BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kualitas Pepelayanan Parasuraman et al. (1988) menyatakan bahwa kualitas pelayanan didasarkan pada perbandingan antara apa yang seharusnya ditawarkan dan apa yang disediakan. Kualitas pelayanan adalah perpaduan antara sifat dan karakteristik yang menentukan sejauh mana keluaran dapat memenuhi persyaratan kebutuhan nasabah (Lupiyoadi dan Hamdani, 2008: 175). Kualitas pelayanan juga didefinisikan sebagai seberapa jauh perbedaan antara kenyataan dan harapan nasabah atas pelayanan yang mereka terima. Kualitas pelayanan berpusat pada upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan nasabah serta ketepatan penyampaiannya untuk mengimbangi harapan nasabah (Parasuraman dalam Lupiyoadi dan Hamdani, 2008: 181). Kemudian, Lovelock dan Wright (2007: 96) mengemukakan bahwa kualitas pelayanan merupakan kualitas kognitif jangka panjang nasabah terhadap penyerahan jasa suatu perusahaan. Nasabah yang mengkonsumsi dan menikmati jasa perusahaan seharusnya menentukan kualitas jasa yang diberikan. Bila jasa yang diterima oleh nasabah melebihi atau sama dengan harapannya, maka dapat dinyatakan jasa yang diberikan oleh penyedia jasa adalah baik atau memuaskan. Salah satu cara perusahaan untuk tetap dapat unggul bersaing adalah dengan memberikan kualitas pelayanan terbaik kepada nasabahnya secara konsisten (Ladhari, 2009). Keunggulan suatu produk jasa adalah tergantung dari 1
2 keunikan atau ciri khas serta kualitas yang diperlihatkan oleh jasa tersebut, apabila sudah sesuai dengan harapan dan keinginan nasabah. Parasuraman dkk dalam Kotler (2007: 439) menyatakan tentang model kualitas pelayanan yang menyoroti syarat-syarat utama untuk memberikan kualitas pelayanan, diantaranya: 1) Kesenjangan antara harapan dengan persepsi nasabah. Pada kenyataannya pihak manajemen perusahaan tidak selalu dapat merasakan atau memahami apa yang diinginkan oleh nasabah secara tepat. Akibatnya, manajemen tidak mengetahui bagaimana suatu pepelayanan di desain dan pepelayanan-pepelayanan pendukung yang diinginkan nasabah. 2) Kesenjangan antara persepsi manajemen terhadap kualitas pelayanan kepada nasabah secara spesifik. Terkadang manajemen mampu memahami secara tepat apa yang diinginkan oleh nasabah, tapi tidak menyusun suatu standar kinerja tertentu yang jelas. Hal ini bisa dikarenakan oleh tidak adanya komitmen total manajemen terhadap kualitas pelayanan, kekurangan sumber daya, atau karena adanya kelebihan permintaan. 3) Kesenjangan antara spesifikasi kualitas pelayanan dan penyampaian pepelayanan. Ada beberapa sebab terjadinya kesenjangan ini, seperti karyawan kurang terlatih, beban kerja yang melampaui batas, tidak dapat memenuhi standar yang telah ditetapkan, dan mungkin juga karyawan dihadapkan pada standar-standar yang terkadang saling bertentangan satu sama lain. 4) Kesenjangan antara penyampaian pepelayanan dan komunikasi eksternal. Kesenjangan ini terjadi apabila apa yang dikomunikasikan atau
3 dipromosikan perusahaan kepada nasabah berbeda dengan kondisi nyata yang ditemui nasabah terhadap perusahaan. 5) Kesenjangan antara pepelayanan yang dirasakan dan pepelayanan yang diharapkan. Kesenjangan ini terjadi jika nasabah mengukur kinerja atau prestasi perusahaan dengan cara yang berlainan atau bisa juga keliru mempersepsikan kualitas pelayanan tersebut. Menurut Kotler dalam Alma (2005:284) terdapat lima faktor dominan penentu kualitas pelayanan yang biasa disingkat dengan TERRA, yaitu : 1) Tangible (berwujud) Tangible merupakan penampilan fisik, peralatan, serta berbagai materi komunikasi yang baik, menarik, terawat, dan lancar. 2) Empathy (empati) Empathy merupakan ketersediaan karyawan dan pengusaha untuk lebih peduli memberikan perhatian secara pribadi kepada nasabah. Contoh: karyawan harus mencoba menempatkan diri sebagai nasabah. Jika mengeluh, maka harus dicarikan solusi segera, agar selalu terjaga hubungan harmonis dengan menunjukan rasa peduli yang tulus. 3) Responsiveness (cepat tanggap) Responsiveness merupakan kemauan dari karyawan dan pengusaha untuk membantu dan memberikan jasa dengan cepat, serta mendengar dan mengatasi keluhan dari nasabah.
4 4) Reliability (keandalan) Reliability merupakan kemampuan untuk memberikan jasa sesuai dengan yang dijanjikan, terpercaya, akurat, dan konsisten. 5) Assurance (kepastian) Assurance merupakan kemampuan karyawan untuk menimbulkan keyakinan dan kepercayaan terhadap janji yang telah dikemukakan kepada nasabah. Menurut Kotler dan Keller (2007:56) terdapat wilayah toleransi atau kisaran untuk menilai persepsi tentang dimensi yang dianggap memuaskan, yang diberi jangka oleh tingkat minimum yang ingin diterima nasabah dan tingkat yang dapat diyakini nasabah dan harus diserahkan. Adapun skala Servqual tersebut adalah: 1) Keandalan (1) Memberikan pelayanan sesuai janji. (2) Menangani masalah pelayanan nasabah dengan cermat. (3) Menyediakan pelayanan pada waktu yang dijanjikan. (4) Melakukan pencatatan secara akurat. 2) Daya Tanggap (1) Mengusahakan nasabah tetap mendapat informasi, misalnya kapan pelayanan tersebut akan dilakukan. (2) Pelayanan yang tepat pada nasabah. (3) Kesiapan yang cepat untuk menanggapi permintaan nasabah. (4) Kesediaan membantu nasabah.
5 3) Jaminan (1) Karyawan yang membangkitkan kepercayaan kepada nasabah. (2) Membuat nasabah merasa aman dalam proses transaksi. (3) Karyawan yang diberikan dukungan untuk melaksanakan tugas dengan baik. (4) Kesopanan karyawan. 4) Empati (1) Memperhatikan kepentingan nasabah. (2) Karyawan yang mampu memahami kebutuhan nasabah. (3) Jam bisnis yang nyaman. (4) Perhatian secara personal. (5) Meminta maaf jika terjadi kesalahan pelayanan. 5) Berwujud (1) Fasilitas yang sesuai dengan jasa yang akan ditawarkan. (2) Fasilitas yang secara visual menarik. (3) Karyawan yang memiliki penampilan yang rapi. (4) Peralatan yang up to date. (5) Lokasi yang strategis. SERVQUAL telah terbukti menjadi model yang telah banyak digunakan dalam organisasi berbagai pelayanan dan industri termasuk perbankan untuk mengukur kualitas pepelayanan (Siddiqi, 2011 dan Lymperopoulos et al., 2006).
6 2.2 Citra Perusahaan Suatu perusahaan akan dilihat melalui citranya, baik citra itu negatif maupun positif. Citra yang positif akan memberikan arti yang baik terhadap produk perusahaan tersebut dan seterusnya dapat meningkatkan jumlah penjualan. Sebaliknya, penjualan produk suatu perusahan akan jatuh atau mengalami kerugian jika citranya dipandang negatif oleh masyarakat (Yussof dalam Mardalis, 2005). Sunter dalam Mardalis (2005) berkeyakinan bahwa pada masa yang akan datang hanya dengan citra, maka nasabah akan dapat membedakan sebuah produk dengan produk lainnya. Oleh karena itu, bagi perusahaan memiliki citra yang baik adalah sangat penting. Dengan konsep yang baik, sebuah perusahaan dapat melengkapkan identitas yang baik pula dan pada akhirnya dapat mengarahkan kepada kesadaran yang tinggi, loyalitas, dan reputasi yang baik. Pentingnya citra perusahaan juga dikemukakan oleh Sutisna (2001) sebagai berikut : 1) Menceritakan harapan bersama kampanye pemasaran eksternal. Citra positif akan memudahkan perusahan untuk berkomunikasi dan mencapai tujuan secara efektif. 2) Sebagai penyaring yang mempengaruhi persepsi pada kegiatan perusahaan. Citra positif menjadi pelindung terhadap kesalahan kecil. 3) Sebagai fungsi dari pengalaman dan harapan nasabah atas kualitas pepelayanan perusahaan.
7 4) Mempunyai pengaruh penting terhadap manajemen atau dampak internal. Citra perusahaan yang kurang jelas dan nyata mempengaruhi sikap karyawan terhadap perusahaan. Alma (2005) menyatakan bahwa citra adalah kesan yang diperoleh sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman seseorang tentang sesuatu. Menurut Davies et al. dalam Juwita (2006) dikatakan bahwa citra diartikan sebagai pandangan mengenai perusahaan oleh para pemegang saham eksternal, khususnya oleh para nasabah. Miles dan Covin dalam Sugihartono (2009) berpendapat bahwa citra perusahaan adalah pandangan atau persepsi atas perusahaan oleh orang-orang, baik yang berada di dalam maupun di luar perusahaan. Weiss et al. dalam Sugihartono (2009) menyatakan bahwa citra perusahaan adalah pandangan publik atas suatu perusahaan yang dinilai baik atau tidak yang dipandang secara global atas hal-hal seperti keterbukaan, kualitas, dan lainnya sehingga dapat dikatakan sebagai pandangan atas gerak langkah perusahaan. Citra merupakan suatu aset tidak berwujud dari perusahaan yang memiliki efek positif pada penilaian pasar atas perusahaan (Amin et al., 2013). Perusahaan yang mempunyai citra baik mampu menimbulkan kepercayaan, keyakinan, dan dukungan daripada perusahaan yang mempunyai citra buruk (Dowling dalam Sugihartono, 2009). Harrison dalam Suwandi (2010) menyatakan bahwa informasi yang lengkap mengenai citra perusahaan meliputi empat elemen sebagai berikut: 1) Personality, keseluruhan karakteristik perusahaan yang dipahami publik sasaran seperti perusahaan yang dapat dipercaya dan perusahaan yang mempunyai tanggung jawab sosial.
8 2) Reputation, hal yang telah dilakukan perusahaan dan diyakini publik sasaran, baik berdasarkan pengalaman sendiri maupun pihak lain, misalnya kinerja keamanan transaksi sebuah bank. 3) Value, nilai-nilai yang dimiliki suatu perusahaan dengan kata lain budaya perusahaan seperti sikap manajemen yang peduli terhadap nasabah, karyawan yang cepat tanggap terhadap keluhan nasabah. 4) Corporate Identity, komponen-komponen yang mempermudah pengenalan publik sasaran terhadap perusahaan seperti logo, warna, dan slogan. Pengalaman yang baik dari nasabah atas penggunaan produk yang dihasilkan perusahaan bank akan menghasilkan persepsi yang baik terhadap citra perusahaan tersebut, dan pada saat itulah akan terbentuk apa yang disebut citra perusahaan. Andreassen dan Lindestad (1997) menyatakan bahwa faktor-faktor pembentuk citra perusahaan adalah : (1) Advertising, adalah keseluruhan proses yang meliputi penyiapan, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan penyampaian iklan. (2) Public Relation, adalah usaha yang direncanakan secara terus menerus dengan sengaja, guna membangun dan mempertahankan pengertian timbal balik antara organisasi dan masyarakatnya. Pendapat ini menunjukkan bahwa public relation dianggap sebuah proses atau aktivitas yang bertujuan untuk menjalin komunikasi antara organisasi dan pihak luar organisasi.
9 (3) Physical Image, adalah bukti fisik yang dapat memberikan citra diri bagi perusahaan di mata nasabahnya. (4) Actual Experience, adalah pengalaman yang langsung dirasakan oleh nasabah dalam mengkonsumsi barang dan jasa. 2.3 Kepuasan Nasabah Menurut Kotler (2005:136) menyatakan kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan antara persepsi terhadap kinerja atau hasil suatu produk dan harapan-harapannya. Nasabah mengalami berbagai tingkat kepuasan dan ketidakpuasan setelah mengalami masing-masing jasa sesuai dangan sejauh mana harapan mereka terpenuhi atau terlampaui (Lovelock dan Wright, 2007: 102). Tjiptono dkk (2008: 24) menyatakan bahwa kepuasan nasabah mencakup perbedaan antara harapan dan kinerja atau hasil yang dirasakan. Sullivan dan Adcock (2002:233) menyatakan kepuasan nasabah tercipta dari adanya perbandingan oleh nasabah atas nilai atau manfaat yang diterima (persepsi terhadap apa yang telah diterima) dengan pengorbanan (termasuk biaya) yang telah dikeluarkan untuk mendapatkan manfaat tersebut. Kana (2001) mengemukakan bahwa terciptanya kepuasan nasabah dapat memberikan beberapa manfaat, diantaranya hubungan antara perusahaan dengan nasabah menjadi harmonis, memberikan dasar yang baik bagi pembelian ulang dan memberikan rekomendasi dari mulut ke mulut (word of mouth) yang merupakan dasar dari terciptanya loyalitas nasabah. Kepuasan nasabah akan mempengaruhi pembeli, di mana nasabah yang puas cenderung menjadi nasabah yang loyal (Sugiharto, 2007). Berdasarkan
10 definisi tersebut dapat dilihat adanya makna bahwa kepuasan nasabah merupakan suatu perasaan atau penilaian emosionalnya atas penggunaan suatu produk ketika harapan dan kebutuhan terpenuhi (Chakraborty dan Sengupta, 2013). Jika kinerja berada dibawah harapan maka nasabah akan merasa tidak puas, sedangkan jika kinerja melebihi harapan, nasabah amat puas, sehingga kepuasan nasabah memerlukan keseimbangan antara kebutuhan dan keinginan dengan apa yang diberikan (Houn et al., 2012). Kemudian, ditegaskan bahwa dimensi dari kepuasan konsumen terdiri dari : 1) Harapan umum konsumen merupakan harapan pelanggan sebelum menggunakan suatu produk, menyangkut produk dan pelayanan. 2) Persepsi Kinerja merupakan pelayanan kinerja yang diberikan dengan harapan dapat menciptakan persepsi positif bagi konsumen 3) Penilaian atas menfaat dari suatu produk merupakan penilaian pelanggan atas manfaat dari suatu produk yang berhubungan dengan kemampuan produk tersebut memenuhi kebutuhan pengguna. 4) Kepuasan overall, merupakan tingkat kepuasan konsumen secara keseluruhan setelah menggunakan suatu produk, mencakup penilaian tentang saat menggunakan produk. Menurut Musanto dalam Wijayanthi (2008), faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan nasabah adalah : a. Keandalan (Reliability) Merupakan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan produk sesuai dengan apa yang dijanjikan oleh perusahaan.
11 b. Response to and Remedy of Problem Merupakan respon dan cara pemecahan masalah dalam menanggapi keluhan serta masalah yang dihadapi nasabah. c. Sales Experience Merupakan semua hubungan antara nasabah dengan karyawan, khususnya dalam hal komunikasi yang berhubungan dengan pemberian informasi tentang produk. d. Convenience of Acquisition Merupakan segala kemudahan dan kenyamanan yang diberikan oleh perusahaan kepada nasabah. Kotler dan Keller (2007: 179) mengemukakan empat metode yang banyak digunakan dalam mengukur kepuasan nasabah, yaitu : 1) Sistem keluhan dan saran Perusahaan dapat menggunakan kotak saran yang diletakkan ditempat strategis. Menggunakan kartu komentar, saluran telepon khusus bebas pulsa atau melalui website. Namun metode ini bersifat pasif, maka sulit mendapatkan gambaran lengkap mengenai kepuasan atau ketidakpuasan nasabah. Tidak semua nasabah akan menyampaikan keluhannya, namun mereka dapat langsung berganti pemasok atau menghentikan pembelian terhadap produk atau jasa. Upaya ini juga tidak dapat dilaksanakan secara maksimal apabila perusahaan tidak
12 memberi timbal balik dan tindak lanjut yang memadai bagi nasabah yang menyampaikan keluhan dan saran mereka. 2) Ghost Shopping Metode ini dilakukan dengan mempekerjakan beberapa orang ghost shopper untuk berperan sebagai nasabah potensial jasa perusahaan pesaing. Ghost Shopper dapat melaporkan temuan penting kekuatan dan kelemahan perusahaan dibandingkan dengan pesaingnya, selain itu ghost shopper juga dapat mengkoservasi cara perusahaan dan pesaingnya melayani permintaan nasabah, menjawab pertanyaan nasabah, dan menangani setiap masalah terkait dengan keluhan nasabah. 3) Lost Customer Analysis Perusahaan menghubungi para nasabah yang telah berhenti melakukan pembelian atau yang telah beralih pemasok agar dapat memahami mengapa hal itu terjadi dan supaya dapat mengambil kebijakan/penyempurnaan selanjutnya. Akan tetapi, ada kesulitan dalam pelaksaan metode ini, yaitu mengidentifikasi dan mengontak mantan nasabah yang bersedia memberi masukan dan evaluasi kinerja perusahaan. 4) Survei Kepuasan Nasabah Penelitian mengenai kepuasan nasabah dapat dilakukan melalui survei, baik melalui via pos, telepon, email, maupun wawancara langsung. Melalui survei, perusahaan akan memperoleh tanggapan dan umpan
13 langsung dari nasabah dan juga memberi sinyal positif bahwa perusahaan menaruh perhatian terhadap nasabah. 2.4 Word of Mouth Menurut Assael (1995) Word of mouth adalah komunikasi interpersonal antara dua bahkan lebih individu seperti anggota kelompok referensi atau nasabah dan tenaga penjual. Menurut Hurriyati (2005:61) menyatakan bahwa word of mouth merupakan salah satu bentuk promosi berupa komunikasi dari mulut ke mulut dan merupakan salah satu ciri khusus dari promosi dalam bisnis jasa. Word of mouth merupakan sebuah komunikasi informal diantara seorang pembicara yang tidak komersial dengan orang yang menerima informasi mengenai sebuah merek, perusahaan, produk, atau jasa. Word of mouth tidak dapat dibuat-buat atau diciptakan. Berusaha membuat-buat word of mouth sangat tidak etis dan dapat memberikan efek sebaliknya. Lebih buruk lagi, usaha tersebut dapat merusak citra dan reputasi perusahaan. Word of mouth yang baik tidak berusaha membohongi nasabah (Casalo et al., 2008). Word of mouth terkadang lebih efektif daripada iklan. Flintoff (2002), menyebutkan bahwa iklan hanya memiliki interaksi satu arah kepada nasabah, sedangkan word of mouth memiliki interaksi dua arah. Selain itu word of mouth dianggap lebih obyektif karena informasi yang sampai kepada calon nasabah bukan berasal dari perusahaan, sehingga terkadang menyertakan kelemahan dari produk yang dapat diantisipasi oleh nasabah (Berezina et al., 2012). Hal ini semakin diperkuat oleh Day (yang dikutip oleh Walker, 2001) menghasilkan suatu pengukuran yang menyebutkan bahwa word of mouth
14 sembilan kali lebih efektif dibandingkan iklan yang berhubungan dengan usaha mengubah kecendrungan yang bersifat unfavorable dan netral menjadi positif. Nasabah yang puas terhadap barang atau jasa yang dikonsumsinya akan mempunyai kecenderungan untuk membeli ulang dari produsen yang sama. Oleh karena itu, kepuasan merupakan faktor yang mendorong adanya komunikasi dari mulut ke mulut (Word of mouth communication) yang bersifat positif (Solomon, 1996). Menurut Suwandi (2001) terdapat beberapa aspek yang dapat dijadikan indikator variabel word of mouth, yaitu : 1) Frekuensi, yaitu tingkat atau kapasitas komunikasi yang dilakukan nasabah untuk merekomendasikan barang atau jasa yang bersangkutan. 2) Jumlah orang, yaitu menyangkut jumlah orang yang diberikan informasi atau rekomendasi mengenai barang atau jasa yang telah dikonsumsi. 3) Informasi, yaitu jumlah informasi yang diberikan nasabah kepada orang lain guna mendapatkan penjelasan yang signifikan mengenai barang atau jasa tersebut.