustakaan luar negeri

I. PENDAHULUAN. Enterobacteriaceae merupakan kelompok bakteri Gram negatif berbentuk

BAB I PENDAHULUAN. Ventilator Associated Pneumonia (VAP) merupakan suatu peradangan pada paru (Pneumonia)

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) menurut Global Initiative of

(Juniatiningsih, 2008). Sedangkan di RSUP Sanglah Denpasar periode Januari - Desember 2010 angka kejadian sepsis neonatorum 5% dengan angka kematian

BAB 1 PENDAHULUAN. neonatus dan 50% terjadi pada minggu pertama kehidupan (Sianturi, 2011). Menurut data dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (bakteri, jamur) yang mempunyai efek menghambat atau menghentikan suatu

dalam terapi obat (Indrasanto, 2006). Sasaran terapi pada pneumonia adalah bakteri, dimana bakteri merupakan penyebab infeksi.

BAB I. PENDAHULUAN. Pseudomonas aeruginosa (P. aeruginosa) merupakan bakteri penyebab tersering infeksi

I. PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia.

DEFINISI BRONKITIS. suatu proses inflamasi pada pipa. bronkus

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. mikroba yang terbukti atau dicurigai (Putri, 2014). Sepsis neonatorum adalah

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang berjudul Evaluasi ketepatan penggunaan antibiotik untuk

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada

I. PENDAHULUAN. Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah bakteri. Staphylococcus aureus yang mengalami kekebalan terhadap antibiotik

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Infeksi nosokomial atau Hospital-Acquired Infection. (HAI) memiliki kontribusi yang besar terhadap tingkat

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Kolonisasi bakteri merupakan keadaan ditemukannya. koloni atau sekumpulan bakteri pada diri seseorang.

BAB I PENDAHULUAN. satu penyebab kematian utama di dunia. Berdasarkan. kematian tertinggi di dunia. Menurut WHO 2002,

BAB I PENDAHULUAN. ini terdapat diseluruh dunia, bahkan menjadi problema utama di negara-negara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan desain cross-sectional. Pengambilan data dilakukan secara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN UKDW. mikroorganisme yang didapat dari orang lain (cross infection) atau disebabkan oleh

I. PENDAHULUAN. kematian di dunia. Salah satu jenis penyakit infeksi adalah infeksi

Diagnosis Community Aquired Pneumonia (CAP) dan Tatalaksana Terkini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pneumonia merupakan salah satu infeksi berat penyebab 2 juta kematian

BAB I PENDAHULUAN. yang rasional dimana pasien menerima pengobatan yang sesuai dengan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. terisi dengan cairan radang, dengan atau tanpa disertai infiltrasi dari sel

PENGARUH KOINSIDENSI DIABETES MELITUS TERHADAP LAMA PENGOBATAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) akan mengalami peningkatan

ANALISIS KUALITATIF PENGGUNAAN ANTIBIOTIK GOLONGAN SEFALOSPORIN DI RUMAH SAKIT X KUPANG

BAB III METODE PENELITIAN

F. Originalitas Penelitian. Tabel 1.1 Originalitas Penelitian. Hasil. No Nama dan tahun 1. Cohen et al Variabel penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. (Saifudin, 2008). Infeksi Luka Operasi (ILO) memberikan dampak medik berupa

BAB 1. Infeksi terkait dengan perawatan kesehatan melalui pemasangan alat-alat medis

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang Ilmu Penyakit Saraf.

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi saluran napas disusul oleh infeksi saluran cerna. 1. Menurut World Health Organization (WHO) 2014, demam tifoid

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah. Staphylococcus adalah bakteri gram positif. berbentuk kokus. Hampir semua spesies Staphylococcus

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan secara retrospektif berdasarkan rekam medik dari bulan Januari

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

BAB I PENDAHULUAN. menjadi dua yaitu, infeksi saluran napas atas dan infeksi saluran napas bawah.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pneumonia merupakan infeksi akut di parenkim paru-paru dan sering

BAB 1 PENDAHULUAN. yang paling utama untuk mempertahankan kehidupan (Volk dan Wheeler, 1990).

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian dengan judul Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Antibiotik

BAB I PENDAHULUAN. pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan fibrin. Pneumonia masih

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Universitas Sumatera Utara

KAJIAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN PNEUMONIA DENGAN METODE GYSSENS DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA TAHUN SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. penyebab utama penyakit infeksi (Noer, 2012). dokter, paramedis yaitu perawat, bidan dan petugas lainnya (Noer, 2012).

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Bab 4 Batuk dan Kesulitan Bernapas Kasus II. Catatan Fasilitator. Rangkuman Kasus:

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. (40 60%), bakteri (5 40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Setiap. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

BAB I mengalami komplikasi karena infeksi ini (WHO, 2012). Prevalensi tertinggi infeksi nosokomial terjadi di Intensive Care Units

INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta

BAB I PENDAHULUAN. paru. Bila fungsi paru untuk melakukan pembebasan CO 2 atau pengambilan O 2 dari atmosfir

BAB I PENDAHULUAN. sinus yang disebabkan berbagai macam alergen. Rinitis alergi juga merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. menyerang lebih dari 25% populasi dewasa. (Smeltzer & Bare, 2001)

BAB III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan uji klinis dengan metode Quasi Experimental dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Keselamatan pasien (Patient Safety) adalah isu global dan nasional bagi

Transkripsi:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini akan membahas tentang evaluasi terapi penggunaan antibiotik pada pasien rawat inap pneumonia di Rumah Sakit Khusus Paru Respira Yogyakarta tahun 2015. Tahun 2015 pasien rawat inap yang terdiagnosis pneumonia sebanyak 83 pasien, sehingga pada penelitian ini melibatkan 83 rekam medis. Sejumlah 25 rekam medis pasien termasuk dalam kriteria eksklusi yaitu9rekam medis pasien sedang digunakan oleh petugas kesehatan, 3 rekam medis pasien tidak terbaca, dan 13 rekam medis pasien terdapat indikasi infeksi lain sehingga dikeluarkan dari penelitian. Maka diperoleh 58 rekam medis pasien pneumonia yang memenuhi kriteria untuk dianalisis dalam penelitian ini sehingga dapat dijadikan sebagai subjek penelitian. B. Distribusi Karakteristik Pasien 1. Jenis Kelamin Pasien pneumonia sesuai jenis kelaminditampilkan pada gambar 8. Jenis Kelamin 48,83% 51,02% Laki - laki Perempuan Gambar 8. Karkateristik Pasien Pneumonia Karakteristik pasien pneumonia berdasarkan jenis kelamin pada gambar 8 menujukkan bahwa persentase pasien pneumonia pada laki-laki 44

45 lebih besar (51,02%) dibandingkan dengan perempuan (48,83%). Hasil tersebut sesuai dengan penelitian dari Andien (2015) yang menyatakan bahwa jumlah pasien pneumonia mayoritas didominasi oleh laki-laki, dari 28 pasien pneumonia hasil persentase dari pasien laki-laki sebanyak 16 orang (57,14%) sedangkan pada pasien perempuan sebanyak 12 orang (42,86%). Pneumonia dapat menyerang laki-laki ataupun perempuan tetapi pada penelitian ini dan penelitian sebelumnya terbukti bahwa lakilaki lebih dominan terkena pneumonia. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan yaitu sebagian besar perokok adalah laki-laki. Menurut WHO (2015) melaului Global Youth Tobacco Survey pada tahun 2014 bahwa penghisap rokok selama 30 hari terakhir di Indonesia paling banyak didominasi laki-laki sebesar 33,9% dibandingkan perempuan sebesar 2,5%. Salah satu faktor risiko seseorang dapat terserang pneumonia adalah merokok. Menurut Arcavi dan Benowitz (2004) bahwa perokok mempunyai faktor risiko utama infeksi saluran pernapasan akut termasuk pneumonia, baik tanpa ataupun disertai dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK).Menurut Baqir, et al., (2008) dan Herr,et al., (2009) bahwa paparan dari asap rorok dapat menekan pengaktifan respon kekebalan tubuh bawaan terhadap infeksi bakteri sehingga dengan adanya mekanisme paparan tersebut masyarakat rentan terkena pneumonia, pneumokokus invasif dan 50% dari mereka dengan penyakit pneumokokus invasif adalah perokok.

46 2. Usia Karakteristik kelas usia pasien pneumonia ditampilkan pada gambar 9. Usia 5% 66% 31% 18-49 tahun 50-64 tahun 65 tahun Gambar 9. Karakteristik Usia Pasien Pneumonia Menurut WHO (2013) bahwa distribusi pasien pneumonia berdasarkan usia dibagi menjadi 3 kelas usia yaitu usia dewasa (18-49 tahun), usia tua (50-64 tahun) dan usia lanjut ( 65 tahun). Pada gambar 8 terlihat bahwa angka kejadian pneumonia meningkat pada tiap kelas usianya. Mayoritas pasien yang terkena pneumonia berusia 65 tahun. Menurut Kemenkes RI (2015) bahwa populasi yang rentan terhadap pneumonia adalah anak-anak <2 tahun, orang dengan usia lanjut 65 tahun, dan orang-orang yang mempunyai masalah kesehatan (malnutrisi dan gangguan imunologi). Angka kejadian pneumonia paling tinggi pada usia lanjut disebabkan karena terjadinya perubahan anatomi fisiologi akibat masa penuaan yang berdampak pada cadangan fungsi organ paru, kemampuan dalam mengatasi penurunan fungsi organ paru dan penurunan imunitas tubuh. Pasien geriatri lebih rentan terhadap infeksi dari pneumonia karena terjadi reflek muntah, menurunnya imunitas,

47 gangguan respon pengaturan suhu dan berbagai penyakit kelainan kardiopulmoner (Rizki dan Helmia, 2014). C. Distribusi Penyakit Penyerta pada Pasien Pnemumonia Distribusi penyakit penyerta ditampilkan pada gambar 10. Penyakit Penyerta Pasien Pneumonia 34,78% 29,34% 9,78% 7,61% 7,61% 5,43% 5,43% PPOK Pneumonia tanpa penyerta lain Hipertensi Sepsis IHD Dispepsia Penyerta lain Gambar 10. Distribusi Penyakit Penyerta Pasien Pneumonia Diagram distribusi pada gambar 10 menunjukkan bahwa pasien pneumonia dengan PPOK persentasenya paling tinggi sebesar 34,78%. Pneumonia dapat terjadi pada semua orang dan semakin sering terjadi terutama pada pasien penderita PPOK bahkan dapat juga terjadi pada pasien dengan penyakit penyerta lain seperti DM, penyakit arteri koroner, keganasan, insufisiensi renal, penyakit syaraf kronik, penyakit hari kronik, dan payah jantung. Faktor predisposisi yang lainnya antara lain kebiasaan merokok, paska infeksi virus, keadaan imunodefisiensi, penurunan kesadaran dan kelainan pada struktur organ dada. Selain itu pneumonia juga bisa terjadi karena adanya tidakan-tindakan invasif sebagai berikut pemasangan infus, intubasi, trakeostomi, atau pemasangan ventilator (PAPDI, 2009).

48 Menurut PAPDI (2006) bahwa insidensi dari penyakit saluran pernapasan menjadi penyebab angka mortalitas dan kecacatan yang tinggi di seluruh dunia yaitu 80% dari sejumlah kasus baru yang berhubungan dengan infeksi saluran pernapasan yang ada di masyarakat (pneumonia komunitas) atau di dalam rumah sakit atau pusat perawatan (pneumonia nosokomial). Pneumonia adalah penyakit infeksi pada saluran pernapsan bawah akut di bagian parenkim organ paru yang serius dijumpai sekitar 15 20%. Banyak faktor yang menjadi penyebab seseorang terkena pneumonia. Pada tabel 3 ditampilkan beberapa faktor penyebab pneumonia sebagai berikut (PAPDI, 2009). Tabel 3. Faktor Risiko Penyebab Infeksi pada Pneumonia Pada Pneumonia Komnitas Pada Pneumonia Nosokomial 1. Pneumokokus yang resisten 1. Terapi dalam 90 hari sebelumnya penisilin dan obat lain. 2. Perwatan di Rumah Sakit dalam 5 Usia > 65 tahun, pengobatan hari atau lebih. betalaktam dalam 3 bulan terakhir, 3. Frekuensi bakteri terhadap antibiotik alkoholisme, penyakit tinggi di rumah sakit atau di imunosupresif, penyakit penyerta lingkungan pasien. multiple, kontak pada klinik lansia. 4. Faktor risiko di pusat perawatan 2. Patogen gram negatif kesehatan : Tinggal di rumah jompo, penyakit a. Rawat di Rumah Sakit 2 hari atau kardiopulmonal penyerta, penyakit lebih dalam 90 hari terakhir. penyerta yang jamak, baru selesai b. Berdiam di rumah jompo. mendapat terapi antubiotika. c. Terapi infus di rumah (termasuk 3. Pseudomonas seruginosa antibiotik). Penyakit paru struktural d. Dialisis kronik dalam 30 hari (bronkiektasis), terapi e. Perawatan luka di rumah kortikosteroid (>10 mg f. Anggota keluarga terinfeksi prednison/hari), terapi antibiotik patogen multiresisten. spektrum luas> 7 hari pada bulan 5. Penyakit imunosupresif +/- terapi sebelumnya, malnutrisi. Faktor risiko utama patogen yang menginfeksi pada pneumonia nosokomial ditampilkan pada tabel 4.

49 Tabel 4. Faktor Risiko Utama Pneumonia Nosokomial Berdasarkan Patogen Patogen Faktor Risiko Staphylococcus aureus Koma, cedera kepala, influenza, pemakaian Methicillin resisten S. aureus obat IV, DM, gagal ginjal. (MRSA) Pernah dapat antibiotik, ventilator > 2 hari. Pseudomonas aeruginosa Lama dirawat di ICU, terapi steroid/antibiotik, kelainan struktur paru (bronkiektasis, fibrosis), malnutrisi. Anaerob Acinobachter spp Aspirasi, paska opreasi abdomen. Antibiotik sebelum onset pneumonia dan ventilasi mekanik. Proses patogenesis pneumonia terkait dengan keberadaan beberapa faktor antara lain keadaan (imunitas) pada inang, mikroorganisme yang menginvasi pasien dan lingkungan yang berinteraksi satu sama lain. Pada pneumonia nosokomial proses infeksi terjadi jika patogen masuk saluran napas bagian bawah dan mengalami kolonisasi setelah dapat melewati hambatan mekanisme pertahanan inang berupa daya tahan mekanik (mukus dan silia), humoral (antibodi) dan selular (leukosit, limfosit, sitokin, makrofag, polinuklear). Interaksi tersebut akan menentukan klasifikasi dan bentuk manifestasi dari pneumonia, berat atau ringannya penyakit, diagnosis empirik dan rencana terapi secara empiris serta prognosis pasien. Kejadian pneumonia dari cara penularannya kaitannya dengan jenis bakteri, contonya infeksi melalui droplet sering disebabkan oleh invasi dari Streptococcus pneumoniae, melalui selang infus disebabkan oleh invasi dari Staphylococcus aureus sedangkan pada pemasangan ventilator disebabkan oleh invasi dari P.aeruginosa dan Enterobacter (PAPDI, 2009).

50 D. Gambaran Penggunaan Antibiotik Gambaran penggunaan antibiotik pasien rawat inap pneumonia di Rumah Sakit Khusus Paru Respira Yogyakarta tahun 2015 ditampilkan pada tabel 5. Tabel 5. Gambaran Pemberian Antibiotik Pasien Pneumonia Nama Antibiotik Jumlah Penggunaan Antibiotik Persentase Seftriakson 5 7,94% Seftriakson, Levofloksasin 1 1,59% Seftriakson, Azitromisin 1 1,59% Seftazidim 28 44,44% Seftazidim, Gentamisin 1 1,59% Seftazidim, Levofloksasin 1 1,59% Seftazidim, Azitromisin 1 1,59% Keterangan 1 pasien diganti Injeksi Levofloksasin Seftazidim, Morepenem 1 1,59% Seftazidim, Siprofloksasin 1 1,59% Sefoperazon 1 1,59% Sefepim 8 12,70% 1 pasien diganti Injeksi Morepenem Levofloksasin 8 12,70% Levofloksasin, Levofloksasin 1 1,59% Levofloksasin, Metronidazol 1 1,59% Morepenem 1 1,59% Morepenem, Levofloksasin 3 4,76% Total 63 100% Pasien pneumonia pada penelitian ini diberikan terapi antibiotik secara empiris. Terapi empiris adalah terapi antibiotik yang diberikan pada kasus infeksi yang belum diketahui jenis penyebab bakterinya. Lama pemberian antibiotik empiris dalam jangka waktu 48-72 jam. Selanjutnya harus dilakukan evaluasi berupa pemerikasaan data mikrobiologis, kondisi klinis pasien dan data penunjang lainnya. Tujuan terapi empiris adalah untuk

51 eradikasi pertumbuhan bakteri yang diduga menjadi penyebab infeksi sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologis (Kemenkes RI, 2011). Pada tabel 5 terdapat gambaran terapi antibiotik yang menunjukkan bahwa jenis antibiotik seftazidim yang paling banyak diberikan pada pasien rawat inap yang didiagnosis pneumonia di Rumah Sakit Khusus Paru Respira Yogyakarta selama tahun 2015 yaitu sebesar 44,44%. Seftazidim merupakan antibitiotik dari golongan sefalosporin generasi ketiga. Mekanisme aksi dari antibiotik golongan sefalosporin ini adalah menghambat sintesis dinding sel dari bakteri. Sefalosporin generasi ketiga aktivitasnya cenderung terhadap bakteri gram negatif (spesies Neisseria, M.Catarrhalis dan Klebsiella) sedangkan ativitasnya lemah terhadap bakteri gram positif berbentuk cocci seperti S. aureus. Seftazidim aktif terhadap P. aeruginosa (Alaa, et al., 2014). Pada penelitian ini sejumlah 58 pasien yang terdiagnosis pneumonia dan mendapatkan terapi antibiotik di Rumah Sakit Khusus Paru Respira Yogyakarta dengan rincian meliputi 51 antibiotik (80,95%) digunakan untuk terapi tunggal, 12 antibiotik (19,04%) digunakan untuk terapi kombinasi dan 2 antibiotik (3,17%) tunggal digunakan diberikan terapi pengganti. Terapi tunggal antibiotik yang digunakan pada penelitian ini diantaranya seftriakson, seftazidim, sefoperazon, sefepim, levofloksasin dan morepenem. Seftriakson, seftazidim dan sefoperazon merupakan antibiotik sefalosporin generasi 3, sedangkan sefepim merupakan antibiotik sefalosporin generasi 4. Levofloksain adalah antibiotik golongan kuinolon generasi 3, sedangkan morepenem merupakan antibiotik golongan karbapenem.

52 Monoterapi seftriakson dalam penelitian ini diberikan kepada 5 pasien. Terapi antibiotik ini direkomendasikan pada literatur. Menurut Fauci, et al., (2015) bahwa seftriakson direkomendasikan sebagai terapi empiris untuk pneumonia komunitas dan pneumonia yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan. Seftriakson memiliki spektrum aktivitas terhadap patogen penyebab pneumonia diantaranya S. pneumoniae, Methicillin Sensitif S. aureus (MSSA),K. Pneumoniae dan H.influenza (Moore, 2017). Monoterapi sefoperazon dalam penelitian ini diberikan pada kepada 1 pasien. Terapi antibiotik ini direkomendasikan pada literatur. Sefoperazon dapat direkomendasikan sebagai terapi empiris untuk pneumonia nosokomial (Suwangool, 1999). Monoterapi seftazidim dalam terapi ini diberikan kepada 28 pasien. Terapi antibiotik ini direkomendasikan pada literatur. Seftazidim dapat digunakan sebagai terapi empiris untuk pneumonia yang penyebab patogennya P. aeruginosa (NVALT dan SWAB, 2016). Seftazidim dan sefoperazon aktif terhadap P. aeruginosa (patogen penyebab pneumonia) tetapi kurang aktif tehadap bakteri kokus gram positis (Kemenkes, 2011). Monoterapi sefepim dalam penelitian ini diberikan kepada 8 pasien. Terapi antibiotik ini direkomendasikan pada literatur. Sefepim direkomendasikan sebagai terapi empiris pneumonia komunitas dan pneumonia yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan (Fauci, et al., 2015). Menurut Kemenkes (2011) bahwa sefepim memiliki aktivitas yang lebih luas terhadap patogen gram positif maupun gram negatif dibandingkan

53 dengan sefalosporin generasi 3 dan tahan terhadap patogen yang memproduksi enzim beta-laktamase. Monoterapi levofloksasin diberikan kepada 8 pasien dan monoterapi morepenem diberikan kepada 1 pasien dalam penelitian ini. Terapi antibiotik ini direkomendasikan pada literatur. Levofloksasin direkomendasikan sebagai terapi empiris untuk pneumonia komunitas dan pneumonia yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan, sedangkan morepenem direkomendasikan sebagai terapi empiris untuk pneumonia yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan (Fauci, et al., 2015). Terapi kombinasi pada penelitian ini seperti (seftriakson, levofloksasin), (seftriakson, azitromisin), (seftazidim, gentamisin), (seftazidim, levofloksasin), (seftazidim, azitromisin), (seftazidim, morepenem), (seftazidim, siprofloksasin), (levofloksasin, levofloksasin), (levofloksasin, metronidazol), (levofloksasin, morepenem). Terapi kombinasi antibiotik diperlukan untuk terapi empiris pada infeksi berat yang kemungkinan penyebab infeksinya berupa polimikroba. Tujuan terapi kombinasi antibiotik supaya meningkatkan aktivitas antibiotik terhadap infeksi spesifik, memperlambat dan mengurangi risiko timbulnya bakteri resisten (Kemenkes, 2011). Terapi kombinasi seftriakson dan levofloksasin diberikan kepada 1 pasien dalam penelitian ini. Terapi antibiotik ini disarankan pada literatur. Menurut File (2008) bahwa terapi kombinasi seftriakson dan levofloksasin disarankan untuk pneumonia komunitas dengan kasus berat. Terapi

54 kombinasi seftriakson dan azitromisin direkomendasikan untuk terapi empiris pneumonia komunitas (Fauci, et al., 2015). Terapi kombinasi seftazidim dan gentamisin diberikan kepada 1 pasien dalam penelitian ini. Terapi antibiotik ini disarankan pada literatur. Menurut Amy (2014) bahwa terapi kombinasi seftazidim dan gentamisin tidak memiliki efek sinergi tetapi ada kemungkinan dapat meningkatkan kelangsungan hidup pasien dibandingkan dengan terapi tunggal. Terapi kombinasi seftazidim dan levofloksasin diberikan kepada 1 pasien dalam penelitian ini. Terapi antibiotik ini disarankan pada literatur. Pada terapi kombinasi seftazidim dan levofloksasin memberikan efek dan toleransi yang baik terhadap pasien pneumonia nosokomial yang terinfeksi patogen gram negatif (Basetti, 2006). Terapi kombinasi seftzaidim dan azitromisin diberikan kepada 1 pasien dalam penelitian ini. Belum ada studi in vivo yang ditemukan mengenai efek terapi kombinasi seftazidim dan azitromisin, tetapi dalam studi in vitro terapi kombinasi 2 agen antibiotik ini memiliki potensi aksi dalam keberhasilan mengeliminasi Pseudomnas aeruginosa (Wang, et al., 2016). Terapi kombinasi seftazidim dan morepenem diberikan kepada 1 pasien. Belum ada studi dalam literatur mengenai rekomendasi terapi kombinasi seftazidim dan morepenem. Terapi kombinasi seftazidim dan siprofloksasin diberikan kepada 1 pasien dalam penelitian ini. Terapi antibiotik ini direkomendasikan pada literatur. Terapi kombinasi seftazidim dan siprofloksasin direkomendasikan

55 pada pasien pneumonia nosokomial yang mempunyai faktor risikio patogen jamak (Rostein, 2008). Terapi levofloksasin oral dan injeksi diberian kepada 1 pasien dalam penelitian ini. Terapi kombinasi jenis levofloksasin oral dan injeksi pada penelitian ini merupakan pasien yang mendapat terapi intravena selama 3 hari dan terapi oral selama 6 hari. Pada 3 hari pertama pasien mendapat terapi levofloksasin baik secara intravena maupun oral. Pada hari ketiga terapi intravena levofloksasin dihentikan dan dilanjutkan menggunakan terapi levofloksasin secara oral saja hingga hari keenam. Peristiwa demikian merupakan durasi intravena dipersingkat yang kemudian dilanjutkan terapi oral. Terapi antibiotik ini disarankan dalam literatur. Menurut La Plante (2017) bahwa tujuan dari terapi antibiotik dipersingkat dan dilanjutkan dengan terapi oral memberi manfaat bagi pasien karena dari segi biaya bahwa terapi oral lebih terjangkau dibandingkan dengan terapi intravena. Selain itu juga terapi oral memberikan manfaat lain bagi pasien yaitu pasien menjadi lebih nyaman dengan terapi oral, dapat mempercepat waktu pasien keluar dari rumah sakit, dapat mengurangi dan meminimalisir infeksi pada jalur intravena (Kemenkes, 2011). Terapi kombinasi levofloksasin dan metronidazol diberikan kepada 1 pasien dalam penelitian ini. Terapi antibiotik ini disarankan pada literatur. Pada studi penelitian prospektif menyatakan bahwa terapi tunggal moksifloksasin dibandingkan dengan terapi kombinasi levofloksasin dan

56 metronidazol tingkat keberhasilan dalam aktivitas baktereologisnya serupa (Sun, 2014). Terapi kombinasi levofloksasin dan morepenem diberikan kepada 3 pasien dalam penelitian ini. Terapi antibiotik ini disarankan pada literatur. Pada penelitian yang dilakukan oleh Louie (2010) bahwa terapi kombinasi levofloksasin dan morepenem menunjukkan efek daya bunuh yang tinggi terhadap patogen Pseudomonas aeruginosa (penyebab infeksi berat pada pasien pneumonia nosokomial). Ada 2 pasien pada penelitian ini yang mendapat terapi pengganti yaitu 1 pasien yang awalnya mendapat terapi seftazidim diganti dengan levofloksasin dan 1 pasien lainnya yang awalnya mendapat terapi sefepim diganti dengan morepenem. Penggantian terapi empiris yang diberikan pada pasien pneumonia kemungkinan karena pasien tidak menunjukkan perbaikan klinis danbakteri spesifik penyebab pneumonia sudah ditemukan dalam pemeriksaan bakteriologis. Pada penatalaksanaan pneumonia komunitas bahwa apabila pasien yang diberikan terapi empiris keadaanya memburuk maka dilanjutkan dengan dengan terapi kausatif (PDPI, 2003). Pada penatalaksanaan pnmeumonia nosokomial PDPI (2005) menyatakan bahwa pada hari ke 2 dan 3 dilakukan pemeriksaan kultur dan nilai respon klinis kemudian pada rentang waktu 48-72 jam dilakukan pemantauan klinis. Apabila keadaan klinisnya tidak ada perbaikan maka dilakukan kultur. Apabila hasil kultur pasien negatif maka dicari penyebabnya seperti melakukan pemeriksaan kemungkinan patogen lain, diagnosa lain, infeksi

57 lain atau komplikasi. Apabila hasil kultur positif maka terapi antibiotik pada pasien disesuaikan dengan penyebabnya. Apabila keadaan klinisnya membaik maka tetap dilakukan kultur kembali. Apabila hasil kultur pasien negatif maka terapi antibiotik dihentikan sedangkan bila hasil kultur pasien positif maka dosis antibiotik diturunkan kemudian diterapi selama 7-8 hari dan dievaluasi ulang. E. Evaluasi Kualitas Penggunaan Antibiotik Evaluasi kualitas penggunaan antibiotik pada penelitian ini menggunakan diagram alur gyssens. Evaluasi dilakukan menggunakan kategori VI hingga kategori 0. Analisis penggunaan antibiotik menggunakan diagram alur gyssens dimulai dari kategori VI dengan menganalisis kelengkapan data rekam medis hingga sampai pada kriteria 0 yang menunjukkan penggunaan antibiotik yang rasional. Apabila terdapat peresepan antibiotik masuk dalam salah satu kategori maka analisis peresepan antibiotik tersebut tidak dilanjutkan kembali. Evaluasi dilakukan berdasarkan penilaian kualitas penggunaan antibiotik dengan melihat rekam medik pemberian obat dan rekam medik pasien. Penilaian antibiotik dilakukan dengan dasar pertimbangan diantaranya kesesuaian diagnosis (gejala klinis dan hasil lab), indikasi, regimen dosis, keamanan dan harga (Kemenkes, 2011). Menurut Kemenkes (2011) bahwa evaluasi terapi antibiotik perlu dilakukan karena untuk upaya meminimalisir terjadinya resistensi antibiotik dan sebagai acuan dalam menetapkan surveilans penggunaan antibiotik di rumah sakit secara sistematik dan terstandar.

58 Evaluasi penggunaan antibiotik secara kualitatif pada pasien rawat inap pneumonia di Rumah Sakit Khusus Paru Respira Yogyakarta menggunakan diagram alur Gyssenss ditampilkan pada gambar 11. (58 pasien) (11 pasien) (47 pasien) (0 pasien) (47 pasien) (1 pasien) (47 pasien) (0 pasien) (47 pasien) (0 pasien) (47 pasien) (0 pasien) (47 pasien) (1 pasien) (47 pasien) (1 pasien) (46 pasien) (0 pasien) (47 pasien) (0 pasien) (47 pasien) (0 pasien) (47 pasien) (0 pasien) (47 pasien) (44 pasien) Gambar 11. Evaluasi Antibiotik Pasien Pneumonia

59 1. Kategori VI Kategori VI pada kriteria Gyssens menunjukkan bahwa data rekam medis tidak lengkap. Pada penelitian ini jumlah keseluruhan pasien pneumonia sebanyak 58 pasien. Dari jumlah keseluruhan pasien pneumonia terdapat 11 pasien pneumonia (18,97%) terdiri dari 6 pasien (data tanggal ringkasan keluar dari rumah sakit tidak ada), 4 pasien (data lab tidak ada) dan 1 pasien (hasil pemeriksaan labnya tidak lengkap) sehingga masuk dalam kategori VI yaitu data rekam medis yang tidak lengkap. Karena terdapat data rekam medis pada pasien pneumonia yang tidak lengkap maka analisis tidak dilanjutkan kembali. Menurut Kemenkes RI (2008) bahwa rekam medis merupakan berkas yang berisi catatan dan dokumen mengenai identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Rekam medis harus dibuat secara tertulis dan jelas atau secara elektronik dan isi dari rekam medis pada pasien rawat inap yang melakukan perawatan satu hari sekurangkurangnya memuat antara lain yaitu: Identitas pasien, tanggal dan waktu, hasil anamnesis (berisi sekurang-kurangya keluhan dan riwayat penyakit), hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medik, diagnosis, rencana penatalaksanaan, pengobatan dan atau tindakan, persetujuan tindakan bila diperlukan, catatan hasil observasi klinis dan hasil pengobatan, ringkasan pulang, nama dan tanda tangan (dokter, dokter gigi, atau tenaga kesehatan tertentu yang memberikan pelayanan

60 kesehatan), pelayanan lain yang dilakukan oleh tenaga kesehatan tertentu, untuk pasien kasus gigi dilengkapi odontogram klinik. 2. Kategori V Subjek dalam penelitian ini sebanyak 47 pasien menunjukkan gejala terkena infeksi bakteri. Oleh karena itu pemberian terapi antibiotik pada pasien tepat pada indikasi penyakitnya sehingga pasien pneumonia yang menjadi subjek pada penelitian ini tidak termasuk dalam kategori V (tidak ada indikasi pemberian antibiotik). Pengobatan dikatakan tepat indikasi dalam hal terapi penggunaan terapi antibiotik apabila antibiotik yang diberikan memiliki spektrum terapi terhadap pasien yang mengalami gejala terkena infeksi bakteri (Kemenkes RI, 2011). Menurut PAPDI (2009) bahwa gejala atau tanda-tanda fisik seseorang yang terkena infeksi bakteri khususnya infeksi bakteri pada penyakit pneumonia antara lain yaitu demam, sesak nafas, tanda-tanda konsolidasi paru (perkusi paru yang pekak, ronki nyaring dan suara pernapasan bronkial). 3. Kategori IV A Peresepan antibiotik yang termasuk dalam kategori IVA (ada antibiotk lain yang lebih efektif) pada penelitian ini yaitu 1 pasien (1,72%) mendapat terapi seftriakson untuk pneumonia atipikal. Pneumonia atipikal tergolong pneumonia yang didapat dari komunitas yang kemungkinan penyebabnya dari patogen atipik seperti M. pneumonia, Legionella, Chlammydophilla. Pasien dengan kategori ini hanya

61 mendapatkan terapi antibiotik tunggal sedangkan antibiotik yang direkomendasikan literatur untuk pasien pneumonia komunitas dengan kemungkinan penyebabnya dari patogen atipik adalah kombinasi terapi antibiotik seftriakson ditambah dengan golongan makrolida terbaru intravena seperti klaritomisin atau azitromisin (Fauci, 2015). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Garcia, et al., (2005) bahwa penggunaan antibiotik golongan betalaktam tunggal pada pasien CAP menunjukkan mortalitasnya lebih tinggi (13,3%) dibandingkan dengan pasien CAP yang menerima kombinasi antibiotik golongan betalaktam ditambah makrolida yang mortalitasnya lebih rendah (6,9%). Kombinasi terapi secara empiris antara antibiotik golongan sefalosporin ditambah dengan golongan makrolida dapat memberikan manfaat yaitu dapat menurunkan angka mortalitas dan mempersingkat lama rawat inap bagi pasien pneumonia komunitas dibandingkan terapi menggunakan sefalosporin tunggal (Caballero dan Rello, 2011). Menurut File (2017) bahwa kombinasi makrolida dan seftriakson untuk terapi empiris dapat memperbaiki respon klinis pasien CAP. 4. Kategori IV B Kategori IV B menunjukkan bahwa apabila ada antibiotik lain yang mempunyai efek lebih aman. Seluruh subjek pada penelitian ini mendapat terapi antibiotik yang aman sehingga seluruh subjek pada penelitian ini tidak masuk dalam kategori IV B.

62 5. Kategori IV C Kategori IV C menunjukkan bahwa apabila ada antibiotik lain yang lebih murah. Seluruh subjek dalam penelitian ini mendapatkan terapi antibiotik yang terjangkau sehingga seluruh subjek dalam penelitian ini tidak termasuk dalam kategori IV C. 6. Kategori IV D Kategori IV Dmenunjukkan bahwa apabila ada antibiotik lain yang lebih spesifik. Terapi antibiotik pada seluruh subjek penelitian ini berdasarkan terapi secara empiris dan belum dilakukan uji kultur patogen. Terapi antibiotik secara empiris merupakan terapi untuk kasus infeksi bakteri yang belum diketahui jenis patogen penyebabnya. Tujuan dari terapi antibotik secara empiris yaitu menghambat pertumbuhan patogen penyebab infeksi sebelum didapatkan hasil uji kultur mikrobiologis (Kemenkes RI, 2011). Seluruh pasien dalam subjek penelitian ini mendapat terapi secara empiris sehingga semua subjek penelitian ini tidak ada yang termasuk dalam kategori IV D. 7. Kategori III A Kategori III A menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik terlalu lama. Ada 1 pasien (1,72%) dalam peresepan antibiotik pada penelitian ini mendapat terapi levofloksasin 1x 500mg selama 9 hari. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian antibiotik terlalu lama maka termasuk dalam kategori III A. Menurut Kemenkes (2011) bahwa secara terapi empiris untuk pasien pneumonia diberikan dalam jangka waktu 48 72

63 jam. Setelah itu kemudian dievaluasi hasil terapinya berdasarkan data uji kultur mikrobiologi, keadaan klinis pasien serta data penunjang yang lain. Kejadian infeksi seperti pneumonia sebagian besar antibiotik yang diberikan yaitu 5-7 hari. Penggunaan antibiotik yang terlalu lama dapat berdampak pada biaya dan efek samping.menurut Kemenkes (2011) bahwa prinsip pemilihan antibiotik diantaranya atas dasar pemilihan antibiotik yang paling cost effective dam safety. Perbandingan durasi pemberian antibitotik pada pasien pneumonia komunitas dalam jangka waktu pendek maupun jangka panjang kemungkinan sama-sama efektifnya dan pada penurunan durasi dari terapi antibiotik pasien akan bisa menghemat pembiayaan terapi antibiotik, meminimalkan kejadian resiko efek samping terapi antibiotik, dan kejadian resistensi dari organisme terhadap antibiotik (Pinzone, et al., 2014). 8. Kategori III B Kategori III B menunjukkan bahwa pemberian terapi antibiotik pada pasien terlalu singkat. Seluruh subjek pada penelitian ini mendapat terapi empiris antibiotik yang telah sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan sehingga seluruh subjek dalam penelitian ini tidak termasuk dalam kategori III B. 9. Kategori II A Pada penelitian ini 1 pasien (1,72%) yang menerima terapi antibiotik 3x750mg. Menurut literatur bahwa rekomendasi dosis antibiotik levofloksasin yang diberikan kepada pasien pneumonia yaitu 750 mg per

64 24 jam (Fauci, et al., 2015). Hal tersebut menunjukkan bahwa antibiotik yang diberikan pada pasien pneumonia melebihi dosis maka peresepan antibiotik tersebut masuk dalam kategori II A. Menurut Kahn (2001) bahwa efek samping yang dilaporkan karena pemakaian levofloksasin dengan dosis berlebih dapat menyebabkan ruptur tendon, kejang, hepatitis, fotosensitivitas dan gagal hati. 10. Kategori II B Kategori II B menunjukkan bahwa pemberian antibiotik dengan interval tidak tepat. Seluruh subjek pada penelitian ini mendapatkan anitibiotik dengan interval yang tepat sehingga seluruh subjek penelitian ini tidak termasuk dalam kategori II B. 11. Kategori II C Kategori II C menunjukkan pemberian antibiotik dengan cara tidak tepat. Seluruh subjek pada penelitian ini mendapatkan anitibiotik dengan cara yang tepat sehingga seluruh subjek penelitian ini tidak termasuk dalam kategori II C. 12. Kategori I Kategori I menunjukkan pemberian antibiotik dalam waktu tidak tepat. Waktu pemberian antibiotik pada seluruh subjek dalam penelitian ini tepat semua sehingga seluruh subjek dalam penelitian ini tidak termasuk dalam kategori I.

65 13. Kategori 0 Kategori 0 menunjukkan penggunaan antibiotik rasional. Sebanyak 44 pasien (75,86%) dari seluruh subjek pada penelitian ini menggunakan antibiotik secara rasional berdasarkan penilaian dengan menggunakan literatur sehingga 44 pasien yang mendapat peresepan antibiotik tersebut masuk dalam kategori 0. Menurut Kemenkes (2011) penggunaan antibiotik pada pasien harus memperhatikan beberapa hal seperti waktu, frekuensi, lama pemberian sesuai rejimen terapi dan memperhatikan keadaan klinis dari pasien. F. Keterbatasan Penelitian Ada beberapa keterbatasan dalam penelitian ini diantaranya seperti peneliti tidak memungkinkan bisa berinteraksi dengan pasien dan tenaga kesehatan lain terkait dengan mengkomunikasikan bagaimana kondisi pasien, diagnosis dari jenis pneumonia (CAP/HAP) kurang begitu jelas, ada beberapa catatan rekam medis pasien yang tidak dapat terbaca sehingga peneliti menjadi agak sulit untuk mendapatkan data pasien yang akurat.