BAGANISASI DI PERAIRAN PULAU SEBATIK DALAM MENGATASI ILLEGAL FISHING ( Baganisasi in the Sebatik Island Waters on Combating Illegal Fishing)

dokumen-dokumen yang mirip
DAMPAK KEGIATAN IUU-FISHING DI INDONESIA

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG PERIKANAN

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. dijaga keamanan dan dimanfaatkan untuk kemakmuran Indonesia. Wilayah negara

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

2017, No Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 127, Tamb

11 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN PELAGIS KEBERLANJUTAN KOTA TERNATE

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. fenomena penangkapan ikan tidak sesuai ketentuan (illegal fishing), yaitu

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LAMPIRAN I : PERATURAN BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN TENTANG RENCANA AKSI PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan

PUSANEV_BPHN. Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB V KESIMPULAN. penangkapan bertanggung jawab. Illegal Fishing termasuk kegiatan malpraktek

RETREAT ISU STRATEGIS DAN KEGIATAN PRIORITAS PENGAWASAN. Kepala Subbagian Perencanaan dan Penganggaran Ditjen PSDKP

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2010 TENTANG TUNJANGAN OPERASI PENGAMANAN BAGI

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENYUSUNAN KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

VOLUNTARY NATIONAL REVIEW (VNR) TPB/SDGs TAHUN 2017 TUJUAN 14 EKOSISTEM LAUTAN

6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Rancangbangun hukum pulau-pulau perbatasan merupakan bagian penting dari ketahanan negara.

GERAKAN NASIONAL PENYELAMATAN SUMBERDAYA ALAM INDONESIA SEKTOR KELAUTAN

Kata Kunci : Yurisdiksi Indonesia, Penenggelaman Kapal Asing, UNCLOS

22/09/2014 SEMINAR NASIONAL HUKUM LAUT FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ERLANGGA. Senin, 22 September 2014

3 METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Februari s/d Juli 2007 di Kabupaten Jayapura dan Merauke Provinsi Papua.

METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MASALAH PERBATASAN NKRI

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan, batasan masalah, dan sistematika penulisan. 1.

LAPORAN AKHIR RIA Seri: PERMENKP NO. 57 Tahun 2014 BALITBANG-KP, KKP

Sejarah Peraturan Perikanan. Indonesia

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi

PENENGGELAMAN KAPAL SEBAGAI USAHA MEMBERANTAS PRAKTIK ILLEGAL FISHING

TOPIK KHUSUS DIPLOMASI INTERNASIONAL

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.388, 2010 KEMENTERIAN PERTAHANAN. Tunjangan Operasi Pengamanan. Petugas. Pulau Kecil. Terluar.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis

BAB III PENCURIAN IKAN

RENCANA KERJA BADAN NASIONAL PENGELOLA PERBATASAN TAHUN 2011

Oleh Ir. SAID ASSAGAFF Gubernur Maluku

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

STRATEGI PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN INDRAPURWA LHOK PEUKAN BADA BERBASIS HUKUM ADAT LAOT. Rika Astuti, S.Kel., M. Si

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

MEMPERKUAT MEKANISME KOORDINASI DALAM PENANGANAN ABK DAN KAPAL IKAN ASING

pemerintah pusat yang diharapkan segera diwujudkan di kawasan kepulauan Natuna Barat. ILyas sabli

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang Masalah Illegal unreported and unregulated (IUU) fishing merupakan masalah global yang

RENCANA AKSI PENGELOLAAN BATAS WILAYAH NEGARA DAN KAWASAN PERBATASAN TAHUN 2011

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas terdiri dari

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 115 TAHUN 2015 TENTANG SATUAN TUGAS PEMBERANTASAN PENANGKAPAN IKAN SECARA ILEGAL (ILLEGAL FISHING)

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

LAMPIRAN II RENCANA KERJA PENATAAN RUANG UNTUK PEMANTAPAN KEAMANAN NASIONAL (PENANGANAN KAWASAN PERBATASAN)

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PERLINDUNGAN NELAYAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SISTEMATIKA PEMAPARAN

BAB III PENDEKATAN LAPANGAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. untuk menjaga keamanan nasional sekaligus memenuhi kepentingan nasional.

SENGKETA-SENGKETA PERBATASAN DI WILAYAH DARAT INDONESIA. Muthia Septarina. Abstrak

BAB III ISU DAN PERMASALAHAN PENGELOLAAN KAWASAN PERBATASAN

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2017 NOMOR : SP DIPA /2017

KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA. Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta. rinda@ut.ac.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PERLINDUNGAN NELAYAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR 56/KEP-DJPSDKP/2015 TENTANG

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

JAKARTA (4/3/2015)

RENCANA AKSI PENGELOLAAN BATAS WILAYAH NEGARA DAN KAWASAN PERBATASAN TAHUN 2011

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA PENGEMBANGAN ALAT TANGKAP BAGAN DI WILAYAH PERBATASAN DALAM RANGKA MENJAGA KEDAULATAN REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Fishing vessel controlling development strategy of marine and fisheries resources monitoring center in Kema Districts, North Minahasa, Indonesia

Indonesia Menuju Poros Maritim Dunia

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1. A. Latar Belakang. Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dengan

2016, No Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan L

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Bab 7 FORMULASI STRATEGI DAN KEBIJAKAN UNTUK MENGEFEKTIFKAN PENGELOLAAN PERIKANAN BERKELANJUTAN

BAB I PENDAHULUAN. dulu. Namun hingga sekarang masalah illegal fishing masih belum dapat

BAB V PENUTUP. Pencegahan Illegal Fishing di Provinsi Kepulauan Riau. fishing terdapat pada IPOA-IUU. Dimana dalam ketentuan IPOA-IUU

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PEMBERANTASAN KEGIATAN PERIKANAN LIAR (IUU FISHING)

KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB.III AKUNTABILITAS KINERJA

BAB II PERMASALAHAN IUU FISHING DI LAUT ARAFURA DAN UPAYA INDONESIA DALAM MENANGANINYA

BAB I PENDAHULUAN. ikan (illegal fishing), namun juga penangkapan ikan yang tidak dilaporkan

Ambalat: Ketika Nasionalisme Diuji 1 I Made Andi Arsana 2

PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL LAN (2006) 1

Transkripsi:

BULETIN PSP ISSN: 0251-286X Volume 20 No. 2 Edisi April 2012 Hal 205-211 BAGANISASI DI PERAIRAN PULAU SEBATIK DALAM MENGATASI ILLEGAL FISHING ( Baganisasi in the Sebatik Island Waters on Combating Illegal Fishing) Oleh: Akhmad Solihin 1 *, Mashury Imron 2, Ary Wahyono 2 ABSTRAK Perairan Pulau Sebatik dan sekitarnya kerap dimasuki oleh armada tangkap Malaysia yang menggunakan alat tangkap trawl skala besar. Selain kerugian ekonomi, praktik-praktik illegal fishing tersebut telah merusak ekosistem laut dan sumber daya ikan. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah mengkaji akar permasalahan illegal fishing di wilayah perairan Pulau Sebatik dan menganalisis kebijakan baganisasi yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagai upaya pemberantasan illegal fishing. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitis, yang menggunakan analisis kuantitatif dan kualitatif. Berdasarkan analisa dihasilkan bahwa illegal fishing di wilayah perairan Pulau Sebatik disebabkan oleh: (a) rendahnya patroli laut; dan (b) dan lemahnya koordinasi aparat penegak hukum. Sementara kebijakan baganisasi berdampak positif, karena: (a) menghambat masuknya nelayan asing; (b) menunjukkan penguasaan perairan oleh Republik Indonesia; dan (c) kapal Tentara Angkatan Laut Negara lain segan masuk ke wilayah perairan Pulau Sebatik dan sekitarnya. Kata kunci: baganisasi, illegal fishing, nelayan asing, penegak hokum, Pulau Sebatik PENDAHULUAN Indonesia adalah negara kepulauan yang berbatasan langsung dengan 10 negara tetangga, yaitu Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini, Timor Leste, Australia dan India. Oleh karena itu, Indonesia harus mempunyai konsep pengelolaan perbatasan. Hal ini dikarenakan, perbatasan internasional memiliki konsekuensi politis (Oegroseno, 2009). Salah satu permasalahan yang kerap terjadi di wilayah perbatasan adalah terjadinya praktik-praktik illegal fishing. Illegal fishing adalah isu bersama seluruh negara, karena illegal fishing merupakan ancaman bagi keamanan pangan global (Agnew, et.al, 2009). Hal ini dikarenakan, kontribusi kegiatan illegal fishing mencapai 30% dari total tangkapan dunia (Gallic, 2004 diacu dalam Solihin, 2010). Kerugian ekonomi Indonesia akibat tindak pelanggaran illegal fishing sebagaimana laporan FAO mencapai Rp 30 triliun per tahun. Kerugian tersebut mencapai 25% dari total potensi perikanan Indonesia. Artinya, kalau dihitung-hitung, angka 25 dikalikan 6,4 juta ton maka dihasilkan angka 1,6 juta ton. Angka inilah yang diasumsikan FAO, sehingga mendapatkan angka Rp 30 triliun dalam setiap tahunnya (PSDKP, 2008). Lebih lanjut P2SDKP mengungkapkan, sebagian kerugian ekonomi karena IUU fishing, yaitu meliputi: (1) pungutan perikanan yang dibayarkan dengan tarif kapal Indonesia; (2) subsidi BBM yang dinikmati oleh 1 Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FPIK-IPB 2 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia *Korespondensi: akhmad_solihin@yahoo.com

206 BULETIN PSP 20 (2), April 2012 kapal asing yang tidak berhak; dan (3) produksi ikan yang dicuri (volume dan nilai). Dengan demikian, kerugian ini merupakan dampak illegal fishing karena kehilangan langsung nilai tangkapan yang seharusnya diterima oleh setiap negara pantai (coastal state) (MRAG, 2005). Selain kerugian ekonomi, Indonesia juga mengalami kerugian ekologi karena terjadinya degradasi lingkungan dan penurunan persediaan ikan serta ukurannya. Tiga Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) yang sering menjadi korban praktik illegal Fishing, yaitu pada WPP Laut Cina Selatan terjadi penurunan kepadatan stok dan ukuran jenis ikan demersal; WPP Laut Arafura terjadi penurunan stok dan bobot udang; dan WPP Samudera Hindia terjadi penurunan jumlah tangkapan dan bobot ikan tuna (Samudera, 2004). Ancaman lain yang sangat mengkhawatirkan sebagai akibat praktik-praktik IUU Fishing adalah penyakit HIV yang ditularkan oleh nelayan-nelayan asing yang beroperasi di Perairan Indonesia. Kompleksnya permasalahan illegal fishing di wilayah perbatasan, maka diperlukan kebijakan alternatif selain penempatan militer. Salah satu usaha pemerintah yang dilakukan untuk menjaga perbatasan adalah dengan kegiatan ekonomi melalui program baganisasi, yaitu pembangunan alat tangkap bagan tancap di kawasan perbatasan perairan Indonesia. Selain untuk memberdayakan nelayan yang ada, diharapkan dengan didirikannya bagan di wilayah perbatasan dapat mengurangi kegiatan pelanggaran perbatasan kawasan perairan oleh kapal-kapal nelayan dari negara lain. Dengan demikian, program baganisasi tidak hanya akan meningkatkan perekonomian masyarakat perbatasan, akan tetapi juga mampu mengatasi masalah perbatasan wilayah dengan negara tetangga (Koesrianti, 2008). Berdasarkan paparan tersebut, tujuan penelitian ini adalah memaparkan permasalahan illegal fishing di wilayah perairan Pulau Sebatik dan persepsi masyarakat terhadap kebijakan baganisasi di perairan Pulau Sebatik dan Karang Unarang. METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur dilakukan pada bulan Agustus 2010. Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini, yaitu data kualitatif dan kuantitatif. Pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan dua cara, yaitu wawancara mendalam (deep interview) dan Focus Group Discussion (FGD). Wawancara mendalam dilakukan dengan para informan yang dianggap memahami permasalahan yang diteliti, yang terdiri dari tokoh masyarakat baik tokoh formal maupun informal, masyarakat nelayan, pedagang hasil laut dan para istri nelayan, LSM serta instansi pemerintah, khususnya Dinas Kelautan dan Perikanan dan Bappeda Kabupaten Nunukan. Penentuan key informan dipilih melalui sistem snow ball. Melalui sistem tersebut diharapkan informan yang terdahulu akan dapat menunjuk informan lain yang dianggap dapat lebih memperjelas permasalahan untuk diwawancarai. Dengan sistem tersebut peneliti memperoleh dua keuntungan, yaitu pertama, peneliti tidak perlu bersusah payah menentukan daftar informan, yang tentunya sangat sulit diperoleh sebelum turun ke lapangan. Kedua, melalui sistem tersebut, maka jawaban yang dikemukakan oleh seorang informan dapat digunakan oleh peneliti sebagai bahan pertanyaan untuk diajukan kepada informan lain. Sebelum dilakukan wawancara mendalam, peneliti menyusun pedoman wawancara (interview guide) yang berisi pokok-pokok permasalahan yang akan ditanyakan. Pokok-pokok

Akhmad Solihin dkk. Baganisasi di Perairan Pulau Sebatik 207 permasalahan itulah yang kemudian ditanyakan oleh peneliti di lapangan, dengan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat lokal. Pengumpulan data juga dilakukan melalui focus group discussion, dengan melibatkan unsur-unsur dari masyakat lokal. Subyek yang menjadi bahan diskusi adalah permasalahan dan harapan terkait dengan penerapan kebijakan baganisasi di wilayah perairan Pulau Sebatik. Pengambilan data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan kuesioner, sebagai instrumen untuk melakukan wawancara secara berstruktur terhadap responden. Pemilihan responden dilakukan melalui dua tahap, yaitu: pertama, secara purposive dipilih lima desa dari delapan desa yang ada di Pulau Sebatik. Kedua, secara acak dipilih orang-orang yang akan dijadikan responden. Responden di setiap desa yang dipilih jumlahnya sama, yaitu masingmasing 30 orang, jadi jumlah responden secara keseluruhan sebanyak 150 orang. Selain data primer, penelitian ini juga menggunakan data sekunder, yaitu berupa data statistik, artikel-artikel di koran dan majalah, peraturan perundang-undangan, dan artikel seminar yang berkaitan dengan permasalahan di lokasi penelitian. Data sekunder yang diperoleh diharapkan dapat lebih memperdalam kajian yang dilakukan. Metode Analisis Data Analisa data kuantitatif dilakukan dengan terlebih dulu melakukan entry data ke dalam SPSS 14 yang sebelumnya dilakukan pembersihan data (data clearing). Analisis yang dilakukan adalah frekuensi dan tabulasi silang. Adapun analisis data kualitatif dilakukan dengan cara deskriptif analisis. Analisa ini dilakukan dengan cara menggabung-gabungkan aspek penelitian yang sejenis ke dalam satu kesatuan, kemudian melakukan analisis silang antara satu aspek dengan aspek yang lain. Analisis juga dilakukan dengan menggunakan teori yang relevan, dan membandingkannya dengan permasalahan serupa yang terdapat di daerah lain. Analisis kualitatif menggunakan analisis sosiologis, yang bertujuan untuk memahami dampak dari kebijakan baganisasi terhadap masyarakat lokal, khususnya nelayan tradisional. Pada dasarnya analisa kualitatif dan kuantitatif dilakukan untuk saling mendukung. Hasil analisa kualitatif digunakan untuk memperkuat hasil temuan yang bersifat kuantitatif. Begitu pula sebaliknya, hasil temuan yang bersifat kuantitatif digunakan untuk memperkuat temuan yang bersifat kualitatif. HASIL DAN PEMBAHASAN Permasalahan Illegal Fishing Penegakan hukum di bidang perikanan sebagaimana yang diberi wewenang oleh peraturan perundang-undangan yaitu dilakukan oleh Kepolisian, TNI Angkatan Laut, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Untuk menangani kegiatan illegal fishing tersebut masing-masing pihak dilengkapi dengan peralatan pendukung berupa kapal patroli. Namun demikian, dalam pelaksanannya, penegakan hukum illegal fishing di wilayah perairan Pulau Sebatik memiliki permasalahan, yaitu: a. Rendahnya Patroli Laut Sebagai salah satu kegiatan pemberantasan illegal fishing, kegiatan patroli merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan aparat pemerintah. Namun demikian, kegiatan patroli dihadapkan pada rendahnya kapasitas yang dimiliki aparat pemerintah. Kepolisian (Polisi Air) misalnya, hanya memiliki beberapa kapal dengan tingkat kecepatan yang rendah, sehingga tidak mampu mengejar kapal nelayan asing yang umumnya berasal dari Malaysia di sekitar perairan Pulau Sebatik. Permasalahan kapal yang dimiliki oleh Pemda juga tidak

208 BULETIN PSP 20 (2), April 2012 mengkhawatirkan, karena biaya operasional hanya mencukupi untuk melakukan 8 patroli sehingga sulit diharapkan bahwa kegiatan pemberantasan illegal fishing dapat dilakukan secara rutin di perairan sekitar Pulau Sebatik. Rendahnya patroli laut tercermin dari pernyataan responden, yang menyatakan bahwa 80% aparat penegak hukum jarang melakukan patroli (Gambar 1). % 100 80 Tidak Pernah 50 7.3 12.7 Jarang Sering 0 Gambar 1 Pandangan tentang Pelaksanaan Kegiatan Patroli Laut Sebagaimana yang telah diungkap diatas, jarangnya kegiatan patroli tidak dapat dilepaskan dari minimnya kondisi prasarana dan sarana yang dihadapi oleh aparat penegak hukum. Minimnya sarana telekomunikasi dan informasi menyebabkan aparat datang terlambat ke tempat kejadian perkara (TKP). Sementara di sisi lain, unit-unit instansi penegak hukum kurang memanfaatkan potensi nelayan sebagai mitra kegiatan patroli di laut, dengan membekali sarana komunikasi. Akibatnya, informasi dari nelayan yang melihat keberadaan kegiatan illegal fishing tidak dapat disampaikan ke petugas di darat karena nelayan tidak pernah diberdayakan untuk membantu tugas-tugas patroli. Oleh karena itu, diperlukan pengembangan sistem pengawasan masyarakat (Siswasmas), yang merupakan pelibatan masyarakat dalam kegiatan pengawasan terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan (Naim, 2010). b. Lemahnya Koordinasi Aparat Penegak Hukum Masyarakat Sebatik tidak pernah berpikir instansi mana yang paling bertanggung jawab terhadap kegiatan patroli laut. Bagi masyarakat Sebatik, patroli laut menjadi tanggung jawab pemerintah. Masyarakat Sebatik tidak pernah berpikir adanya tumpang tindih kewenangan tugas patroli laut atau instansi yang seharusnya lebih sering melakukan kegiatan patroli laut. Hal ini terlihat ketika responden diminta pendapatnya tentang instansi pemerintah mana yang bertanggung jawab melakukan kegiatan patroli. Gambar 2 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (71%) menunjuk pada semua instansi pemerintah yang paling bertanggung jawab kegiatan patroli laut untuk mengatasi illegal fishing.

Akhmad Solihin dkk. Baganisasi di Perairan Pulau Sebatik 209 % 80 70 60 50 40 30 20 10 0 2 2.7 5.3 8.7 4.7 71.3 Gambar 2 Pandangan tentang Instansi yang Paling Bertanggungjawab terhadap Kegiatan Patroli Laut Oleh karena itu, masyarakat mengharapkan agar untuk kegiatan pengamanan laut itu dibuat program yang terpadu, dengan anggaran yang disatukan di bawah satu atap. Penyatuan anggaran diharapkan mampu menciptakan efektivitas dan efisiensi pemberantasan illegal fishing dan koordinasi lebih mudah dilakukan. Untuk itu maka kegiatan pengamanan sebaiknya dilakukan oleh sebuah badan seperti Bakorkamla (Badan Koordinasi Pengamanan Laut), yang didalamnya mewadahi unsur-unsur dari Polisi Air, TNI Angkatan Laut dan unsur PPNS Kementerian Kelautan dan Perikanan. Berdasarkan pandangan responden, masyarakat mengharapkan agar kegiatan patroli laut lebih ditingkatkan di kawasan perairan Pulau Sebatik. Pelaksanaan patroli juga sebaiknya dilakukan secara terpadu antara PPNS Kementerian Kelautan dan Perikanan, TNI Angkatan Laut dan Polisi Air. Sinergisitas antara aparat penegak hukum diharapkan menekan biaya operasional, sehingga patroli laut dapat ditingkatkan dalam rangka menurunkan angka pelanggaran batas wilayah di wilayah perairan Pulau Sebatik oleh armada tangkap Malaysia. Selain itu masyarakat juga mengharapkan agar penegakan hukum bagi pelaku yang tertangkap betul-betul dijalankan, sehingga menimbulkan efek jera bagi yang akan melakukan pelanggaran. Kebijakan Baganisasi Selain tingginya potensi sumber daya ikan pelagis kecil, pemasangan bagan di sekitar perairan Ambalat disebabkan oleh tingginya kegiatan illegal fishing yang dilakukan oleh nelayan Malaysia dengan menggunakan trawl. Dengan kata lain, pemasangan bagan oleh nelayan Sebatik antara lain dimaksudkan sebagai strategi untuk menutup ruang gerak aktivitas nelayan trawl Malaysia. Bagan yang terdapat di wilayah perbatasan umumnya adalah bagan tancap, dengan komoditas tangkapan utama berupa ikan-ikan pelagis, seperti teri. Terkait dengan kebijakan baganisasi tersebut, 52% responden mengatakan pernah mendengar kebijakan baganisasi dan 48% mengatakan belum pernah mendengarnya. Adapun yang pernah mendengar kebijakan baganisasi tersebut, sebagian besar mendapat informasi dari petugas perikanan (64,1%), dan dari sesama nelayan (30,8%).

210 BULETIN PSP 20 (2), April 2012 Tabel 1 Sumber Informasi tentang Kebijakan Baganisasi No Sumber Infomasi Jumlah Persen 1 Petugas perikanan 50 64,1 2 Sesama nelayan 24 30,8 3 Angotamasyarakat lainnya bukan 4 5,1 nelayan Jumlah 78 100,0 Meskipun kebijakan baganisasi tidak diketahui secara luas di kalangan nelayan, namun mereka merasa bahwa kebijakan baganisasi tersebut perlu dilakukan. Responden yang berpendapat demikian sangat besar, yaitu 94%. Hal itu karena pelaksanaan kebijakan baganisasi di perbatasan dirasakan dapat menguntungkan secara ekonomi bagi masyarakat lokal, dan bernilai politis bagi pemerintah dalam menjaga kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu, sebagaimana dapat dilihat pada Table 2, maka sebanyak 64,7% responden menyatakan bahwa kebijakan baganisasi akan menguntungkan pemerintah dan masyarakat. Tabel 2 Pihak yang Diuntungkan dengan Kebijakan Baganisasi No Pihak yang diuntungkan Jumlah Persen 1 Pemerintah 2 1,3 2 Masyarakat 37 24,7 3 Pemerintah dan Masyarakat 97 64,7 4 Tidak tahu 14 9,3 Jumlah 50 100,0 Sebagaimana yang telah diungkapkan, pemasangan alat tangkap bagan dapat berdampak politis. Hal ini dicerminkan dengan sikap responden yang mengatakan bahwa pemasangan bagan di perbatasan dapat menghambat masuknya nelayan luar ke wilayah yurisdiksi Indonesia (70%), sebagai bukti penguasaan Indonesia atas wilayah perairan di sekitar Pulau Sebatik dan Karang Unarang (76%), dan pemasangan bagan tersebut juga untuk menghambat masuknya kapal patroli aparat Malaysia memasuki wilayah perairan Indonesia (75,3%). Oleh karena itu, sangat wajar jika 96% responden mengatakan setuju terhadap kebijakan baganisasai di wilayah perbatasan tersebut. Tabel 3 Dampak Positif Baganisasi di Kawasan Perairan Perbatasan No 1 2 3 Dampak Positif Menghambat Masuknya nelayan Asing Menunjukkan penguasaan Perairan oleh RI Kapal Angkatan Laut Negara lain segan masuk keperairan RI Ya Tidak Tidak tahu Total % % % N % 105 70,0 6 4,0 39 26,0 150 100,0 114 76,0 2 1,3 34 22,7 150 100,0 113 75,3 4 2,7 33 22,0 150 100,0 Dalam perkembangannya, pemasangan alat tangkap bagan ini menimbulkan permasalahan, yaitu konflik pemasangan alat tangkap bagan. Hal ini disebabkan, pemasangan

Akhmad Solihin dkk. Baganisasi di Perairan Pulau Sebatik 211 bagan baru tidak mengindahkan jarak dengan bagan yang sudah lama terpasang, sehingga mengganggu migrasi ikan tangkapan. Selain itu, konflik juga terjadi antara pemilik bagan yang sudah rusak dengan nelayan yang mau memasang bagan di tempat yang sama. Terkait dengan kebijakan baganisasi tersebut, beberapa aspirasi disampaikan oleh para nelayan di Sebatik, yaitu: a. Perlunya penataan kawasan dalam pemasangan alat tangkap bagan dengan jarak 100-200 meter. b. Perlunya pengaturan lama pemanfaatan wilayah tangkapan bagan yang sudah rusak. c. Pengaturan tersebut tidak cukup hanya berupa surat edaran bupati, melainkan dalam bentuk Perda atau peraturan bupati. Hal itu untuk lebih memperkuat aturan yang dibuat. KESIMPULAN 1. Permasalahan illegal fishing di wilayah perairan Pulau Sebatik disebabkan oleh dua hal, yaitu: (a) rendahnya patrol laut; dan (b) lemahnya koordinasi aparat penegak hokum. 2. Kebijakan baganisasi berdampak positif, yaitu: (a) Menghambat Masuknya nelayan Asing; (b) Menunjukkan penguasaan Perairan oleh RI; dan (c) Kapal Angkatan Laut Negara lain segan masuk ke wilayah perairan Pulau Senbatik dan sekitarnya. DAFTAR PUSTAKA Agnew, et.al. 2009. Estimating the Worldwide Extent of Illegal Fishing. Journal Plosone. Volume 4, Issue 2: 1-8. Koesrianti. 2008. Penindakan Illegal Fishing dan Perjanjian Bilateral Bidang Perikanan dengan Negara Tetangga. Jurnal Mimbar Hukum. Volume 20 No. 2: 193-410. Marine Resource Assesment Group Ltd (MRAG), Review of Impact of Illegal, Unreported and Unregulated Fishing on Developing Countries. Final Report. London. MRAG. Naim, A. 2010. Pengawasan Sumberdaya Perikanan dalam Penanganan Illegal Fishing di Perairan Provinsi Maluku Utara. Jurnal Ilmiah Agribisnis dan Perikanan. Volume 3 Edisi 2: 1-14. Oegroseno, A.H. 2009. Sengketa Perbatasan Antar ASEAN. Jurnal Opinio Juris. Volume 01:6-9. P2SDKP. 2008. Refleksi 2007 dan Out0look 2008: Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. Jakarta. PSDKP. Solihin, A. 2010. Konflik Illegal Fishing di Wilayah Perbatasan Indonesia-Australia. Jurnal Marine Fisheries. Volume I No. 2: 113-210.