BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Setiap manusia pada umumnya menginginkan kehidupannya berjalan dengan baik, sesuai dengan apa yang dikehendakinya, yang mana sesuai dengan arti sebuah kebebasan. Kebebasan secara umum berarti kondisi dimana individu memiliki kemampuan untuk bertindak sesuai dengan keinginannya. Hal inipun diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Namun, sebagian orang memaknai kebebasan itu adalah sesuatu yang benar-benar bebas, tidak ada batasan seperti norma-norma yang dianggap menyebabkan kesengsaraan dan penderitaan. Terdapat paham liberalisme dimana liber yang artinya bebas atau merdeka, yang dalam hal kaitannya agama, berarti kebebasan menganut, meyakini, dan mengamalkan apa saja, sesuai kecenderungan atau kehendak masing-masing. Bahkan lebih jauh, liberalisme mereduksi agama dari urusan publik menjadi urusan privat. Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama islam pun demikian. Pengaruh liberalisme sudah merasuk ke dalam semua lini kehidupan banyak masyarakat di Indonesia. Selain faktor internal masyarakat beragama islam yang kemungkinan lemah dari sisi komitmen mereka terhadap agamanya, tersebarnya aliran liberalisme tidak terlepas dari peran barat yang sangat giat menyebarkannya melalui kekuatan 1
2 politik, ekonomi, dan teknologi informasi yang mereka miliki, diantaranya melalui media film. Penyampaian sebuah isu melalui media film dianggap suatu hal yang efektif dalam mempengaruhi pemikiran seseorang, mengingat film salah satu bentuk media massa yang memiliki pengaruh sangat besar terhadap penontonnya. Film sebagai media massa memiliki peran penting dalam perkembangan masyarakat saat ini, sehingga membuat industri film pun berkembang pesat. Hal ini dapat dilihat dari bertambahnya jumlah bioskop di berbagai daerah dan juga meningkatnya produksi film di Indonesia setiap tahunnya. Media massa diyakini mempunyai kekuatan yang dahsyat untuk mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat. Bahkan media massa bisa mengarahkan masyarakat seperti apa yang akan dibentuk di masa yang akan datang. Media massa mampu mengarahkan, membimbing, dan mempengaruhi kehidupan di masa kini dan masa mendatang. 1 Hasil penelitian membuktikan bahwa media massa akan berperan secara efektif apabila dapat mempengaruhi serta merubah pendapat, misalnya menambah pengetahuan. Menurut model jarum hipodermis bahwa media massa memiliki pengaruh langsung, segera, dan sangat menentukan terhadap audience. Selain itu media massa juga menghasilkan sebuah dampak dimana ada sebagian masyarakat yang menganggap dunia nyata (kehidupannya sehari-hari) berjalan sesuai dengan dunia yang digambarkan 1 Stefanus Tri Guntur Narwaya, Komunikasi, Perubahan Sosial dan Dehumanisasi, Pustaka Rumpun Ilalang, Surakarta, 2005, hlm.59.
3 oleh media. Ataupun sebaliknya, menganggap bahwa dunia dalam media itu adalah realita. Media film memiliki efek persuasi yang lebih kuat dibandingkan dengan media lainnya, karena film dapat menyampaikan dengan detail suatu peristiwa atau kejadian dalam bentuk gambar, suara, pandangan, sehingga dapat merangsang indera pendengaran dan penglihatan. Film, seperti yang kita ketahui, tidak hanya sebagai media hiburan, tetapi juga disebut sebagai sarana penyebar informasi karena dapat menjadi tempat untuk mendapatkan informasi. Seperti misalnya film The Theory of Everything yang memberikan informasi mengenai kehidupan Stephen Hawking, ahli fisika teoritis ternama yang berasal dari Inggris. Selain itu, film juga disebut sebagai sarana pendidikan, karena ada beberapa film yang dapat memperluas pengetahuan kita. Contohnya film Insterstellar yang merupakan film science fiction terbaik sepanjang sejarah dimana mengundang banyak pujian dari ilmuwan di dunia karena menggambarkan teori fisika yang menarik perhatian masyarakat awam dan berbagai kalangan lainnya. Selain itu film juga dapat mempengaruhi pendapat, pikiran, bahkan perilaku seseorang dalam waktu pendek maupun dalam waktu panjang. Menurut J.P Mayer, film tidak hanya menyampaikan kehidupan tetapi juga mampu melibatkan penonton dalam kehidupan itu. Karena itu, selama menonton film, penonton betul-betul diletakkan pada pusat segala kejadian dan peristiwa yang disuguhkannya, penonton merasa dibawa ke dalam
4 dunianya. 2 Di sisi lain, film mampu menampilkan realitas kedua (the second reality) dari kehidupan manusia. Kisah-kisah yang ditayangkan bisa lebih bagus dari kehidupan manusia yang divisualisasikan dalam bentuk audio video dengan kolaborasi efek dan animasi, sehingga mampu menarik penonton dalam jumlah yang besar, baik skala nasional maupun internasional. Setiap film tentunya memiliki suatu ideologi dan identitas sosial yang berasal dari masing-masing wilayah atau negara. Hollywood merupakan salah satu industri film terbesar di dunia yang mampu membawa identitas negara mereka masuk ke berbagai negara lainnya. Industri film milik Amerika ini telah berhasil menyebarkan keyakinan dan ideologi mereka di berbagai negara dengan berbagai judul film yang dikemas melalui ide, cerita, serta karakter yang menarik perhatian banyak orang. Banyak film yang berisikan tentang suatu isu, kritik sosial, pendidikan, budaya, dan lainnya. Bahkan film juga sering menjadi alat politik untuk membentuk opini masyarakat. Dalam Perang Dunia II (1939-1945), film dijadikan alat propaganda oleh negara-negara yang terlibat, terutama Jerman dan Amerika Serikat. Pasca Perang dunia II, film masih tetap dianggap memiliki kekuatan dalam mempengaruhi pikiran banyak orang walaupun tidak lagi untuk tujuan-tujuan yang bersifat propaganda. Di Indonesia, terdapat beberapa sejarah film di jaman Orde Baru seperti G30SPKI dan Serangan Omoem 1 Maret. Pada era orde baru, pemerintah membuat film tentang kekejaman G30SPKI yang merongrong stabilitas 2 J.P Mayer, Sociology of Film, Newyork, 1971, hlm. 72.
5 nasional, yang dengan adanya pemutaran film tersebut menimbulkan berbagai macam efek dalam diri masyarakat (afektif, kognitif, psikomotorik), serta menumbuhkan aspirasi frontal terhadap keberadaan PKI di Indonesia. Sehingga tujuan dari pemerintah untuk menumbuhkan persepsi negatif dari masyarakat melalui media film terbukti efektif. Selain film sejarah yang menceritakan kisah masa lalu, ada juga film yang mengisahkan tentang proyeksi masa depan. Salah satunya adalah film 3 (Alif Lam Mim) yang dirilis pada 1 Oktober 2015 lalu. Film ini merupakan film laga futuristik pertama di Indonesia dengan setting dystopia Indonesia, mengisahkan kehidupan sosial politik di Indonesia yang telah berubah, baik dari segi pemerintahan maupun kehidupan beragama. Film ini mengambil latar belakang Jakarta di tahun 2036 yang pada saat itu sudah terjadi banyak perubahan, dimana Indonesia menjadi negara liberal dan hak asasi manusia menjadi segalanya. Disutradarai oleh Anggy umbara, film ini juga menceritakan tentang cinta, persahabatan, persaudaraan dan drama keluarga. Isi cerita dalam film ini sangatlah kompleks, menggabungkan genre action, thriller, romansa drama, yang dibalut dengan isu-isu religi. Sayangnya film ini bertahan di bioskop selama tujuh hari saja. Padahal, film tersebut mendapat banyak pujian dari para sineas dan masyarakat. Setelah tayang di bioskop, film ini juga diputar di televisi pada malam tahun baru 2016, yang kemudian mengundang respon positif dari berbagai kalangan, baik sineas maupun masyarakat, meski banyak penonton yang kecewa dikarenakan beberapa adegannya dihilangkan.
6 Sejumlah komunitas bahkan mengadakan pemutaran kembali serta diskusi film 3 di berbagai kota demi memuaskan masyarakat yang belum sempat menyaksikan di bioskop maupun televisi. Tahun 2015 lalu, film ini masuk ke dalam 5 kategori nominasi Festival Film Indonesia. Sedangkan di Festival Film Bandung 2016, film ini memenangkan dua kategori pemeran pembantu pria terpuji yaitu Tanta Ginting dan juga sutradara terpuji Anggy Umbara. Tidak hanya di Indonesia, film ini pun menarik perhatian masyarakat dari berbagai negara lainnya. Anggy Umbara sempat diundang ke Los Angeles, Frankfurt, hingga Osaka Asian Film Festival di Jepang untuk menayangkan filmnya disana. Film 3 juga memenangkan kategori film terbaik dalam ajang Florida Film Festival. Pada Oktober lalu, film 3 pun mengikuti Atlanta Asian Film Festival. Selain karena film ini mendapat banyak respon positif serta apresiasi berupa penghargaan baik di Indonesia maupun di negara lain, yang menarik dalam film 3 (Alif Lam Mim) adalah berbagai isu di dalamnya. Terdapat beberapa isu yang diangkat yaitu isu liberalisme, terorisme, sekulerisme, dan isu-isu seputar agama dihadirkan dalam film ini dengan didukung teknologi CGI (Computer Generated Imagery) yang membuat film ini menjadi tidak kalah menarik dengan film Hollywood dari segi kualitas cerita maupun teknis. Keberanian sutradara dalam mengangkat isu liberalisme yang dianggap sensitif ini terbilang nekat dalam berbagai segi. Dari mulai ide, pemilihan genre, penulisan cerita dan dialognya, gaya visual, sampai pemanfaatan biaya
7 dan waktu yang dapat dikatakan terbatas untuk membuat sebuah film dengan skala seperti ini. Film 3 menceritakan bahwa Indonesia pada tahun 2036 telah menjadi negara liberal yang damai, aman, dan tenteram setelah sebelumnya pada tahun 2026 terjadi revolusi besar-besaran. Namun, ada orang-orang yang membenci kedamaian tersebut dengan menciptakan rekayasa atau konspirasi besar dengan mengadu domba pemerintah dengan sekelompok orang bersorban yang disetting sebagai pengacau/teroris yang dikhawatirkan akan menggantikan paham liberal dan kembali menyebabkan revolusi sepuluh tahun yang lalu, sehingga harus dibereskan kembali oleh pemerintah sebagai penguasa negara. Penggambaran liberalisme dalam film 3 menunjukkan bahwa seringkali ada makna-makna tersembunyi yang ingin disampaikan pembuat film. Kita semua tahu dan sadar bahwa media dalam hal ini film mempunyai potensi besar untuk menaruh ideologi-ideologi tertentu di dalam ceritanya yang dapat mempengaruhi masyarakat atau penonton. Sebagai bentuk ekspresi atau penyampaian pesan oleh pembuat film, maka berbagai isu berusaha ditonjolkan. Penonton pun harus cerdas dalam menangkap makna-makna tertentu dalam sebuah film, serta dapat mengkritisinya. Berbagai premis dihadirkan melalui film ini yang kemudian membuat penulis merasa tertarik untuk menganalisanya, terutama isu liberalisme dalam film tersebut yang digambarkan dengan berbagai sudut pandang yang berbeda. Oleh karena itu, penulis ingin melakukan penelitian menggunakan analisis
8 naratif mengenai liberalisme dalam film 3. Penelitian ini mengambil judul Liberalisme dalam Film 3 (Alif Lam Mim). 1.2 Fokus Penelitian Fokus penelitian ini sesuai dengan konsep Lacey yaitu struktur narasi dan Greimas yaitu karakter dalam narasi. Hasil penelitian ini nantinya akan menyimpulkan analisa mengenai liberalisme dalam film 3 (Alif Lam Mim). Maka berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat disimpulkan bahwa fokus penelitian ini adalah sebagai berikut: Bagaimana liberalisme dinarasikan dalam film 3 (Alif Lam Mim)? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penarasian liberalisme dalam film 3 (Alif Lam Mim). Kemudian juga untuk mengetahui struktur narasi serta karakter tokoh dalam film tersebut dengan menggunakan model campuran Lacey dan Greimas. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian mengenai liberalisme dalam film 3 (Alif Lam Mim) ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara akademis, maupun praktis, antara lain:
9 1.4.1 Manfaat Akademis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan menambah wawasan bagi pembaca dalam mengetahui suatu isu dalam sebuah film. Selain itu juga untuk menambah literatur penelitian kualitatif ilmu komunikasi, khususnya mengenai analisis naratif. 1.4.2 Manfaat Praktis Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi bagi dunia perfilman Indonesia dalam membangun karakter sebuah tokoh yang akan ditampilkan sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan melalui tokoh tersebut, hingga alur ceritanya dapat memberikan pengaruh baik terhadap masyarakat yang menontonnya.