A. PENYEBAB TERJADINYA KRISISI PENGUNGSI

dokumen-dokumen yang mirip
A. DASAR HUKUM JERMAN DALAM MENYUSUN KEBIJAKAN MENGENAI PENGUNGSI

BAB I PENDAHULUAN. krisis pengungsi di Eropa pada tahun Uni Eropa kini sedang

bilateral, multilateral maupun regional dan peningkatan henemoni Amerika Serikat di dunia. Pada masa perang dingin, kebijakan luar negeri Amerika

BAB III PROBLEMATIKA KEMANUSIAAN DI PALESTINA

Lampiran. Timeline Konflik Yang Terjadi Di Suriah Kekerasan di kota Deera setelah sekelompok remaja

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu,

BAB I PENDAHULUAN. sama-sama hidup dalam suatu ruang yaitu globus dan dunia. 1 Globalisasi yang terjadi

BAB V KESIMPULAN. Sebelum dipimpin oleh Erdogan, Hubungan Turki dengan NATO, dan Uni

BAB I PENDAHULUAN. Migrasi merupakan salah satu kekuatan sejarah yang telah membentuk dunia.

Kebijakan Jerman Terhadap Krisis Pengungsi Eropa Tahun

BAB I PENDAHULUAN. melakukan mobilisasi atau perpindahan tanpa batas yang menciptakan sebuah

BAB V KESIMPULAN. dasawarsa terakhir ini dengan dilumpuhkannya beberapa pemimpin-pemimpin dictator

BAB VI. 6.1 Kesimpulan Strategi Suriah dalam menghadapi konflik dengan Israel pada masa Hafiz al-

BAB I PENDAHULUAN. dibanding dengan subyek-subyek hukum internasional lainnya 1. Sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Mesir, Libya, Bahrain, Yaman, Irak, dan Suriah. 1

SEKILAS UNI EROPA SWEDIA FINLANDIA ESTONIA LATVIA LITHUANIA DENMARK INGGRIS BELANDA IRLANDIA POLANDIA JERMAN BELGIA REPUBLIK CEKO SLOWAKIA HONGARIA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN. European Coal and Steel Community (ECSC), European Economic. Community (EEC), dan European Atomic Community (Euratom), kemudian

BAB IV KESIMPULAN. Dalam bab ini, penulis akan menuliskan kesimpulan dari bab-bab. sebelumnya yang membahas mengenai kelompok pemberontak ISIS dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan sebuah negera besar dengan posisi strategis tepat

RechtsVinding Online Pengaturan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi di Indonesia serta Peraturan yang Diharapkan

Westget Mall diperkirakan merupakan supermarket milik Israel yang sering dikunjungi orang-orang asing.

Demokratisasi di Mesir (Arab Spring) Ketiga dapat dikatakan benar. Afrika Utara dan Timur Tengah mengalami proses demokrasi

SEJARAH PEPERANGAN ABAD MODERN DOSEN : AGUS SUBAGYO, S.IP., M.SI

BAB V KESIMPULAN. Tenggara, yakni Association South East Asian Nations atau yang dikenal

BAB I PENDAHULUAN. Berakhirnya perang dunia kedua menjadi titik tolak bagi beberapa negara di Eropa

BAB I PENDAHULUAN. menyejajarkan atau menyetarakan tingkat hidup dan masyarakat tiap-tiap bangsa

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125 TAHUN 2016 TENTANG PENANGANAN PENGUNGSI DARI LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

sanksi terhadap intensi Kiev bergabung dengan Uni Eropa. Sehingga konflik Ukraina dijadikan sebagai instrumen balance of power di Eropa Timur.

BAB IV OPINI PUBLIK SEBAGAI PENYEBAB INGGRIS KELUAR DARI UNI EROPA

BAB I PENDAHULUAN. Pada tanggal 17 Februari 2008 yang lalu, parlemen Kosovo telah

RESUME SKRIPSI. Dalam pergaulan internasional setiap negara tidak. bisa melepaskan diri dari hubungan atau kerjasama antar

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

PENGARUH AIPAC TERHADAP KEBIJAKAN AMERIKA SERIKAT PASCA PERISTIWA 11 SEPTEMBER 2001

BAB I PENDAHULUAN. antara Negara Penerima dengan United Nations High Commissioner for

BAB V KESIMPULAN. satu pemicu konflik. Sebelum Yaman Unifikasi mereka terbelah menjadi dua

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. mengatasi konflik di Sampit, melalui analisis sejumlah data terkait hal tersebut,

Dalam pandangan Ikhwan, mereka mempunyai hubungan bersahabat sejak era pendiri kerajaan, Raja Abdul Aziz al Saud, bahkan sampai saat ini.

BAB V KESIMPULAN. menjalar ke Suriah merupakan akar dari konflik berkepanjangan yang terjadi di Suriah.

BAB V PENUTUP. Tesis ini berupaya untuk memberikan sebuah penjelasan mengenai

BAB I PERANAN LIGA ARAB DALAM USAHA MENYELESAIKAN KONFLIK DI SURIAH. Organisasi yang bertujuan untuk menciptakan perdamaian antar negara-negara

Tidak hanya di Indonesia, Amerika bermain hampir di semua kawasan negeri Islam.

BAB V. Kesimpulan. Identitas ini menentukan kepentingan dan dasar dari perilaku antar aktor. Aktor tidak

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan

yang dihadapi pasukan mereka. Tingginya jumlah korban jiwa baik dari pihak sipil maupun pasukan NATO serta besarnya dana yang harus dialirkan menjadi

mengakibatkan potensi ancaman dan esklasi konflik. Eskalasi konflik di kawasan mulai terlihat dari persaingan anggaran belanja militer Cina, Korea

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN

Pidato Bapak M. Jusuf Kalla Wakil Presiden Republik Indonesia Pada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa Ke-71 New York, 23 September 2016

1. DARI IDEOLOGI HINGGA TERORISME

HUKUMAN MATI NARAPIDANA NARKOBA DAN HAK ASASI MANUSIA Oleh : Nita Ariyulinda *

BAB I PENDAHULUAN. Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang

BAB V KESIMPULAN. Islam, telah membawa pengaruh dala etnis dan agama yang dianut.

BAB V KESIMPULAN. wilayah, tindakan atas hak dan kewajiban yang dilakukan di laut baik itu oleh

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 (Hamburg, 27 April 1979)

PERSAINGAN EKONOMI INDONESIA KEPERCAYAAN KONSUMEN TERTINGGI NOMOR 3 DI DUNIA INDEKS KEPERCAYAAN KONSUMEN SEBESAR 115

BAB I PENDAHULUAN. yang stabil dalam hal politik maupun ekonomi. Oleh sebab itu, para imigran yang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Saat ini Yunani sedang mengalami Krisis Ekonomi akibat akumulasi hutang

Lampiran 1. Daftar Pertanyaan dan Jawaban atas Wawancara yang Dilakukan Kepada Beberapa Narasumber:

KETERLIBATAN INGGRIS DALAM UPAYA PENYELESAIAN PERANG SOMALIA TAHUN

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

negara-negara di Afrika Barat memiliki pemerintahan yang lemah karena mereka sebenarnya tidak memiliki kesiapan politik, sosial, dan ekonomi untuk

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Orang-Orang Tanpa Kewarganegaraan. Melindungi Hak-Hak

Sudan masuk list negara teroris?

BAB I PENDAHULUAN. dan membantu kelompok yang sangat rentan ini.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Eropa Pasca Perang Dingin.

BAB II SKEMA HUBUNGAN KERJASAMA UNI EROPA DALAM PILAR JUSTICE AND HOME AFFAIRS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

BAB III FENOMENA GELOMBANG PENGUNGSI DI EROPA TAHUN (DePillis, Saluja, & Lu, 2015). Orang orang tersebut tidak memiliki pilihan lain

PRESS RELEASE. 1 P a g e. PLACE: Geneva DATE: 10 December UNHCR News

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME. Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA

Perspektif Hukum Internasional atas Tragedi Kemanusiaan Etnis Rohingya Hikmahanto Juwana

BAB V PENUTUP KESIMPULAN. Rangkaian perjalanan sejarah yang panjang terhadap upaya-upaya dan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. memberi perlindungan dan mencari solusi jangka panjang bagi pengungsi, UNHCR telah menempuh upaya-upaya khususnya:

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam hal ini adalah Amerika. Setelah kemenangannya dalam Perang

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

"Indonesia Bisa Jadi Masalah Baru Bagi Asia"

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

1. PENDAHULUAN. meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia

Bab I : Kejahatan Terhadap Keamanan Negara

Distr.: Terbatas 15 Oktober Asli: Bahasa Inggris

BAB I PENDAHULUAN. Berakhirnya Perang Dingin menyebabkan munculnya perubahan mendasar

BAB II UNITED NATION HIGH COMISSIONER FOR REFUGEES (UNHCR) DAN PENANGANAN MASALAH PENGUNGSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap negara di dunia memiliki cita-cita dan tujuan utama untuk

RESUME. Amerika Latin merupakan salah satu wilayah di dunia. yang mengalami dinamika sosial-politik yang menarik.

EUROPEAN UNION PERHIMPUNAN MASYARAKAT EROPA

A. SEJARAH MASA PEMERINTAHAN NAZI

Dalam bidang ekonomi, krisis keuangan yang menimpa negara-negara Eropa seperti Portugal

Peranan hamas dalam konflik palestina israel tahun

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

3. Dalam memahami konflik di Timur Tengah terdapat faktor ideologi, energi, otoritarianisme, geopolitik, dan lainnya.

I. PENDAHULUAN. Keputusan migrasi didasarkan pada perbandingan untung rugi yang berkaitan

BAB III SIKAP NEGARA ANGGOTA UNI EROPA TERHADAP KRISIS MIGRAN

DUA BELAS FAKTA DAN KEKELIRUAN TENTANG KONVENSI MUNISI TANDAN (Convention on Cluster Munitions)

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

PERBANDINGAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI AMERIKA SERIKAT TERHADAP NEGARA- NEGARA ISLAM PADA MASA PEMERINTAHAN GEORGE WALKER BUSH DAN BARACK OBAMA RESUME

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

BAB II KRISIS PENGUNGSI DI EROPA Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai krisis pengungsi di Eropa yang terjadi pada tahun 2015. Uraian mengenai krisis pengungsi di bagi dalam beberapa sub-bab yaitu yang pertama adalah faktor penyebab terjadinya krisis pengungsi di Eropa yang terbagi menjadi dua yakni konflik politik di kawasan Timur Tengah dan kondisi perekonomian di negara-negara Asia dan Afrika yang kurang baik. Sub-bab berikutnya akan menjelaskan mengenai gambaran krisis pengungsi di Eropa, meliputi asal pengungsi, rute-rute yang di lewati kemudian jumlah pengungsi yang memasuki kawasan Eropa. A. PENYEBAB TERJADINYA KRISISI PENGUNGSI Banyak yang mengatakan bahwa fenomena krisis pengungsi di Eropa merupakan fenomena yang pertama kali dihadapi Eropa. Akan tetapi, sangat jelas jikalau fenomena krisis pengungsi ini bukanlah krisis pengungsi yang pertama kali dialami negara-negara Eropa. Pada abad ke- 20, Eropa mengalami gelombang pengungsi terbesar sepanjang masa. Gelombang pengungsi ini merupakan bagian dari migrasi paksa terkejam sepanjang sejarah yang diakibatkan oleh Perang Dunia II. Sebagian besar gelombang migrasi pada masa tersebut merupakan bentuk dari ethnic cleansing. Istilah ethnic cleansing atau pembersihan etnis merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan fenomena pengusiran masal, deportasi, dan atau pembunuhan yang dilakukan kepada 17

anggota sebuah kelompok etnis atau agama tertentu yang tidak diinginkan di masyarakat (Andreopoulos, 2016). Pembersihan etnis ini merupakan bagian dari aksi genosida di Eropa yang bertujuan untuk memusnahkan etnis Yahudi dan etnis lainnya yang tidak diinginkan dari Eropa (Dragostinova, 2016). Pengusiran dan pemindahan secara paksa ini disebabkan oleh konflik antara blok Poros dan blok Sekutu pada masa itu. Pada awal tahun 2015, gelombang pengungsi yang memasuki kawasan Uni Eropa kembali mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Peningkatan jumlah pengungsi yang tiba di Eropa pada tahun 2015 merupakan jumlah terbesar pasca krisis pengungsi di Eropa pada masa Perang Dunia ke II. Ada beberapa faktor yang dianggap menyebabkan krisis pengungsi di Eropa tahun 2015, yakni adanya konflik politik berkepanjangan di negara-negara Timur Tengah, serta kondisi perekonomian yang tidak stabil di beberapa negara. 1. Konflik Politik di Kawasan Timur Tengah Migrasi memiliki sejarah panjang yang melibatkan berbagai motif dan insentif. Pada tahun 2011, fenomena arus migrasi semakin memburuk akibat adanya konflik-konflik politik di beberapa negara Asia dan Afrika. Ketidakstabilan kondisi politik di beberapa kawasan, khususnya pemberontakan di negara-negara Arab sejak tahun 2011 yang menyebabkan konflik berkepanjangan, serta kemunculan kelompok teroris ISIS di Timur Tengah menjadi pemicu meningkatnya jumlah populasi 18

imigran yang meninggalkan negaranya dan berusaha memasuki kawasan Eropa. Arab Spring merupakan fenomena transisi politik yang dialami oleh negara-negara Arab, dimana terjadi demonstrasi besar-besaran yang menuntut dilakukannya reformasi politik dan pergantian terhadap rezim yang dianggap diktator. Masyarakat di negara-negara Arab ingin menggulingkan rezim yang berkuasa karena dianggap menjalankan pemerintahan dengan semena-mena dan menyengsarakan rakyat. Fenomena transisi politik ini bermula di Tunisia, ditandai dengan adanya demonstrasi besar-besaran oleh rakyat Tunisia yang meminta Ben Ali (pemimpin Tunisia selama 23 tahun) untuk turun dari kursi pemerintahan (Mullins, 2016). Fenomena ini pun merambah ke berbagai negara di Timur Tengah seperti Mesir, Yaman, Suriah dan lain sebagainya dengan tuntutan yang sama, yaitu menjatuhkan rezim pemerintahan yang sedang berkuasa. Mayoritas imigran merupakan pengungsi yang datang dari Suriah. Suriah menjadi salah satu penggerak terbesar gelombang migrasi yang memasuki kawasan Eropa. Perang sipil yang terjadi di Suriah selama hampir 6 tahun ini tidak menunjukkan tanda-tanda akan segera berakhir. Perang ini bermula pada tahun 2011, ketika protes dan demonstrasi bermunculan akibat fenomena Arab Spring yang kemudian berkembang menjadi konflik bersenjata setelah Presiden Suriah, Bashar al-assad melakukan tindak kekerasan dalam menghadapi tuntutan rakyat yang menginginkan ia diturunkan dari kursi pemerintahan (CBS News, 2011). Konflik di Suriah menjadi semakin runyam tatkala demonstrasi tersebut 19

berubah menjadi perang saudara dan ditambah keterlibatan pihak-pihak lainnya. Di satu sisi, kelompok teroris ISIS juga melakukan pembunuhan, penyiksaan dan berbagai bentuk tindakan kejahatan lainnya terhadap penduduk sipil Suriah. Konflik berkepanjangan di Suriah ini menjadi penyumbang terbesar pengungsi yang tiba di Eropa, dengan angka lebih dari separuh keseluruhan permintaan suaka yang diterima negara-negara Uni Eropa. Kurang lebih empat juta penduduk Suriah meninggalkan negaranya sejak konflik politik tersebut terjadi di tahun 2011. Sebagian besar warga negara Suriah yang melarikan diri dari konflik politik berkepanjangan di negaranya berakhir di kamp-kamp pengungsian di negara tetangga Suriah seperti Libanon, Yordania dan Turki. Akan tetapi, kondisi domestik negara-negara tetangga Suriah itu pun kurang stabil. Bahkan, kamp-kamp pengungsian di negara-negara tersebut sudah melampaui kapasitas yang ada dan kekurangan biaya untuk menangani pengungsi yang ada. Nasib para pengungsi yang ada di kampkamp tersebut menjadi tidak pasti. Melihat adanya ketidakpastian akan kelangsungan hidupnya, banyak pengungsi yang memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Eropa demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik. 2. Kondisi Perekonomian Konflik berkepanjangan di negara-negara Timur Tengah merupakan pemicu terbesar meningkatnya arus pengungsi yang tiba di Eropa. Akan tetapi, ada motif-motif lain yang mendasari orang untuk 20

bermigrasi ke Eropa. Motif ekonomi menjadi salah satu alasan mereka bermigrasi. Imigran yang berasal dari semenanjung Balkan seperti Kosovo, Albania dan Serbia serta negara-negara Afrika Barat seperti Gambia dan Nigeria bermigrasi ke Eropa dikarenakan adanya kesulitan perekonomian, minimnya lapangan pekerjaan dan kemiskinan di negara asalnya. Mereka melakukan perjalanan ke Eropa sebagai imigran dengan harapan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Mereka yang bermigrasi ke Eropa dengan alasan ekonomi tidak bisa dikategorikan sebagai pengungsi, karena mereka bukanlah orangorang yang melarikan diri dari perang dan kekerasan di negara asalnya (Worley, 2016). Orang-orang yang bermigrasi ke Eropa dengan tujuan mendapatkan kehidupan yang lebih baik dalam aspek ekonomi termasuk dalam kategori migran ekonomi. Akan tetapi, migran ekonomi menyumbang hampir separuh jumlah imigran yang masuk ke Eropa sejak tahun 2015 lalu. B. GAMBARAN KRISIS PENGUNGSI TAHUN 2015-2016 Fenomena migrasi di Eropa bukanlah sebuah fenomena baru. Arus migrasi besar-besaran telah terjadi di Eropa selama beberapa dekade lamanya. Eropa sudah lama menjadi destinasi populer bagi arus migrasi global. Gelombang pengungsi sebagai bagian dari fenomena migrasi mengalami peningkatan yang cukup tajam akibat adanya Perang Dunia I dan Perang Dunia II. 21

Uni Eropa kini kembali berada di tengah gelombang krisis imigran. Eropa sedang dihadapi dengan fenomena mixed-migration atau migrasi campuran yang meliputi migran ekonomi, pencari suaka dan pengungsi. Menurut Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi, pengungsi merupakan seseorang yang dikarenakan oleh ketakutan yang beralasan akan penganiayaan, yang disebabkan oleh alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial tertentu dan keanggotaan partai politik tertentu, berada diluar negara kebangsaannya dan tidak menginginkan perlindungan dari negara tersebut (UNHCR, 2010). Pencari suaka merupakan orang yang sudah mengajukan permohonan suaka dan sedang menunggu keputusan terhadap klaimnya dari negara tempat ia mengajukan permohonan suaka tersebut (Refugee Council, 2017). Sementara itu, migran ekonomi adalah suatu istilah yang diberikan kepada orang yang berpindah dari satu negara ke negara lain dalam rangka memperbaiki taraf hidupnya (Semmelroggen, 2015). Krisis pengungsi di Eropa bermula pada tahun 2014, berawal dari adanya peningkatan jumlah pengungsi yang ingin mencari perlindungan di negara-negara Eropa melalui Laut Mediterania maupun melalui wilayah Turki. Kebanyakan pengungsi datang dari negara-negara dengan kondisi perpolitikan yang tidak stabil dan bahkan sedang dilanda perang, seperti kawasan Timur Tengah, Afrika, dan negara-negara di semenanjung Balkan. Menurut UNHCR, jumlah pencari suaka yang masuk ke kawasan Eropa melalui Laut Mediterania pada tahun 2016 mencapai angka 362,376 (UNHCR, 2017). Berdasarkan data kedatangan pengungsi yang 22

dikeluarkan oleh UNHCR tersebut, juga dapat dilihat bahwa pengungsi terbanyak yang masuk ke kawasan Eropa melalui Laut Mediterania sejak 1 Januari 2016 berasal dari Suriah (23%), disusul oleh Afghanistan (12%), Nigeria (11%), serta Iraq (8%) (UNHCR, 2017). Total permintaan suaka di Eropa dari pengungsi Suriah sendiri sudah mencapai angka 884.461, tercatat sejak April 2011 sampai dengan Oktober 2016 dengan Jerman dan Swedia sebagai negara tujuan terbesar (UNHCR, 2017). Menurut data yang dipublikasikan oleh UNHCR, sebesar 58% dari keseluruhan imigran yang memasuki kawasan Eropa lewat jalur laut pada tahun 2015 berjenis kelamin laki-laki berusia 18 tahun atau lebih, 25% adalah anak-anak di bawah umur (Clayton & Holland, 2015). Istilah krisis pengungsi mulai muncul ketika terjadi peristiwa tenggelamnya lima kapal yang mengangkut ribuan pengungsi yang ingin mencapai daratan Eropa pada bulan 2015 lalu. Tenggelamnya kapal-kapal di Laut Mediterania ini menyebabkan lebih dari 1.200 pengungsi kehilangan nyawanya (UNHCR, 2015). Momentum ini menjadi penanda akan peningkatan arus pengungsi yang mencoba untuk memasuki wilayah Eropa demi mencari perlindungan. Para pengungsi yang tiba di Uni Eropa setelah melalui perjalanan laut maupun darat yang berbahaya membutuhkan bantuan kemanusiaan seperti bantuan kesehatan, tempat tinggal darurat dan bantuan hukum. Selain itu, orang-orang yang terpaksa meninggalkan negara asalnya ini kebanyakan adalah anak-anak yang membutuhkan bantuan perlindungan khusus. 23

Gambar 1: Kedatangan Pengungsi ke Uni Eropa Berdasarkan Kebangsaan (Sumber: UNHCR) Pertumbuhan besar arus imigran dan pengungsi yang memasuki kawasan Eropa menjadi tantangan tersendiri bagi Uni Eropa. Sebanyak 859.000 orang tercatat memasuki Yunani dan Italia secara ilegal selama Januari sampai dengan November tahun 2015. Angka tersebut merupakan dua kali lipat dari jumlah imigran dan pencari suaka di Eropa pada lima tahun sebelumnya digabungkan. Peningkatan arus pengungsi ini sebenarnya bermula dari pecahnya konflik di beberapa negara di kawasan Afrika Utara dan Timur Tengah. Pecahnya konflik di kawasan tersebut menyebabkan orang-orang yang 24

tinggal disana merasa tidak aman dan hidupnya terancam, sehingga mereka terpaksa keluar dari negaranya untuk mencari perlindungan di negara lain, termasuk negara-negara Eropa. Tidak semua pengungsi yang memasuki kawasan Eropa datang langsung dari negara asalnya. Sekitar 2 juta penduduk Suriah berada dalam status perlindungan sementara dari Turki. Begitu juga dengan ratusan ribu penduduk Afghanistan, Irak dan Pakistan yang tinggal di Turki tanpa kejelasan hukum sebelum mencari suaka ke Uni Eropa. Lebih dari satu juta penduduk Suriah mencari perlindungan ke negara-negara tetangganya seperti Libanon, Yordania dan Mesir. Negara-negara tersebut cenderung memiliki kondisi dalam negeri yang kurang stabil, menyebabkan sulitnya pengungsi yang berada disana untuk mencari pekerjaan, mendapatkan status yang jelas, mendapatkan hak untuk mengenyam pendidikan, dan lain sebagainya. Kesulitan-kesulitan tersebut menarik para pengungsi untuk mencari perlindungan yang lebih baik, dan alternatifnya adalah negara-negara Uni Eropa, menyebabkan angka kedatangan pengungsi di kawasan Eropa mengalami peningkatan yang tajam sejak beberapa tahun terakhir. Rute utama yang diambil oleh pengungsi ada dua, yaitu melalui jalur laut dan jalur darat. Jalur laut ditempuh melalui Laut Mediterania. Sementara jalur darat ditempuh melalui kawasan Turki dan Balkan (UNHCR, 2017). Kebanyakan pengungsi yang datang dari Suriah datang ke Eropa melalui Laut Mediterania kemudian sampai di Yunani. Para pengungsi yang berada di Turki melanjutkan perjalanan ke Eropa melewati 25

jalur darat dan sampai di Yunani maupun Italia. Rute Balkan Barat merupakan salah satu rute pilihan para pengungsi. Pengungsi masuk ke Eropa melalui perbatasan Turki dengan Yunani kemudian masuk melalui kawasan Makedonia dan Serbia menuju ke Hongaria. Rute ini biasanya digunakan oleh pengungsi yang berasal dari Suriah, Afganistan dan Iraq serta negara-negara Balkan seperti Kosovo. Pada tahun 2016, terdapat banyak permasalahan imigran pada perbatasan kawasan Eropa dimana tercatat lebih dari setengah juta imigran melintasi perbatasan secara ilegal. Dibandingkan dengan jumlah orang yang melintasi perbatasan secara ilegal di tahun 2015, yaitu sebanyak 1.8 juta jiwa, tentunya jumlah di tahun 2016 mengalami penurunan yang cukup signifikan. Akan tetapi, jumlah ini tetap menjadi jumlah tertinggi jika dibandingkan dengan jumlah kedatangan pada tahun 2010, yaitu sebanyak 104.060,jiwa maupun pada tahun 2014, yaitu sebanyak 282.933 jiwa (Frontex, 2017). Imigran-imigran tersebut, yang mayoritas merupakan pencari suaka, tidak memiliki akses legal untuk memasuki wilayah Uni Eropa. Hal ini disebabkan oleh adanya kebijakan Uni Eropa mengenai visa dan carrier sanction. Peraturan Uni Eropa mengenai visa tersebut mengharuskan warga negara non anggota Uni Eropa memiliki visa agar bisa mendapatkan akses masuk ke wilayah Uni Eropa, termasuk negaranegara penyumbang pengungsi terbesar seperti Suriah, Afghanistan dan Irak (European Council, 2001). Untuk menerbitkan visa, dibutuhkan pernyataan bahwasanya orang yang bersangkutan bersedia untuk kembali 26

ke negara asalnya. Padahal, di satu sisi, secara sah dijelaskan dalam hukum Uni Eropa maupun hukum internasional bahwa pengungsi atau pencari suaka merupakan orang yang membutuhkan perlindungan sehingga tidak memungkinkan bagi mereka untuk kembali ke negara asalnya. Selain itu, penerbangan komersil dan perusahaan pengiriman hanya diperbolehkan membawa masuk imigran yang memiliki dokumen lengkap ke dalam wilayah Uni Eropa. Apabila melanggar, maka akan dijatuhkan sanksi. Karena tidak adanya akses yang resmi, pengungsi mau tidak mau memilih akses ilegal dan terpaka menyelundup bahkan menjadi korban perdagangan manusia untuk masuk ke kawasan Uni Eropa melalui jalur yang berbahaya. Menurut data yang dikeluarkan oleh United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), para imigran ilegal mengeluarkan uang sebesar US$ 2,000 sampai dengan US $ 10,000 untuk sampai di Eropa (UNODC). Italia dan Yunani menjadi negara Eropa pertama yang dimasuki oleh ribuan orang yang datang ke Eropa untuk mencari suaka. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh UNHCR Operational Portal, pada tahun 2016 tercatat sebanyak 362.376 jiwa memasuki kawasan Eropa melalui jalur laut. Sebanyak 181.436 orang tiba di Italia pada tahun 2016 dan 9.419 orang per 15 Februari 2017 (UNHCR Operational Portal, 2017). Sementara itu, sebanyak 173.450 imigran tiba di Yunani pada tahun 2016 dan sebanyak 1.936 per 15 Februari 2017 (UNHCR Operational Portal, 2017). Tercatat total sebanyak 1.103.496 imigran dan pengungsi tiba di Eropa melalui jalur laut maupun darat mulai tahun 2015 sampai dengan 27

tahun 2016. Sebanyak 910.663 imigran tiba di Yunani dan 157.083 imigran berada di Italia. Menurut data yang dikeluarkan oleh Hellenic Coast Guard, pada 25 Januari 2016 terdapat lebih dari lima kecelakaan di lepas pantai Lesvos yang memerlukan misi pencarian dan penyelamatan. Pada Oktober 2013, lebih dari 300 imigran tewas di dekat pulau Lampedusa, Italia akibat kapal yang mereka tumpangi tenggelam di lautan. Polisi laut Italia hanya berhasil menyelamatkan sekitar 150 orang dari 500- an orang yang menumpangi kapal tersebut. Dengan adanya insiden tersebut, Italia mengambil sebuah tindakan dimana operasi tersebut dinamakan Operation Mare Nostrum. Operasi ini merupakan pencarian dan penyelamatan besar-besaran dalam rangka mencegah tewasnya imigran yang melakukan perjalanan ke Eropa. Akan tetapi Mare Nostrum tidak berlangsung lama. Operasi ini berakhir pada Oktober 2014 dimana beberapa negara anggota Uni Eropa menolak untuk memberikan bantuan biaya kepada Italia (Taylor, 2015). Pada periode pertama tahun 2015, Yunani menjadi negara anggota Uni Eropa pertama yang didatangi imigran. Imigran yang tiba di Italia dan Yunani kemudian mencari perlindungan di kedua negara tersebut. Akan tetapi, sebagian besar imigran hanya menjadikan Italia dan Yunani sebagai transit. Italia dan Yunani menjadi starting point bagi para imigran untuk melanjutkan perjalanan menuju negara Eropa bagian utara lain yang memiliki stabilitas ekonomi tinggi seperti Jerman, Swedia, dan negaranegara Skandinavia. Krisis imigran yang tadinya hanya merambah negara 28

Eropa yang berbatasan langsung dengan kawasan Timur Tengah, kini mulai menyebar ke negara-negara di jantung Uni Eropa. C. SIKAP NEGARA ANGGOTA UNI EROPA DALAM MENGHADAPI KRISIS PENGUNGSI 1. Tanggapan Uni Eropa Terhadap Krisis Pengungsi Bagan 1: Timeline tanggapan Uni Eropa terhadap Krisis Pengungsi pada Q1 tahun 2015 23 April 2015 Pertemuan khusus Dewan Eropa setelah tragedi di Mediterania pada April 2015 18 Mei 2015 Pembentukan Operasi Sophia (EUNAVFOR Med) 22 Juni 2015 Pelaksanaan Operasi Sophia 13 Mei 2015 Menyetujui European Agenda on Migration 27 Mei 2015 Usulan Pertama Komisi Eropa (Relokasi 40.000 pengungsi dari Italia dan Yunani, usulan bagi negara anggota untuk menerima 20.000 pengungsi) (Sumber: European Commission) Sejak pertengahan 2015, Uni Eropa mulai mengalami kesulitan dalam menangani krisis imigran yang sedang melanda kawasan tersebut. Uni Eropa, melalui pernyataan yang disampaikan oleh Komisi Eropa, menyatakan bahwa diperlukan tindakan sesegera mungkin untuk mengatasi tragedi kemanusiaan yang terjadi di Uni Eropa, khususnya di kawasan perbatasan terluar Uni Eropa. Fenomena 29

migrasi merupakan kesempatan sekaligus tantangan bagi Uni Eropa. Uni Eropa merasa perlu menyusun suatu tindakan yang terstruktur dalam menangani fenomena migrasi yang mampu membantu negara anggotanya untuk mengelola segala aspek migrasi dengan lebih baik. Komisi Eropa menyampaikan bahwasanya pengelolaan migrasi perlu ditingkatkan dalam segala aspek baik oleh Uni Eropa maupun seluruh negara anggota melalui agenda baru Uni Eropa yaitu European Agenda on Migration. Melalui agenda ini, Uni Eropa berusaha menekankan kembali nilai-nilai Eropa dan rasa akan adanya kewajiban moral untuk membantu imigran dan pengungsi. Manajemen migrasi merupakan tanggung jawab bersama negara-negara anggota Uni Eropa. Tidak hanya antar negara-negara anggota, tetapi juga negara-negara non anggota Uni Eropa yang menjadi negara persinggahan maupun negara asal pengungsi. Melalui European Agenda on Migration disampaikan bahwa Uni Eropa perlu mengambil tindakan segera untuk mencegah hilangnya nyawa para imigran yang melakukan perjalanan ke Eropa melalui jalur laut. Beberapa upaya yang dicanangkan Uni Eropa adalah sebagai berikut: a. Menyediakan bantuan dana tambahan bagi operasi penyelamatan dan pencarian yang dilakukan oleh Frontex b. Meningkatkan bantuan biaya bagi patroli perbatasan di laut Mediterania 30

c. Pemberian dana tambahan kepada Program Pengembangan dan Perlindungan Regional Uni Eropa d. Pemberian bantuan dana bagi negara-negara anggota Uni Eropa di perbatasan terluar Eropa yang terkena dampak dari krisis imigran (European Commission, 2015). Selain itu, Uni Eropa juga memberikan usulan mengenai sistem kuota pengungsi bagi negara-negara anggota Uni Eropa. Uni Eropa memutuskan untuk memindahkan 40.000 pengungsi yang berada di Yunani dan Italia ke negara-negara anggota Uni Eropa lainnya melalui sebuah sistem kuota yang ditentukan oleh ukuran dan kekayaan dari setiap negara anggota. Hal ini disampaikan oleh Komisi Eropa pada tanggal 27 Mei 2015. The relocation would be done according to a mandatory distribution key using objective and quantifiable criteria (40% of the size of the population, 40% of the GDP, 10% of the average number of past asylum applications, 10% of the unemployment rate). It applies to nationalities of applicants with an EU-wide average recognition rate of 75% or higher (European Commission, 2015). Komisi Eropa juga memberikan usulan kepada negara-negara anggota untuk bersedia menampung orang-orang yang membutuhkan perlindungan internasional yang berasal dari negara non anggota Uni Eropa selama lebih dari dua tahun. Sembilan negara di Eropa Tengah dan Timur nantinya akan menerima kurang lebih 10.000 sampai 31

dengan 20.000 pengungsi. Sementara Jerman dan Perancis yang mendukung keputusan tersebut akan menerima dua kali dari jumlah yang diterima negara lainnya. Negara-negara anggota Uni Eropa yang berpartisipasi dalam rencana tersebut akan mendapatkan bantuan finansial dari Uni Eropa (European Commission, 2015). Gambar 2: Relokasi Darurat Bagi Yunani, Italia dan Hongaria (Sumber: European Commission) Selain itu, pada kesempatan yang sama, Komisi Eropa juga mengajukan usulan lain terkait rencana Uni Eropa dalam mengatasi 32

penyelundupan imigran. Uni Eropa berencana melakukan tindakan tegas untuk mencegah dan juga melawan penyelundup imigran. Salah satunya adalah dengan bekerja sama dengan penyedia jasa internet maupun sosial media dalam memantau konten-konten yang tersebar melalui internet yang digunakan oleh penyelundup dalam mempromosikan aktivitasnya. Uni Eropa juga menjalankan sebuah operasi yang dinamakan dengan Operasi Sophia. Akibat adanya insiden kecelakaan kapal yang ditumpangi imigran Libya pada April 2015 lalu, Uni Eropa membentuk operasi militer yang dinamakan European Union Naval Force Mediterranean (EUNAVFOR Med) atau Operasi Sophia yang bertujuan untuk menetralisi rute-rute yang digunakan untuk menyelundupkan imigran di laut Mediterania pada 18 Mei 2015 (Palazzo, 2016). Operasi ini mulai berjalan pada 22 Juni 2015. Meskipun Uni Eropa telah mengupayakan berbagai cara untuk menangani krisis imigran, situasi di Eropa tak kunjung membaik. Upaya yang dicanangkan Uni Eropa tidak diimbangi dengan adanya dukungan dari sebagian negara-negara anggota Uni Eropa. Sebagian besar negara-negara pecahan Uni Soviet kerap kali melakukan penolakan terhadap upaya yang dicanangkan Uni Eropa dalam rangka mengatasi krisis yang ada. 33

2. Penolakan Beberapa Negara Anggota Uni Eropa terhadap Pengungsi Pada tanggal 9 September 2015, Komisi Eropa menyampaikan usulan kedua terkait penanganan krisis imigran. Usulan tersebut diantaranya: a. Usulan relokasi darurat Komisi Eropa mengajukan usulan untuk merelokasi 120.000 orang yang membutuhkan perlindungan internasional dari negara-negara terdepan Uni Eropa (negara yang terletak di perbatasan terluar Eropa, seperti Italia dan Yunani) ke negaranegara anggota lainnya. b. Mekanisme relokasi permanen bagi seluruh negara anggota Uni Eropa c. Menyepakati daftar negara-negara asal pengungsi yang termasuk dalam kategori aman (safe countries of origin) d. Kebijakan pengembalian pengungsi ke negara asal (return policy) yang lebih efektif (European Council, 2017). Uni Eropa menekankan akan pentingnya distribusi tanggung jawab antar negara anggota. Pemerataan penempatan pengungsi merupakan prioritas utama Uni Eropa dalam rangka menangani krisis imigran. Akan tetapi, usulan dari Uni Eropa yang disampaikan melalui Komisi Eropa tersebut ditolak oleh beberapa negara anggota, menyebabkan adanya perbedaan pendapat antar negara anggota. 34

Meningkatnya arus kedatangan imigran di Eropa memunculkan krisis kemanusiaan, menyebabkan Uni Eropa terpecah dalam bagaimana negara-negara anggota mengatasi para imigran. Ketika Uni Eropa berusaha sekeras mungkin untuk mengatasi krisis imigran secara efektif, beberapa negara anggota Uni Eropa mengambil sikap yang jauh berbeda dengan apa yang ingin dilakukan Uni Eropa. Hongaria menjadi salah satu negara yang menolak datangnya pengungsi ke negaranya, terlebih dengan adanya skema kuota yang diajukan oleh Uni Eropa. Perdana Menteri Hongaria, Viktor Orban, menutup perbatasan negaranya pada tahun 2015. Hongaria bersama dengan Serbia membangun pagar kawat berduri di sepanjang perbatasan Hongaria dengan Serbia dan Kroasia (Mortimer, 2016). Penutupan perbatasan ini pada dasarnya melanggar perjanjian Schengen yang dimana didalamnya disebutkan bahwa negara-negara Uni Eropa harus membuka perbatasannya (European Commission, 2014). Hongaria memilih penolakan terhadap pengungsi karena menurut Orban, pengungsi merupakan ancaman bagi keamanan Eropa. Kebijakan migrasi Eropa akan membawa Eropa dalam kehancuran apabila Uni Eropa terus-menerus menerima pengungsi. Sikap agresif Hongaria ini juga didukung oleh Republik Ceko, Slovakia dan Polandia (Jahn & Janicek, 2015). Keempat negara tersebut sama-sama melakukan penolakan terhadap usulan Komisi Eropa mengenai relokasi imigran dari negara-negara garis depan Eropa dan juga skema kuota pengungsi yang diajukan pada 27 Mei 2015 lalu. 35

Penolakan terhadap datangnya pengungsi sangat terlihat di Hongaria dan Polandia. Menurut beberapa hasil survei yang beredar, sebanyak 76% warga negara Hongaria dan 71% warga negara Polandia menolak kehadiran pengungsi di negaranya. Mereka beranggapan bahwa dengan meningkatnya jumlah pengungsi, maka tingkat aksi terorisme juga akan ikut meningkat. 61% warga negara Belanda dan 60% warga negara Italia juga beranggapan hal yang sama. Adanya nilai-nilai Islamophobia banyak mempengaruhi sentimen masyarakat Eropa terhadap pengungsi. Terlebih, para imigran dan pengungsi yang memasuki Eropa merupakan orang-orang yang berasal dari negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam (Poushter, 2016). Mayoritas masyarakat Eropa di Polandia, Hongaria, Yunani dan Italia beranggapan bahwa banyaknya jumlah pengungsi yang berasal dari Irak dan Suriah merupakan ancaman besar bagi negara mereka. Anggapan negatif terhadap pengungsi sejalan dengan anggapan negatif masyarakat Eropa terhadap Islam. 36

Bagan 2: Persentase Masyarakat Eropa yang Menganggap Pengungsi Suriah dan Irak Sebagai Ancaman Masyarakat Eropa menganggap Pengungsi Suriah dan Irak sebagai Ancaman Swedia Jerman Belanda Spanyol Perancis Inggris Italia Hongaria Yunani Polandia Persentase (%) 0 20 40 60 80 (Sumber: Spring 2016 Global Attitudes Survey) Tak hanya itu, beberapa negara di Eropa beranggapan bahwasanya imigran dan pengungsi merupakan beban bagi masyarakat. Masyarakat Eropa merasa bahwa imigran, termasuk pengungsi, merebut mata pencaharian dan keuntungan sosial yang seharusnya hanya didapatkan oleh warga negara tersebut. Banyak negara di Eropa yang merasa bahwa dengan hadirnya pengungsi di negara mereka tidak membawa perubahan yang baik bagi negaranya. Kehadiran pengungsi justru akan memperburuk keadaan yang ada. Meningkatnya keberagaman di masyarakat di anggap mampu menyebabkan permasalahan yang lebih kompleks di sebuah negara. 37