ANALISIS SISTEMATIK HUKUM TERHADAP UU NO.8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA. Supriyanta Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta

dokumen-dokumen yang mirip
Fungsi Pra Penuntutan Terhadap Keberhasilan Pelaksanaan Penuntutan Perkara Pidana Oleh Penuntut Umum. Cakra Nur Budi Hartanto *

KEDUDUKAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Keywords : Criminal Procedure Law, criminal justice system

2. Pengawasan dan penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana;

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan salah satu Negara Hukum. Hal ini

Fungsi Dan Wewenang Polri Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia. Oleh : Iman Hidayat, SH.MH. Abstrak

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

Vol 10 No. 2 Oktober 2014 ISSN

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

Pelaksanaan Penyidik Diluar Wilayah Hukum Penyidik

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Negara, yakni: supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan di depan hukum. mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.

SILABI A. IDENTITAS MATA KULIAH

BAB III PENUTUP. bencana terhadap kehidupan perekonomian nasional. Pemberantasan korupsi

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

ALUR PERADILAN PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

Peran PPNS Dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan. Oleh: Muhammad Karno dan Dahlia 1

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

2011, No b. bahwa Tindak Pidana Korupsi adalah suatu tindak pidana yang pemberantasannya perlu dilakukan secara luar biasa, namun dalam pelaksan

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hak dan kewajiban merupakan sesuatu yang melekat dan menyatu pada

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

BAB I PENDAHULUAN. peraturan-peraturan tentang pelanggaran (overtredingen), kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. negara harus berlandaskan hukum. Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

BAB I PENDAHULUAN. pidana, oleh karena itu, hukum acara pidana merupakan suatu rangkaian

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

Lex et Societatis, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan adalah suatu permasalahan yang terjadi tidak hanya di dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-2 Mencermati Peradilan di Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 53 TAHUN 2014 TENTANG MANAJEMEN PELAKSANAAN TUGAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PRA PENUNTUTAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Richard Olongsongke 2

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

PRAPERADILAN SEBAGAI KEWENANGAN TAMBAHAN PENGADILAN NEGERI PRETRIAL COURT AS ADDITIONAL POWERS

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyelidikan dan Penyidikan. Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan

TINJAUAN PUSTAKA. Penegakan hukum pidana dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

PENGEMBALIAN BERKAS PERKARA TINDAK PIDANA DARI KEJAKSAAN KEPADA KEPOLISIAN 1 Oleh : Ridwan Afandi 2

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Asas-Asas Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A.

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

Transkripsi:

ANALISIS SISTEMATIK HUKUM TERHADAP UU NO.8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Supriyanta Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta ABSTRAK Secara sistematik, UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara pidana memiliki sejumlah kelemahan sehingga bisa menjadi kendala dalam mencapai keterpaduan. Pada subsistem penyidikan, kurang menggambarkan adanya lembaga penyidikan yang mandiri dan terpadu. Pada subsistem penuntutan kaitannya dengan unsur penyidikan belum terdapat pengaturan yang mantap. Kelemahan yang menyangkut subsistem pengadilan, tidak ada jangka waktu penyelesaian perkara, tidak terdapat kriteria dalam hal pengadilan menolak atau menerima izin penggeledahan rumah maupun penyitaan dari penyidik dalam hal delik tertangkap tangan, juga tidak terdapat pengaturan kriteria suatu perkara yang bisa dihentikan proses pemeriksaannya karena alasan tertentu. Kata Kunci : Sistematik Hukum, Hukum Acara Pidana ABSTRACTS Systematically, Law No. 8 of 1981 on Criminal Procedure Law has a number of weaknesses that could be an obstacle in achieving integration. In the investigation of subsystems, adequately clarify the independent investigation agency and integrated. In the prosecution subsystems related to elements of the investigation that there has been a steady setting. Weaknesses related subsystems court, there is no settlement period, there are no criteria in terms of the court to reject or accept a search warrant for the house and the seizure of the investigator in terms of offense caught red-handed, there is also a case setting criteria that the examination process can be stopped for some reason. Keywords : Law Systematic, Criminal Law Procedure PENDAHULUAN Wacana sistem peradilan pidana terpadu muncul sejak pembentukan UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.(vide Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ` 1982, Jakarta : Departemen Kehakiman RI, halaman iv.). Sejak saat itu wacana pembentukan sistem peradilan pidana terpadu terusmenerus diupayakan sampai saat ini. Keterpaduan mengandung makna fixed control arrangements dan sekaligus koordinasi yang sering diartikan sebagai suatu proses pencapaian tujuan melalui kebersamaan norma dan nilai (share norms and values ) (Muladi, 2002 : 35) Makna sistem peradilan pidana terpadu didasarkan pada keseimbangan antara tindak pidana (daad) dan pelaku (dader) tindak pidana tersebut. Hukum pidana modern bertujuan untuk policing the

police, yaitu melindungi warga masyarakat dari campur tangan penguasa yang mungkin menggunakan pidana sebagai sarana secara tidak benar (Muladi, 2003 : 16). Kesadaran untuk menjalankan fungsi hukum pidana secara hati-hati akan semakin menjadi besar, bilamana setiap masalah dalam hukum pidana dipertimbangkan dengan seksama, yaitu masalah kejahatan, kesalahan dan pidana (Packer, Herbert L, 1968 : 173). Menurut Barda Nawawi Arief (2007 : 19-26) sistem peradilan pidana pada hakikatnya identik dengan sistem penegakan hukum pidana. Di Indonesia dasar hukum guna terselenggaranya penegakan hukumpidana secara terpadu, diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau disebut juga dengan Kitab Undang-Undang hukum Acara Pidana (KUHAP). Bgaimanakah KUHAP mendesain hubungan koordinasi antara subsubsistem peradilan pidana tersebut? METODE PENELITIAN Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif yaitu dengan cara meneliti data sekunder, yang mencakup penelitian sistematik hukum khususnya terhadap KUHAP yang merupakan landasan yuridis berlakunya sistem peradilan pidana di Indonesia. Dengan demikian yang menjadi fokus analisis dalam tulisan ini adalah dimensi internal dari sistem peradilan pidana yaitu keterpaduan diantara subsistem peradilan pidana yang didasarkan pada KUHAP dan peraturan-peraturan lain yang terkait dengan sistem peradilan pidana. Data sekunder yang diperlukan meliputi bahan hukum primer serta bahan hukum sekunder yaitu berbagai peraturan perundang-undangan di bidang sistem peradilan pidana. Disamping itu juga bahan hukum tersier seperti kamus hukum dan ensiklopedi hukum. Data yang telah terkumpul kemudian dilakukan klasifikasi dan diolah dengan menggunakan cara penafsiran dan konstruksi hukum yang lazim dipergunakan dalam ilmu hukum. Teknik analisis data yang dipergunakan analisa kualitatif (Soerjono Soekanto, 1986 : 10). ANALISIS SISTEMATIK HUKUM TERHADAP UU NO. 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana jika dilihat secara sistematik hukum akan ditemulan dasar hukum sebuah mekanisme hubungan fungsional diantara subsistem peradilan pidana yaitu subsistem kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.hubungan diantara subsistem tersebut membangun sebuah sistem yang dikenal dengan sistem peradilan pidana. Istilah sistem menurut Anatol Rapport adalah whole which function as a whole by vertue of the interdependence of its parts. R.L. Ackoff, menyatakan sistem sebagai entity, conceptual or physical, which concists of interdependent parts (HR Abdussalam dan DPM Sitompul, 2007 : 5).Menurut Lili Rasjidi dan IB Wyasa Putra (1993 :43-44), ciri suatu sistem adalah a. suatu kompleksitas elemen yang terbentuk dalam satu kesatuan interaksi (proses);b. masingmasing elemen terikat dalam satu kesatuan hubungan yang satu sama lain saling bergantung; c.kesatuan elemen yang kompleks itu membentuksatu kesatuan yang lebih besar,yang meliputi keseluruhan elemen pembentuknya itu; d.

keseluruhan itu menentukan ciri dari setiap bagian pembentuknya; e. bagian dari keseluruhan itu tidak dapat dipahami jika ia dipisahkan, atau dipahami secara terpisah dari keseluruhan itu f. bagian-bagian itu bergerak secara dinamis secara mandiri atau secara keseluruhan dalam keseluruhan (sistem) itu. Chamelin/Fox/Whisenand menyatakan criminal justice system adalah suatu sistem dari masyarakat dalam proses menentukan konsep sistem merupakan aparatur peradilan pidana yang diikat bersama dalam hubungan antara subsistem polisi, pengadilan dan lembaga (penjara) (HR Abdussalam dan DPM Sitompul, 2007 : 6). Menurut Romli Atmasasmita (1996 : 10), ciri pendekatan sistem : a.titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana; b.pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana; c.efektifitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi penyelesaian perkara; d. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan the administration of justice. Di Indonesia, sistem peradilan pidana berpedoman pada UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana. Sistem Peradilan Pidana yang digariskan KUHAP merupakan Sistem Peradilan Pidana yang diletakkan di atas prinsip diferensiasi fungsional antara aparat/lembaga penegak hukum sesuai dengan tahap proses kewenangan yang diberikan undang-undang (M. Yahya Harahap, 2004 : 90). Secara sistematik KUHAP terdiri atas 22 (duapuluh dua) bab dan 284 Pasal disertai dengan penjelasannya secara lengkap. Komponen sistem peradilan pidana di Indonesia terdiri atas unsur-unsur kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Selain itu ada satu komponen lagi yaitu komponen penasihat hukum yang meskipun bukan aparat penegak hukum tetapi mereka bersama-sama dengan polisi, jaksa, hakim, petugas pemasyarakatan sebagi penegak hukum. Mengkaji KUHAP secara sistemik, maka akan tampak subsistem-subsistem sebagai berikut : Penyidikan/Kepolisian Pasal 1 butir 1 KUHAP menyebutkan bahwa penyidik adalah pejabat polisi negara RI atau Pegawai Negeri Sipil ( disingkat PPNS ) tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Pengaturan penyidikan dalam KUHAP berkaitan dengan hubungan koordinasi antara penyidik POLRI dan PPNS. Ketentuannya adalah : PPNS dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinator dan pengawasan Penyidik POLRI (Pasal 7 ayat 2); Untuk kepentingan penyidikan, penyidik memberikan petunjuk kepada PPNS dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan (Pasal 107 ayat 1); PPNS melaporkan tindak pidana yang sedang disidik kepada penyidik POLRI (Pasal 107 ayat 2); PPNS menyerahkan hasil penyidikan yang telah selesai kepada penuntut umum melalui penyidik POLRI ( Pasal 107 ayat 3 ); Dalam hal PPNS menghentikan penyidikan, segera memberitahukan penyidik POLRI dan Penuntut Umum (Pasal 109 ayat 3 ). Pada subsistem penyidikan ini, KUHAP juga mengatur unsur penasihat hukum/advokat untuk bisa terlibat di dalam proses penyidikan. Kelemahan pada pada subsistem penyidikan,

kurang menggambarkan adanya lembaga penyidikan yang mandiri dan terpadu. Subsistem Penuntutan/Kejaksaan Setelah proses penyidikan telah dinyatakan selesai, kemudian dilanjutkan dengan proses penuntutan. Pada Pasal 1 butir 7 KUHAP, penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Pasal 137 KUHAP menentukan bahwa penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapa pun yang didakwa melakukan suatu delik dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili. Dalam hal menurut pertimbangan penuntut umum suatu perkara tidak cukup bukti-bukti untuk diteruskan ke pengadilan ataukah perkara terebut bukan merupakan suatu delik, maka penuntut umum membuat suatu ketetapan ( Pasal 140 ayat (2) butir a). Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan, wajib dibebaskan (Pasal 140 ayat (2) butir b). Turunan surat ketetapan tersebut wajib disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik. dan hakim (Pasal 140 ayat (2) butir c KUHAP). Ini biasa disebut Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan. Mengenai wewenang penuntut umum untuk menutup perkara demi hukum seperti tersebut dalam Pasal 140 ayat (2) butir a pedoman pelaksanaan KUHAP memberi penjelasan bahwa "perkaranya ditutup demi hukum" diartikan sesuai dengan Buku I KUHP Bab VIII tentang hapusnya hak menuntut tersebut dalam Pasal 76, 77, dan 78 KUHP' (ne bis in idem, terdakwa meninggal dan lewat waktu/ daluarsa). Jika kemudian ternyata ada alasan baru untuk menuntut perkara yang telah dikesampingkan karena kurang bukti-bukti. maka penuntut umum dapat menuntut tersangka (Pasal 140 ayat (2) butir d). Menurut Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang melakukan penyidikan dalam hal diketemukannya alasan baru tersebut ialah penyidik. Hubungan koordinasi antara subsistem penyidikan dan subsistem penuntutan diatur sebagai berikut : Penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum ( Pasal 8, Pasal 14 huruf a, Pasal 110 ayat 1 );.Penuntut Umum memberikan perpanjangan penahanan atas permintaan penyidik ( Pasal 14 huruf c, Pasal 24 ayat 2);.Dalam hal Penuntut Umum berpendapat hasil penyidikan belum lengkap, ia segera mengembalikan kepada penyidik disertai petunjuknya dan penyidik wajib melengkapinya dengan melakukan pemeriksaan tambahan (Pasal 14 huruf b, Pasal 110 ayat 2 dan ayat 3 );.Dalam hal penyidik mulai melakukan penyidikan/ pemeriksaan, memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum (Pasal 109 ayat 1); Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan, memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum (Pasal 109 ayat 2 ), sebaliknya dalam hal Penuntut Umum menghentikan penuntutan, ia memberikan Surat Ketetapan kepada Penyidik (Pasal 140 ayat 2 huruf c ); Penuntut Umum memberikan turunan surat pelimpahan perkara, surat dakwaan kepada penyidik (Pasal 143 ayat 4),

demikian pula dalam hal Penuntut Umum mengubah surat dakwaan ia memberikan turunan perubahan surat dakwaan itu kepada penyidik (Pasal 144 ayat 3); Dalam acara pemeriksaan cepat, penyidik atas kuasa Penuntut Umum (demi hukum ) melimpahkan berkas perkara dan menghadapkan terdakwa, saksi/ahli, juru bahasa dan barang bukti pada sidang pengadilan (Pasal 205 ayat 2).Konsekuensi dari hal di atas, penyidik memberitahukan hari sidang kepada terdakwa ( Pasal 207 ayat 1 ) dan menyampaikan amar putusan kepada terpidana (Pasal 214 ayat 3). Kejaksaan merupakan kesatuan, karena ia terdiri dari pejabatpejabat yang tersusun secara hierarkis. Pejabat tingkat atas berwenang memberikan perintah-perintah kepada pejabat bawahannya di dalam melakukan tugas jabatan mereka. Prinsip kejaksaan merupakan satu kesatuan inilah yang dikenal dengan istilah onsplitsbaar ( OC Kaligis, 2006 :52-53). Kelemahan pada subsistem penuntutan, KUHAP belum mengatur secara mantap hubungan koordinasi antara penyidik dan penuntut umum. Subsistem Kehakiman/Pengadilan Dalam KUHAP, pemeriksaan dalam sidang pengadilan ada tiga macam yaitu acara pemeriksaan biasa, acara pemeriksaan singkat dan acara pemeriksaan cepat yang terdiri atas acara pemeriksaan tindak pidana ringan dan acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan. Acara pemeriksaan biasa ini prinsipnya adalah a. Pemeriksaan dilakukan oleh hakim yang ditunjuk oleh ketua pengadilan; b. pemeriksaan dilakukan secara lisan dalam bahasa Indonesia, secara bebas dan terbuka untuk umum;c. Anak di bawah umur tujuh belas tahun dapat dilarang menghadiri sidang; d. Pemeriksaan dilakukan dengan hadirnya terdakwa, dan dapat dipanggil secara paksa; e. Pemeriksaan dimulai dengan menanyakan identitas terdakwa; f. Pembacaan surat dakwaan;g. Keberatan terdakwa atau penasihat hukum. h. Pembuktian. Pasal 203 ayat 1 KUHAP, yang diperiksa menurut acara pemeriksaan singkat ialah perkara kejahatan atau pelanggaran yang tidak termasuk ketentuan Pasal 205 dan yang menurut penuntut umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana. Pada prinsipnya ketentuan dalam acara pemeriksaan biasa berlaku juga untuk acara pemeriksaan singkat dan cepat. Perkecualiannya yaitu dalam acara pemeriksaan singkat penuntut umum menghadapkan terdakwa, saksi, ahli, juru bahasa, dan barang bukti. Waktu, tempat, dan keadaan melakukan tindak pidana diberitahukan secara lisan, dicatat dalam berita acara sebagai pengganti surat dakwaan.acara pemeriksaan cepat dibagi menjadi acara pemeriksaan tindak pidana ringan, ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan atau denda sebanyakbanyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan. Hubungan koordinasi antara Penyidik dan Hakim/Pengadilan yaitu : a. Ketua Pengadilan Negeri dengan keputusannya memberikan perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud Pasal 29 atas permintaan penyidik; b. Atas permintaan Penyidik, Ketua Pengadilan Negeri menolak atau memberikan surat izin penggeledahan rumah atau penyitaan dan /atau surat izin khusus pemeriksaan surat (Pasal 33 ayat 1, Pasal 38 ayat 1); c. Penyidik wajib

segera melapor kepada Ketua Pengadilan Negeri atas pelaksanaan penggeledahan rumah atau penyitaan yang dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak sebagaimana dimaksud Pasal 34 ayat 2 dan Pasal 38 ayat 2; d. Penyidik memberikan kepada panitera bukti bahwa surat amar putusan telah disampaikan kepada terpidana (Pasal 214 ayat 3); e. Panitera memberitahukan kepada penyidik tentang adanya perlawanan dari terdakwa (Pasal 214 ayat 7 ). Secara umum pengaturan proses pemeriksaan dalam sidang pengadilan yang ditata oleh KUHAP telah menempatkan kedudukan terdakwa sejajar dengan penuntut umum, karena terdakwa telah dilengkapi dengan hak-hak tertentu, diantaranya adalah hak untuk didampingi oleh penasihat hukum. Menurut KUHAP Penasihat Hukum di dalam sidang pengadilan memiliki hak untuk bertanya kepada saksi, hak untuk mengajukan saksi yang meringankan, hak untuk mengajukan keberatan terhadap surat dakwaan, hak untuk mengajukan pembelaan dan sebagainya. Kelemahan yang menyangkut subsistem pengadilan, tidak ada jangka waktu penyelesaian perkara, tidak terdapat kriteria dalam hal pengadilan menolak atau menerima izin penggeledahan rumah maupun penyitaan dari penyidik dalam hal delik tertangkap tangan, juga tidak terdapat pengaturan kriteria suatu perkara yang bisa dihentikan proses pemeriksaannya karena alasan tertentu. KESIMPULAN Berdasarkan analisis sistematik hukum, KUHAP telah mengatur hubungan koordinasi diantara sub-sub sistem peradilan pidana. Hubungan koordinasi fungsional dalam rangka sistem peradilan pidana terpadu meliputi hubungan antara penyidik dan penuntut umum, penuntut umum dan pengadilan serta hubungan koordinasi antara penyidik dan hakim/pengadilan. Dengan adanya dasar hukum dalam melakukan koordinasi fungsional tersebut, diharapkan terjadi pola penegakan hukum pidana yang terpadu, meskipun hal ini masih harus didukung dengan struktur dan kultur hukum yang memadai. Tanpa dukungan struktur dan kultur hukum yang kondusif, substansi hukum dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara pidana justru bisa menjadi sumber disharmoni, karena adanya berbagai kelemahan dalam setiap subsistem peradilan pidana. DAFTAR PUSTAKA Barda Nawawi Arief, 2007. Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Semarang : BP UNDIP HR Abdussalam dan DPM Sitompul, 2007. Sistem Peradilan Pidana, Jakarta : : Restu Agung Lili Rasjidi, IB Wyasa Putra, 1993. Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung : PT Remaja Rosdakarya Muladi, 2002, Demokratisasi HAM dan Reformasi Hukum di Indonesia Jakarta : Habibie Center.

M. Yahya Harahap, 2004. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, edisi kedua,: Jakarta : Sinar Grafika O.C. Kaligis, 2006, Pengawasan Terhadap Jaksa Selaku Penyidik Tindak Pidana Khusus Dalam Pemberantasan Korupsi, Jakarta : OC Kaligis dan Associates Packer, Herbert L, 1968, The Limits of Criminal Sanction, Stanford University Press : California Romli Atmasasmita, 1996, Perbandingan Hukum Pidana, CV.Bandung : Mandar Maju Soerjono Soekanto, 1986.Pengantar Penelitian Hukum, : Jakarta : UI Press UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI. UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP