BAB IV HASIL PENELITIAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

BAB V PEMBAHASAN. subyek pengamatan yaitu penderita rinosinusitis kronik diberi larutan salin isotonik

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

Perbedaan transpor mukosiliar pada pemberian larutan garam hipertonik dan isotonik penderita rinosinusitis kronis

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian dilakukan di klinik alergi Bagian / SMF THT-KL RS Dr. Kariadi

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah

BAB 5 HASIL DAN BAHASAN. adenotonsilitis kronik dengan disfungsi tuba datang ke klinik dan bangsal THT

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan penelitian adalah Rehabilitasi Medik.

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. di negara maju maupun negara berkembang.1 Berdasarkan data World Health

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan uji klinik dengan desain Randomized

BAB I PENDAHULUAN. mengenai kematian akibat asma mengalami peningkatan dalam beberapa dekade

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

BAB 1 PENDAHULUAN. mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rinosinusitis menyebabkan beban

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur

PERBEDAAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS KRONIS SETELAH DILAKUKAN BEDAH SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL DENGAN ADJUVAN

BAB V HASIL PENELITIAN. ekstrak kulit manggis (Garcinia mangostana) terhadap jumlah sel NK dan kadar

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB 4 MATERI METODE PENELITIAN. Surakarta / Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi Surakarta. 1. Populasisasaran:Pasien DM tipe 2.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kontrol (hanya terapi empirik). Dua biomarker yaitu kadar TNF- serum diukur

BAB I PENDAHULUAN. WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga

BAB III METODE PENELITIAN. dalam waktu yang bersamaan (Sastroasmoro, 2008). Penelitian ini dilakukan di Unit Hemodialisis RSUD Dr.

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di klinik dan bangsal THT-KL dan laboratorium

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah

BAB V HASIL PENELITIAN. Dalam penelitian ini digunakan sebanyak 30 perempuan penderita

BAB V HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. Penelitian ini dilakukan di Poltekkes YRSU Dr.Rusdi. Jl.H Adam Malik

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kronik di Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi. Penelitian dilakukan selama 2 minggu.

BAB V HASIL PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di klinik RSUD Gunung Jati Cirebon, dengan populasi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 6 PEMBAHASAN. tahun, usia termuda 18 tahun dan tertua 68 tahun. Hasil ini sesuai dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas

BAB IV METODE PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. Tempat : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian adalah ilmu kesehatan kulit dan kelamin.

BAB 5 HASIL PENELITIAN. Tabel 1 : Data ph plak dan ph saliva sebelum dan sesudah berkumur Chlorhexidine Mean ± SD

BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. paranasaldengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih gejala, salah

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan penelitian ini meliputi Ilmu Penyakit Gigi dan

BAB III METODE PENELITIAN. dikendalikan sepenuhnya seperti aktivitas fisik sehari-hari.

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini mencakup disiplin Ilmu Penyakit Gigi dan Mulut, dan Ilmu

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. B. Tempat Penelitian dilakukan di ICVCU Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014

BAB III METODE PENELITIAN. yaitu quasi-experimental design dengan rancangan two-group pre test-post

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang

BAB V HASIL PENELITIAN. Karekteristik sampel penelitian dipaparkan dalam Tabel 5.1 diskripsi

BAB V HASIL PENELITIAN. Universitas Diponegoro / RSUP Dr. Kariadi Semarang dan RSUD Kota

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 6. Distribusi subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin

BAB 3 METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian uji klinis double blind randomized

BAB I PENDAHULUAN. biasanya progresif dan berhubungan dengan peningkatan respon inflamasi kronik

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian quasy experimental, control group pre test post test design. Jenis

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB 4 METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan Randomized control

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. mengi, sesak nafas, batuk-batuk, terutama malam menjelang dini hari. (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian analitik-observasional dengan desain

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, Indonesia menghadapi tantangan dalam meyelesaikan UKDW

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) akan mengalami peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya

BAB 1 PENDAHULUAN. pada saluran napas yang melibatkan banyak komponen sel dan elemennya, yang sangat mengganggu, dapat menurunkan kulitas hidup, dan

SURAT PERSETUJUAN MENJADI SAMPEL PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN

ANALISIS PERUBAHAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR HIDUNG PENDERITA SINUSITIS KRONIS PADA PENGOBATAN GURAH JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN. Penyakit Gigi dan Mulut dan Ilmu Penyakit Dalam.

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional analitik numerik

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan aliran udara yang menetap pada saluran napas dan bersifat progresif.

BAB 1 PENDAHULUAN. Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang

BAB 4 METODE PENELITIAN. Prijonegoro Sragen dan Puskesmas Sidoharjo Sragen. Penelitian ini berlangsung bulan Maret-Juni 2014.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode True Eksperiment Pre-

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. terminal yang menjalani hemodialisa rutin di unit hemodialisa RS

METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan studi bersifat observasional analitik dengan

Transkripsi:

BAB IV HASIL PENELITIAN Penelitian eksperimental telah dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang berobat di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL. Selama penelitian diambil sampel sebanyak 50 pasien di mana 25 pasien di antaranya diberi larutan salin isotonik dan 25 pasien yang lain diberi larutan salin hipertonik. Parameter yang diamati untuk mengevaluasi hasil eksperimen adalah waktu transpor mukosilia yang diukur 3 kali yaitu sebelum terapi, akhir minggu pertama masa terapi, dan akhir minggu kedua masa terapi. A. Karakteristik Subjek Sebagian besar variabel yang dapat merancu hasil eksperimen sudah dikontrol melalui prosedur inklusi dan eksklusi. Variabel yang masih dapat menunjukkan heterogenitas sampel hanya karakteristik demografis yang meliputi usia dan jenis kelamin. Deskripsi usia dan jenis kelamin pasien dapat dilihat pada tabel 4.1. Tabel 4.1. Karakteristik Subjek Karakteristik Isotonik (n = 25) Hipertonik (n = 25) Usia (tahun) 1 35,95 10,40 39,15 11,87 0,370 Jenis Kelamin 2 Keterangan: Laki-laki Perempuan 14 (55,0) 11 (45,0) 10 (40,0) 15 (60,0) p 0,342 1 Usia dinyatakan dengan nilai mean SD dan diuji beda antara dua kelompok dengan independent samples t test. 2 Jenis kelamin dinyatakan dengan angka frekuensi (prosentase) dan diuji beda antara dua kelompok dengan chi square test.

Berdasarkan tabel 4.1 diketahui bahwa terdapat sedikit perbedaan karakteristik demografis antara kedua kelompok pasien. Usia kelompok yang diberi larutan salin isotonik (35,95 10,40 tahun) relatif lebih muda dibandingkan usia kelompok yang diberi larutan salin hipertonik (39,15 11,87 tahun). Meskipun begitu pengujian statistik menunjukkan bahwa perbedaan tersebut tidak signifikan (p=0,370; p>0,05). Pada kelompok yang diberi larutan salin isotonik jumlah pasien laki-laki (55,0%) lebih banyak dibandingkan jumlah pasien perempuan (45,0%), sedangkan pada kelompok yang diberi larutan salin hipertonik jumlah pasien laki-laki (40,0%) lebih sedikit dibandingkan jumlah pasien perempuan (60,0%). Meskipun begitu pengujian statistik menunjukkan bahwa perbedaan distribusi tersebut tidak signifikan (p=0,342; p>0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa karakteristik demografis pasien pada kedua kelompok eksperimen termasuk homogen. B. Deskripsi Waktu Transpor Mukosilia pada Kelompok yang Diberi Larutan Salin Isotonik. Waktu transpor mukosilia dideskripsikan dengan nilai mean dan standar deviasi. Uji beda waktu transpor mukosilia antara dua waktu pengukuran dilakukan dengan paired samples t test (apabila data memenuhi syarat normalitas) atau wilcoxon signed rank test (apabila data tidak memenuhi syarat normalitas). Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.2.

Tabel 4.2. Waktu Transpor Mukosilia pada Kelompok yang Diberi Larutan Salin Isotonik Waktu Pengukuran Waktu Transpor Mukosilia (menit) Perbedaan dengan Akhir Minggu Ke 1 Akhir Minggu Ke 2 Sebelum Terapi 24,08 3,72 p < 0,001* p < 0,001* Akhir Minggu Ke 1 20,48 3,74 p < 0,001* Akhir Minggu Ke 2 17,24 3,67 Keterangan: Uji beda antara dua waktu pengukuran dilakukan dengan wilcoxon signed rank test karena data tidak memenuhi syarat normalitas berdasarkan uji shapirowilk; * p < 0,05 artinya perbedaan signifikan. Berdasarkan tabel 4.1 diketahui bahwa waktu transpor mukosilia pada kelompok pasien yang diberi larutan salin isotonik mengalami penurunan dari pengukuran pertama hingga terakhir. Rata-rata waktu transpor mukosilia sebelum terapi adalah 24,08 3,72 menit, menurun menjadi 20,48 3,74 menit pada akhir minggu pertama pada masa terapi, dan menurun menjadi 17,24 3,67 menit pada akhir minggu kedua pada masa terapi. Secara statistik setiap penurunan dinyatakan signifikan (p < 0,05) baik dari sebelum terapi ke akhir minggu pertama (p < 0,001), dari akhir minggu pertama ke akhir minggu kedua (p<0,001), dan secara keseluruhan dari sebelum terapi ke akhir minggu kedua (p < 0,001). Penurunan waktu transpor mukosilia dari satu waktu pengukuran ke waktu pengukuran berikutnya juga dapat dinyatakan dalam bentuk boxplot sebagai dapat dilihat pada gambar 4.1.

Gambar 4.1 Penurunan Waktu Transpor Mukosilia pada Kelompok Pasien yang Diberi Larutan Salin Isotonik C. Deskripsi Waktu Transpor Mukosilia pada Kelompok yang Diberi Larutan Salin Hipertonik Sebagaimana pada kelompok pasien yang diberi larutan salin isotonik, pada kelompok pasien yang diberi terapi cuci hidung dengan larutan salin hipertonik waktu transpor mukosilia dideskripsikan dengan nilai mean dan standar deviasi. Uji beda waktu transpor mukosilia antara dua waktu pengukuran dilakukan dengan paired samples t test (apabila data memenuhi syarat normalitas) atau wilcoxon signed rank test (apabila data tidak memenuhi syarat normalitas). Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.3.

Tabel 4.3 Waktu Transpor Mukosilia pada Kelompok yang Diberi Larutan Salin Hipertonik Waktu Pengukuran Waktu Transpor Mukosilia (menit) Perbedaan dengan Akhir Minggu Ke 1 Akhir Minggu Ke 2 Sebelum Terapi 23,48 2,20 p < 0,001* p < 0,001* Akhir Minggu Ke 1 19,28 2,99 p < 0,001* Akhir Minggu Ke 2 10,48 1,23 Keterangan: Uji beda antara dua waktu pengukuran dilakukan dengan paired samples t test karena data memenuhi syarat normalitas berdasarkan uji shapiro-wilk; * p < 0,05 artinya perbedaan signifikan. Berdasarkan tabel 4.3 diketahui bahwa waktu transpor mukosilia pada kelompok pasien yang diberi larutan salin hipertonik mengalami penurunan dari pengukuran pertama hingga terakhir. Rata-rata waktu transpor mukosilia sebelum terapi adalah 23,48 2,20 menit, menurun menjadi 19,28 2,99 menit pada akhir minggu pertama pada masa terapi, dan menurun menjadi 10,48 1,23 menit pada akhir minggu kedua pada masa terapi. Secara statistik setiap penurunan dinyatakan signifikan (p < 0,05) baik dari sebelum terapi ke akhir minggu pertama (p < 0,001), dari akhir minggu pertama ke akhir minggu kedua (p < 0,001), dan secara keseluruhan dari sebelum terapi ke akhir minggu kedua (p < 0,001). Penurunan waktu transpor mukosilia dari satu waktu pengukuran ke waktu pengukuran berikutnya juga dapat dinyatakan dalam bentuk boxplot sebagai dapat dilihat pada gambar 4.4.

Gambar 4.4 Penurunan Waktu Transpor Mukosilia pada Kelompok Pasien yang Diberi Larutan Salin Hipertonik D. Perbandingan Waktu Transpor Mukosilia antara Kelompok yang Diberi Larutan Salin Isotonik dengan Kelompok yang Diberi Larutan Salin Hipertonik Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan transpor mukosilia antara pemberian larutan salin isotonik dan hipertonik penderita rinosinusitis kronik maka dilakukan perbandingan penurunan waktu transpor mukosilia antara kedua kelompok. Uji beda penurunan waktu transpor mukosilia antara kelompok pasien yang diberi larutan salin isotonik dengan kelompok pasien yang diberi larutan salin hipertonik dilakukan dengan independent samples t test (apabila data memenuhi syarat normalitas) atau mann-whitney test (apabila data tidak

memenuhi syarat normalitas). Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.4. Tabel 4.4 Perbandingan Penurunan Waktu Transpor Mukosilia antara Kelompok Pasien yang Diberi Larutan Salin Isotonik dengan Kelompok Pasien yang Diberi Larutan Salin Hipertonik 1 Penurunan Waktu Transpor Mukosilia Keterangan: Isotonik Hipertonik p Minggu Ke 1 3,60 2,02 4,20 1,61 0,080 Minggu Ke 2 3,24 1,36 8,80 2,96 < 0,001* Keseluruhan 6,84 2,54 13,00 2,12 < 0,001* Uji beda semuanya dilakukan dengan mann-whitney test karena data tidak memenuhi syarat normalitas berdasarkan uji shapiro-wilk; * p < 0,05 artinya perbedaan signifikan. Berdasarkan tabel 4.4 diketahui bahwa rata-rata penurunan waktu transpor mukosilia pada kelompok yang diberi larutan salin hipertonik selalu lebih besar dibandingkan rata-rata penurunan waktu transpor mukosilia pada kelompok yang diberi larutan salin isotonik. Pada akhir minggu pertama masa terapi, penurunan waktu transpor mukosilia pada kelompok pasien yang diberi larutan salin hipertonik (4,20 1,61 menit) lebih besar dibandingkan pada kelompok pasien yang diberi larutan salin isotonik (3,60 2,02 menit) namun secara statistik perbedaan tersebut tidak signifikan (p = 0,080 > 0,05). Mulai akhir minggu pertama hingga akhir minggu kedua masa terapi, penurunan waktu transpor mukosilia pada kelompok pasien yang diberi larutan hipertonik (8,80 2,96 menit) lebih besar dibandingkan pada kelompok pasien yang diberi larutan salin isotonik (3,24 1,36 menit) dan secara statistik perbedaan tersebut signifikan (p<0,001). Perbandingan besarnya penurunan waktu transpor mukosilia antara

kedua kelompok eksperimen juga dapat dinyatakan dalam bentuk boxplot sebagaimana dapat dilihat pada gambar 4.3 dan 4.4. Gambar 4.3 Perbandingan Penurunan Waktu Transpor Mukosilia antara Kedua Kelompok Eksperimen pada Akhir Minggu Pertama Masa Terapi Gambar 4.4 Perbandingan Penurunan Waktu Transpor Mukosilia antara Kedua Kelompok Eksperimen pada Akhir Minggu Kedua Masa Terapi

Secara keseluruhan selama 2 minggu masa terapi yang diukur sebelum terapi sampai akhir minggu kedua penurunan waktu transpor mukosilia pada kelompok pasien yang diberi larutan salin hipertonik (13,00 2,12 menit) lebih besar dibandingkan pada kelompok pasien yang diberi larutan salin isotonik (6,84 2,54 menit) dan secara statistik perbedaan tersebut signifikan (p < 0,001). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemberian larutan salin hipertonik lebih baik dibandingkan dengan penggunaan larutan salin isotonik dalam menurunkan waktu transpor mukosilia.

BAB V PEMBAHASAN Rancangan penelitian true eksperimental dengan desain Randomized Control Trial double blind ini menggunakan dua kelompok subjek pengamatan yaitu penderita rinosinusitis kronik diberi larutan salin isotonik dan larutan salin hipertonik. Pengukuran waktu transpor mukosilia dilakukan tiga kali, yaitu sebelum terapi, akhir minggu pertama setelah terapi dan akhir minggu kedua setelah terapi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan transpor mukosilia pada pemberian larutan salin hipertonik dan isotonik penderita rinosinusitis kronik. Penelitian ini dilaksanakan pada penderita rinosinusitis kronik di bagian Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD Dr. Moewardi Surakarta, RSUD Karanganyar, RSUD Sukoharjo, dan RSUD Boyolali. Sampel penelitian dipilih dengan cara non-probability sampling, yaitu dengan teknik consecutive sampling: setiap subjek yang memenuhi kriteria penelitian dilibatkan dalam kegiatan penelitian sampai kurun waktu tertentu, sehingga jumlah subjek penelitian yang diperlukan terpenuhi. Pada data demografi yaitu usia dan jenis kelamin. Usia kelompok yang diberi larutan salin isotonik (35,95 10,40 tahun) relatif lebih muda dibandingkan usia kelompok yang diberi larutan salin hipertonik (39,15 11,87 tahun). Meskipun begitu pengujian statistik menunjukkan bahwa perbedaan tersebut tidak signifikan (p=0,370; p>0,05). Pada kelompok yang diberi larutan salin isotonik

jumlah pasien laki-laki (55,0%) lebih banyak dibandingkan jumlah pasien perempuan (45,0%), sedangkan pada kelompok yang diberi larutan salin hipertonik jumlah pasien laki-laki (40,0%) lebih sedikit dibandingkan jumlah pasien perempuan (60,0%). Meskipun begitu pengujian statistik menunjukkan bahwa perbedaan distribusi tersebut tidak signifikan (p=0,342; p>0,05). Rinosinusitis kronik lebih sering dijumpai pada wanita dibandingkan pria dengan rasio 6:4. Di Kanada dilaporkan penderita rinosinusitis kronik berkisar antara umur 20-39 tahun atau 50-59 tahun. Setelah usia 60 tahun dijumpai prevalensi dari rinosinusitis kronik mulai menurun hingga 50% (Fokkens et al., 2012). Patogenesis pasti mengenai predileksi jenis kelamin dan usia ini masih belum begitu jelas. Pada beberapa teori dikatakan bahwa hormon estrogen dan hormon pertumbuhan memiliki korelasi dengan keadaan mukosa hidung. Pada keadaan hormon yang tidak stabil, vaskularisasi dari mukosa hidung dapat terganggu, sehingga terjadi kerusakan sel, gangguan oksigenasi dan gangguan fungsi dari mukosa hidung. Selain efek hormon, zat-zat polutan yang ada lingkungan di sekitar kita dapat bersifat sebagai iritan yang merusak epitel pernafasan sehingga terjadi gangguan pada transpor mukosilia, fungsi hidung dan sinus paranasal. Hal tersebut yang menjadi alasan pada usia produktif sering menderita RSK akibat sering terpaparnya dengan zat polutan di lingkungan sekitar (Dousary et al., 2012). Kelompok larutan salin isotonik dan kelompok larutan salin hipertonik mendapat terapi medikamentosa yang sama, sehingga perbedaan hanya terdapat pada pemberian cuci hidung dengan larutan salin isotonik dan larutan salin

hipertonik. Hasil penelitian memperlihatkan ada perbaikan transpor mukosilia pada kedua kelompok. Cuci hidung dilakukan pada rongga hidung dengan tujuan memperbaiki transpor mukosilia pada rinosinusitis kronik. Cuci hidung tidak hanya membersihkan sekret yang menumpuk dan memperbaiki transpor mukosilia pada rongga hidung akan tetapi cuci hidung juga berpotensial memperbaiki fungsi dari sinus paranasal dengan menekan proses inflamasi pada mukosa kompleks osteomeatal sehingga drainase udara di dalam sinus paranasal dan transpor mukosilia mengalami perbaikan (Hoffmans et al., 2010). Terdapat perbaikan transpor mukosilia setelah pemberian larutan salin isotonik dan hipertonik selama 2 minggu. Penelitian pemberian cuci hidung dengan larutan salin isotonik memberikan perbaikan terhadap waktu transpor mukosilia setelah pemberian 14 hari. Namun terdapat pendapat lain yang menyatakan waktu 4-12 minggu merupakan waktu yang cukup memberikan perbaikan terhadap waktu transpor mukosilia penderita rinosinusitis kronis. Perlu dilakukan penelitian lanjut mengenai waktu optimal pemberian cuci hidung agar didapatkan perbaikan transpor mukosilia yang bermakna pada penderita rinosinusitis kronis (Hernandez, 2007; Arnold, 2011; Wei et al., 2011). Pada penelitian ini terdapat penurunan waktu transpor mukosilia pada kelompok pasien yang diberi terapi cuci hidung dengan larutan salin hipertonik 13 menit lebih besar dibandingkan pada kelompok pasien yang diberi terapi cuci hidung dengan larutan salin isotonik 6 menit dan secara statistik perbedaan tersebut signifikan (p < 0,001). Penelitian yang dilakukan Hauptman et al., (2007) membandingkan perbaikan transpor mukosilia pemberian larutan salin isotonik

dan hipertonik. Larutan salin hipertonik menurunkan waktu transpor mukosilia 178 detik (5.9 menit) lebih besar dibandingkan larutan salin isotonik 121 detik (2 menit) dan secara statistik perbedaan tersebut signifikan (p < 0,001). Pada penelitian yang dilakukan Keojampa et al., (2004) memberikan larutan salin hipertonik dan isotonik didapatkan larutan salin hipertonik menurunkan waktu mukosilia transpor 5.8 menit lebih besar dibandingkan larutan salin isotonik 4.5 menit dan secara statistik perbedaan tersebut signifikan (p<0,001). Penelitian Ural et al., (2008) melakukan evaluasi setelah 10 hari. Irigasi hidung dengan larutan salin hipertonik pada pasien rinosinusitis kronik menurunkan waktu transpor mukosilia dari 35 menit menjadi 22 menit dan secara statistik perbedaan tersebut signifikan (p<0.05). Dan larutan salin isotonik lebih efektif menurunkan waktu transpor mukosilia pada pasien rinosinusitis akut dan rhinitis alergi. Penggunaan cuci hidung dengan larutan salin hipertonik telah banyak dilaporkan dan terbukti efektif dapat mempercepat waktu transpor mukosilia dibandingkan dengan larutan salin isotonik. Hal ini dikemukakan oleh Talbot et al., (1997) yang menyatakan perbaikan waktu transpor mukosilia yang bermakna secara statistik setelah pemberian larutan salin hipertonik dibandingkan kelompok yang mendapat larutan salin isotonik pada orang sehat. Hasil tersebut dikuatkan oleh penelitian Homer et al., (2000) yang menyatakan perbaikan waktu transpor mukosilia yang berbeda bermakna pada penderita rinosinusitis kronik yang

diberikan larutan salin hipertonik dibandingkan pemberian larutan salin isotonik (Berjis et al., 2011). Gejala klinis dan keadaan mukosa hidung setelah dilakukan cuci hidung dengan NaCl 0,9%, didapatkan perbaikan pada gejala klinis sumbatan hidung, pengurangan sekresi sekret hidung dan pengurangan inflamasi mukosa hidung setelah dilakukan pencucian hidung selama 2 minggu (Arnold et al., 2007). Penelitian yang dilakukan Rabago et al., (2006) memberikan larutan salin hipertonik selama 6 bulan. Penilaian gejala klinik menggunakan EQ (exit questionnaire) didapatkan penurunan keluhan gejala klinik penderita rinosinusitis kronik. Larutan salin hipertonik lebih efektif dibandingkan dengan penggunaan larutan salin isotonik dalam mengurangi keluhan hidung tersumbat, pilek, nyeri wajah, dan gangguan penghidu pada pasien rinosinusitis kronik. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan Culig et al., (2010) larutan salin hipertonik lebih efektif dalam menurunkan gejala klinis terutama keluhan hidung tersumbat, hidung berair, batuk dan sakit kepala dibandingkan penggunaan larutan salin isotonik (Culig et al., 2010). Larutan salin isotonik merupakan larutan dengan konsentrasi zat terlarut dan zat pelarut yang sama, sehingga larutan salin isotonik terhadap sel tidak memberikan efek transpor aktif ke dalam sel. Mekanisme kerja larutan salin isotonik sebagai pembilas zat-zat iritan dan alergen yang berada di rongga hidung, sehingga dapat menekan mediator-mediator inflamasi yang ada, sedangkan larutan salin hipertonik merupakan suatu cairan dengan konsentrasi yang lebih tinggi

dibanding cairan di dalam sel, sehingga proses transpor aktif dapat mempercepat stabilnya keadaan intra sel (Culig et al., 2010). Keterbatasan penelitian ini adalah tidak dilakukan pemeriksaan subjektif untuk menilai keluhan gejala klinis. Tidak dideskripsikan efek samping dari pemakaian larutan salin isotonik dan hipertonik.