BAB I PENDAHULUAN. pulau dan bersifat majemuk. Kemajemukan itu berupa keanekaragaman ras,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk yang. terdiri dari ribuan pulau-pulau dimana masing-masing penduduk dan suku

BAB I PENDAHULUAN. peraturan perundang-undangan. Manusia harus meninggalkan dunia fana. kekayaannya beralih pada orang lain yang ditinggalkannya.

BAB I PENDAHULUAN. dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu

beragam adat budaya dan hukum adatnya. Suku-suku tersebut memiliki corak tersendiri

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB IV SISTEM PERNIKAHAN ADAT MASYARAKAT SAD SETELAH BERLAKUNYA UU NO. 1 TAHUN A. Pelaksanaan Pernikahan SAD Sebelum dan Sedudah UU NO.

BAB V PENUTUP. 1. Tradisi Sasak, perkawinan atau pernikahan diistilahkan sebagai merari yang

BAB I PENDAHULUAN. bersangkutan dalam masyarakat, maka proses pelaksanaan perkawinan

BAB III MASYRAKAT ISLAM DI KELURAHAN TIWU GALIH KECAMATAN PRAYA KABUPATEN LOMBOK TENGAH

BAB 1 PENDAHULUAN. Agama Republik Indonesia (1975:2) menyatakan bahwa : maka dilakukan perkawinan melalui akad nikah, lambang kesucian dan

BAB I PENDAHULUAN. ratus) pulau-pulau yang tersebar di nusantara, masyarakat Indonesia terbagai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Republik Indonesia (NRI) memiliki wilayah yang sangat luas

NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

BAB I PENDAHULUAN. bagi kelangsungan hidup umat manusia. 1. nafkah sehari-hari berupa lahan pertanian atau perladangan.

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua

PEMBAHASAN Dalam masyarakat Sasak, mengenal beberapa cara pelaksanaan perkawinan yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. melangsungkan pernikahan dalam bentuk Ijab dan Qabul. Dalam pernikahan yang

BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang baru atau ketika individu telah menikah, status yang

I. PENDAHULUAN. satu suku di Indonesia yang bertempat tinggal di ujung selatan Pulau Sumatera.

BAB I PENDAHULUAN. mana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya. 2 Kehidupan

BAB 1. Pendahuluan. kepada manusia lainnya. Karena itu, manusia disebut sebagai makhluk sosial. Manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia

Tanah, dan Kepemilikan Harta Benda lainnya

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem perkawinan exogami merupakan sistem yang dianut oleh

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tiap-tiap hukum merupakan suatu sistem yaitu peraturan-peraturannya

II. TINJAUAN PUSTAKA. harus mendapat pengakuan dari masyarakat. Begawai, begitulah istilah yang

BAB I PENDAHULUAN. yang dinamakan kematian. Peristiwa hukum tersebut menimbulkan akibat

I. PENDAHULUAN. sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. kekerabatan yang baru akan membentuk satu Dalihan Natolu. Dalihan Natolu

BAB I PENDAHULUAN. memiliki adat istiadat (kebiasaan hidup) dan kebudayaan masing-masing,

BAB V PENUTUP. penelitian, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut : 1. Prosesi Sebambangan Dalam Perkawinan Adat Lampung Studi di Desa

BAB III PELAKSANAAN PENGANGAKATAN ANAK TERHADAP BAPAK KASUN YANG TERJADI DI DESA BLURI KECAMATAN SOLOKURO KABUPATEN LAMONGAN

BAB I PENDAHULUAN. Manusia didalam perjalanannya di dunia mengalami tiga peristiwa

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu, dalam hidupnya

BAB I PENDAHULUAN. jalan pernikahan. Sebagai umat Islam pernikahan adalah syariat Islam yang harus

BAB I PENDAHULUAN. sendiri, tetapi belakangan ini budaya Indonesia semakin menurun dari sosialisasi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pernikahan adalah salah satu peristiwa penting yang terjadi dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA. Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang

BAB I PENDAHULUAN. Adat istiadat merupakan salah satu perekat sosial dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pengaturan-nya. Namun berbeda dengan mahluk Tuhan lainnya, demi menjaga

I. PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia sejak zaman. dibicarakan di dalam maupun di luar peraturan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. bangsa tersebut menghasilkan berbagai macam tradisi dan budaya yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang

BAB I PENDAHULUAN. manusia, yang diharapkan akan mampu menjalin sebuah ikatan lahir-batin antara

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam pelaksanaan upacara perkawinan, setiap suku bangsa di Indonesia memiliki

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara hukum, 1 dimana setiap perilaku dan

BAB 1 PENDAHULUAN. menimbulkan akibat lahir maupun batin baik terhadap keluarga masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. besar.segala hal yang menyangkut tentang perkawinan haruslah dipersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. hubungan biologis antara laki-laki dan perempuan untuk meneruskan keturunan. Hal

BAB I PENDAHULUAN. kekerabatan patrilinial yang menyebabkan sistem pertalian kewangsaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang beranekaragam. Menurut Sujarwa (1998:10-11), kebudayaan adalah seluruh

BAB I PENDAHULUAN. Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir, dan Kabupaten Samosir.

BAB III KERANGKA TEORITIS. serangkaian kebiasaan dan nilai-nilai dari satu generasi kepada generasi

BAB I PENDAHULUAN. istiadat yang mempunyai sistem kekerabatan yang berbeda-beda. Sistem

BAB I PENDAHULUAN. disebut gregariousness sehingga manusia juga disebut sosial animal atau hewan sosial

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG TRADISI MELARANG ISTRI MENJUAL MAHAR DI DESA PARSEH KECAMATAN SOCAH KABUPATEN BANGKALAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN TEORI. "Adat" berasal dari bahasa Arab,عادات bentuk jamak dari عاد ة (adah), yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Masalah

BAB I PENDAHULUAN. diberi nama. Meski demikian, Indonesia memiliki lima pulau besar yaitu

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hak asasi bagi setiap orang, oleh karena itu bagi suatu Negara dan

I. PENDAHULUAN. suku bangsa yang secara bersama-sama mewujudkan diri sebagai

BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang Penelitian. Pada dasarnya setiap manusia ingin melangsungkan pernikahan

BAB I PENDAHULUAN. Bentuk-bentuk adat istiadat dan tradisi ini meliputi upacara perkawinan, upacara

BAB I PENDAHULUAN. setiap manusia akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian.

BAB I PENDAHULUAN. peraturan tertentu, tidak demikian dengan manusia. Manusia di atur oleh

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kebanggaan dan nilai tersendiri bagi kelompok sukunya. Setiap suku

I. PENDAHULUAN. perumusan dari berbagai kalangan dalam suatu masyarakat. Terlebih di dalam bangsa

I. PENDAHULUAN. mempunyai tata cara dan aspek-aspek kehidupan yang berbeda-beda. Oleh

BAB I PENDAHULUAN. terkecil, hidup bersama itu dimulai dengan adanya sebuah keluarga,

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai nilai-nilai keagamaan sebagai wujud ibadah kepada Allah. SWT, dan mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW.

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan antara suku bangsa, yang harus saling menghargai nilai nilai

BAB I PENDAHULUAN. manusia sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari individu lain. 1. Pertalian darah menurut garis bapak (Patrilineal)

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006,

HUKUM KEKERABATAN A. PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah kehidupan manusia, kebudayaan selalu ada sebagai upaya dan

BAB I PENDAHULUAN. menyebutkan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. budaya sebagai warisan dari nenek moyang. Sebagaimana disebutkan dalam pasal

BAB IV ANALISIS HUKUM WARIS ISLAM TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARIS DI KEJAWAN LOR KEL. KENJERAN KEC. BULAK SURABAYA

BAB I PENDAHULUAN. alamiah. Anak merupakan titipan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Perkataan

BAB II URAIAN TEORITIS KEPARIWISATAAN. suci. Ritual menciptakan dan memelihara mitos, adat, sosial, dan agama, ritual

BAB IV MENGAPA HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA NOMOR 0091/ Pdt.P/ 2013/ PA.Kdl. TIDAK MENJADIKAN PUTUSAN MAHKAMAH

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan sosial kemasyarakatan (Fatimah, 2006, h. 188). Menurut Soebekti (dalam Sulastri, 2015, h. 132) perkawinan adalah

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

BAB I PENDAHULUAN. jenis pekerjaan, pendidikan maupun tingkat ekonominya. Adapun budaya yang di. memenuhi tuntutan kebutuhan yang makin mendesak.

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia Hukum Waris Adat bersifat pluralisme menurut suku-suku

BAB I PENDAHULUAN. ini adalah bagian dari jenjang atau hierarki kebutuhan hidup dari Abraham Maslow, yang

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles, seorang filsuf yunani yang terkemuka pernah berkata bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. untuk menunjukkan tingkat peradaban masyarakat itu sendiri. Semakin maju dan

Nikah Sirri Menurut UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Wahyu Widodo*

I. PENDAHULUAN. Manusia dalam kehidupannya memiliki tingkatan yakni, dari masa anak anak,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai salah satu negara yang sangat luas dan memiliki

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terdiri dari ribuan pulau dan bersifat majemuk. Kemajemukan itu berupa keanekaragaman ras, suku, dan kebudayaan di setiap daerahnya. Tiap-tiap daerah terdapat hukum lokal. Hukum lokal merupakan hukum yang hanya berlaku di suatu daerah tertentu. Hukum adat termasuk dalam lingkup hukum lokal. Perbuatan yang diulang-ulang oleh masyarakat yang bersifat baik menjadi kebiasaan dan menjelma menjadi adat. Adat tersebut kemudian dijadikan sebagai sebuah kaidah yang harus berlaku dan dipatuhi oleh seluruh anggota masyarakat disebut dengan hukum adat. Hukum adat merupakan salah satu sumber hukum mendasar atau merupakan bagian dari dasar hukum nasional. Kedudukan hukum adat sangat penting bagi pembangunan nasional melalui pembuatan peraturan perundangundangan. Hukum adat adalah hukum yang timbul dari hubungan antara manusia yang satu dengan manusia lainnya dan berkembang di dalam pergaulan masyarakat. Hukum adat bentuknya tidak tertulis, hukum adat itu adalah paling dekat dengan masyarakat dan ditaati oleh masing-masing pelaku adat pada setiap daerah. Hukum adat di Lombok ditaati dan dijunjung tinggi oleh masyarakat suku Sasak yang mendiami gumi paer rambitan. 1 1 Istilah gumi paer rambitan ialah istilah yang digunakan untuk menunjukkan keberadaan tanah leluhur suku Sasak. 1

Di gumi paer Lombok ditemukan banyak perilaku masyarakat suku Sasak yang merupakan kebiasaan dan telah menjadi adat secara turun-temurun. Kebiasaan itu diwariskan oleh nenek moyang suku Sasak, salah satunya yaitu adat merariq. Merariq merupakan perkawinan adat suku Sasak yang dilakukan dengan kawin lari atau melarikan anak gadis (dedare) sebagai calon mempelai perempuan untuk dijadikan istri tanpa sepengetahuan orang tua, kerabat serta pihak-pihak yang sekiranya dapat menggagalkan niat tersebut. Pada umumnya kawin lari dilakukan karena alasan-alasan tertentu, salah satunya yaitu untuk menghindarkan diri dari rintangan-rintangan yang datang dari pihak keluarga perempuan, terutama dari pihak orang tua atau walinya. Bagi masyarakat Indonesia kawin lari sebenarnya dapat dikatakan sebagai tindakan yang tidak diharapkan, karena dianggap sebagai suatu pelanggaran. Pengecualian bagi masyarakat suku Sasak yang mana kawin lari harus dilakukan untuk mengawali proses perkawinan adatnya (merariq). Masyarakat suku Sasak menganggap bahwa perkawinan dengan kawin lari atau merariq merupakan suatu tradisi yang harus dilakukan, karena hal tersebut merupakan simbol keberanian dan ksatria dari seorang laki-laki. Sebaliknya jika perkawinan dilakukan dengan peminangan dianggap sebagai penghinaan bagi keluarga perempuan khususnya orang tua, karena dengan hanya meminta izin pada orang tua perempuan seperti meminta anak ayam saja (maraq m ngendeng anak manok bean). Salah satu prinsip dasar yang terkandung dalam praktik merariq ialah adanya prinsip superioritas bagi laki-laki dan inferioritas bagi perempuan. Satu hal yang tidak bisa dihindarkan dari kawin lari yaitu seorang laki-laki tampak sangat kuat, menguasai, dan mampu 2

menjinakkan kondisi sosial psikologis calon istri. Pada sisi lain menggambarkan sikap inferioritas bagi perempuan, yaitu ketidakberdayaan kaum perempuan atas segala tindakan yang dialaminya. 2 Perkawinan adat merariq memiliki berbagai macam ritual dan nilai filosofis yang melekat dalam budaya merariq tersebut. Ada 3 tahapan yang harus dilalui yaitu mulai dari proses pra-nikah (sebelum perkawinan), proses nikah (pelaksanaan perkawinan) dan proses pasca nikah (upacara adat setelah perkawinan) yang sarat dengan nilai budaya dan nilai agama. 3 Salah satu ritual yang harus dilakukan dalam proses-proses tersebut adalah menentukan seberapa besar jumlah pisuke yang akan disepakati oleh pihak laki-laki dan pihak perempuan. Penentuan jumlah pisuke termasuk ke dalam proses pra-nikah yang menjadi penentu proses selanjutnya. Dalam hal ini, terjadinya proses negosiasi dalam menentukan berapa besaran pisuke yang biasanya dilakukan dalam acara mbait wali atau selabar. Selabar adalah proses meminta kesediaan orang tua/keluarga calon mempelai perempuan untuk memberikan persetujuan dan perwalian terhadap calon mempelai perempuan. Dalam proses selabar banyak yang harus dibicarakan dan dimusyawarahkan untuk mencapai kesepakatan, sehingga kepentingan kedua belah pihak keluarga/kerabat terakomodir dengan baik. Dalam proses negosiasi, beberapa hal yang menjadi pembicaraan penting atau krusial, yakni masalah pembayaran adat yang disebut dengan ajikrame dan 2 http://www.kompasiana.com/jasmansyah/tradisi-merarik-menikah-dalam-adat-sasak-lombokdalam-perspektif-gender_54f36429745513a22b6c733b, diakses pada tanggal 6 November 2015 pukul 14.43 WITA 3 http://berugaqinsitute.blogspot.co.id/2015/02/komersialisasi-mahar-dalam-masyarakat.html, diakses pada tanggal 23 Oktober 2015 pukul 14.05 WITA 3

pisuke. 4 Ajikrame merupakan sejumlah pembayaran yang telah ditetapkan oleh adat sebagai lambang dan status sosial dari pasangan mempelai dan setiap keturunan yang akan dilahirkan. Pembayaran ajikrame bersifat wajib dan menjadi upaya agar akad nikah dapat segera dilaksanakan. 5 Mengingat adanya berbagai bentuk perkawinan dalam hukum adat, pemberian pisuke dapat digolongkan ke dalam bentuk perkawinan lari. Dari bentuk perkawinan lari tersebut kemudian dapat berlaku perkawinan jujur. Bentuk perkawinan jujur merupakan bentuk perkawinan yang dilakukan dengan pembayaran jujur dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Bentuk perkawinan jujur ini terjadi pada masyarakat yang menganut sistem kekerabatan patrilineal, yaitu menarik keturunan menurut garis laki-laki (ayah). Dalam hal ini hak dan kedudukan suami lebih tinggi dari hak dan kedudukan istri. 6 Dengan itu juga dapat dikatakan bahwa sistem kekerabatan yang dianut oleh suku Sasak ialah patrilineal. Hal itu berkaitan dengan proses pewarisan pada masyarakat suku Sasak. Seorang perempuan yang telah merariq pada suku Sasak tidak memperoleh harta warisan dari kedua orangtuanya, ia hanya mendapatkan harta pembekalan yang sifatnya hanya sebagai pemberian. Pisuke atau pesuke artinya penyenang, yang merupakan pemberian sejumlah uang (biasanya) dan/atau barang-barang berharga kepada pihak keluarga perempuan atau orang tua yang diperuntukkan sebagai penyenang sehingga pihak keluarga perempuan menjadi suke rede yaitu saling merelakan 4 Hamdi, 2009, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Negosiasi Perkawinan Merariq Masyarakat Adat Sasak Lombok Nusa Tenggara Barat, Tesis, UGM, hlm. 84 5 Ibid, hlm. 85 6 Hilman Hadikusuma, 1987, Hukum Kekerabatan Adat, Fajar Agung, Jakarta, hlm. 15 4

atau mengikhlaskan satu sama lain. Dengan demikian, pisuke semata-mata merupakan permintaan orang tua untuk dirinya. 7 Terkadang dalam menentukan besarnya jumlah pisuke tidak selamanya berjalan dengan lancar. Keinginan dan kepentingan masing-masing pihak baik dari pihak calon mempelai perempuan dan pihak calon mempelai laki-laki tidaklah sama. Dalam kondisi seperti itu, akan ada permintaan dan penawaran, biasanya dari pihak calon mempelai perempuan menginginkan jumlah pisuke yang tinggi sedangkan dari pihak calon mempelai laki-laki mengharapakan jumlah yang serendah-rendahnya sesuai dengan kemampuan ekonominya dan hal tersebut lazim terjadi. Ditambah lagi apabila calon mempelai perempuan telah mengenyam pendidikan tinggi maka akan mempengaruhi besarnya pisuke. Semakin tinggi gelar atau strata pendidikannya maka akan semakin tinggi pula pisukenya, sehingga dalam penentuan jumlah pisuke ini rentan sekali terjadi konflik antara kedua belah pihak keluarga mempelai. Penentuan jumlah pisuke yang dikaitkan dengan tingkat pendidikan dialami oleh Ina dan Nelly. Pada saat merariq, orang tua Ina diberikan sejumlah pisuke oleh Anto yaitu calon suami Ina pada saat itu. Jumlah pisuke yang diterima orang tua Ina sangat kecil dengan alasan Ina hanya tamatan Sekolah Dasar. 8 Berbeda dengan kejadian yang dialami Nelly, orang tua Nelly menerima 7 Hamdi, Op.Cit, hlm. 85 8 Hasil wawancara dengan Ina, responden, selaku pihak yang merariq dengan pisuke di Desa Dasan Tereng, pada tanggal 26 Agustus 2016, pukul 16.15 WITA. 5

pemberian pisuke dalam jumlah besar dikarenakan Nelly mengenyam pendidikan sampai sarjana. 9 Tidak semua proses penentuan pisuke berjalan sesuai harapan, mengingat adanya keinginan yang berlawanan dari masing-masing pihak. Hal tersebut dialami oleh Evi yang merariq tanpa pisuke dikarenakan orang tuanya yang tidak setuju ia merariq dengan Hery. Hal serupa juga dialami oleh Nurhaini yang merariq tanpa pisuke dikarenakan orang tuanya tidak mau menerima pisuke yang diduga merupakan uang dari Nurhaini sendiri. Akibatnya dapat menghambat proses merariq atau bahkan merariq dapat saja dibatalkan sewaktu-waktu karena tidak adanya titik temu antara kedua belah pihak. Hal seperti itu terkadang menimbulkan problematika ketika kedua calon mempelai merupakan pasangan kekasih yang saling menyukai satu sama lain, sebab mereka biasanya tetap menginginkan pernikahan terlaksana. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah kedudukan hukum pisuke dalam perkawinan adat sasak atau merariq? 2. Bagaimanakah bentuk penyelesaian sengketa dalam perkawinan adat sasak atau merariq tanpa pisuke? 9 Hasil wawancara dengan Nelly, responden, selaku pihak yang merariq dengan pisuke di Desa Dasan Tereng, pada tanggal 28 Agustus 2016, pukul 13.25 WITA. 6

C. Tujuan Penelitian Mengacu pada pokok masalah seperti yang telah diuraikan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui dan mengkaji tentang kedudukan hukum pisuke dalam perkawinan adat sasak atau merariq. 2. Untuk mengetahui dan mengkaji tentang penyelesaian sengketa dalam perkawinan adat sasak atau merariq tanpa pisuke. D. Manfaat penelitian Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberi kegunaan secara teoritis ataupun praktis, antara lain sebagai berikut : 1. Berfaedah dalam menambah pemahaman dan wawasan masyarakat di Indonesia pada umumnya dan masyarakat adat Desa Dasan Tereng Kecamatan Narmada Kabupaten Lombok Barat khususnya mengenai kajian tentang kedudukan hukum pisuke dalam perkawinan adat sasak atau merariq. 2. Perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan bidang hukum perkawinan adat masyarakat suku Sasak pada khususnya dalam rangka mengetahui upaya penyelesaian sengketa adat apabila terjadi merariq tanpa pisuke. 7

E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang PEMBERIAN PISUKE DALAM PERKAWINAN ADAT MASYARAKAT SASAK (MERARIQ) DI DESA DASAN TERENG KECAMATAN NARMADA KABUPATEN LOMBOK BARAT ditinjau dari hukum adat diperoleh dengan cara melakukan analisis secara hukum. Setelah melakukan penelusuran tentang ada atau tidaknya penelitian tesis serupa, hasilnya ialah tidak ditemukannya penelitian tesis yang sama dengan penelitian tesis ini. Hanya saja terdapat penelitian yang serupa namun obyek dan lokasi penelitian yang berbeda, sehingga terkait dengan ruang lingkup penelitian ini, hukum adat yang diteliti ialah berbeda di masing-masing penelitian. Penelitian tersebut adalah penelitian yang dilakukan oleh Nursim, pada tahun 2009, dengan judul Kajian Sosiologi Hukum Terhadap Uang Wali Pada Masyarakat Muslim Suku Sasak (Studi Kasus Di Desa Dangiang). Rumusan masalahnya sebagai berikut: 10 a. Mengapa adat uang wali (uang sorong serah) masih dipertahankan sampai dengan saat ini dalam tradisi pernikahan masyarakat muslim suku Sasak di Desa Dangiang? b. Bagaimana dampak dan tinjauan hukum Islam terhadap tradisi pemberian uang wali (pisuke) pada setiap pernikahan masyarakat muslim suku Sasak di Desa Dangiang? 10 Nursim, 2009, Kajian Sosiologi Hukum Terhadap Uang Wali Pada Masyarakat Muslim Suku Sasak (Studi Kasus Di Desa Dangiang), Skripsi, Program Studi Hukum Syariah Universitas Islam Negeri, Yogyakarta. 8

Perbedaannya dengan penelitian tesis ini yaitu penelitian oleh Nursim di atas membahas mengenai uang wali atau sorong serah ajikrame, yang mana uang tersebut merupakan sejumlah pembayaran yang telah ditetapkan oleh adat sebagai lambang dan status sosial dari pasangan mempelai dan setiap keturunan yang akan dilahirkan. Selain itu, terkait dengan pisuke Nursim hanya membahas mengenai dampak dan tinjauan hukum Islam terhadap pisuke, tidak mencakup kedudukan hukum dan penyelesaian sengketa bilamana pisuke tidak diberikan. 9