1 Perkembangan masyarakat di Indonesia terjadi begitu pesat pada era globalisasi saat ini. Hal ini tidak hanya terjadi di perkotaan saja, di desa-desa juga banyak dijumpai hal tersebut. Semakin berkembangnya masyarakat maka semakin banyak juga kebutuhan akan tanah. Tanah dalam kehidupan manusia mempunyai arti yang sangat penting, dimana setiap orang membutuhkan tanah untuk melaksanakan kegiatannya. Tanah adalah permukaan bumi, yang dalam penggunaannya meliputi juga sebagian tubuh bumi yang ada dibawahnya dan sebagian dari ruang yang ada diatasnya, dengan pembatasan dalam Pasal 4 UUPA, yaitu sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah yang bersangkutan, dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi. 1 Tanah berfungsi sangat strategis dalam memenuhi kebutuhan negara dan rakyat yang makin beragam dan meningkat. 2 Kebutuhan tanah yang semakin meningkat diikuti juga kegiatan jual beli tanah sebagai salah satu bentuk proses peralihan hak atas tanah. Contoh semakin meningkatnya jual beli tanah tersebut ada di Kabupaten Batang Provinsi Jawa Tengah, di Kabupaten Batang banyak dijumpai mengenai jual beli tanah pertanian yang belum bersertipikat. Yang dimaksud dengan tanah yang belum bersertipikat adalah tanah-tanah 1 Boedi Harsono, 2005, Hukum Agraria, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Edisi Revisi, Djambatan, Jakarta, hlm.262. 2 Boedi Harsono, 2003, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Cet.2, Universitas Trisakti, Jakarta, hlm.3.
2 yang belum pernah dibuatkan sertipikat hak atas tanah dan biasanya dikenal dengan nama tanah Letter CatautanahGirik. Tanah-tanah yang sudah ada tanda bukti yang berupa petuk C, Verponding Indonesia (V.I) dan dengan memperhatikan kewarganegaraan pemiliknya pada tanggal 24 September 1960 dapat langsung dimohonkan konversinya di Kantor Pertanahan, apabila tidak ada tanda buktinya oleh Kantor Pertanahan berdasarkan penelitian dari Panitia A diterbitkan Surat Keputusan (SK) mengenai pengakuan atau penegasan haknya. Jual beli tanah menurut hukum adat yaitu perbuatan hukum penyerahan tanah untuk selama-lamanya dengan penjual menerima pembayaran sejumlah uang, yaitu harga pembelian (yang sepenuhnya atau sebagian dibayar tunai). 3 Masyarakat hukum adat melaksanakan jual beli tanah secara terang, tunai dan konkrit. Terang berarti perbuatan hukum jual beli tersebut benar-benar dilaksanakan dihadapan Kepala Adat atau Kepala Desa atau kini dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang. Tunai berarti adanya dua perbuatan yang dilaksanakan secara bersamaan dalam hal pemindahan hak atas tanah terhadap objek jual beli dan adanya pembayaran harga dari pembeli kepada penjual yang terjadi secara bersamaan. Konkrit berarti nyata dan jelas dapat ditangkap oleh pancaindera seseorang. Jual beli tanah pertanian dilarang apabila tanah pertanian tersebut melebihi batas maksimum berdasarkan Pasal 1 dan Pasal 2 UU No. 56/prp/1960. Jual beli tanah pertanian dilarang juga untuk tanah pertanian yang 3 Rd Soepomo, 1982, Hukum Perdata Adat Jawa Barat, Cet.2, Djambatan, Jakarta, hlm.126.
3 kurang dari dari batas minimum berdasarkan ketentuan Pasal 7 dan Pasal 17 UUPA jo Pasal 8 dan Pasal 9 UU No. 56/prp/1960. Pasal 8 UU No. 56/prp/1960 menyatakan bahwa Pemerintah mengadakan usaha-usaha agar setiap petani sekeluarga memiliki tanah pertanian minimum 2 hektar. Pasal 9 menyatakan: 1) Pemindahan hak atas tanah pertanian, kecuali pembagian warisan, dilarang apabila pemindahan hak itu mengakibatkan timbulnya atau berlangsungnya pemilikan tanah yang luasnya kurang dari 2 hektar. Larangan termaksud tidak berlaku kalau si penjual hanya memiliki bidang tanah yang luasnya kurang dari 2 hektar dan tanah itu dijual sekaligus. 2) Jika 2 orang atau lebih pada waktu mulai berlakunya Peraturan ini memiliki tanah pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar, di dalam waktu 1 tahun mereka itu wajib menunjuk salah seorang dari antaranya yang selanjutnya akan memiliki tanah itu, atau memindahkannya kepada pihak lain, dengan mengingat ketentuan ayat (1). 3) Jika mereka yang dimaksud dalam ayat (2) tidak melaksanakan kewajiban tersebut di atas, maka dengan memperhatikan keinginan mereka Menteri Agraria atau pejabat yang ditunjuknya, menunjuk salah seorang dari mereka itu, yang selanjutnya akan memiliki tanah yang bersangkutan, ataupun menjualnya kepada pihak lain. 4) Mengenai bagian warisan tanah pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar, akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
4 Alasan pelarangan pemecahan tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang kurang dari 2 hektar adalah: 1) Untuk mencegah adanya petani yang tidak mempunyai tanah atau para petani yang mempunyai tanah tetapi tanahnya tidak mencukupi untuk dapat hidup dengan layak. Selain itu juga untuk membatasi orang-orang yang memiliki tanah pertanian berhektar-hektar. Pemilik tanah biasanya tidak dapat mengerjakan sendiri tanahnya yang luas tersebut bahkan tanah tersebut terkadang dibiarkan terlantar. 2) Untuk menghindari terjadinya pemerasan oleh pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah yang biasanya dialami oleh petani kecil / petani gurem. Pada umumnya tanah pertanian adalah semua tanah yang menjadi hak setiap orang, selainnya tanah untuk perumahan dan perusahaan. Bila atas sebidang tanah luas berdiri rumah tinggal seseorang, maka pendapat masyarakat setempatlah yang menentukan, berapa luas bagian yang dianggap halaman rumah dan berapa luas bagian yang merupakan tanah pertanian. Termasuk tanah pertanian ialah semua tanah perkebunan, tambak untuk perikanan, tanah tempat penggembalaan ternak, tanah belukar bekas ladang dan hutan yang menjadi tempat mata pencaharian bagi yang berhak.tanah pertanian berupa tanah sawah dan tanah kering, untuk menentukan perbedaan tanah tersebut dilihat dari keadaan tanahnya. 4 Instruksi Bersama Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan Menteri Agraria tanggal 5 Januari 1961 No. Sekra 9/1/12 memberikan penjelasan mengenai pengertian tanah pertanian sebagai berikut; tanah pertanian ialah juga semua tanah perkebunan, tambak untuk perikanan, tanah 4 Effendi Perangin, 1979, Hukum Agraria I, FH Universitas Indonesia, Jakarta, hlm.56.
5 tempat pengembalaan ternak, tanah belukar bekas ladang dan hutan yang menjadi tempat mata pencaharian bagi yang berhak. Kebijakan masalah tanah telah diatur juga secara tegas dalam Undang- Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) yang berbunyi: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kebijakan masalah tanah telah diatur juga secara terperinci dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). Tujuan ditetapkannya UUPA adalah: a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur; b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan; c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hakhak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 menentukan bahwa: 1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. 2. Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) Pasal ini meliputi:
6 a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah; b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; c. Pemberian surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Dengan demikian terdapat 2 (dua) pengertian yaitu: pendaftaran tanah yang merupakan kegiatan pemerintah untuk mengukur, memetakan dan membukukan tanah-tanah yang terdapat di wilayah Republik Indonesia dan kegiatan pendaftaran terhadap hak-hak atas tanah seseorang berikut memelihara pendaftarannya serta menyelenggarakan administrasi peralihan hak atas tanah tersebut. 5 Surat tanda bukti hak atas tanah tersebut menurut PP No. 24 Tahun 1997 disebut sebagai sertipikat yang merupakan salinan atau kutipan dari buku tanah. Sertipikat sesuai dengan arti harfiahnya adalah suatu tulisan yang menunjukkan tanda bukti yang diberikan terhadap sesuatu yang sudah melalui suatu penelitian atau proses tertentu. Melihat begitu pentingnya sertipikat dan pendaftaran tanah dalam hal jual beli tanah, maka pemerintah mengatur secara tegas dalam ketentuan Pasal 1 angka 24 PP No. 24 Tahun 1997 bahwa: Pejabat Pembuat Akta Tanah selanjutnya disebut PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu. Pada Pasal 7 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 menentukan bahwa: Untuk desa-desa dalam wilayah yang terpencil Menteri dapat menunjuk PPAT Sementara. PPAT Sementara berdasarkan Pasal 1 angka 2 PP No. 37 Tahun 1998 adalah Pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT. Pejabat 5 Rusmadi Murad, 2007, Menyingkap Tabir Masalah Pertanahan, Mandar Maju, Bandung, hlm.25.
7 Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas sebagai PPAT Sementara adalah Camat. Pasal 37 PP No. 24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa peralihan hak atas tanah melalui jual beli hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat PPAT yang berwenang menurut Peraturan Perundang-undangan. Dibuatnya akta peralihan hak tersebut mensyaratkan pihak yang memindahkan hak dan pihak yang menerima hak harus menghadap PPAT. Kenyataannya masih ada jual beli tanah pertanian yang belum bersertipikat tanpa adanya peran serta PPAT bahkan tanpa adanya peran serta Camat, contohnya ada di Kecamatan Batang, Kecamatan Tulis dan Kecamatan Subah di Kabupaten Batang Provinsi Jawa Tengah. 6 Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah belum terlaksana secara maksimal. Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana praktek jual beli tanah pertanian yang belum bersertipikat di Kabupaten Batang Provinsi Jawa Tengah? 6 Hasil wawancara pra penelitian dengan Waluyo Staf PPAT Kecamatan Subah di Kantor Kecamatan Subah pada tanggal 10 Februari 2014, jam 09.00 WIB.
8 2. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan pembeli membeli tanah pertanian yang belum bersertipikat di Kabupaten Batang Provinsi Jawa Tengah? 3. Upaya hukum apa yang dapat dilakukan oleh pembeli dalam permasalahan hukum yang muncul karena tanah pertanian yang diperjual belikan tersebut belum bersertipikat? Penulis telah mengadakan kajian di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dengan mencari judul penelitian Jual Beli Tanah Pertanian Yang Belum Bersertipikat Di Kabupaten Batang Provinsi Jawa Tengah belum ada yang membahas. Adapun judul yang terkait secara tidak langsung dengan tema yang diangkat yaitu: PRAKTEK JUAL BELI TANAH DIBAWAH TANGAN DI KELURAHAN KRIWEN KECAMATAN SUKOHARJO KABUPATEN SUKOHARJO. 7 Penelitian tersebut menekankan pada pembahasan: 1. Bagaimanakah bentuk-bentuk peralihan hak milik atas tanah melalui jual beli tanah di bawah tangan di Kelurahan Kriwen, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo. 2. Bagaimanakah konsekuensi dari jual beli tanah di bawah tangan tersebut bagi masyarakat Kelurahan Kriwen, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo yaitu mengenai bagaimana kekuatan hukum dari jual beli tanah di bawah tangan tersebut. 7 Budi Winanto, 2007, Praktek Jual Beli Tanah Dibawah tangan Di kelurahan Kriwen Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta.
9 Perbedaan penelitian ini dengan tesis Budi Winanto di atas, adalah: (1) Penelitian ini tidak membahas mengenai konsekuensi dan kekuatan hukum jual beli dibawah tangan bagi semua masyarakat, tetapi hanya membahas mengenai faktor-faktor yang menyebabkan kenapa pembeli membeli tanah pertanian yang belum bersertipikat di Kabupaten Batang Provinsi Jawa Tengah. (2) Penelitian ini menitikberatkan pada upaya hukum yang dilakukan oleh pembeli kalau jual beli tanah pertanian yang belum bersertipikat tersebut muncul permasalahan hukum. Berdasarkan penelitian di atas dapat dikatakan bahwa permasalahan yang diteliti pada penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu. Perbedaannya, penelitian ini menitikberatkan pada jenis tanah yang diteliti yaitu tanah pertanian yang belum bersertipikat, sedangkan penelitian terdahulu menitikberatkan pada macam hak-hak atas tanah. Apabila terdapat penelitian yang memiliki kesamaan dengan penelitian ini baik dari segi isi atau topik, maka penelitian ini merupakan pelengkap dari penelitian yang telah ada tersebut. 1. Untuk mengetahui dan menganalisis praktek peralihan tanah pertanian yang belum bersertipikat di Kabupaten Batang Provinsi Jawa Tengah.
10 2. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor kenapa pembeli membeli tanah pertanian yang belum bersertipikat di Kabupaten Batang Provinsi Jawa Tengah. 3. Untuk mengetahui dan menganalisis upaya hukum yang dilakukan oleh pembeli kalau jual beli tanah pertanian yang belum bersertipikat tersebut muncul permasalahan hukum. 1. Secara Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan ilmu kenotariatan pada khususnya, serta sebagai bahan kepustakaan bagi penelitian yang berhubungan dengan peralihan hak milik atas tanah pertanian yang belum bersertipikat melalui jual beli. 2. Secara Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan pengetahuan yang bermanfaat bagi warga di Kabupaten Batang tentang cara peralihan hak milik atas tanah pertanian yang belum bersertipikat melalui jual beli tanah yang dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum. 3. Secara Sosiologis Hasil penelitian ini dapat membantu masyarakat yang tidak mengetahui prosedur peralihan hak milik atas tanah yang belum bersertipikat melalui jual beli sehingga masyarakat datang ke PPAT untuk dapat lebih efisien, cepat dan tidak repot.