BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini dengan semakin pesatnya kemajuan teknologi, maka kehadiran makanan siap saji semakin memanjakan konsumen dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Pola konsumsi semacam ini sangat mempengaruhi makanan masyarakat Indonesia. Makanan jajanan yang bersifat instan, menarik, terjangkau harganya dan menjadi pilihan yang banyak disukai masyarakat (Anonim, 2007). Perubahan pola makan ke arah yang tidak sehat yaitu dengan mengkonsumsi makanan siap saji (fast food) kian meningkat. Meningkatnya pendapatan penduduk per kapita membuat pola makan berubah menjadi enak. Selain itu, keadaan perkotaan yang selalu macet, kesibukan kerja, membuat waktu untuk olah raga tidak ada. Hal itu diperparah dengan kebiasaan makan makanan siap saji. Akibatnya, hidup menjadi tidak seimbang sehingga lemak, kalori, karbohidrat tertimbun (Anonim, 2007). Fast food umumnya juga miskin sayur. Kalaupun ada sayurnya terbatas pada selada yang tidak banyak mengandung vitamin dan mineral karena selada sama nilai gizinya dengan kol. Selain itu fast food juga di duga sebagai makanan yang tinggi garam dan rendah serat (Khomsan A, 2003). Pola makan tinggi lemak jenuh dan gula, rendah serat dan rendah zat gizi mikro akan menyebabkan masalah kegemukan, gizi lebih serta meningkatkan radikal bebas yang dapat memicu munculnya penyakit degeneratif. Fenomena inilah yang kemudian dikenal sebagai penyakit kemakmuran. Bergesernya pola makan ini akan 1
berpengaruh negatif terhadap nilai dan citra Indonesia yang merupakan aset budaya dan ekonomi bangsa (Baliwati, dkk, 2004 ). Mi adalah salah satu contoh hasil perkembangan teknologi pangan yang banyak di konsumsi oleh warga dunia, termasuk di Indonesia. Meningkatnya konsumsi mi di masyarakat diduga karena kelebihan yang dimiliki oleh mi seperti harganya yang relatif murah, mudah diolah, mudah dijangkau oleh semua kalangan, memerlukan sedikit waktu untuk mengolahnya dan banyaknya pilihan rasa dari mi yang ditawarkan (Anonim, 2007). Mi pertama kali dibuat dan berkembang di Cina. Teknologi pembuatan mi disebarkan oleh Marcopolo ke Italia, hingga ke seluruh daratan Eropa. Kini mi populer di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Mi yang beredar di Indonesia terdiri dari empat jenis yaitu mi mentah, mi basah, mi kering dan mi instan. Keempat jenis tersebut mempunyai pasar sendiri-sendiri dengan jumlah permintaan yang semakin meningkat dari waktu ke waktu (Astawan, M, 2004). Di Indonesia, mi digemari berbagai kalangan, mulai anak-anak hingga lanjut usia. Alasannya sifat mi yang enak, praktis dan mengenyangkan. Kandungan karbohidrat yang tinggi, menjadikan mi digunakan sebagai sumber karbohidrat pengganti nasi. Mi dapat diolah menjadi berbagai produk seperti mi baso, mi goreng, mi ayam, mi aceh dan lain sebagainya (Astawan, M, 2004). Seiring perkembangan teknologi dan semakin meningkatnya kesadaran orang akan gizi, sekarang ini mi tidak hanya dijadikan sebagai penyuplai energi, melainkan juga sebagai sumber zat gizi lain. Berbagai vitamin dan mineral dapat difortifikasikan ke dalam mi seperti yang sering kita jumpai pada pembuatan mi aceh.
Walaupun demikian, kecukupan zat gizi belum dapat dipenuhi hanya dengan mengandalkan satu porsi mi. Kombinasi dengan sayuran dan sumber protein perlu dilakukan dalam upaya mendongkrak kelengkapan komposisi gizi ini (Astawan, M, 2004). Menurut seorang ahli gizi klinik Juniarti Alidjaja, orang yang kebanyakan makan mi tanpa diimbangi makanan berserat berpotensi mengalami gangguan kesehatan, hal ini karena mie mengandung karbohidrat sederhana, lemak dan kadar natrium tinggi, misal penyakit yang ditimbulkan seperti, obesitas, kenaikan kadar gula darah, kenaikan tekanan darah, dan lain-lain (Rakasiwi A, 2008). Dipasaran saat ini dikenal ada beberapa jenis mi yaitu mi mentah (mi pansit), mi basah (Mi Aceh), mi keriting dan mi instan. Mi kering dan mi instan merupakan mi yang kering dengan kadar air yang rendah sehingga lebih awet dibandingkan dengan mi mentah (mi basah). Mi basah (Mi Aceh) disebut juga mi kuning adalah jenis mi yang mengalami proses perebusan setelah tahap pemotongan dan sebelum dipasarkan. Kadar air mi basah dapat mencapai 52% sehingga daya tahan atau keawetannya cukup singkat. Pada suhu kamar mi basah ini hanya bertahan 10-12 jam. Karena setelah itu mi akan berbau asam dan berlendir atau basi. (Widyaningsih, dkk, 2006). Mi Aceh digolongkan ke dalam mi basah, dimana mi aceh merupakan makanan berbentuk khas mi yang tidak dikeringkan dan paling cepat mengalami kerusakan atau pembusukan terutama dalam pembuatannya tidak menggunakan pengawet sehingga pemakaiannya untuk diolah lebih lanjut menjadi mi siap saji dan tidak boleh melebihi 24 jam.
Mi Aceh salah satu alternatif jajanan pilihan yang saat ini menjadi favorit masyarakat di Medan. Warung Mi Aceh yang banyak dikunjungi masyarakat Kota Medan diantaranya adalah warung Mi Aceh Titi Bobrok dan Warung Mi Aceh Baru. Ditandai dengan banyaknya pengunjung warung Mi Aceh yang diperkirakan mencapai 600 pengunjung per hari dan menghabiskan sekitar 700 porsi per hari. Hal ini disebabkan karena harganya yang relatif murah, rasanya enak, banyaknya pilihan menu dan mudah di jangkau. Berdasarkan latar belakang diatas, penulis merasa tertarik untuk mengetahui lebih lanjut pola konsumsi mi aceh dan kontribusinya terhadap kecukupan energi dan protein pada pengunjung warung Mi Aceh di Kota Medan. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pola konsumsi Mi Aceh dan kontribusinya terhadap kecukupan energi dan protein pada pengunjung warung Mi Aceh di Kota Medan. 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui pola konsumsi Mi Aceh dan kontribusinya terhadap kecukupan energi dan protein pada pengunjung warung Mi Aceh di Kota Medan. 1.3.2. Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui frekuensi, jenis dan jumlah Mi Aceh yang dikonsumsi. 2. Untuk mengetahui konsumsi energi dan protein yang berasal dari Mi Aceh.
1.4. Manfaat Penelitian 1. Sebagai bahan informasi bagi masyarakat Kota Medan tentang pola konsumsi Mi Aceh dan kontribusinya terhadap kecukupan energi dan protein seharihari. 2. Sebagai bahan masukan bagi warung Mi Aceh di Kota Medan agar lebih dapat memperhatikan nilai gizi yang terkandung dalam Mi Aceh.