BAB I PENDAHULUAN. dibangun oleh suami dan istri. Ketika anak lahir ada perasaan senang, bahagia

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan penyalahgunaan narkoba di Indonesia akhir-akhir ini

BAB I. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri sehingga

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu akan mengalami perubahan pada dirinya baik secara fisik

BAB I PENDAHULUAN. Ada beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai resiliency pada

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 2004, bencana demi bencana menimpa bangsa Indonesia. Mulai

BAB I PENDAHULUAN. berbagai peran dalam kehidupannya, seperti menjadi suami atau istri bagi

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia ke arah globalisasi yang pesat, telah menjadikan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia diharapkan memiliki kemampuan untuk beradaptasi

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia memiliki hak untuk dapat hidup sehat. Karena kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Sejak awal tahun 2008, masalah kesehatan seringkali menjadi topik utama

BAB I PENDAHULUAN. maupun mental dengan pengaruh perubahan perilaku yang tidak disadari. Pola

THALASEMIA A. DEFINISI. NUCLEUS PRECISE NEWS LETTER # Oktober 2010

BAB I PENDAHULUAN. mendalam di seluruh dunia dikarenakan jumlah penderita autisme yang semakin

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan sumber daya yang memiliki potensi untuk dapat

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit kusta merupakan penyakit tertua di dunia yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. beragam. Hal ini didukung oleh berkembangnya ilmu pengetahuan, serta semakin

BAB I PENDAHULUAN jiwa, yang terdiri dari tuna netra jiwa, tuna daksa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Seiring dengan perkembangan zaman, masalah pun semakin kompleks, mulai

BAB I PENDAHULUAN. (rohani) dan sosial, dan bukan hanya suatu keadaan yang bebas dari penyakit,

BAB I PENDAHULUAN. dari panca indera lain. Dengan demikian, dapat dipahami bila seseorang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Kedua subyek sama-sama menunjukkan kemampuan problem solving, autonomy, sense of purpose and bright future.

BAB I PENDAHULUAN. suatu jenis penyakit yang belum diketahui secara pasti faktor penyebab ataupun

BAB I PENDAHULUAN. Francisca, Miss Indonesia 2005 menganggap pendidikan adalah hal yang tidak

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian mengenai efektivitas individual

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN. negara lain, tapi juga terjadi di Indonesia. Keberadaan perempuan, yang

BAB I PENDAHULUAN. pula dengan individu saat memasuki masa dewasa dini. Menurut Harlock (1980),

BAB I PENDAHULUAN. Namun, terkadang terdapat keadaan yang membuat manusia sulit untuk

BAB I PENDAHULUAN. Rumah Sakit pemerintah, fungsi sosial inilah yang paling menonjol. Menurut WHO,

BAB I PENDAHULUAN. memerhatikan kesehatannya, padahal kesehatan itu penting dan. memengaruhi seseorang untuk dapat menjalani kehidupan sehari-harinya

BAB I PENDAHULUAN. Pengasuhan oleh orang tua tunggal adalah salah satu fenomena di zaman

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan atau yayasan, orangtua, guru, dan juga siswa-siswi itu sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dapat berubah melalui pendidikan baik melalui pendidikan

Mengenal Penyakit Kelainan Darah

DATA PENUNJANG DAN KUESIONER RESILIENCY KATA PENGANTAR. ini saya sedang melakukan suatu penelitian deskriptif mengenai derajat Resiliency pada

BAB I PENDAHULUAN. makanan dan makanan bayi yang terkontaminasi oleh bakteri sampai penyakitpenyakit

BAB I PENDAHULUAN. adalah belajar/berprestasi, hormat dan patuh pada ayah-ibu. Jika peran setiap

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang tidak mencerminkan kehidupan keluarga yang utuh dan harmonis.

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Harapan Pada..., Agita Pramita, F.PSI UI, 2008

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu ilmu yang saat ini berkembang dengan pesat, baik secara teoritis

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dirawat di Rumah Sakit minimal selama 1 bulan dalam setahun. Seseorang yang

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia.

KUESIONER DATA PRIBADI DAN DATA PENUNJANG KATA PENGANTAR. adalah menyusun skripsi. Adapun judul skripsi ini adalah Studi Deskriptif tentang

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan suatu ikatan lahir dan batin antara pria dan wanita

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH. Olahraga merupakan suatu kegiatan yang melibatkan fisik dan mental

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Juga

BAB I PENDAHULUAN. kualitas yang melayani, sehingga masalah-masalah yang terkait dengan sumber

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga merupakan suatu sistem sosial yang terdiri dari sejumlah individu yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Setiap pasangan memiliki harapan serta keinginan-keinginan menjalani

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

Social competence. Ps tinggi. W tinggi. Kyi tinggi

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dengan populasi penduduk sebesar jiwa pada data

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Masyarakat berlomba-lomba untuk memenuhi kebutuhan tersebut agar

BAB I PENDAHULUAN. Globalisasi yang terjadi di seluruh dunia menyebabkan tingkat persaingan

KATA PENGANTAR. Angket ini berisi daftar pernyataan yang berhubungan dengan penelitian yang

BAB I PENDAHULUAN. pasangan suami istri, dengan harapan anak mereka akan menjadi anak yang sehat,

BAB I PENDAHULUAN. Dengan keberhasilan itulah, individu berharap memiliki masa depan cerah yang

ABSTRAK. iii. Universitas Kristen Maranatha

BAB I. Saat ini banyak bermunculan berbagai jenis penyakit sehingga membuat. banyak orang merasa cemas. Salah satu jenis penyakit tersebut adalah

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis. Oleh karena itu, pemeliharaan kesehatan merupakan suatu upaya. pemeriksaan, pengobatan atau perawatan di rumah sakit.

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga merupakan unit terkecil masyarakat yang diawali dengan. pasangan akan berupaya mewujudkan mimpi mereka.

BAB I PENDAHULUAN. Hal tersebut berdampak pada rendahnya angka partisipasi pendidikan (APK)

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini banyak bermunculan berbagai jenis penyakit yang tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. tidak berfungsi dan dapat menyebabkan kematian. Menurut Organisasi Kesehatan

5. KESIMPULAN, DISKUSI, SARAN

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya yang tidak dapat mereka atasi. Masalah yang sering membuat

LAMPIRAN. repository.unisba.ac.id

Abstrak. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB 1 PENDAHULUAN. di kota-kota lain di Indonesia. Tidak memandang dari status sosial mana individu

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan adalah hak setiap orang merupakan salah satu slogan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupannya. Seseorang yang mengalami peristiwa membahagiakan seperti dapat

BAB I PENDAHULUAN. Mengakhiri abad ke-20 dan mengawali abad ke-21 ini ditandai oleh

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal,

BAB I PENDAHULUAN. Ketika dua orang memasuki perkawinan, mereka mengikat komitmen untuk saling

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupannya, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. pernikahan, keluarga yang harmonis adalah dambaan setiap orang. Semua ini bisa

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. Semua orangtua berharap dapat melahirkan anak dengan selamat dan

BAB I PENDAHULUAN. dengan bertambahnya usia. Semakin bertambahnya usia maka gerak-gerik, tingkah

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi dalam dunia medis, telah membawa banyak

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat dilihat berdasarkan data dari Badan Narkotika Nasional (BNN), tercatat

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan akhir kehidupan. Dalam proses tersebut, manusia akan mengalami tahap

BAB I PENDAHULUAN. hatinya lahir dalam keadaan yang sehat, dari segi fisik maupun secara psikis atau

BAB I. Sehat adalah anugerah Tuhan yang tidak ternilai harganya dan tetap dalam

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

LAMPIRAN 1. Blue Print Kuisioner. Dukungan Sosial

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera utara

BAB I PENDAHULUAN. Kanker tidak hanya menyerang orang dewasa, tetapi anak-anak juga dapat

BAB I PENDAHULUAN. Syndrome atau yang dikenal dengan HIV/AIDS saat ini merupakan global health

DATA PRIBADI. Nama : Jenis Kelamin : Tempat/Tanggal Lahir : Usia : Anak ke- : dari saudara. Pendidikan : Agama : Hobi : Nama Ayah : Nama Ibu :

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak adalah hadiah yang diberikan Tuhan kepada sebuah keluarga yang dibangun oleh suami dan istri. Ketika anak lahir ada perasaan senang, bahagia karena mendapat peran baru sebagai orang tua namun di lain sisi orang tua juga mulai merasa khawatir dengan tanggung jawab mereka dalam mendidik, mengasuh dan membimbing anak-anaknya. Terkadang orang tua diliputi pertanyaan mengenai apakah saya dapat menjadi orang tua yang baik bagi anakanak saya? atau apakah saya mampu menjalankan peran sebagai orang tua? Kondisi ini menuntut orang tua untuk dapat mengerahkan energi, waktu dan pikirannya untuk kepentingan perkembangan anak-anaknya. Situasi yang demikian bisa dihayati sebagai suatu perubahan besar dalam hidup mereka, karena sebelumnya mereka telah memiliki berbagai peran dalam kehidupannya, seperti menjadi suami atau istri bagi pasangannya atau menjadi seseorang yang bekerja atau pemimpin di sebuah organisasi atau bekerja secara mandiri. Di masyarakat peran ayah dalam sebuah keluarga sering diidentikkan sebagai sosok yang menjaga dan melindungi keluarga agar terasa aman dan nyaman, baik bagi pasangan maupun bagi anak-anaknya. Hal ini berkaitan dengan tanggung jawab ayah sebagai pencari nafkah yang dituntut untuk mencukupi kebutuhan keluarga dan tugas-tugas kepemimpinannya di dalam keluarga, 1

2 sedangkan ibu lebih berperan pada kemampuannya untuk memelihara, merawat, mengasuh dan melakukan aktivitas rumah tangga lainnya berkaitan dengan anak. Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa ayah cenderung berperan sebagai sosok yang mencari nafkah sedangkan ibu sebagai figur yang mengasuh dan merawat. Diharapkan dalam masyarakat tidak ada lagi benturan mengenai perbedaan peran yang kontras antara ayah dan ibu. Ayah dan ibu memiliki peran yang sama penting dalam pengasuhan dan perawatan anak, yang memiliki tujuan akhir untuk mengoptimalkan perkembangan anak baik secara fisik maupun secara mental (www.groups.yahoo.com, diakses 21 juni 2010). Terutama bila anak yang hadir dalam keluarga tersebut tidak terlahir secara normal dalam artian anak tersebut membawa penyakit tertentu, memiliki kelainan atau cacat secara fisik ataupun mental. Pengasuhan dan perawatan yang dilakukan orang tua menjadi sangat penting, karena berfungsi sebagai tolak ukur kualitas hidup anak mereka selanjutnya. Bila dikaitkan dengan kondisi anak yang memiliki penyakit genetik seperti Thalasemia, maka perawatan serta pengasuhan yang dilakukan orang tua menjadi lebih kompleks dan tidak mudah dilakukan. Thalasemia adalah sekelompok gejala atau penyakit keturunan yang diakibatkan karena kegagalan pembentukan salah satu dari empat rantai asam amino yang membentuk hemoglobin, sebagai bahan utama darah. Darah manusia terdiri dari plasma dan sel darah yang berupa sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit) dan keping darah merah (trombosit). Seluruh sel darah dibentuk oleh sumsum tulang, sementara hemoglobin merupakan salah satu pembentuk sel darah merah. Hemoglobin terdiri dari 4 rantai asam amino (2 rantai amino alpha

3 dan 2 rantai amino beta) yang bekerja bersama-sama untuk mengikat dan mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. (www.dradio1034fm.or.id, diakses 20 Mei 2010). Rantai asam amino inilah yang gagal dibentuk sehingga menimbulkan Thalasemia, dengan kata lain sel sel darah tidak mengandung cukup hemoglobin (www.groups.yahoo.com, diakses 21 Mei 2010). Oleh sebab itu penderita Thalasemia harus dibantu dengan transfusi darah secara berkala untuk menambah hemoglobin dalam tubuhnya. Thalasemia terbagi menjadi 2 jenis yaitu Thalasemia minor dan mayor Thalasemia. Thalasemia minor (trait/carier), penderita Thalasemia jenis ini hanya sebagai pembawa sifat tidak memerlukan transfusi darah namun tetap mewariskan gen Thalasemia kepada anak-anaknya.thalasemia mayor, penderita memerlukan transfusi darah secara rutin dan bila tidak dirawat maka umur anak tidak akan panjang (www.waspada.co.id, diakses 10 Mei 2010). Sampai saat ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit Thalasemia, oleh sebab itu anak menjalani transfusi setiap bulan agar memperpanjang harapan hidup. Transfusi darah dilakukan secara rutin seumur hidup anak, dalam rentang waktu paling umum adalah 3-4 minggu sekali. Seorang anak Thalasemia diibaratkan seperti makhluk penghisap darah (vampir), mereka membutuhkan transfusi darah agar mereka tidak menjadi anemia, pucat, lemas, sulit tidur, rewel dan sulit makan. Transfusi yang dilakukan secara terus menerus mengakibatkan menumpuknya zat besi dalam tubuh anak sehingga dapat merusak organ-organ vital namun apabila anak tidak mendapatkan transfusi darah secara berkala maka kehidupan anak Thalasemia hanya akan bertahan 1 sampai dengan 8 tahun.

4 Penumpukan zat besi yang berlebihan ini juga mengakibatkan tubuh anak menghitam, selain itu bentuk fisik anak berbeda dengan anak pada umumnya, misalnya bentuk wajah yang cekung, badan yang lebih kurus dan kecil, perut buncit, hidung masuk ke dalam (pesek), gigi cenderung maju kedepan (tonggos). Perbedaan ciri fisik ini tidak hanya membuat anak merasa minder dan enggan sekolah namun juga membuat orang tua merasa sedih dan minder apalagi bila anak mereka berjenis kelamin perempuan (kesehatan.kompas.com, diakses 11 Mei 2010) Anak-anak yang menderita Thalasemia sudah mulai melakukan transfusi sejak usia kurang dari 1 tahun, tidak hanya transfusi mereka juga harus disuntik untuk memperkecil akumulasi zat besi dalam tubuhnya mengunakan Desferal (nama dagangnya). Desferal ini berbentuk kubus dan berukuran sebesar buku tulis digunakan sebelum atau sesudah transfusi, selama 5 jam dan dilakukan 12 kali dalam 1 bulan. Harga desferal ini sangat mahal oleh sebab itu tidak semua orang tua memiliki alat ini dirumah namun bisa meminjamnya dari Rumah Sakit. Selain transfusi darah, kelasi besi, anak-anak yang menderita Thalasemia juga harus menelan obat-obat yang berukuran besar dalam jumlah yang banyak dan pahit rasanya. Tidak semua anak menyukai atau cocok menggunakan desferal, tidak semua anak juga patuh dan mau transfusi atau minum obat, padahal bila tidak dilakukan akan berbahaya bagi anak. Dalam kondisi ini orang tua dituntut untuk dapat menemukan cara agar anak mau minum obat dan melakukan transfusi. Selain itu anak Thalasemia juga tidak boleh sakit, walaupun hanya flu atau batuk karena dapat menurunkan hemoglobin (Hb), tidak hanya itu terlalu letih, merasa

5 sedih atau memikirkan sesuatu yang berat juga bisa mempengaruhi kondisi hemoglobin (Hb) anak. Dengan bertambahnya usia anak maka jumlah darah yang diperlukan juga bertambah, selain itu jangka waktu transfusi juga semakin dekat dan mulai sulit diprediksi. Ketidakpastian jadwal transfusi anak terkadang membuat orang tua mengalami kesulitan, karena biaya untuk transfusi darah tidak murah, orang tua harus menghabiskan uang sampai jutaan rupiah untuk sekali transfusi (berkaitan dengan pembelian darah, transfusion set, jarum suntik dan pemeriksaan laboratorium, obat, ruangan/tindakan). Dalam situasi yang tidak pasti ini, orang tua tetap harus menemukan satu solusi agar anak bisa transfusi orang tua bisa meminta bantuan kepada keluarganya untuk membantunya. Untuk biaya transfusi, saat ini Pemerintah Daerah telah mengeluarkan kebijakan untuk memberikan keringanan biaya. Adanya sumber bantuan yang disediakan lingkungan seharusnya bisa dimanfaatkan oleh orang tua untuk membantu dirinya. Bantuan yang diberikan Pemerintah tidak secara penuh karena ada beberapa item yang ditanggung oleh Rumah Sakit dan beberapa item lagi dibayar penuh. Orang tua merasa terbantu namun hal ini masih menjadi kesulitan yang utama bagi orang tua anak Thalasemia di Rumah Sakit X Bandung, berkaitan dengan pekerjaan orang tua yang sebagian besar adalah buruh. Berdasarkan wawancara singkat terhadap 20 orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit X Bandung berkaitan dengan kesulitan yang dihadapi oleh orang tua, ternyata sebanyak 16 orang tua (80%) merasa kesulitan dalam keuangan sedangkan 4 orang tua lainnya (20%) tidak merasa kesulitan

6 dalam keuangan. Walaupun sebagian pembiayaan sudah dibantu oleh pemerintah, para orang tua masih harus membayar uang fotokopi hasil laboratorium, biaya transportasi, biaya untuk makan kalau ternyata mereka harus menginap di Rumah Sakit. Selanjutnya sebanyak 15 orang tua (75%) merasa kesulitan membagi waktu, terutama ayah yang bekerja mereka harus ijin dari kantor, apabila bekerja sebagai buruh harian maka ayah tidak mendapatkan bayaran untuk hari tersebut, sedangkan 5 orang tua lainnya (25%) tidak merasa kesulitan dalam pembagian waktu. Berikutnya sebanyak 13 orang tua (65%) merasa kesulitan dengan sikap anak mereka yang Thalasemia misalnya anak menjadi rewel, sulit makan, tidak mau minum obat/transfusi sedangkan 7 orang tua lainnya (35%) merasa tidak kesulitan dalam menghadapi anak mereka yang Thalasemia. Selanjutnya sebanyak 10 orang tua (50%) merasa kesulitan dengan prosedur sebelum melakukan transfusi darah (prosedur ini dihayati sebagai kondisi yang melelahkan bagi orang tua) sedangkan 10 orang tua lainnya (50%) merasa tidak kesulitan dengan prosedur yang mereka jalani sebelum anak mereka transfuse darah. Mengenai penghayatan orang tua saat ini tentang kondisi anak mereka yang Thalasemia, diperoleh hasil sebanyak 14 orang tua (70%) merasa takut atau cemas jikalau kondisi anak mereka memburuk secara tiba-tiba, misalnya Hemoglobin menjadi rendah sehingga sulit untuk bisa naik kembali karena demam atau flu dan merasa takut ketika mendengar berita tentang kematian anak Thalasemia dari orang tua lainnya sedangkan 6 orang tua lainnya (30%) tidak merasa cemas ataupun takut. Selanjutnya sebanyak 9 orang tua (45%) menyadari

7 adanya perasaan lelah secara fisik, bosan karena menghadapi rutinitas anak transfusi dan mengetahui bahwa transfusi yang dilakukan tidak bisa menyembuhkan anak mereka sedangkan 11 orang tua lain (55%) tidak merasa lelah ataupun bosan menghadapi rutinitas tersebut. Kondisi tersebut adalah fakta yang dihadapi oleh orang tua yang memiliki anak Thalasemia yang bisa dianggap sebagai suatu beban atau keadaan yang menekan bukan hanya secara moral namun juga secara material (adversity). Apabila keadaan tidak dapat ditangani oleh para orang tua maka tingkah laku yang tampil menjadi negatif, seperti orang tua melakukan pembiaran terhadap anak mereka yang Thalasemia - anak tidak dibawa ke dokter, tidak dilakukan perawatan medis seperti transfusi darah atau skrining sehingga mengakibatkan kematian anak. Orang tua yang memiliki anak Thalasemia harus tegar, kuat dan dapat berdamai dengan penyakit ini sehingga dapat memberikan dukungan bagi anak mereka yang mengalami Thalasemia. Agar orang tua bisa tegar dan kuat menghadapi kesulitan yang ada, diperlukan adanya Resiliensi. Resiliensi merupakan kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dan berfungsi secara baik di tengah situasi yang menekan atau banyak halangan dan rintangan (Bonnie Benard, 2004). Menurut Benard (2004) resiliensi terdiri dari empat aspek, yang pertama adalah social competence, problem solving skills, autonomy dan sense of purpose and bright future. Dengan social competence orang tua diharapkan akan mampu menjalin relasi dengan baik di lingkungannya walaupun ia sendiri menghadapi situasi yang melelahkan atau kesulitan sebagai

8 orang tua anak Thalasemia. Kedua, problem solving skills dalam hal ini orang tua diharapkan dapat mengatasi kesulitan yang ia hadapi dengan melihat dan mencari solusi yang tepat dan mengambil kesempatan yang terbuka di lingkungannya. Aspek ketiga adalah autonomy, orang tua yang memiliki anak Thalasemia diharapkan memiliki kemandirian dan kontrol terhadap lingkungan sehingga merasa yakin bahwa perawatan yang ia berikan merupakan perawatan yang terbaik bagi anaknya. Aspek selanjutnya sense of purpose and bright future, orang tua yang memiliki anak thalasemia diharapkan memiliki keyakinan dan harapan yang positif tidak putus asa berkaitan dengan kondisi anak mereka yang Thalasemia. Resiliensi yang tinggi menjadikan orang tua yang memiliki anak Thalasemia dapat bertahan dalam menjalani kehidupannya walaupun berada dalam situasi yang menekan. Dengan demikian orang tua yang memiliki anak Thalasemia dapat berperilaku positif kepada dirinya sendiri, anaknya yang Thalasemia, pasangan dan lingkungannya. Berdasarkan survei awal yang dilakukan peneliti kepada 20 Orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit X Bandung maka diperoleh data sebagai berikut: sebanyak 13 ayah (65%) menyatakan dapat menjalin relasi sosial dengan lingkungan sekitar mereka, saling bertukar informasi, dan saling membantu ketika mengalami masalah dengan alat transfusi (infus) atau desferal, ini menunjukkan ayah memiliki social competence tinggi. Bagi 7 ayah lainnya (35%), keluarga (orang tua) sulit paham tentang kondisi anak mereka sehingga membuat para ayah enggan bercerita lebih lanjut, ini menunjukkan ayah memiliki social competence rendah. Sebanyak 17 ayah (85%) menyatakan mau bertanya

9 atau mencari informasi tentang penanganan anak Thalasemia kepada sesama orang tua yang memiliki anak Thalasemia atau dokter-suster, mau mencoba menjalani pengobatan secara tradisional (obat-obat herbal), menunjukkan ayah memiliki problem solving tinggi. Berbeda dengan 3 ayah lainnya (15%) menyatakan tidak tahu harus bertanya atau mencari informasi tentang anak Thalasemia, enggan mencoba obat-obat tradisional, menunjukkan ayah memiliki problem solving rendah. Sebanyak 16 ayah (80%), menyatakan bahwa dengan kondisi anak mereka yang Thalasemia mereka menjadi orang yang tabah dan kuat, ini menunjukkan ayah memiliki autonomy tinggi. Bagi 4 ayah lainnya (20%), menyatakan dirinya tidak berarti, merasa malu memiliki anak Thalasemia dan terkadang juga merasa tidak percaya diri, ini menunjukkan ayah memiliki autonomy rendah. Sebanyak 17 ayah (85%) percaya akan adanya mukjizat, dan yakin bahwa Tuhan punya rencana besar untuk anak mereka, menunjukkan ayah memiliki sense of purpose and bright future tinggi. Berbeda dengan 3 ayah lainnya (15%) yang merasa pesimis dan tidak yakin akan masa depan anak mereka nantinya, menunjukkan ayah memiliki sense of purpose and bright future rendah. Selanjutnya sebanyak 18 ibu (90%) menyatakan dapat menjalin relasi sosial dengan lingkungan sekitar mereka, saling bertukar informasi, dan saling membantu ketika mengalami masalah dengan alat transfusi (infus) atau desferal, ini menunjukkan ibu memiliki social competence tinggi. Bagi 2 ibu lainnya (10%) keluarga (orang tua) sulit paham tentang kondisi anak mereka sehingga membuat para ibu enggan bercerita lebih lanjut, ini menunjukkan ibu memiliki social

10 competence rendah. Sebanyak 17 ibu (85%), menyatakan mau bertanya atau mencari informasi tentang penanganan anak Thalasemia kepada sesama orang tua yang memiliki anak Thalasemia atau dokter-suster, mau mencoba menjalani pengobatan secara tradisional (obat-obat herbal), menunjukkan ibu memiliki problem solving tinggi. Bagi 3 ibu lainnya (15%) menyatakan tidak tahu harus bertanya atau mencari informasi tentang anak Thalasemia, enggan mencoba obatobat tradisional, menunjukkan ibu memiliki problem solving rendah. Sebanyak 17 ibu (85%), menyatakan bahwa dengan kondisi anak mereka yang Thalasemia mereka menjadi orang yang tabah dan kuat, ini menunjukkan ibu memiliki autonomy tinggi, sedangkan 4 ibu lainnya (20%), menyatakan dirinya tidak berarti, merasa malu memiliki anak Thalasemia dan terkadang juga merasa tidak percaya diri, ini menunjukkan ibu memiliki autonomy rendah. Sebanyak 18 ibu (90%) percaya akan adanya mukjizat, dan yakin bahwa Tuhan punya rencana besar untuk anak mereka, menunjukkan sense of purpose and bright future tinggi. Berbeda dengan 2 ibu lainnya (10%) yang merasa pesimis dan tidak yakin akan masa depan anak mereka nantinya, menunjukkan sense of purpose and bright future rendah. Berdasarkan penjelasan yang dikemukakan di atas ditemukan resiliensi yang berbeda-beda dari orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit X Bandung. Adanya variasi tersebut dapat dipengaruhi oleh penghayatan orang tua akan Protective factor dan kebutuhan dasar yang di terimanya dari lingkungan (Benard, 2004). Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih

11 lanjut mengenai bagaimana derajat resiliensi pada orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit X Bandung. 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka dari penelitian ini ingin diketahui derajat resiliensi pada orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit X Bandung. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk memperoleh gambaran mengenai derajat resiliensi pada orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit X Bandung. 1.3.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh gambaran mengenai derajat resiliensi, protective factor dan kebutuhan dasar pada orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit X Bandung. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis Memberikan tambahan informasi mengenai resiliensi pada orang tua yang memiliki anak Thalasemia, terutama untuk bidang Psikologi

12 Klinis dan Psikologi keluarga yang memandang keluarga sebagai sebuah sistem, dalam rangka memperkaya materi tentang resiliensi. Memberikan sumbangan informasi kepada peneliti dan mahasiswa lainnya yang membutuhkan bahan acuan untuk melakukan penelitian lanjut mengenai resiliensi. 1.4.2 Kegunaan Praktis Memberikan informasi kepada orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit X Bandung, agar dapat mengembangkan dan menyesuaikan diri lebih baik. Memberikan informasi mengenai resiliensi kepada lingkungan keluarga, sesama orang tua yang memiliki anak Thalasemia dan pihak Rumah Sakit X Bandung, sehingga dapat memberikan dukungan pada orang tua yang memiliki anak Thalasemia untuk menyesuaikan diri dengan situasi yang ada sehingga membantu kondisi anak mereka yang harus melakukan transfusi darah. 1.5 Kerangka Pikir Orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit X Bandung, berada dalam rentang usia 24-44 tahun yang termasuk dalam tahapan perkembangan dewasa. Dalam tahap perkembangan dewasa menjadi orang tua dan keluaga dengan anak, merupakan fase ketiga dalam siklus kehidupan

13 keluarga. Memasuki fase ini menuntut orang dewasa untuk menjadi pemberi kasih sayang untuk generasi yang lebih muda. Untuk dapat melalui fase yang panjang ini secara sukses, dituntut komitmen waktu sebagai orang tua, pemahaman peran sebagai orang tua dan penyesuaian diri dengan perubahan perkembangan anak (Santrock, 1993). Permasalahan yang muncul dalam fase ini adalah permasalahan mengenai tanggung jawab, seperti menolak atau tidak mampu berfungsi sebagai orang tua yang kompeten bagi anak. Ketika orang tua yang memiliki anak Thalasemia menolak atau tidak bisa berfungsi sebagai orang tua maka kondisi ini dapat memperburuk kondisi anak mereka yang Thalasemia. Anak Thalasemia membutuhkan komitmen orang tua dalam merawat dan mengasuh mereka, selain membutuhkan biaya untuk transfusi, orang tua juga harus terus memonitor tumbuh kembang si anak. Terkait dengan bentuk fisiknya yang berbeda dengan anak pada umumnya, maka orang tua harus jeli melihat apakah perkembangan tersebut normal/umum bagi anak Thalasemia, selain itu orang tua juga harus mengontrol agar anak tidak makan makanan yang mengandung zat besi, sehingga tidak terjadi penumpukan zat besi akibat asupan makanan, orang tua juga harus bisa menjaga agar Hb anak tidak menurun drastis (adversity). Tidak hanya itu panjangnya prosedur yang harus dilalui oleh orang tua ketika akan transfusi menjadi kesulitan tersendiri dan dirasakan melelahkan bagi orang tua, terutama bagi ayah yang mengurus administrasi untuk transfuse dan orang tua juga harus bisa membagi perhatian mereka untuk anak lainnya. Dalam kondisi yang demikian dibutuhkan kemampuan orang tua untuk dapat menyesuaikan diri secara

14 positif dan berfungsi secara baik di tengah situasi yang menekan (adversity) tersebut. Kemampuan orang tua untuk dapat menyesuaikan diri secara positif dan berfungsi secara baik di tengah situasi yang menekan (advesity), banyak halangan dan rintangan disebut resiliensi (Benard, 2004). Resiliensi mencakup empat aspek, yaitu social competence, problem solving skills, autonomy dan sense of purpose and bright future (Benard, 2004). Social competence merupakan kemampuan orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit X Bandung untuk dapat memunculkan respon positif dari keluarga atau orang lain, menyatakan pendapat/pandangannya tanpa menyakiti orang lain, menangani konflik, memahami dan peduli pada perasaan serta pandangan keluarga, membantu dan meringankan beban orang lain sesuai dengan yang mereka butuhkan serta cenderung mampu memaafkan diri sendiri, keluarga atau orang lain. Problem solving skills merupakan kemampuan orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit X Bandung untuk dapat merencanakan, melihat alternatif solusi, menemukan solusi yang tepat, mengenali sumber-sumber di lingkungan, berinisiatif mencari bantuan serta kesempatan yang tersedia untuk mengatasi permasalahannya. Autonomy, merupakan kemampuan orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit X Bandung untuk dapat menilai diri mereka secara positif, bertanggung jawab terhadap tugas, menghayati dalam mengendaikan lingkungan/pelaksanaan tugas, memiliki keyakinan bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk mencapai hasil yang diinginkan, memiliki kompetensi,mampu untuk memotivasi diri, memiliki kemampuan secara

15 emosional untuk menolak pernyataan negatif tentang dirinya, merefleksikan diri, melakukan reframing dalam memandang diri/pengalaman dalam cara yang positif dan memiliki rasa humor. Sense of purpose and bright future, merupakan kemampuan orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit X Bandung untuk dapat mengarahkan dan mempertahankan motivasinya dalam mencapai tujuan, memiliki hobi yang dapat menghibur ketika menghadapai kesulitan, memiliki optimisme dan harapan akan masa depan yang lebih baik serta memiliki keyakinan secara religius yang membuatnya optimis dan memiliki harapan. Derajat resiliensi pada orang tua yang memiliki anak Thalasemia berbedabeda, tidak terlepas dari peran faktor yang mendukung dan melindungi mereka dari tekanan (adversity) yang disebut dengan protective factors yang ada sejak orang tua anak Thalasemia berada dalam suatu keluarga atau ketika mereka menjadi anggota dalam suatu komunitas. Protective factor terdiri dari caring relationships, high expectation messages, opportunities to participate and contribution yang diberikan keluarga, sesama orang tua yang memiliki anak Thalasemia dan dokter-suster Dukungan dari keluarga (pasangan dan orang tua) berupa hubungan yang dekat dan hangat antar anggota keluarga, serta perhatian dan kasih sayang tanpa syarat akan membuat orang tua yang memiliki anak Thalasemia merasa diperhatikan, didengar dan spesial (caring relationships). Begitu juga dengan keyakinan positif yang diberikan keluarga (pasangan dan orang tua) kepada orang tua yang memiliki anak Thalasemia berkaitan dengan pesan verbal dan nonverbal

16 dari keluarga mengenai kemampuan orang tua yang memiliki anak Thalasemia dalam mengatasi kesulitan, serta memberikan semangat, akan membuat orang tua yang memiliki anak Thalasemia termotivasi untuk memenuhi harapan tersebut (high expectations). Selain itu pemberian kesempatan dan kontribusi dalam memecahkan masalah mereka sendiri atau pengambilan keputusan dan partisipasi dalam diskusi keluarga (pasangan dan orang tua) bisa membuat orang tua yang memiliki anak Thalasemia merasa diri mereka masih dibutuhkan (Opportunities for participation and contribution). Berikutnya dukungan dari komunitas sesama orang tua yang memiliki anak Thalasemia lingkungan Rumah Sakit X Bandung beserta dokter-suster, Hubungan yang hangat, perasaan dimengerti, didengar tanpa dihakimi, bantuan dalam mengambil keputusan-keputusan penting yang diberikan komunitas ini akan memberikan perasaan aman, dihargai, dimengerti bagi orang tua yang memiliki anak Thalasemia (caring relationships). Keyakinan postif dari komunitas terhadap kemampuan orang tua yang memiliki anak Thalasemia dalam beradaptasi dan tetap produktif walaupun sedang berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan (stressfull) juga dibutuhkan oleh orang tua yang memiliki anak Thalasemia (High expectations). Selain itu harapan yang diberikan komunitas bahwa orang tua yang memiliki anak Thalasemia mampu mendidik anaknya dapat memberikan kekuatan bagi orang tua yang memiliki anak Thalasemia untuk bertahan dan terus maju mencari berbagi alternatif untuk mempertahankan kondisi anaknya. Komunitas ini juga bisa memberikan kesempatan kepada orang tua yang memiliki anak Thalasemia untuk mengikuti aktivitas bersama dalam kelompok.

17 Orang tua yang memiliki anak Thalasemia juga dapat memberikan kontribusinya kepada komunitasnya ini melalui pemberian informasi mengenai hal-hal yang lebih mereka ketahui tentang penyakit Thalasemia ini. Selain itu orang tua juga dapat sharing tentang suka-duka atau hal apa saja yang bisa dilakukan bila ada di antara komunitas yang memiliki keadaan yang sama dengannya (Opportunities for participation and contribution) Seiring dengan hal-hal di atas, apabila orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit X Bandung mendapatkan Caring relationships, High expectation messages serta Opportunities for participation and contribution yang diberikan keluarga (pasangan dan orang tua), sesama orang tua anak Thalasemia dan dokter-suster maka akan timbul penghayatan dalam diri orang tua yang memiliki anak Thalasemia bahwa mereka dicintai, dihargai, tidak berjuang sendiri, serta merasa mampu melakukan sesuatu hingga berhasil, dan merasa berguna bagi lingkungannya. Dengan memiliki penghayatan demikian maka kebutuhan dasar orang tua yang memiliki anak Thalasemia akan rasa aman, rasa dihormati, rasa mandiri, mampu dan berarti terpenuhi. Dengan adanya penghayatan orang tua akan protective factors yang diterima dan kebutuhan dasar yang terpenuhi, maka akan meningkatkan derajat resiliensi dari orang tua yang memiliki anak Thalasemia tersebut. Orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit X Bandung yang memiliki derajat resiliensi tinggi dalam aspek social competence maka orang tua yang memiliki anak Thalasemia akan dapat memunculkan respon positif dari keluarga atau orang lain, menyatakan pendapat/pandangannya tanpa menyakiti

18 orang lain misalnya menyampaikan ketidakpuasan terhadap pelayanan Rumah Sakit tanpa membuat tersinggung pihak Rumah Sakit, mampu menangani konflik, memahami dan peduli pada perasaan serta pandangan keluarga misalnya memahami keletihan yang pasangan rasakan ketika mengantri nomor urut atau mengerti kesakitan, kebosanan yang dirasakan anak mereka ketika harus ditransfusi secara terus menerus, mampu membantu dan meringankan beban orang lain sesuai dengan yang mereka butuhkan serta mampu memaafkan diri sendiri, keluarga atau orang lain. Orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit X Bandung yang memiliki derajat resiliensi tinggi dalam aspek problem solving skills, akan memiliki kemampuan untuk dapat merencanakan sesuatu misalnya jadwal kegiatan harian anaknya agar tidak keletihan, mampu melihat alternatif solusi yang tersedia sehingga tidak terpaku pada satu solusi dan pada akhirnya menemukan solusi yang tepat misalnya mencari cara bagaimana bisa membayar uang sekolah anak sedangkan diwaktu yang sama anak yang Thalasemia membutuh uang untuk transfusi, orang tua mampu menemukan dan mengambil bantuan serta kesempatan yang tersedia untuk mengatasi permasalahannya, misalnya ketika mengalami kesulitan ia bisa bertanya kepada sesama orang tua yang memiliki anak Thalasemia. Orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit X Bandung yang memiliki derajat resiliensi tinggi dalam aspek autonomy, maka orang tua yang memiliki anak Thalasemia dapat menilai diri mereka secara positif misalnya memandang diri sebagai orang yang kuat dan tabah, merasa yakin terhadap

19 kemampuan diri serta merasa memiliki kemampuan dalam suatu bidang (merasa kompeten) misalnya mengatur keuangan keluarga, mampu memotivasi diri sehingga menghayati bahwa usaha yang ia lakukan itu bermanfaat bagi kondisi anaknya. Selain itu orang tua yang memiliki autonomy tinggi juga memiliki kemampuan secara emosional untuk menolak pernyataan negatif tentang dirinya, mampu untuk merefleksikan diri, melakukan reframing sehingga menyadari adanya perasaan letih, bosan dalam merawat anak mereka yang Thalasemia namun tetap mampu berfungsi sebagaimana mestinya dan mampu mengubah kondisi diri yang negatif (letih, bosan, marah, sedih) menjadi sesuatu yang lebih menyenangkan bagi dirinya dan lingkungan (humor). Orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit X Bandung yang memiliki derajat resiliensi tinggi dalam aspek sense of purpose and bright future maka orang tua yang memiliki anak Thalasemia akan mampu mengarahkan dan mempertahankan motivasinya dalam mencapai tujuan, dalam hal ini tujuan orang tua adalah mempertahankan kondisi anak agar tetap fit sehingga dapat meningkatkan kualitas hidupnya (melakukan transfusi berkala atau menghindari makanan yang banyak mengadung zat besi), dan berusaha agar anak tidak sesering mungkin melakukan transfusi. Selain itu orang tua juga mampu untuk melepaskan diri dari rutinitasnya dan beralih untuk melakukan sesuatu yang mereka sukai (hobi), memiliki keyakinan secara religius, dalam artian yakin bahwa apa yang mereka hadapi saat ini karena mereka (orang tua) adalah orangorang pilihan atau spesial sehingga membuat orang tua optimis serta memiliki harapan positif mengenai anak mereka yang Thalasemia.

20 Jika orang tua yang memiliki anak thalasemia tidak menghayati adanya protective factor yang diberikan keluarga (pasangan dan orang tua), sesama orang tua yang memiliki anak Thalasemia dan dokter-suster maka orang tua akan merasa dirinya sendiri sehingga terancam, ditolak, merasa tidak mampu melakukan sesuatu dan merasa tidak berarti sebagai orang tua sehingga kebutuhan dasar orang tua juga tidak terpenuhi yang akan melemahkan atau menurunkan derajat resiliensi dari orang tua yang memiliki anak Thalasemia. Orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit X Bandung yang memiliki derajat resiliensi rendah dalam aspek social competence maka orang tua kurang dapat memunculkan respon positif dari keluarga atau orang lain, mampu menyatakan pendapat/pandangannya namun menyakiti orang lain, menyampaikan ketidakpuasan terhadap pelayanan Rumah Sakit dengan cara tidak sopan atau penuh amarah, kurang mampu menangani konflik - lebih memilih untuk menghindari, kurang memahami dan peduli pada perasaan serta pandangan keluarga misalnya kurang memahami keletihan yang pasangan rasakan ketika mengantri nomor urut atau kurang mengerti kesakitan, kebosanan yang dirasakan anak mereka ketika harus ditransfusi secara terus menerus, kurang bersedia membantu dan meringankan beban orang lain merasa dirinya dalam kesulitan juga, kurang mampu memaafkan diri sendiri, keluarga atau orang lain. Orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit X Bandung yang memiliki derajat resiliensi rendah dalam aspek problem solving skills, maka orang tua kurang mampu merencanakan sesuatu misalnya tidak membatasi kegiatan harian anaknya sehingga anak menjadi keletihan, terpaku pada satu

21 solusi kurang mau melihat alternatif solusi yang lainnya dan akhirnya kurang menemukan solusi yang tepat misalnya merasa bingung ketika mencari cara bagaimana bisa membayar uang sekolah anak sedangkan diwaktu yang sama anak yang Thalasemia membutuh uang untuk transfusi, orang tua yang memiliki anak Thalasemia kurang mampu menemukan dan mengambil bantuan serta kesempatan yang tersedia untuk mengatasi permasalahannya, misalnya ketika mengalami kesulitan tidak tahu harus bertanya kepada siapa. Orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit X Bandung yang memiliki derajat resiliensi rendah dalam aspek autonomy, maka orang tua yang memiliki anak Thalasemia kurang dapat menilai diri mereka secara positif misalnya masih memandang diri sebagai orang lemah, merasa kurang yakin terhadap kemampuan diri serta kurang memiliki kemampuan dalam suatu bidang (merasa kompeten) misalnya kurang bisa mengatur keuangan keluarga, kurang mampu memotivasi diri sehingga menghayati bahwa usaha yang ia lakukan itu tidak mengubah kondisi anaknya. Selain itu orang tua yang memiliki autonomy rendah juga kurang memiliki kemampuan secara emosional untuk menolak pernyataan negatif tentang dirinya, kurang mampu untuk merefleksikan diri serta melakukan reframing sehingga kurang menyadari adanya perasaan letih, bosan dalam merawat anak mereka yang thalasemia sehingga sering jengkel ketika merawat anak dan kurang mampu mengubah kondisi diri yang negatif (letih, bosan, marah, sedih) menjadi sesuatu yang lebih menyenangkan bagi dirinya dan lingkungan (humor).

22 Orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit X Bandung yang memiliki derajat resiliensi rendah dalam aspek sense of purpose and bright future maka orang tua yang memiliki anak Thalasemia kurang mampu mengarahkan dan mempertahankan motivasinya dalam mencapai tujuan, dalam hal ini tujuan orang tua adalah mempertahankan kondisi anak agar tetap fit. Selain itu orang tua juga kurang mampu untuk melepaskan diri dari rutinitasnya dan beralih untuk melakukan sesuatu yang mereka sukai (hobi), kurang memiliki keyakinan secara religius, dalam artian kurang yakin bahwa apa yang mereka hadapi saat ini karena mereka (orang tua) adalah orang-orang pilihan atau karena kutukan sehingga membuat orang tua kurang optimis serta kurang memiliki harapan positif mengenai anak mereka yang Thalasemia. Adanya kondisi yang menekan (adversity), pada orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit X Bandung, maka diperlukan adanya resiliensi dalam diri orang tua. Resiliensi dapat membantu orang tua untuk dapat menyesuaikan diri secara positif dan mampu bertahan sekalipun dalam situasi yang menekan sehingga bisa memberikan dukungan secara moral terhadap anaknya yang mengalami Thalasemia. Uraian diatas dapat digambarkan dengan bagan kerangka pemikiran sebagai berikut :

23 Protective Factor (Community and Family) Caring relationship High expectations Opportunities for participation and contribution Aspek Resiliensi : - Social Competence - Problem Solving Skills - Autonomy - Sense Of Purpose and bright future Orang tua Adversity (situasi yang menekan) Memiliki anak thalasemia Kebutuhan dasar : - Rasa aman - Rasa dihormati - Rasa mandiri - Mampu - Berarti Resiliensi Resiliensi Tinggi Resiliensi Rendah 1.1 Skema Kerangka Pemikiran

24 1.6 Asumsi Penelitian Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka dapat ditarik sejumlah asumsi sebagai berikut : 1. Memiliki anak Thalasemia dalam sebuah keluarga dapat menjadi suatu keadaan yang menekan (adversity). 2. Resiliensi pada orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit X Bandung dipengaruhi oleh protective factor dan situasi yang menekan (adversity) 3. Orang tua yang memiliki anak Thalasemia Di Rumah Sakit X Bandung yang menghayati adanya protective factor dari keluarga (pasangan dan orang tua), sesama orang tua yang memiliki anak Thalasemia, dan dokter-suster akan memiliki derajat resiliensi yang tinggi 4. Protective factor yang diterima dari keluarga (pasangan dan orang tua), sesama orang tua yang memiliki anak Thalasemia, dan doktersuster akan memfasilitasi terpenuhinya kebutuhan dasar orang tua yang memiliki anak Thalasemia. 5. Derajat resiliensi yang dimiliki oleh orang tua yang memiliki anak Thalasemia di Rumah Sakit X Bandung, bervariasi terlihat melalui aspek-aspeknya yaitu : social competence, problem solving skill, autonomy dan sense of pupose and bright future.