BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Umum Kawasan Hutan di Sumatera Utara Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan, sedangkan yang dimaksud dengan kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaanya sebagai hutan tetap (Undang Undang No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan). Di Sumatera Utara luas kawasan tetap seluas ha atau 52,20% dari seluruh luas Provinsi Sumatera Utara yang memiliki luas ha, (Departemen Kehutanan, 2005). Kawasan hutan dengan fungsi sosial, ekonomi dan ekologi yang dimilikinya tidak terbatas pada batas-batas administratif semata, namun kawasan hutan dengan fungsi ekologinya hanya dapat dibatas oleh batas-batas ekologis. Sehingga kawasan satu ekosistem hutan terkadang terpapar luas melintasi batas-batas kabupaten, bahkan provinsi. Di Sumatera Utara terdapat kawasan ekosistem hutan dengan komposisi: Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi Terbatas (HPT), Hutan Produksi Tetap (HP) dan Hutan Suaka Alam (HSA). Hutan - hutan tersebut adalah segugusan ekosistem hutan yang terletak dalam wilayah administrasi Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kabupaten Tapanuli Utara dengan posisi geografis antara Bujur Timur dan Lintang Utara. Kawasan gugusan ekosistem hutan ini mencapai luasan sekitar ha. Kawasan hutan di

2 Provinsi Sumatera Utara tersebar di wilayah kabupaten dengan luasan berdasarkan fungsinya, dapat dilihat pada Tabel berikut ini; Tabel Luas Kawasan Hutan per kabupaten di Sumatera Utara berdasarkan SK Menhut No. 44 Tahun 2005 Kabupaten Kawasan Lindung Kawasan Budidaya HK HL HPT HP HPK Jumlah Langkat , , , , ,51 Deli Serdang , , , ,68 Karo , , , , ,51 Dairi 0, , , , ,03 Pakpak Bharat 5.657, , , , ,08 Simalungun 2.031, , , , ,72 Asahan 0, , , , , ,68 Labuhan Batu 2.076, , , , , ,35 Toba Samosir , , , , ,58 Tapanuli Utara 1.834, , , , ,64 Humbang Hasundutan 500, , , , ,39 Tapanuli Tengah 0, , , , ,71 Tapanuli Selatan , , , , , ,79 Mandailing Natal , , , , ,78 Nias 0, , , , , ,72 Nias Selatan 8.350, , , , , ,37 Samosir 0, , , ,98 Serdang Bedagai 0, , , , ,48 Jumlah , , , , , ,00 Sumber: SK Menhut No. 44 Tahun 2005 Apabila dilihat dalam konteks spasial maka kondisi tutupan lahan kawasan hutan di Sumatera Utara dengan luasan yang sedemikian mengalami perubahan, terdapat perbandingan kondisi tutupan hutan pada tahun 2002 dan Tahun 2009 yang tampak pada Gambar dan 2.1.2

3

4

5 2.2. Degradasi dan Deforestasi di Indonesia Pengertian Degradasi dan Deforestasi Menurut Lamb (1994), degradasi difahami dengan beragam pengertian dalam pemikiran masyarakat Indonesia. Jika hutan telah mengalami kerusakan sampai pada titik dimana penebangan kayu maupun non kayu menyebabkan terhambatnya fungsi ekologis, ekonomis dan sosial hutan. Ahli kehutanan lainnya, Oldeman (1992) menyebutkan bahwa degradasi adalah proses terjadinya penurunan kapasitas hutan dalam memberikan manfaat serta fungsinya dalam jangka waktu tertentu. Degradasi Hutan dalam perundangan di Indonesia diartikan dalam dua segmen. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. 30 Tahun 2009 disebutkan bahwa degradasi adalah penurunan kuantitas dan stok karbon selama periode tertentu yang diakibatkan oleh kegiatan manusia. Sementara itu, dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 8250/Kpts-II Tahun 2002 disebutkan bahwa degradasi adalah penurunan fungsi dan potensi hutan tersebut. Secara bahasa kata Deforestasi adalah istilah yang dipergunakan untuk menyebutkan suatu kondisi saat luas areal hutan menunjukkan penurunan secara kualitas maupun kuantitas. Sementara itu, FAO (1990) dan World Bank (1990) menyatakan bahwa makna deforestasi adalah hilangnya tutupan hutan secara permanen ataupun sementara. Sedangkan pengertian deforestasi dalam konteks perundangan di Indonesia disebutkan bahwa deforestasi adalah perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia (Permenhut No. 30 Tahun 2009). Sementara itu, Saharjo (1994) menyebutkan bahwa deforestasi bukan hanya kondisi dimana hilangnya tutupan hutan saja, namun deforestasi juga menyebabkan hilangnya ciri-ciri kelengkapan hutan (Forest attributes) seperti hal yang menyangkut kelebatan hutan, struktur hutan dan juga komposisi spesies.

6 Degradasi pada Periode Tahun Pengelolaan hutan di Indonesia telah berlangsung dalam kurun waktu yang panjang, sejak masa penjajahan Belanda, masa pemerintahan pasca kemerdekaan, masa pemerintahan orde lama, masa pemerintahan orde baru hingga kini di masa pemerintahan era reformasi. Menurut Nawir et al (2008), dalam periode waktu tahun semasa penjajahan Belanda dan Inggris, proses penebangan kayu sebagai hasil hutan terjadi di bawah kebijakan perdagangan Belanda yang dikenal sebagai kebijakan perdagangan Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Di masa ini, kebijakan dibuat dengan memberikan izin penebangan hutan untuk kebutuhan konstruksi dan pembuatan kapal. Kekuatan ini juga diperkuat oleh kebijakan pemberian izin untuk pembukaan lahan untuk kepentingan pertanian sehingga dapat diperoleh pendapatan dari pajak bumi melalui sistem tanam paksa atau dikenal dengan istilah cultuurstelsel. Dalam kebijakan ini sistem yang dibuat adalah dengan menjalankan sistem tanam paksa dengan memaksa perubahan fungsi hutan menjadi kawasan perkebunan kopi, tebu, nila dan karet. Kegiatan sedemikian, berlangsung hingga masa penjajahan Jepang pada tahun Terjadinya deforestasi pada masa itu disebabkan oleh penebangan hutan jati dan hutan alam yang berjumlah dua kali lipat jatah tebang tahunan. Kegiatan ini dimanfaatkan untuk pembiayaan perang. Setelah melakukan penebangan lahan kemudian disewakan kepada penduduk untuk ditanami tanaman pangan. Di Pulau Jawa, pada masa Jepang berkuasa telah terjadi deforestasi seluas ha. Kondisi ini terus berlangsung hingga masa kemerdekaan, penebangan hutan telah berhasil menghilangkan vegetasi hutan yang menyebabkan deforestasi sekitar ha di masa itu atau sekitar 17% dari total luas kawasan hutan. Hingga di tahun 70 an kebijakan pemerintah untuk peningkatan laju ekonomi nasional telah memicu kebijakan pemerintah untuk memberikan izin untuk pengusaha di untuk

7 melakukan pemanfaatan hasil hutan kayu di kawasan hutan di Indonesia (Nawir et al., 2008) Degradasi pada Periode Dalam kurun waktu dua dasawarsa, seiring dengan kenaikan harga minyak dunia, pemerintah menerima pemasukan keuangan dari sektor kehutanan terutama dalam bisnis pemberian izin pemanfaatan hasil hutan kayu, kala itu disebut dengan Hak Pengusahaan Hutan atau disingkat dengan HPH. Data Kementerian Kehutanan menunjukkan bahwa wilayah hutan yang dikelola oleh perusahaan pemegang izin HPH hingga tahun 2000 mencapai hingga 41 juta ha. Sementara itu, studi lain yang dilakukan oleh ahli kehutanan di Indonesia menunjukkan angka yang berbeda yaitu bahwa pemerintah telah memberikan izin pengusahaan hutan seluas lebih dari 60 juta ha kepada perusahaan HPH dalam kurun waktu 30 tahun. Hingga tahun 1998 deforestasi hutan akibat HPH mencapai 16,57 juta ha (Nawir et al., 2008) Selanjutnya dijelaskan oleh Nawir et al (2008) selain HPH, kegiatan yang ditimbulkan oleh proses relokasi penduduk dengan tujuan pemerataan penduduk terutama dari Jawa dan Bali pada masa ini juga telah mendukung para pemegang HPH dengan penyediaan tenaga kerja dan pemukiman dalam proses produksi hasil hutan yang diserap dari kawasan hutan. Hal ini berlangsung sejak tahun 1980-an. Akibat proses relokasi penduduk ini telah memberikan dampak terhadap perubahan lingkungan seperti alih fungsi kawasan hutan menjadi wilayah pertanian, pembukaan jalan yang membuka akses langsung menuju hutan. Tingkat deforestasi di masa ini juga semakin meningkat dengan adanya kebakaran hutan yang disebabkan oleh El Nino yang menyebabkan kebakaran hutan terbesar dalam tahun yang menyebabkan deforestasi dalam waktu itu mencapai 3,2 juta ha, padahal 2,7 juta ha bagiannya adalah hutan hujan tropis di Kalimantan dan Sumatera.

8 Degradasi pada Periode Dalam masa ini, sewindu telah berlangsung. Dalam periode ini pemerintah melakukan perubahan jenis pemberian izin. Di masa sebelumnya pemberian izin berupa pengusahaan hasil hutan, maka pada periode ini pemberian izin diberikan kepada perubahan fungsi hutan untuk diubah menjadi perkebunan karet dan perkebunan kelapa sawit. Hingga di tahun 1997 pemerintah telah memberikan perizinan perubahan fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit seluas sekitar 6,7 juta ha, (Kertodihadjo & Supriono, 2000) Sumber: Center for International Forestry Research Gambar Grafik peningkatan luasan perkebunan sawit dan karet Degradasi pada Periode 1997 Hingga Usai Reformasi Dalam periode ini deforestasi disebabkan oleh beragam faktor mulai dari faktor politik daerah terutama dengan berlakunya pelaksanaan otonomi daerah dimana pemerintah daerah memiliki kewenangan terhadap pengelolaan sumberdaya yang ada dalam wilayah pemerintahannya, hingga faktor penebangan liar, serta peningkatan

9 kasus perambahan hutan yang kemudian berakibat pada penyusutan hutan menjadi hanya sekitar 120,35 juta ha saja (Nawir et al., 2008) 2.3. Degradasi dan Deforestasi Hutan di Sumatera Utara Dalam rentang waktu sejak tahun 1985 hingga tahun 1998 laju degradasi hutan di Sumatera Utara mencapai ha/ tahun. Hingga di tahun 2004 kerusakan tersebut bertambah hingga mencapai ha atau telah rusak sekitar 18,5% dari keseluruhan luas hutan di Sumatera Utara (Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan, 2006). Kawasan hutan di Sumatera Utara secara nyata mengalami penurunan kondisi, baik secara kualitas maupun kuantitas. Pada tahun 2007, sekitar 891 ha hutan di Sumatera Utara terbakar. Kawasan hutan yang terbakar tersebut mencakup 123 ha merupakan kawasan hutan lindung dan 764 ha adalah kawasan hutan yang telah beralih fungsi menjadi ladang dan kebun masyarakat. Di tahun yang sama menunjukkah angka perambahan hasil hutan kayu mencapai angka ha. Perambahan hutan ini terjadi di dalam luasan ha hutan lindung dan dalam luasan ha hutan konservasi. Termasuk juga perambahan di kawasan tipe hutan bakau mencapai ha dan hutan produksi sekitar ha. Kondisi kerusakan hutan ini secara sporadis terjadi di berbagai wilayah di Sumatera Utara. Perambahan hutan juga terjadi di wilayah hutan lindung dan suaka margasatwa Barumun dan wilayah hutan Register 6,7 dan 8 di Kabupaten Tapanuli Selatan (Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan, 2006). Kerusakan hutan di Kabupaten Tapanuli Selatan semakin meningkat sehingga secara logis juga meningkatkan frekuensi terjadinya bencana banjir dan longsor di wilayah Kecamatan Siais, Kecamatan Sayurmatinggi dan di Kecamatan Batang Angkola. Luas kawasan Tapanuli Selatan ha atau sekitar 30,4% dari luas

10 kabupaten yaitu ha. Seiring terjadinya kerusakan hutan di wilayah itu diduga luasan tutupan lahan di kawasan ini telah berkurang di bawah 30,4%. Kawasan hutan tersebut terdiri dari hutan lindung seluas ha, hutan produksi terbatas seluas ha, hutan produksi seluas ha, hutan suaka alam seluas ha dan hutan suaka margasatwa seluas ha (Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan, 2006). Kondisi ini mempengaruhi tutupan lahan kawasan hutan di Sumatera Utara. Pada tahun 2004 jumlah tutupan lahan pada kawasan hutan konservasi di Sumatera Utara berkurang hingga tertinggal hanya 88% atau setara dengan ha dari luasan seluruhnya yaitu ribu ha. Kondisi tutupan kawasan hutan pada kawasan hutan lindung di Sumatera Utara pada tahun 2004 luasnya sekitar 725,1 ha atau sekitar 46,8% dari luas total kawasan hutan lindung yaitu ribu ha. Kondisi tutupan lahan hutan dengan presentase yang kecil juga terjadi pada kawasan hutan produksi yang hanya berjumlah sekitar ha atau 43,4% dari luas total ribu ha. Kondisi ini juga tak jauh berbeda dengan kondisi tutupan lahan pada kawasan hutan produksi terbatas. Provinsi Sumatera Utara hanya memiliki tutupan lahan hanya 36,3% atau ribu ha dari luas total seluruh kawasan hutan produksi terbatas seluas ha. Diikuti dengan luas tutupan lahan kawasan hutan produksi konversi dengan angka lahan yang berhutan sekitar 16,6% atau hanya ha dari luas keseluruhan sekitar ribu ha. Sementara itu luas tutupan lahan pada kawasan areal penggunaan lain di Sumatera Utara adalah ha setara dengan 3,4% dari seluruh total areal penggunaan lain seluas ha (Badan Planologi Departemen Kehutanan, 2005) Kawasan Ekosistem Angkola di Sumatera Utara Salah satu kawasan hutan di Sumatera Utara yang memiliki potensi penting sebagai kawasan ekologis yang memiliki fungsi dan manfaat bagi kehidupan di Sumatera Utara terbentang melintasi dua kabupaten yaitu Kabupaten Tapanuli Selatan dan

11 Kabupaten Tapanuli Selatan. Kawasan tersebut dikenal dengan kawasan Siondop Angkola atau lebih sering disebut sebagai kawasan ekosistem Angkola (Pemkab Tapsel, 2006). Secara geografis kawasan ini terletak di antara , ,6 Bujur Timur dan , ,2 Lintang Utara. Berdasarkan analisa citra satelit, ekosistem yang masih relatif utuh tersebut meliputi kawasan hutan seluas ± hektar. Kawasan ini merupakan bagian Daerah Aliran Sungai Batang Gadis dan Batang Angkola dan mewakili tipe-tipe ekosistem lahan basah, hutan hujan dataran rendah dan perbukitan (850 meter dpl), batuan gamping (limestone) sampai hutan pegunungan rendah dan juga terdapat dua danau yaitu Danau Siasis dan Danau Laut Bangko. Secara geomorfologis, kawasan ini mempunyai keunikan geologis sebelumnya sekitar tahun yang lalu, Sungai Batang Gadis dan Batang Angkola diduga mengalir ke utara bertemu dengan Sungai Batangtoru akibat terjadinya gempa tektonik dan letusan Gunung Berapi Toba, sungai-sungai tersebut berubah arahnya dan terbentuk lembah dataran tinggi. Peristiwa itu menyebabkan terbentuknya Sungai Batang Gadis atau Siondop yang membentang diantara dua daerah pegunungan bagian Barat dan Timur. Diketahui lembah tersebut merupakan lembah graben, terbentuk akibat depresi memanjang yang terjadi ketika permukaan bumi tenggelam diantara dua garis patahan geologis. Selain graben terbentuk pula dataran banjir berawa. Dataran tinggi rawa Siondop disebut dataran lacustrine dalam lembah sungai geotektonik yang tertutup. Daerah lahan basah ini adalah rawa air tawar yang selalu mengalami banjir musiman dan dikelilingi pegunungan rendah dan perbukitan yang mengandung petak hutan berisikan jenis tumbuhan yang telah beradaptasi dengan lingkungan basah, dataran rendah dan hutan batuan gamping, seperti Dolok Tarapung Godang (238 meter dpl), Dolok Nagor (260 meter dpl) dan Dolok Tanggasamulu (493 meter dpl) (Nawir et al., 2008).

12 Pada tahun 2006, kawasan ini juga pernah diusulkan oleh Pemerintah Daerah Tapanuli Selatan sebagai kawasan taman nasional dengan nama Taman Nasional Siondop Angkola yang disebutkan dalam dokumen usulan tersebut, bahwa kawasan ini merupakan perubahan fungsi kawasan hutan produksi HPH PT. Teluk Nauli Blok Batumundom (Reg.33), eks HPH Aik Gadis Timber (Reg.5, Reg.6) eks HPH PT. Bhara Induk (Reg. 32, Reg. 35, Reg. 34 dan Reg.6), HPH PT. Multi Sibolga Timber (Reg.33), HPH PT. Keang Nam Dev (Reg 37), Hutan Lindung Siondop Selatan (Reg.33), Hutan Lindung Siondop Utara (Reg.34) dan Hutan Lindung Angkola Komp. 1 dan II (Reg.6) (Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan, 2005). Usulan untuk menjadikan kawasan ini sebagai kawasan konservasi berupa taman nasional secara faktual belum memenuhi persyaratan yang cukup. Salah satu penyebabnya adalah, bahwa jika kawasan ini dijadikan kawasan taman nasional dengan sistem zonasi maka akan memberikan dampak sosial ekonomi terhadap masyarakat sekitar kawasan. Masyarakat memanfaatkan kawasan ini sebagai kawasan pemanfaatan hasil hutan non kayu berupa kayu manis, dan apabila menjadi kawasan taman nasional maka masyarakat tidak dapat lagi memanfaatkan hasil hutan tersebut (Sirait, 2007). Hasil hutan bukan kayu bukan semata-mata manfaat yang diberikan oleh kawasan ekosistem ini, akan tetapi kawasan ini hingga sekarang masih menjadi sumber jasa lingkungan bagi kehidupan di sekitarnya. Dalam tinjauan habitat dan ekosistem, kawasan ini adalah habitat penting bagi flora dan fauna termasuk di dalamnya spesies yang dilindungi diantaranya Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), Kambing Hutan (Naemorhedus sumatrensis), Tapir (Tapirus indicus) dan 99 jenis burung, diantaranya ditemukan 9 jenis burung Rangkong (Buceros spp, Anthracoceros spp, Anorrhinus spp, Aceros spp, Anthoceros spp,) dari 10 jenis yang ditemukan di Pulau Sumatera. Bahkan kawasan ini merupakan habitat bagi populasi jenis burung yang paling dinilai rentan terhadap kepunahan, yaitu Mentok Rimba

13 (Cairina scutulata) yang populasinya di Pulau Sumatera berdasarkan data tahun 2006 tersisa hanya 150 individu dan Burung Bangau tong-tong (Leptoptilus javanicus) yang populasinya di Sumatera diperkirakan hanya 2000 individu (Conservation International, 2005). Ekosistem di kawasan ini memiliki karakteristik khas mulai dari vegetasi hutan bakau, rawa, tanah gambut dan juga memiliki dataran tinggi dan dataran rendah yang secara kolektif bertindak sebagai bagian dari habitat sisa yang terakhir untuk hutan dengan status kritis berbahaya dan endemik di Indonesia (Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan, 2006). Kawasan ekosistem Angkola juga merupakan habitat penting bagi populasi Orangutan Sumatera (Pongo Abelii) (Perbatakusuma & Rahayuningsih, 2004) Nilai Konservasi dan Fungsi Lindung Ekosistem Angkola Kawasan hutan dengan nilai konservasi yang tinggi akan memiliki fungsi lindung yang baik bagi satu kesatuan biotik dan abiotik. Suatu kawasan hutan memiliki nilai konservasi yang tinggi (HCV) apabila memenuhi ciri ciri sebagai berikut (Tropenbos International Indonesia, 2008); a) Memiliki konsentrasi nilai-nilai keanekaragaman hayati penting secara global, regional dan lokal, misalnya adanya spesies endemik, spesies yang hampir punah serta dengan lansekap yang khas. b) Mempunyai tingkat lansekap yang penting secara global, regional dan lokal yang berada di dalam atau memiliki unit pengelolaan dimana sebagian besar populasi spesies atau seluruh spesies yang secara alami ada di kawasan tersebut berada dalam pola distribusi dan kelimpahan alami. c) Berada di dalam atau mempunyai ekosistem yang langka, terancam punah atau hampir punah d) Memiliki fungsi pengatur alam dalam situasi yang kritis, misalnya perlindungan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan pengendalian erosi.

14 e) Memiliki sumberdaya yang mampu memenuhi kebutuhan dasar masyarakat lokal. Ciri-ciri kawasan hutan dan lahan dengan nilai konservasi tinggi tersebut saat ini menjadi konsep yang sangat bermanfaat dan telah diterapkan di beberapa wilayah dengan tujuan untuk melindungi area yang tersisa dan berada dalam kondisi kritis secara ekologi dan sosial (Stanley & The Nature Conservancy, 2006). Melakukan konservasi tidak hanya dilakukan pada areal kawasan hutan dan lahan tertentu, akan tetapi juga diwajibkan dilakukan pada kawasan-kawasan areal konsesi. Pada kawasan atau areal konsesi disarankan kurang lebih 10% disisihkan bagi tujuantujuan konservasi (Blockhus et al., 1992; Mason & Putz 2001). Kawasan 10% ini harus merupakan tambahan dari setiap kawasan yang telah disisihkan berdasarkan pada peraturan dan perundangan yang berlaku (Bennet & Gumal 2001), atau kawasan yang disisihkan akibat rendahnya potensi kayu atau aksesibilitas rendah seperti kawasan yang termasuk dalam lereng E, dengan kemiringan >40%, dan hutan-hutan penyangga tepian sungai tidak boleh dimasukkan dalam ke 10% kawasan konservasi yang disisihkan. Pada areal konsesi tujuan menyisihkan kawasan untuk kepentingan konservasi adalah menjamin perlindungan habitat yang memungkinkan bagi jenisjenis langka, terancam punah dan jenis endemik dan juga yang mewakili tipe habitat yang ada dalam konsesi serta membantu melindungi nilai konservasi tinggi yang sudah teridentifikasi (Fimbel, Grajal & Robinson, 2001). Jaringan zona konservasi yang dirancang dengan baik akan dapat membantu memelihara nilai konservasi tinggi keragaman hayati, lansekap, tingkat kelangkaan dan fungsi perlindungan DAS. Disarankan bahwa kawasan konservasi yang disisihkan minimum ha di dalam suatu wilayah yang cukup besar untuk memelihara kebanyakan spesies burung hutan (Zakaria & Francis, 2001). Penyisihan kawasan juga akan membantu melestarikan konsentrasi keanekaragaman serangga, amfibia, reptilia dan mamalia (Fimbel, Grajal & Robinson, 2001). Pelarangan

15 konstruksi jalan dan pengembangan infrastruktur lainnya di dalam kawasan yang disisihkan untuk konservasi mengurangi fragmentasi hutan-hutan skala lansekap luas (landscape level forest) dan ekosistem-ekosistem langka terlindungi secara lebih baik. Wilayah-wilayah daerah aliran sungai yang penting terlindungi dari gangguan dan perangkat pengontrol aliran air terpelihara. Penempatan yang hati-hati dari kawasan yang disisihkan juga dapat merupakan strategi efektif untuk memelihara atau meningkatkan nilai-nilai sosial budaya (Marcot et al., 2001). Merancang kawasan konservasi hendaknya mempertimbangkan beberapa faktor penting (Marcot et al., 2001) yaitu ; a) Ukuran, semakin luas suatu zona konservasi maka semakin banyak habitat yang dilindungi sehingga jumlah jenis dan populasi yang terlindungi akan lebih banyak. b) Bentuk; bentuk kawasan konservasi pada umumnya dipilih dengan menekan besarnya efek tepi (edge to area). Bentuk kawasan yang membulat akan lebih menguntungkan, karena akan memiliki daerah pusat yang jauh dari tepi sehingga akan memiliki daya lindung lebih besar dibandingkan berbentuk persegi. c) Gradien ekosistem: Jika mungkin gradien ekosistem harus dicakup dalam zona konservasi. Keberadaan beberapa spesies tergantung pada berbagai tipe hutan pada berbagai ketinggian atau tipe tanah. Memelihara kelengkapan gradien dari suatu sungai sampai puncak gunung, sebagai contoh akan membantu keterkaitan/ kesinambungan habitat bagi jenis-jenis nomadik. d) Tata guna lahan yang berbatasan dengan kawasan konservasi: Untuk meningkatkan efektivitas suatu zona konservasi, lebih baik jika zona tersebut berbatasan dengan hutan-hutan yang dilindungi lainnya atau kawasan-kawasan dimana penutupan hutan akan dijaga (misal kawasan-kawasan yang dilindungi KPA, KSA, atau hutan tangkapan air - HL). Pembukaan atau konversi hutan di sekitar kawasan konservasi akan memiliki dampak di dalam kawasan konservasi.

16 e) Koridor: Apabila mungkin, disarankan untuk menghubungkan zona-zona konservasi dengan koridor-koridor hutan-hutan yang tidak terganggu yang lebarnya m (Fimbel, Grajal & Robinson, 2001). Hal ini akan memfasilitasi pergerakan dan dispersal (pemencaran) jenis-jenis ke seluruh wilayah konsesi (Davies et al., 2001; Fimbel, Bennett & Kremen, 2001). Dalam banyak kasus, kawasan-kawasan zona penyangga tepi sungai dapat membentuk koridor-koridor yang sesuai, tetapi jika sungai jarang ditemukan atau jika tidak terhubung dengan kawasan yang disisihkan untuk konservasi; maka koridorkoridor tambahan harus ditetapkan. f) Perwakilan ekosistem: Semua formasi hutan yang ada di dalam konsesi harus diwakili dalam zona-zona konservasi termasuk kawasan yang biasanya ditebang. Kawasan hutan yang memiliki nilai konservasi yang tinggi, tidak hanya dapat diketahui melalui penghitungan biodiversitas, namun juga dapat dilakukan melalui bantuan teknologi yang relevan dan dirancang untuk kepentingan penentuan tersebut. Salah satu pendekatan yang telah dikenal dalam dunia biologi konservasi adalah dengan melakukan analisis land cover pada kawasan tertentu dengan mempergunakan Geografhic Information System atau Sistem Informasi Geografi. Pendekatan ini dilakukan untuk memadukan data yang melimpah dari sumber-sumber yang telah ditentukan dari lingkungan alami dengan informasi mengenai kawasan yang dilindungi serta keanekaragaman hayati (Stokes & Morisson, 2003). Melalui pendekatan GIS/SIG memungkinkan kawasan-kawasan penting untuk dikenali kemudian dimasukkan dalam sistem perlindungan dan konservasi. Dengan sistem ini, juga dapat diketahui wilayah yang rentan dan semestinya tidak diganggu oleh manusia, sehingga akan lebih mudah diketahui dan diselamatkan.

I. PENDAHULUAN. dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Lindung dan Hutan Produksi dengan pengertian sebagai berikut : a) Hutan

I. PENDAHULUAN. dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Lindung dan Hutan Produksi dengan pengertian sebagai berikut : a) Hutan 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan hutan di Sumatera Utara memiliki luas sekitar 3.742.120 ha atau sekitar 52,20% dari seluruh luas provinsi, luasan kawasan hutan ini sesuai dengan yang termaktub

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.508 pulau dan panjang garis pantai lebih dari 81.000

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis letak Indonesia berada di daerah tropis atau berada di sekitar

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis letak Indonesia berada di daerah tropis atau berada di sekitar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai 17.508 pulau. Indonesia terbentang antara 6 o LU - 11 o LS, dan 97 o BT - 141 o BT. Secara geografis

Lebih terperinci

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial) UU No 5 tahun 1990 (KSDAE) termasuk konsep revisi UU No 41 tahun 1999 (Kehutanan) UU 32 tahun 2009 (LH) UU 23 tahun 2014 (Otonomi Daerah) PP No 28 tahun 2011 (KSA KPA) PP No. 18 tahun 2016 (Perangkat Daerah)

Lebih terperinci

WANDA KUSWANDA, S.HUT, MSC

WANDA KUSWANDA, S.HUT, MSC CURRICULUM VITAE WANDA KUSWANDA, S.HUT, MSC 1 Jabatan Peneliti Peneliti Madya 2 Kepakaran Konservasi Sumberdaya Hutan 3 E-mail wkuswan@yahoo.com 4 Riwayat Pendidikan S1 : Jurusan Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Iman Santosa T. (isantosa@dephut.go.id) Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

Provinsi Sumatera Utara: Demografi

Provinsi Sumatera Utara: Demografi Fact Sheet 02/2015 (28 Februari 2015) Agrarian Resource Center ARC Provinsi Sumatera Utara: Demografi Provinsi Sumatera Utara adalah provinsi peringkat ke-4 di Indonesia dari sisi jumlah penduduk. Pada

Lebih terperinci

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati 1 Konservasi Lingkungan Lely Riawati 2 Dasar Hukum Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIS

RENCANA STRATEGIS TROPICAL FOREST CONSERVATION ACTION FOR SUMATERA RENCANA STRATEGIS 2010-2015 A. LATAR BELAKANG Pulau Sumatera merupakan salah kawasan prioritas konservasi keanekaragaman hayati Paparan Sunda dan salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha yang memanfaatkan potensi sumberdaya lahan secara maksimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Hutan tropis ini merupakan habitat flora dan fauna (Syarifuddin, 2011). Menurut

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. rendah, hutan gambut pada ketinggian mdpl, hutan batu kapur, hutan

TINJAUAN PUSTAKA. rendah, hutan gambut pada ketinggian mdpl, hutan batu kapur, hutan TINJAUAN PUSTAKA 1. Kondisi Umum Hutan Batang Toru Kawasan hutan alam Batang Toru termasuk tipe hutan pegunungan rendah, hutan gambut pada ketinggian 900-1000 mdpl, hutan batu kapur, hutan berlumut (seperti

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove yang ada di Indonesia makin lama makin berkurang akibat perubahan bentuk menjadi kawasan pemukiman, pertanian maupun tambak atau mendapat tekanan yang besar

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menyandang predikat mega biodiversity didukung oleh kondisi fisik wilayah yang beragam mulai dari pegunungan hingga dataran rendah serta

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem yang memiliki kemampuan menyimpan lebih dari 30 persen karbon terestrial, memainkan peran penting dalam siklus hidrologi serta

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 19 3.1 Luas dan Lokasi BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luas wilayah seluas 2.335,33 km 2 (atau 233.533 ha). Terletak pada 2 o l'-2 o 28' Lintang Utara dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang No. 05 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (KSDHE), Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai

Lebih terperinci

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan Latar Belakang Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang utama memegang posisi penting dalam kelestarian lingkungan. Kemerosotan kemampuan tanah yang ditunjukkan dengan meningkatnya laju erosi dari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam 11 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan, termasuk hutan tanaman, bukan hanya sekumpulan individu pohon, namun merupakan suatu komunitas (masyarakat) tumbuhan (vegetasi) yang kompleks yang terdiri dari pohon,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi di kehidupan manusia. Itu terjadi dikarenakan proses alam dan tatanan

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi di kehidupan manusia. Itu terjadi dikarenakan proses alam dan tatanan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bencana merupakan suatu kejadian dan fenomena baik alam non alam dan sosial yang terjadi di kehidupan manusia. Itu terjadi dikarenakan proses alam dan tatanan kehidupan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sawah memiliki arti penting, yakni sebagai media aktivitas bercocok tanam guna menghasilkan bahan pangan pokok (khususnya padi) bagi kebutuhan umat manusia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan sumber daya alam yang menyimpan kekayaan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam lain yang terdapat di atas maupun di bawah tanah. Definisi hutan

Lebih terperinci

2. Dinamika ekosistem kawasan terus berubah (cenderung semakin terdegradasi),

2. Dinamika ekosistem kawasan terus berubah (cenderung semakin terdegradasi), SINTESIS . Dasar kriteria dan indikator penetapan zonasi TN belum lengkap,. Dinamika ekosistem kawasan terus berubah (cenderung semakin terdegradasi), 3. Informasi dan pengembangan jasa lingkungan belum

Lebih terperinci

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA PERENCANAAN WILAYAH 1 TPL 314-3 SKS DR. Ir. Ken Martina Kasikoen, MT. Kuliah 10 BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA Dalam KEPPRES NO. 57 TAHUN 1989 dan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang PEDOMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia berpotensi menjadi pemasok utama biofuel, terutama biodiesel berbasis kelapa sawit ke pasar dunia. Pada tahun 2006, Indonesia memiliki 4,1 juta

Lebih terperinci

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis ix H Tinjauan Mata Kuliah utan tropis yang menjadi pusat biodiversitas dunia merupakan warisan tak ternilai untuk kehidupan manusia, namun sangat disayangkan terjadi kerusakan dengan kecepatan yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks

Lebih terperinci

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN Oleh: Dini Ayudia, M.Si. Subbidang Transportasi Manufaktur Industri dan Jasa pada Bidang Perencanaan Pengelolaan SDA & LH Lahan merupakan suatu sistem yang kompleks

Lebih terperinci

BAGIAN 1-3. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent

BAGIAN 1-3. Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent BAGIAN 1-3 Dinamika Tutupan Lahan Kabupaten Bungo, Jambi Andree Ekadinata dan Grégoire Vincent 54 Belajar dari Bungo Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi PENDAHULUAN Kabupaten Bungo mencakup

Lebih terperinci

Restorasi Ekosistem di Hutan Alam Produksi: Implementasi dan Prospek Pengembangan

Restorasi Ekosistem di Hutan Alam Produksi: Implementasi dan Prospek Pengembangan Restorasi Ekosistem di Hutan Alam Produksi: Implementasi dan Prospek Pengembangan Perhimpunan Pelestarian Burung Liar Indonesia (Burung Indonesia) Mendefinisikan restorasi ekosistem (di hutan alam produksi)

Lebih terperinci

memuat hal yang mendasari kegiatan penelitian. Rumusan masalah permasalahan yang diteliti dan pertanyaan penelitian. Tujuan penelitian berisikan

memuat hal yang mendasari kegiatan penelitian. Rumusan masalah permasalahan yang diteliti dan pertanyaan penelitian. Tujuan penelitian berisikan BAB I. PENDAHU LUAN BAB I. PENDAHULUAN Hal pokok yang disajikan dalam bagian ini yaitu : (1) latar belakang, (2) rumusan masalah, (3) tujuan peneltian, dan (4) manfaat penelitian. Latar belakang memuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan salah satu sumber daya alam hayati yang memiliki banyak potensi yang dapat diambil manfaatnya oleh masyarakat, Pasal 33 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 menyebutkan

Lebih terperinci

B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005

B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005 B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005 KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, setelah Brazil (Anonimus, 2009). Brazil merupakan salah satu negara dengan

Lebih terperinci

Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera

Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera Jakarta, 29 Juli 2011 1 2 3 Progress Legalisasi RTR Pulau Sumatera Konsepsi Tujuan, Kebijakan, Dan Strategi Rtr Pulau Sumatera Muatan

Lebih terperinci

i:.l'11, SAMBUTAN PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR KOTAK... GLOSARI viii xii DAFTAR SINGKATAN ...

i:.l'11, SAMBUTAN PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR KOTAK... GLOSARI viii xii DAFTAR SINGKATAN ... itj). tt'ii;,i)ifir.l flni:l l,*:rr:tililiiii; i:.l'11, l,.,it: I lrl : SAMBUTAN PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR KOTAK... GLOSARI DAFTAR SINGKATAN viii tx xt xii... xviii BAB

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini 57 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Hutan Indonesia Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini mencapai angka 120,35 juta ha atau sekitar 61 % dari luas wilayah daratan Indonesia.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli ` I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN: Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN: 978-602-60401-3-8 PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBEBASAN FRAGMENTASI HABITAT ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) DI HUTAN RAWA TRIPA Wardatul Hayuni 1), Samsul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan daerah pertemuan antara ekosistem darat, ekosistem laut dan

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan daerah pertemuan antara ekosistem darat, ekosistem laut dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan suatu bentang alam yang memiliki keunikan karena merupakan daerah pertemuan antara ekosistem darat, ekosistem laut dan ekosistem udara yang

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2012 yang

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi setiap tahun dan cenderung meningkat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Peningkatan kebakaran hutan dan lahan terjadi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam,

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan konservasi terdiri dari kawasan suaka alam termasuk cagar alam dan suaka margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam, dan taman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan praktek model agroforestri yang mempunyai fungsi ekonomi dan ekologi, akhir-akhir ini menjadi perhatian khusus. Banyak kawasan hutan yang beralih fungsi

Lebih terperinci

Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah

Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah Negara Indonesia yang terdiri dari 17.058 pulau itu memiliki keanekaragaman tumbuhan, hewan jasad renik yang lebih besar daripada negara-negara tetangganya.

Lebih terperinci

KAWASAN HUTAN PROVINSI SUMATERA UTARA

KAWASAN HUTAN PROVINSI SUMATERA UTARA PAPARAN USULAN REVISI KA WASAN H UTAN P ROVINSI SUMATERA UTARA PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA UTARA JA NUARI 2010 KAWASAN HUTAN PROVINSI SUMATERA UTARA No Fungsi Hutan TGHK (1982) RTRWP (2003) 1 2 3 4 5

Lebih terperinci

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia Mata Pencaharian Penduduk Indonesia Pertanian Perikanan Kehutanan dan Pertambangan Perindustrian, Pariwisata dan Perindustrian Jasa Pertanian merupakan proses untuk menghasilkan bahan pangan, ternak serta

Lebih terperinci

PELESTARIAN HUTAN DAN KONSERFASI ALAM

PELESTARIAN HUTAN DAN KONSERFASI ALAM PELESTARIAN HUTAN DAN KONSERFASI ALAM PENDAHULUAN Masalah lingkungan timbul sebagai akibat dari ulah manusia itu sendiri, dari hari ke hari ancaman terhadap kerusakan lingkungan semakin meningkat. Banyaknya

Lebih terperinci

Overlay. Scoring. Classification

Overlay. Scoring. Classification Contributor : Doni Prihatna Tanggal : Oktober 2009 Posting : Title : Kajian Ekosistem Pulau Kalimantan Peta-peta thematic pembentuk ekosistem Pulau Kalimantan : 1. Peta Ekosistem Region (Ecoregion) 2.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. usaha pertanian (0,74 juta rumah tangga) di Sumatera Utara.

BAB I PENDAHULUAN. usaha pertanian (0,74 juta rumah tangga) di Sumatera Utara. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian merupakan basis utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih menggantungkan hidupnya pada

Lebih terperinci

PENILAIAN NILAI KONSERVASI TINGGI RINGKASAN EKSEKUTIF

PENILAIAN NILAI KONSERVASI TINGGI RINGKASAN EKSEKUTIF PENILAIAN NILAI KONSERVASI TINGGI RINGKASAN EKSEKUTIF PT Inhutani II adalah BUMN Holding Kehutahan di luar Jawa, dengan aktivitas bisnis utama meliputi pengusahaan hutan alam, pengusahaan hutan tanaman,

Lebih terperinci

West Kalimantan Community Carbon Pools

West Kalimantan Community Carbon Pools Progress Kegiatan DA REDD+ Mendukung Target Penurunan Emisi GRK Kehutanan West Kalimantan Community Carbon Pools Fauna & Flora International Indonesia Programme Tujuan: Pengembangan proyek REDD+ pada areal

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis berbentuk kepulauan dengan 17.500 pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan kawasan tempat tumbuh hutan

Lebih terperinci

Kata kunci: Fungsi hutan, opini masyarakat, DAS Kelara

Kata kunci: Fungsi hutan, opini masyarakat, DAS Kelara Opini Masyarakat Terhadap Fungsi Hutan di Hulu DAS Kelara OPINI MASYARAKAT TERHADAP FUNGSI HUTAN DI HULU DAS KELARA Oleh: Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Jl. Perintis Kemerdekaan Km.16 Makassar, 90243,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (2007) Indonesia memiliki kawasan mangrove yang terluas

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (2007) Indonesia memiliki kawasan mangrove yang terluas 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Menurut FAO (2007) Indonesia memiliki kawasan mangrove yang terluas di dunia sekitar 19% dari total hutan mangrove dunia, dan terluas se-asia Tenggara sekitar 49%

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

Keberadaan lahan gambut selalu dikaitkan dengan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Kondisi lahan gambut yang unik dan khas menjadikan

Keberadaan lahan gambut selalu dikaitkan dengan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Kondisi lahan gambut yang unik dan khas menjadikan Keberadaan lahan gambut selalu dikaitkan dengan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Kondisi lahan gambut yang unik dan khas menjadikan keanekaragaman hayati yang terdapat di dalamnya juga memiliki

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. sebagai sebuah pulau yang mungil, cantik dan penuh pesona. Namun demikian, perlu

BAB I. PENDAHULUAN. sebagai sebuah pulau yang mungil, cantik dan penuh pesona. Namun demikian, perlu BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Lombok memiliki luas 467.200 ha. dan secara geografis terletak antara 115 o 45-116 o 40 BT dan 8 o 10-9 o 10 LS. Pulau Lombok seringkali digambarkan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kaedah dasar yang melandasi pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah dasar ini selanjutnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di dunia,

Lebih terperinci

19 Oktober Ema Umilia

19 Oktober Ema Umilia 19 Oktober 2011 Oleh Ema Umilia Ketentuan teknis dalam perencanaan kawasan lindung dalam perencanaan wilayah Keputusan Presiden No. 32 Th Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Kawasan Lindung

Lebih terperinci

Contoh Makalah Penelitian Geografi MAKALAH PENELITIAN GEOGRAFI TENTANG LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA

Contoh Makalah Penelitian Geografi MAKALAH PENELITIAN GEOGRAFI TENTANG LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA Contoh Makalah Penelitian Geografi MAKALAH PENELITIAN GEOGRAFI TENTANG LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA Disusun oleh: Mirza Zalfandy X IPA G SMAN 78 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan basah memiliki peranan yang sangat penting bagi manusia dan lingkungan. Fungsi lahan basah tidak saja dipahami sebagai pendukung kehidupan secara langsung seperti

Lebih terperinci

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB II. PELESTARIAN LINGKUNGAN

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB II. PELESTARIAN LINGKUNGAN SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB II. PELESTARIAN LINGKUNGAN Rizka Novi Sesanti KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. migran. World Conservation Monitoring Centre (1994) menyebutkan

BAB I PENDAHULUAN. migran. World Conservation Monitoring Centre (1994) menyebutkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Burung adalah salah satu kekayaan hayati yang dimiliki oleh Indonesia. Sukmantoro dkk. (2007) mencatat 1.598 spesies burung yang dapat ditemukan di wilayah Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Ketiadaan hak kepemilikan (property right) pada sumberdaya alam mendorong terjadinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan seluruh satuan lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi maupun tidak, dapat menghasilkan kayu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bogor merupakan kota yang terus berkembang serta mengalami peningkatan jumlah penduduk dan luas lahan terbangun sehingga menyebabkan terjadinya penurunan luas

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera 1 2 3 Pendahuluan (Sistem Perencanaan Tata Ruang - Kebijakan Nasional Penyelamatan Ekosistem Pulau Sumatera) Penyelamatan Ekosistem Sumatera dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak dikembangkannya tanaman kelapa sawit di Indonesia pada tahun 60-an,

BAB I PENDAHULUAN. Sejak dikembangkannya tanaman kelapa sawit di Indonesia pada tahun 60-an, 60 BAB I PENDAHULUAN 3.1. Latar Belakang Sejak dikembangkannya tanaman kelapa sawit di Indonesia pada tahun 60-an, luas areal perkebunan kelapa sawit mengalami perkembangan yang sangat pesat. Bila pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kepadatan penduduk di Kota Bandung yang telah mencapai 2,5 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni. Perumahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah wilayah dengan topogafi yang dibatasi oleh punggung-punggung bukit tempat tangkapan air hujan yang akan dialirkan melalui anak-anak sungai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan luas, hutan tropis Indonesia menempati urutan ke tiga setelah Brasil dan Republik Demokrasi

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

PROGRAM PHBM DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI. LAYAKKAH DIPERTAHANKAN???

PROGRAM PHBM DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI. LAYAKKAH DIPERTAHANKAN??? PROGRAM PHBM DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI. LAYAKKAH DIPERTAHANKAN??? (Studi kasus di kawasan TN Alas Purwo) Oleh : Bagyo Kristiono, SP. /Polhut Pelaksana Lanjutan A. PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang BAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakang Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang 95.181 km terdiri dari sumber daya alam laut dan pantai yang beragam. Dengan kondisi iklim dan substrat

Lebih terperinci

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar?

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar? Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? Ekologi Hidupan Liar http://staff.unila.ac.id/janter/ 1 2 Hidupan liar? Mencakup satwa dan tumbuhan Pengelolaan hidupan liar PENGERTIAN perlindungan populasi satwa untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gunung Salak merupakan salah satu ekosistem pegunungan tropis di Jawa Barat dengan kisaran ketinggian antara 400 m dpl sampai 2210 m dpl. Menurut (Van Steenis, 1972) kisaran

Lebih terperinci

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi I. Keanekaragaman hayati UU No. 5, 1990 Pasal 21 PP No. 68, 1998 UU No. 41, 1999 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya melalui Cagar Alam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada gangguan akibat beragam aktivitas manusia, sehingga mengakibatkan kerusakan ekosistem hutan yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

GEMPA DAN TSUNAMI GEMPA BUMI

GEMPA DAN TSUNAMI GEMPA BUMI GEMPA DAN TSUNAMI FIDEL BUSTAMI COREMAP DAN LAPIS BANDA ACEH Pengertian : GEMPA BUMI Pergerakan bumi secara tiba-tiba tiba,, yang terjadi karena adanya tumbukan lempeng bumi yang mengandung energi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Ekosistem mangrove adalah tipe ekosistem yang terdapat di daerah pantai dan secara teratur di genangi air laut atau dipengaruhi oleh pasang surut air laut,

Lebih terperinci