I. PENDAHULUAN. dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Lindung dan Hutan Produksi dengan pengertian sebagai berikut : a) Hutan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

19 Oktober Ema Umilia

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

PELESTARIAN HUTAN DAN KONSERFASI ALAM

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

TINJAUAN PUSTAKA. rendah, hutan gambut pada ketinggian mdpl, hutan batu kapur, hutan

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan aslinya (Hairiah, 2003). Hutan menjadi sangat penting

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan.

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

BAB I PENDAHULUAN. plasma nutfah serta fungsi sosial budaya bagi masyarakat di sekitarnya dengan

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar?

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

Disiapkan oleh Yayasan Ekosistem Lestari dan Walhi Jakarta, 13 Mei 2013

Berikut beberapa penyebab kepunahan hewan dan tumbuhan: 1. Bencana Alam

WANDA KUSWANDA, S.HUT, MSC

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. sebagai sebuah pulau yang mungil, cantik dan penuh pesona. Namun demikian, perlu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature

POTENSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA SATWALIAR PADA HUTAN KONSERVASI (Kasus : SM. Barumun, Sumatera Utara)

Kata kunci: Fungsi hutan, opini masyarakat, DAS Kelara

I. PENDAHULUAN. manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 14 TAHUN 2006 TENTANG PENETAPAN KAWASAN LINDUNG DI KABUPATEN PASURUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. Danau merupakan sumber daya air tawar yang berada di daratan yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki mega biodiversity

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha

BAB I PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya pengertian Taman Nasional adalah kawasan pelestarian

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam,

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

BAB I PENDAHULUAN. perbukitan rendah dan dataran tinggi, tersebar pada ketinggian M di

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Data tentang luas tutupan lahan pada setiap periode waktu penelitian disajikan pada

RENCANA STRATEGIS

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan daerah pertemuan antara ekosistem darat, ekosistem laut dan

I. PENDAHULUAN. rawa, hutan rawa, danau, dan sungai, serta berbagai ekosistem pesisir seperti hutan

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

PEMERINTAH KABUPATEN SINJAI KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI KABUPATEN SINJAI

NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

Oleh. Firmansyah Gusasi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KABUPATEN NGAWI

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN

Disampaikan Pada Acara :

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004),

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2004 TENTANG PENETAPAN DAN PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu

Transkripsi:

1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan dibagi ke dalam kelompok Hutan Konservasi, Hutan Lindung dan Hutan Produksi dengan pengertian sebagai berikut : a) Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Kawasan hutan konservasi terdiri dari Kawasan Hutan Suaka Alam dan Pelestarian Alam Darat, Kawasan Hutan Suaka Alam dan Pelestarian Alam Perairan serta Taman Burung. B) Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. C) Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Hutan Produksi terdiri dari Hutan Produksi Tetap (HP), Hutan Produksi Terbatas (HPT), dan Hutan Produksi yang dapat di Konversi (HPK). Sebagai bagian dari pembangunan, konservasi hutan merupakan upaya untuk melindungi dan melestarikan berbagai potensi sumberdaya hutan yang kita miliki. Berdasarkan UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam

2 Hayati dan Ekosistemnya, Hutan adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli yang dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan serta untuk menunjang kegiatan budidaya, pariwisata dan rekreasi. Hutan memiliki berbagai fungsi, diantaranya adalah untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan melindungi sistem penyangga kehidupan, melindungi keanekaragaman jenis plasma nutfah serta tata air untuk kepentingan penelitian, pendidikan dan pariwisata. Seiring dengan meningkatnya kegiatan pembangunan saat ini, terdapat juga berbagai kendala yang dapat menghambat tercapainya tujuan dari pembangunan tersebut. Salah satunya adalah maraknya kegiatan perambahan hutan oleh masyarakat setempat sebagai akibat dari tingginya tingkat ketergantungan masyarakat sekitar akan keberadaan hutan. Kawasan hutan di Sumatera Utara secara nyata mengalami penurunan kondisi, baik secara kualitas maupun kuantitas. Pada tahun 2007, sekitar 891 ha hutan di Sumatera Utara terbakar. Kawasan hutan yang terbakar tersebut mencakup 123 ha merupakan kawasan hutan lindung dan 764 ha adalah kawasan hutan yang telah beralih fungsi menjadi ladang dan kebun masyarakat. Di tahun yang sama menunjukkah angka perambahan hasil hutan kayu mencapai angka 694.295 ha. Perambahan hutan ini terjadi di dalam luasan 207.575 ha hutan lindung dan dalam luasan 32.500 ha hutan konservasi. Termasuk juga perambahan di kawasan tipe hutan bakau mencapai 54.220 ha dan hutan produksi sekitar 400.000 ha. Kondisi kerusakan hutan ini secara sporadis terjadi di berbagai wilayah di Sumatera Utara. Perambahan hutan juga terjadi di wilayah hutan

3 lindung dan suaka margasatwa Barumun dan wilayah hutan Register 6,7 dan 8 di Kabupaten Tapanuli Selatan (Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan, 2006). Kondisi tutupan lahan hutan dengan presentase yang kecil juga terjadi pada kawasan hutan produksi yang hanya berjumlah sekitar 237.600 ha atau 43,4% dari luas total 546.009 ribu ha. Kondisi ini juga tak jauh berbeda dengan kondisi tutupan lahan pada kawasan hutan produksi terbatas. Provinsi Sumatera Utara hanya memiliki tutupan lahan hanya 36,3% atau 632.100 ribu ha dari luas total seluruh kawasan hutan produksi terbatas seluas 1.742.000 ha. Diikuti dengan luas tutupan lahan kawasan hutan produksi konversi dengan angka lahan yang berhutan sekitar 16,6% atau hanya 59.700 ha dari luas keseluruhan sekitar 360.400 ribu ha. Sementara itu luas tutupan lahan pada kawasan areal penggunaan lain di Sumatera Utara adalah 92.000 ha setara dengan 3,4% dari seluruh total areal penggunaan lain seluas 2.667.900 ha (Badan Planologi Departemen Kehutanan, 2005). Salah satu kawasan hutan di Sumatera Utara yang memiliki potensi penting sebagai kawasan ekologis yang memiliki fungsi dan manfaat bagi kehidupan di Sumatera Utara terbentang melintasi dua kabupaten yaitu Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten Tapanuli Utara. Kawasan tersebut dikenal dengan kawasan Siondop Angkola atau lebih sering disebut sebagai kawasan ekosistem Angkola (Pemkab Tapsel, 2006). Secara geografis kawasan ini terletak di antara 980 46 47,2-990 23 18,6 Bujur Timur dan 00 52 35,8-10 26 07,2 Lintang Utara. Berdasarkan analisa citra satelit, ekosistem yang masih relatif utuh

4 tersebut meliputi kawasan hutan seluas ± 195.000 hektar. Gambaran luas hutan berdasarkan desa dan kecamatan di Kabupaten Tapanuli Selatan sebagai berikut: Tabel-1. Jumlah Desa Berdasarkan Kawasan Hutan Menurut Kecamatan di Kabupaten Tapanuli Selatan Kecamatan Jumlah Desa Desa Status desa Kelu rahan Lokasi desa/kelurahan terhadap kawasan hutan Di tepi/ Di dalam Di luar sekitar kawasan kawasan kawasan Hutan hutan hutan Batang Angkola 57 56 1-19 38 Sayur Matinggi 54 54 - - 1 53 Angkola Timur 39 39 - - 22 17 Angkola Selatan 18 18-1 8 9 Angkola Barat 24 23 1-3 21 Batang Toru 29 27 2-5 24 Marancar 32 32 - - 19 13 Muara Batang Toru 7 7 - - 1 6 Sipirok 96 91 5 1 37 58 Arse 31 31 - - - 31 Saipar Dolok Hole 68 67 1 - - 68 Aek Bilah 42 42 - - - 42 Total 497 487 10 2 115 380 Sumber: Tapanuli Dalam Angka, 2012 Kerusakan hutan di Kabupaten Tapanuli Selatan semakin meningkat sehingga secara logis juga meningkatkan frekuensi terjadinya bencana banjir dan longsor di wilayah Kecamatan Siais, Kecamatan Sayurmatinggi dan di Kecamatan Batang Angkola. Luas kawasan Tapanuli Selatan 373.437 ha atau sekitar 30,4% dari luas kabupaten yaitu 1.227.580 ha. Seiring terjadinya kerusakan hutan di wilayah itu diduga luasan tutupan lahan di kawasan ini telah berkurang di bawah 30,4%. Kawasan hutan tersebut terdiri dari hutan lindung seluas 128.570 ha, hutan produksi terbatas seluas 180.570 ha, hutan produksi seluas 13.300 ha, hutan suaka

5 alam seluas 10.770 ha dan hutan suaka margasatwa seluas 40.300 ha (Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan, 2006). Kondisi ini mempengaruhi tutupan lahan kawasan hutan di Sumatera Utara. Pada tahun 2004 jumlah tutupan lahan pada kawasan hutan konservasi di Sumatera Utara berkurang hingga tertinggal hanya 88% atau setara dengan 237.600 ha dari luasan seluruhnya yaitu 269.900 ribu ha. Kondisi tutupan kawasan hutan pada kawasan hutan lindung di Sumatera Utara pada tahun 2004 luasnya sekitar 725,1 ha atau sekitar 46,8% dari luas total kawasan hutan lindung yaitu 1.550.004 ribu ha. Kawasan ini merupakan bagian Daerah Aliran Sungai Batang Gadis dan Batang Angkola dan mewakili tipe-tipe ekosistem lahan basah, hutan hujan dataran rendah dan perbukitan (850 meter dpl), batuan gamping (limestone) sampai hutan pegunungan rendah dan juga terdapat dua danau yaitu Danau Siasis dan Danau Laut Bangko. Secara geomorfologis, kawasan ini mempunyai keunikan geologis sebelumnya sekitar 75.000 tahun yang lalu, Sungai Batang Gadis dan Batang Angkola diduga mengalir ke utara bertemu dengan Sungai Batangtoru akibat terjadinya gempa tektonik dan letusan Gunung Berapi Toba, sungai-sungai tersebut berubah arahnya dan terbentuk lembah dataran tinggi. Peristiwa itu menyebabkan terbentuknya Sungai Batang Gadis atau Siondop yang membentang diantara dua daerah pegunungan bagian Barat dan Timur. Diketahui lembah tersebut merupakan lembah graben, terbentuk akibat depresi memanjang yang terjadi ketika permukaan bumi tenggelam diantara dua garis patahan geologis. Selain graben terbentuk pula dataran banjir berawa. Dataran tinggi rawa

6 Siondop disebut dataran lacustrine dalam lembah sungai geotektonik yang tertutup. Daerah lahan basah ini adalah rawa air tawar yang selalu mengalami banjir musiman dan dikelilingi pegunungan rendah dan perbukitan yang mengandung petak hutan berisikan jenis tumbuhan yang telah beradaptasi dengan lingkungan basah, dataran rendah dan hutan batuan gamping, seperti Dolok Tarapung Godang (238 meter dpl), Dolok Nagor (260 meter dpl) dan Dolok Tanggasamulu (493 meter dpl) (Nawir et al., 2008). Pada tahun 2006, kawasan ini juga pernah diusulkan oleh Pemerintah Daerah Tapanuli Selatan sebagai kawasan taman nasional dengan nama Taman Nasional Siondop Angkola yang disebutkan dalam dokumen usulan tersebut, bahwa kawasan ini merupakan perubahan fungsi kawasan hutan produksi HPH PT. Teluk Nauli Blok Batumundom (Reg.33), eks HPH Aik Gadis Timber (Reg.5, Reg.6) eks HPH PT. Bhara Induk (Reg. 32, Reg. 35, Reg. 34 dan Reg.6), HPH PT. Multi Sibolga Timber (Reg.33), HPH PT. Keang Nam Dev (Reg 37), Hutan Lindung Siondop Selatan (Reg.33), Hutan Lindung Siondop Utara (Reg.34) dan Hutan Lindung Angkola Komp. 1 dan II (Reg.6) (Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan, 2005). Usulan untuk menjadikan kawasan ini sebagai kawasan konservasi berupa taman nasional secara faktual belum memenuhi persyaratan yang cukup. Salah satu penyebabnya adalah, bahwa jika kawasan ini dijadikan kawasan taman nasional dengan sistem zonasi maka akan memberikan dampak sosial ekonomi terhadap masyarakat sekitar kawasan. Masyarakat memanfaatkan kawasan ini sebagai kawasan pemanfaatan hasil hutan non kayu berupa kayu manis, dan

7 apabila menjadi kawasan taman nasional maka masyarakat tidak dapat lagi memanfaatkan hasil hutan tersebut (Sirait, 2007). Hasil hutan bukan kayu bukan semata-mata manfaat yang diberikan oleh kawasan ekosistem ini, akan tetapi kawasan ini hingga sekarang masih menjadi sumber jasa lingkungan bagi kehidupan di sekitarnya. Dalam tinjauan habitat dan ekosistem, kawasan ini adalah habitat penting bagi flora dan fauna termasuk di dalamnya spesies yang dilindungi diantaranya Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), Kambing Hutan (Naemorhedus sumatrensis), Tapir (Tapirus indicus) dan 99 jenis burung, diantaranya ditemukan 9 jenis burung Rangkong (Buceros spp, Anthracoceros spp, Anorrhinus spp, Aceros spp, Anthoceros spp,) dari 10 jenis yang ditemukan di Pulau Sumatera. Bahkan kawasan ini merupakan habitat bagi populasi jenis burung yang paling dinilai rentan terhadap kepunahan, yaitu Mentok Rimba (Cairina scutulata) yang populasinya di Pulau Sumatera berdasarkan data tahun 2006 tersisa hanya 150 individu dan Burung Bangau tongtong (Leptoptilus javanicus) yang populasinya di Sumatera diperkirakan hanya 2000 individu (Conservation International, 2005). Ekosistem di kawasan ini memiliki karakteristik khas mulai dari vegetasi hutan bakau, rawa, tanah gambut dan juga memiliki dataran tinggi dan dataran rendah yang secara kolektif bertindak sebagai bagian dari habitat sisa yang terakhir untuk hutan dengan status kritis berbahaya dan endemik di Indonesia (Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan, 2006). Kawasan ekosistem Angkola juga merupakan habitat penting bagi populasi Orangutan Sumatera (Pongo Abelii) (Perbatakusuma & Rahayuningsih, 2004).

8 Masyarakat tersebut merambah dan memanfaatkan kawasan hutan dijadikan pemukiman, perladangan dan pertanian. Maraknya kegiatan perambahan hutan di atas menyebabkan terjadinya konversi kawasan hutan yang cukup signifikan di Tapanuli Selatan, yang semula berupa kawasan yang diperuntukkan untuk melestarikan berbagai sumberdaya hutan (flora, fauna dan landscape) menjadi lahan pertanian. Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk meneliti tentang analisis tingkat perekonomian masyarakat akibat kerusakan hutan di Kabupaten Tapanuli Selatan. 1.2. Perumusan Masalah Kerusakan hutan lebih banyak disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat, utamanya petani perambah, sehingga terjadi eksploitasi besar-besaran tanpa memperhatikan aspek ekologi dan pemanfaatannya bagi kelangsungan hidup dan kehidupan bagi masyarakat pesisir itu sendiri dan lingkungan secara umum. Secara biologi hutan mempunyai fungsi sebagai daerah berkembang biak (nursery ground) dan mencari makanan (feeding ground) untuk berbagai organisme yang bernilai ekonomi. Masalah yang melatarbelakangi dilakukannya penelitian ini adalah : 1. Apakah ada perbedaan pendapatan masyarakat dari hasil hutan yang signifikan sebelum dan sesudah terjadinya kerusakan hutan di daerah penelitian? 2. Apakah ada perbedaan jumlah hasil hutan masyarakat yang signifikan sebelum dan sesudah terjadinya kerusakan hutan di daerah penelitian?

9 3. Bagaimana pengaruh kerusakan ekosistem hutan terhadap pendapatan masyarakat di daerah penelitian? 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan: 1. Untuk menganalisis perbedaan pendapatan masyarakat dari hasil hutan sebelum dan sesudah terjadinya kerusakan hutan di daerah penelitian. 2. Untuk menganalisis perbedaan jumlah hasil hutan masyarakat sebelum dan sesudah terjadinya kerusakan hutan di daerah penelitian. 3. Untuk menganalisis pengaruh kerusakan ekosistem hutan terhadap pendapatan masyarakat di daerah penelitian. 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1. Perbedaan pendapatan masyarakat dari hasil hutan sebelum dan sesudah terjadinya kerusakan hutan di daerah penelitian. 2. Perbedaan jumlah hasil hutan masyarakat sebelum dan sesudah terjadinya kerusakan hutan di daerah penelitian. 3. Pengaruh kerusakan ekosistem hutan terhadap pendapatan masyarakat di daerah penelitian. 4. Sebagai bahan masukan bagi perencanaan pengelolaan hutan yang berbasis pengelolaan sumber daya alam lestari di daerah penelitian.

10 1.5. Kerangka Pemikiran Konseptual Ekosistem hutan sangat penting dalam mendukung kehidupan manusia. Dengan kemajuan perekonomian dan pembangunan suatu wilayah maka resiko yang harus dihadapi adalah rusaknya ekosistem hutan akibat faktor manusia dan juga faktor alam sebagai rentetan kerusakan alam di sekitar hutan. Bagi masyarakat sekitar hutan kerusakan ekosistem hutan tentu berpengaruh bagi kehidupannya yaitu pada pendapatan, keragaman jenis hasil hutan dan kesempatan kerja serta berusaha. Kerangka pemikiran konseptual penelitian digambarkan sebagai berikut: Faktor Manusia Kerusakan Ekosistem Hutan Faktor Alam Sumber Oksigen Sumber Mata Air Sumber Makanan Sumber Plasma Nutfah MASYARAKAT Pendapatan Jumlah Hasil Hutan Tingkat Ekononi Masyarakat Keterangan : : Faktor Penyebab : Dampak / Pengaruh Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran Konseptual

11 1.6. Hipotesis Dari uraian masalah di atas, disusun hipotesis pada penelitian ini seperti berikut: 1. Ada perbedaan signifikan pendapatan masyarakat dari hasil hutan sebelum dan sesudah terjadinya kerusakan hutan di daerah penelitian. 2. Ada perbedaan signifikan jumlah hasil hutan masyarakat sebelum dan sesudah terjadinya kerusakan hutan di daerah penelitian. 3. Kerusakan ekosistem hutan berpengaruh signifikan terhadap pendapatan masyarakat di daerah penelitian.