KERAPATAN DAN POLA DISRIBUSI TERATAI (Nymphaea sp.) DI PADANG PENGGEMBALAAN KERBAU RAWA DESA PANDAK DAUN KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN

dokumen-dokumen yang mirip
KERAPATAN DAN POLA DISTRIBUSI FAMILI PALMAE DI KAWASAN AIR TERJUN BAJUIN KABUPATEN TANAH LAUT

KERAPATAN DAN POLA DISTRIBUSI POHON KELAPA HIJAU (Cocos nucifera) PADA WILAYAH TIDAK BERPENGHUNI DI DESA BARIANG. Nor Aiyda 1, Lagiono 1.

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. cruciferae yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Sawi memiliki nilai gizi yang

BAB I PENDAHULUAN. kotoran manusia atau hewan, dedaunan, bahan-bahan yang berasal dari tanaman

Pupuk organik cair termasuk dalam salah satu pupuk organik yang memiliki manfaat memperbaiki sifat fisik tanah, membantu pembentukan klorofil daun,

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pupuk merupakan suatu bahan yang mengandung satu atau lebih unsur hara bagi tanaman. Bahan tersebut dapat berasal

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah adalah kotoran atau buangan yang merupakan komponen penyebab

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. dicotyledoneae. Sistem perakaran kailan adalah jenis akar tunggang dengan

I. PENDAHULUAN. Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena

PENGUJIAN PUPUK TULANG AYAM SEBAGAI BAHAN AMELIORASI TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN SORGHUM DAN SIFAT- SIFAT KIMIA TANAH PODZOLIK MERAH KUNING PEKANBARU

Nur Rahmah Fithriyah

BAB I PENDAHULUAN. sayur yang paling diminati oleh masyarakat Indonesia. Harga tanaman

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN. semakin meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan dilakukan pengembangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENGARUH PENGGUNAAN PUPUK KANDANG DAN NPK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN KACANG TANAH

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu komoditi tanaman

PENDAHULUAN. Kondisi tanah di Indonesia yang merupakan negara tropis basah. tahunnya diperlukan penambahan unsur hara yaitu untuk lahan kering sekitar

TINJAUAN PUSTAKA. keberhasilan usaha pengembangan peternakan disamping faktor bibit dan

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Ultisols merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran

I. PENDAHULUAN. Tanaman pisang adalah salah satu komoditas yang dapat digunakan sebagai

I. PENDAHULUAN. Mentimun (Cucumis sativus L.) merupakan salah satu tanaman sayuran yang

I. PENDAHULUAN. pembenihan karena memiliki nutrisi tinggi, antara lain protein %,

I. PENDAHULUAN. tumbuhan tersebut. Suatu komunitas tumbuhan dikatakan mempunyai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman jagung manis (Zea mays sacharata Sturt.) dapat diklasifikasikan

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah tanaman semusim yang tumbuh

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sayuran merupakan tanaman hortikultura yang memiliki peran sebagai sumber vitamin dan mineral.

I. PENDAHULUAN. Larutan Mikroorganisme Lokal (MOL ) terbuat dari bahan-bahan alami,

BAB I PENDAHULUAN. Cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu jenis tanaman

MODUL MATA PELAJARAN IPA

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan pangan terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, baik di dunia maupun nasional.

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KERAGAAN PERTUMBUHAN JAGUNG DENGAN PEMBERIAN PUPUK HIJAU DISERTAI PEMUPUKAN N DAN P

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber

BAB I PENDAHULUAN. menjadi dua yaitu gambut topogen dan ombrogen. 2

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanah marginal merupakan tanah yang potensial untuk pertanian. Secara alami

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gunung Merapi. Bunga Anggrek dengan warna bunga putih dan totol-totol merah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keluarga remput-rumputan dengan spesies Zea mays L. Secara umum, klasifikasi jagung dijelaskan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengurangi pemakaian pestisida. Limbah padat (feses) dapat diolah. menjadi pupuk kompos dan limbah cair (urine) dapat juga diolah

BAB I PENDAHULUAN. Ternak ruminansia seperti kerbau, sapi, kambing dan domba sebagian besar bahan

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman

BAB XV LIMBAH TERNAK RIMINANSIA

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat)

TINJAUAN PUSTAKA. A. Kompos Kulit Buah Jarak Pagar

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Metode Penelitian Pembuatan Pupuk Hayati

S. leprosula, S. selanica dan S. mecistopteryx menunjukkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Biotani Sistimatika Sawi. Sawi adalah sekelompok tumbuhan dari marga Brassica yang

HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Bawang Merah. yang merupakan kumpulan dari pelepah yang satu dengan yang lain. Bawang

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung merupakan salah satu komoditas strategis yang bernilai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Selada merupakan tanaman semusim polimorf (memiliki banyak bentuk),

TINJAUAN PUSTAKA. Reaksi tanah menyatakan tingkat kemasaman suatu tanah. Reaksi tanah dapat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Caisim diduga berasal dari Tiongkok (Cina) dan Asia Timur.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kacang hijau termasuk suku (famili) leguminoseae yang banyak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman Jagung Manis (Zea mays saccharata Sturt L.) Sekelompok akar sekunder berkembang pada buku-buku pangkal batang dan

RINGKASAN. I. Pendahuluan. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jamur merang merupakan salah satu jenis jamur pangan yang memiliki nilai gizi yang tinggi dan permintaan pasar

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang. sangat berperan penting sebagai sumber asupan gizi yang dibutuhkan

II. TINJAUAN PUSTAKA

PEMBERIAN MIKORIZA DAN PUPUK ORGANIK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN JAGUNG (Zea mays)

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sumber daya alam untuk keperluan sesuai kebutuhan hidupnya. 1 Dalam suatu

TINJAUAN PUSTAKA. muda. Tanaman ini merupakan herba semusim dengan tinggi cm. Batang

BAB I PENDAHULUAN. jenis tanaman yang akan ditanam, termasuk pada tanaman yakon yang. merupakan jenis tanaman perdu yang hidup secara liar.

I. PENDAHULUAN. Cabai (Capsicum annuum L.) merupakan komoditas sayuran yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. adanya kandungan karotin, Vitamin A, Vitamin B dan Vitamin C. Oleh karena itu,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kubis adalah kalori (25,0 kal), protein (2,4 g), karbohidrat (4,9 g), kalsium (22,0

I. PENDAHULUAN. Cabai rawit kathur (Capsicum frutescens) merupakan komoditas rempah-rempah

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara agraris, sebagian besar mata

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tomat

PEMANFAATAN JERAMI PADI DAN PENAMBAHAN KOTORAN AYAM SEBAGAI MEDIA PERTUMBUHAN JAMUR MERANG (Volvariella volvaceae) SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Hampir semua penduduk Indonesia bermatapencaharian dari hasil alam yang. berupa pertanian maupun perkebunan. (L.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Syarat Tumbuh Tanaman Selada (Lactuca sativa L.)

BAB I PENDAHULUAN. selulosa yang dihasilkan oleh bakteri Acetobacter xylinum (Alwani et al., 2011).

TINJAUAN PUSTAKA. Gladiol berasal dari bahasa latin Gladius yang berarti pedang kecil, menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kacang hijau merupakan salah satu tanaman pangan yang banyak dibudidayakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sumber energi yang digunakan untuk menyusun berbagai komponen sel selama

ANALISIS PERAN LIMBAH CAIR TAHU DALAM PRODUKSI BIOGAS

I. PENDAHULUAN. Nenas adalah komoditas hortikultura yang sangat potensial dan penting di dunia.

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman bawang merah (Allium ascalonium L.) merupakan tanaman

Transkripsi:

KERAPATAN DAN POLA DISRIBUSI TERATAI (Nymphaea sp.) DI PADANG PENGGEMBALAAN KERBAU RAWA DESA PANDAK DAUN KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN Density and Distribution Pattern of Lotus (Nymphaea sp.) in Grazing Area of Swamp Buffalo, Pandak Daun Village, Hulu Sungai Selatan Regency Muhammad Arsyad * Program Studi Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat, Jalan Brigjen H. Hasan Basri No. 87 Kayutangi, Banjarmasin, Indonesia *Surel korespondensi: muhammadarsyad@unlam.ac.id Abstract. Lotus (Nymphaea sp) is one of marsh plants type. Part of Lotus can be utilized, for example lotus seeds can be consumed because it contains carbohydrates, Lotus potentially be ornamental plants, and Lotus used in traditional ceremonies. Pandak Daun Village is a marsh area that are grazing area of swamp buffalo. In the of the grazing area of swamp buffalo there are many types of plants, one of them is Lotus (Nymphaea sp). The objectives of the research to determine the density and the distribution pattern of Lotus in the grazing area of swamp buffalo Pandak Daun Village Hulu Sungai Selatan Regency. Descriptive method was used in this research. Research area were divided into three zones: the area with high grazing intensity within 100 meters from the byre as zone I, the ares with medium grazing intensity within 200 meters from byre as zone II, and the area with low grazing intensity within 300 meter from byre as zone III. The number of sampling points in each zone is 100 points with a plot sized 1 x 1 m 2. Determination of distribution patterns used Poisson distribution formula. The Results showed density of Lotus (Nymphaea sp) in the zone I was 34 ind / ha, in zone II was 34 ind / ha, and in zone III was 9 ind / ha. The distribution pattern of Lotus (Nymphaea sp) in zone I and zone II are clumped distribution, whereas in zone III is random distribution. Keywords: buffalo, grazing, density, distribution, Lotus 1. PENDAHULUAN Teratai adalah salah satu submerged plants yang hidup dirawa atau sungai yang tidak begitu dalam. Akar teratai berada di dasar perairan sedangkan daun teratai biasanya berada dipermukaan. Menurut Steenis (2006) daun teratai berbentuk bulat lebar seperti perisai dan mengapung di permukaan air. Teratai memiliki manfaat, diantaranya adalah biki teratai bisa dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat. Tepung biji teratai dapat dimanfaatkan sebgai bahan untuk membuat kue. Menurut Khairiah, Novariana, Nurhidayah, Kurniawan & Nooryantini (2012) kandungan unsur gizi yang terdapat pada biji teratai yaitu protein, lemak, karbohidrat, serat, abu, air, dan energi. Selain itu biji teratai juga berpotensi sebagai antimikroba. Berdasarkan hasil penelitian Widya, Suryanto & Desrita (2014) ekstrak biji teratai mengandung senyawa alkaloid, fenolik, glikosida, dan terpenoid. Hasil penelitian aktivitas antimikroba biji teratai dengan pelarut n-heksana terhadap bakteri Aeromonas hydrophila menunjukkan adanya zona hambat bakteri yang terbentuk. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Sari, Wardenaar, & Yusro (2013) menunjukkan ekstrak methanol bonggol teratai mampu menghambat pertumbuhan cendawan pelapuk kayu Schizopyllum commune Fries. Potensi lain yang dimiliki oleh teratai adalah potensi di bidang kesehatan. Hasil penelitian Fitrial, Astawan, Soekarto, Wiryawan & Wrisdiyati (2012) menunjukkan pemberian ekstrak biji teratai pada tikus percobaan dapat mencegah kerusakan vili usus halus akibat serangan E.coli enteropatogenik. Hasil penelitian ini didukuang oleh hasil penelitian Yuspihana, Khairina, & Oktaviyanti (2012) yang menyimpulkan bahwa Substitusi tepung biji teratai pra-masak sebelum, selama dan sesudah intervensi EPEC dapat mencegah diare yang berkepanjangan pada tikus dan dapat melindungi kerusakan epitel usus halus akibat intervensi EPEC Hasil lain yang menunjukkan adanya potensi teratai dalam bidang kesehatan adalah hasil penelitian Aprilina, Nastiti, Putriandani & Hestiningsih (2012) dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pemanfaatan kandungan quercetin yang terdapat pada bunga teratai yang dapat membantu pengobatan luka radang bernanah atau biasa disebut dengan impetigo. 2017. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Lambung Mangkurat 74

Peran lain dari tumbuhan teratai adalah dari segi pengelolaan limbah di lingkungan. Hasil penelitian & tentang efektivitas tanaman teratai dan eceng gondola dalam menurunkan kadar BOD pada limbah cair industry tahu menunjukkan adanya penurunan kadar BOD pada limbah cair industry tahu di hari ke 18 setelah diberikan perlakuan dengan teratai. Penurunan BOD yaitu dari 1280 mg/l menjadi 63,51 mg/l. Manfaat lain dari teratai adalah sebagai tanaman yang digunakan dalam upacara adat di daerah tertentu dan berpotensi sebagai tanaman hias. Hasil penelitian Budiwati & Kriswiyanti (2014) menunjukkan bahwa di Desa Adat Sumampan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar Bali masyarakat memanfaatkan teratai sebagai sarana upakara/banten dan sebagai tanaman hias. Padang penggembalaan Kerbau Rawa di desa Pandak Daun adalah salah satu daerah rawa. Pada daerah rawa tersebut terdapat teratai. Bagian dari teratai yang dimanfaatkan oleh masyarakat disekitar daerah rawa tersebut adalah bagian bijinya. Kawasan padang penggembalaan kerbau rawa memiliki potensi kandungan nitrogen yang lebih tinggi dibandingkan kawasan lain di sekitarnya. Hal ini dapat disebabkan karena penguraian dari kotoran kerbau dapat menambah suplai nitrogen yang ada di lingkungan. Nitrogen tersebut dapat mempengaruhi pertumbuhan suatu tumbuhan. Hasil penelitian Fahmi, Syamsudin, Utami, & Radjagukguk (2010) menunjukkan bahwa ada pengaruh interaksi hara nitrogen dan fosfor terhadap pertumbuhan tanaman jagung. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa nitrogen dapat mempengaruhi pertumbuhan tumbuhan. Keberadaan komunitas tumbuhan di alam dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan. Distribusi semua tumbuhan di alam dapat disusun dalam tiga pola dasar, yaitu acak, teratur, dan mengelompok. Pola distribusi demikian erat hubungannya dengan kondisi lingkungan. Organisme pada suatu tempat bersifat saling bergantung, sehingga tidak terikat berdasarkan kesempatan semata, dan bila terjadi gangguan pada suatu organisme atau sebagian faktor lingkungan akan berpengaruh terhadap keseluruhan komunitas (Barbour, Busk & Pitts, 1987). Kondisi komunitas tumbuhan juga dapat dipengaruhi oleh kerapatan dalam populasi. Kerapatan adalah jumlah individu dalam satuan luas tertentu. Hasil penelitian Akbar (2011) menunjukkan adanya pengaruh kerapatan terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman tembakau. Data kerapatan dan pola distribusi dapat digunakan untuk mengembangkan dan meningkatkan populasi suatu tumbuhan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kerapatan dan pola distribusi teratai (Nymphaea sp,) di padang penggembalaam kerbau rawa Desa Pandak Daun Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Kawasan penelitian dibagi menjadi 3 (tiga) zona dengan kandang kerbau rawa sebagai pusatnya. Tiga zona tersebut zona I sebagai kawasan dengan intensitas penggembalaan tinggi, zona II sebagai kawasan dengan intensitas penggembalaan sedang, dan zona III sebagai kawasan dengan intensitas penggembalaan rendah. 2. METODE Jenis Penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Pengambilan data dilakukan dengan cara observasi langsung. Penelitian ini dilakukan di kawasan padang penggembalaan kerbau rawa di Desa Pandak Daun Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Kawasan penelitian dibagi menjadi 3 (tiga) zona dengan kandang kerbau rawa sebagai pusatnya. Tiga zona tersebut zona I sebagai kawasan dengan intensitas penggembalaan tinggi, zona II sebagai kawasan dengan intensitas penggembalaan sedang, dan zona III sebagai kawasan dengan intensitas penggembalaan rendah. System zonasi ini berbentuk lingkaran, sebagai jarijari Zona I adalah jarak 100 meter dari kandang kerbau, zona II berjarak 200 meter dari kandang kerbau dan zona III berjarak 300 meter dari kandang kerbau. Titik pengambilan sampel pada masingmasing zona adalah 100 titik sehingga jumlah titik pada ketiga zona tersebut adalah 300 titik. Pengambilan sampel pada masing-masing titik menggunakan plot berukuran 1 m x 1 m. pada plot tersebut diamati keberadaan teratai dan menghitung jumlah spesies pada setiap plot pengamatan. Kerapatan dihitung berdasarkan rumus berikut ini (Fahrul, 2012) Kerapatan (K) = (Jumlah individu suatu spesies) / (Luas seluruh plot) Pola distribusi spesies tumbuhan ditentukan dengan model distribusi Poisson, dengan menghitung nilai Chi Square (χ2). Bila pola distribusinya tidak acak maka dilakukan pengujian lebih lanjut melalui perhitungan Varian (V) (Barbour et. al., 1987; Chapman & Moore, 1986; Ludwig & Reynolds, 1988). 2017. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Lambung Mangkurat 75

Bila nilai X 2 hitung < dari pada X 2 tabel, maka pola distribusi adalah acak (random). Jika terjadi sebaliknya, pola distribusi adalah non acak. Ada dua kemungkinan pola distribusi spesies: teratur (reguler) dan mengelompok (clumped). Langkah yang ditempuh dengan menghitung nilai varian (V). Jika V = > 1 maka pola distribusi mengelompok, dan jika V = < 1 maka pola distribusi teratur. Data dianalisis dengan menghitung perbandingan varians dan mean. Ini bertujuan untuk melihat pola distribusi teratai dengan lebih spesifik. Pada kawasan penelitian diukur kandungan beberapa unsur yang terkandung di dalam air. Kandungan unsur yang diukur pada masing-masing zona adalah nitrogen (N), fosfor (P), karbon (C), ferum (Fe), kalium (Ka), kalsium (Ca), dan magnesium (Mg). Pengukuran ini bertujuan untuk membandingkan kondisi unsur pada setiap zona di kawasan penelitian 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Kerapatan Kerapatan teratai pada setiap zona disajikan pada Tabel 1 dan perbandingannya pada Gambar 1. Tabel 1. Jumlah individu dan kerapatan teratai pada setiap zona No Zona Jumlah Kerapatan Penelitian Individu K (ind/m2) K (Ind/ha) 1 I* 34 0.34 34 2 II** 34 0.34 34 3 III*** 9 0.09 9 Keterangan: * = Intensitas penggembalaan tinggi ** = Intensitas penggembalaan sedang *** = Intensitas penggembalaan rendah Gambar 1. Grafik kerapatan teratai pada setiap zona Hasil kerapatan pada penelitian ini dihitung dengan cara membagi jumlah individu yang ditemukan dengan satuan luas area pengamatan yaitu total luas seluruh plot yang digunakan. Pada penelitian jumlah plot yang digunakan adalah 100 dengan ukuran masing-masing plot adalah 1x1m 2. Total satuan luas untuk pembagi jumlah individu adalah 100 m 2. Kerapatan adalah jumlah individu suatu spesies per satuan luas atau per satuan cuplikan. Menurut Odum (1998) kerapatan populasi adalah besarnya populasi dalam hubungannya dengan satuan ruang. Pada umumnya dinyatakan sebagai jumlah individu, atau biomass populasi per satuan areal atau volume. Syafei (1994) menjelaskan besarnya suatu populasi di suatu kawasan tertentu biasanya dinyatakan dalam suatu peristilahan kerapatan atau kepadatan populasi. Berdasarkan data kerapatan pada tabel 1 terlihat adanya kesamaan angka kerapatan pada zona I dan II. Kerapatan pada zona III berbeda cukup jauh dengan zona I dan II. Zona III merupakan zona dengan intensitas penggembalaan rendah. Menurut Syafei (1994) perubahan populasi sangat ditentukan oleh berbagai faktor yaitu kelahiran atau regenerasi, kematian, perpindahan masuk, dan perpindahan keluar. Natalitas adalah kemampuan yang merupakan sifat dari suatu populasi untuk bertambah. Laju kelahiran setara dengan kelahiran. Natalitas ini dapat berupa kelahiran, menetesnya telur, pembuahan atau timbulnya individu oleh pembelahan sel. Mortalitas adalah kematian individu-individu di dalam populasi. Hal ini kurang lebih merupakan kebalikan daripada natalitas. Laju mortalitas setara dengan kematian. Seperti halnya natalitas, motalitas dapat dinyatakan sebagai individu yang mati dalam kurun waktu tertentu (Odum, 1998). Zona I dan II merupakan zona dengan intensitas penggembalaan tinggi dan sedang. Meskipun intensitas penggembalaan tinggi, tetapi teratai bukan spesies palatable bagi kerbau rawa di kawasan tersebut. Sehingga hal ini tidak menjadi faktor yang dapat menyebabkan mortalitas bagi teratai tersebut. Sebaliknya pada zona itu, aktivitas penggembalaan tinggi dan sedang sehingga peluang adanya sisa pencernaan (feses) yang dikeluarkan oleh kerbau lebih tinggi dibandingkan zona III. Feses meningkatkan unsur nitrogen di kawasan perairan. Hasil penelitian Hariatik (2014) menunjukkan bahwa kotoran sapi mengandung unsur nitrogen, fosfor, dan kalium. Ada perbedaan kadar nitrogen pada setiap zona (Tabel 2). 2017. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Lambung Mangkurat 76

Tabel 2. Pengukuran kandungan unsur pada sampel air di setiap zona No Unsur yang diukur Zona I Zona II Zona III 1 N-Total (%) 0,336 0,212 0,126 2 P (ppm) 11,477 13,108 9,953 3 C organik (%) 5,05 2,64 0,43 4 Fe (ppm) 1079,55 906,60 374,15 5 K (Cmol(+)/kg) 0,21 0,21 0,13 6 Ca (Cmol(+)/kg) 9,84 5,66 4,09 7 Mg (Cmol(+)/kg) 3,74 2,44 1,69 Berdasarkan tabel 2 terlihat adanya perbedaan kandungan N pada masing-masing zona. Kandungan nitrogen paling tinggi ada pada zona I dan kandungan nitrogen paling rendah ada pada zona III. Hasil pengukuran unsur karbon dan fosfor juga memperlihatkan adanya perbedaan antara zona I, II, dan III. Pada zona III kandungan karbon dan forfor lebih rendah dibandingkan zona I dan II. Kandungan hara seperti karbon dan nitrogen dapat mempengaruhi pertumbuhan tumbuhan. Faktor pertumbuhan ini juga akan berdampak terhadap populasi spesies tumbuhan tersebut. Hasil penelitian Fahmi et al. (2010) menunjukkan bahwa ada pengaruh interaksi hara nitrogen dan fosfor terhadap pertumbuhan tanaman jagung. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa nitrogen dan fosfor dapat mempengaruhi pertumbuhan tumbuhan. Menurut Aiyda dan Lagiono (2015) Nilai kerapatan dapat menggambarkan bahwa jenis yang nilai kerapatannya tinggi memiliki pola penyesuaian yang besar. Lebih lanjut Odum (1998) menjelaskan bahwa kerapatan populasi selalu berubah menurut waktu. Beberapa perubahan hanya berfluktuasi local yang kecil sifatnya, sehingga tidak memberikan arti yang penting. Perubahan yang lainnya cukup besar sehingga mempengaruhi sistem secara keseluruhan. Salah satu Faktor yang menyebabkan perubahan kerapatan populasi adalah gangguan ekologis seperti perubahan iklim dan pengaruh dari faktor seperti polusi, kebakaran hutan (api), dan penginjakan yang menyebabkan penurunan ukuran populasi baik untuk sementara maupun untuk waktu yang relatif lama. 3.2 Pola Distribusi Pada zona I dan II nilai X 2 lebih besar daripada X table sehingga diketahui pola distribusi teratai di kawasan tersebut adalah non acak (Tabel 3). Hasil perhitungan menunjukkan nilai V/M pada zona I dan II lebih besar dari 1. Hal ini berarti pola distribusi pada zona I dan II adalah mengelompok. Sedangkan perhitungan pada zona III menunjukkan nilai X 2 hitung lebih kecil dari X table sehingga disimpulkan bahwa pola distribusi di zona III adalah acak. Karena pola distribusi pada zona III adalah acak maka analisis tidak dilanjutkan ke perhitungan perbandingan Varians dan Mean. Tabel 3. Nilai X 2 dan pola distribusi teratai (Nymphaeae sp) pada masing-masing zona Zona No X Penelitian Pola Xtabel V/M Distribusi 1 I* 35.051 11.345 3.043 Mengelompok 2 II** 26.972 11.345 4.303 Mengelompok 3 III*** 9.085 9.21 - Acak Keterangan: * = Intensitas penggembalaan tinggi ** = Intensitas penggembalaan sedang *** = Intensitas penggembalaan rendah Pola distribusi teratai di zona I dan II adalah mengelompok. Pada zona III pola distribusi teratai adalah acak. Menurut Indriyanto (2012). Pola bergerombol memperlihatkan bahwa hadirnya tumbuhan memungkinkan untuk menemukan individu lain dari jenisnya yang sama di sekitarnya. Sedangkan pola teratur atau seragam terjadi apabila kondisi lingkungan cukup seragam di seluruh area dan ada kompetisi yang kuat antar individu anggota populasi. Lebih lanjut Odum (1998) menjelaskan bahwa kompetisi yang kuat antar individu anggota populasi akan mendorong terjadinyapembagian ruang yang sama Pola distribusi tumbuhan secara bergerombol dapat dilihat dari cara reproduksi tumbuhan yang kebanyakan berkembangbiak dengan biji dimana biji atau buah cenderung jatuh dekat induk atau rimpang yang menghasilkan anakan vegetative yang masih dekat dengan induknya (Campbell, Reece, & Mitchell 2000) Pada zona I dan II adalah mengelompok. Hasil penelitian Djufri (2002) menunjukkan spesies rumpun cenderung memiliki pola distribusi mengelompok. Fenomena ini dapat dijelaskan karena kelompok rumpun mempunyai jumlah individu relatif banyak pada setiap kuadrat, dan perkembangbiakannya melalui rimpang (stolon) menghasilkan anakan vegetatif yang masih dekat dengan induknya. Tumbuhan teratai adalah salah satu spesies tumbuhan yang dapat bereproduksi secara vegetatif dan generatif. Perkembangbiakan vegetatif teratai dengan menggunakan rimpang. Hal ini diduga menjadi penyebab pola distribusi pada zona I dan II mengelompok. Perkembangbiakan dengan rimpang lebih memungkinkan dibandingkan perkembangbiakan dengan biji. Hal ini karena aktivitas penggembalaan yang lebih tinggi di zona I dan II dibandingkan zona III. 2017. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Lambung Mangkurat 77

Distribusi semua tumbuhan di alam dapat disusun dalam tiga pola dasar, yaitu acak, teratur, dan mengelompok. Pola distribusi demikian erat hubungannya dengan kondisi lingkungan. Organisme pada suatu tempat bersifat saling bergantung, sehingga tidak terikat berdasarkan kesempatan semata, dan bila terjadi gangguan pada suatu organisme atau sebagian faktor lingkungan akan berpengaruh terhadap keseluruhan komunitas (Barbour et al., 1987). Pola distribusi bergerombol berhubungan dengan lingkungan mikro, dimana habitat bersifat homogen pada tingkat lingkungan makro, tetapi pada lingkungan lebih kecil terdiri atas banyak mikrositus yang berbeda yang memungkinkan penempatan dan pemantapan suatu spesies dengan tingkat keberhasilan yang berbeda pula. Mikrositus yang cocok suatu spesies akan cendrung lebih padat ditempati oleh spesies yang sama (Ramli & Hardiansyah, 2000). Pola distribusi acak pada zona III diduga juga disebabkan intensitas penggembalaan yang rendah. Intensitas penggembalaan yang rendah diduga menyebabkan aktivitas kerbau yang kurang di zona tersebut sehingga teratai dapat tumbuh lebih tersebar dibandingkan pada zona I dan zona II. Djufri (2002) menjelaskan pola distribusi acak dapat juga disebabkan oleh kompetisi dengan spesies kelompok rumpun, sehingga pertumbuhan terhambat pada kisaran ruang relatif sempit. Temuan ini membuka peluang lebih lanjut melalui penelitian yang rinci di laboratorium, sehingga diperoleh keterangan yang dapat memperjelas fakta yang dihasilkan melalui pengamatan di lapangan (autekologi). Pada zona III terdapat lebih banyak spesies herba lain; di antaranya spesies dari famili Poaceae dan Cyperaceae. Adanya spesies yang lebih banyak pada zona III karena pada zona III intensitas penggembalaan lebih rendah sehingga sehingga spesies palatable yang merupakan anggota famili Poaceae dan Cyperaceae lebih banyak. Jumlah spesies yang lebih banyak tersebut diduga menyebabkan kompetisi antar spesies sehingga ruang tumbuh untuk pertumbuhan mengelompok juga terbatas. Selain itu pada zona III jumlah spesies teratai yang ditemukan lebih banyak. Hal ini juga terlihat dari jumlah spesies yang ditemukan pada tiap plot juga lebih sedikit daripada zona I ssan II. Jumlah spesies yang lebih sedikit ditemukan pada masing-masing plot menunjukkan bahwa spesies memiliki pola distribusi cenderung acak dibandingkan mengelompok. 4. SIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan kerapatan teratai pada zona I adalah 34 ind/ha, pada zona II berjumlah 34 ind/ha, dan pada zona III berjumlah 9 ind/ha. Pola distribusi teratai pada zona I dan Zona II adalah mengelompok, sedangkan pada zona III pola distribusinya adalah acak. 5. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan penulis kepada pihal laboratorium Pendidikan Biologi PMIPA FKIP Universitas Lambuing Mangkurat dan tim lapangan yang telah mendukung proses pengumpulan data di lapangan 6. DAFTAR PUSTAKA Aiyda, N. & Lagiono. (2015). Kerapatan dan pola distribusi pohon kelapa hijau (Cocos nucifera) pada wilayah tidak berpenghuni di Desa Bariang. Jurnal Pendidikan Hayati. 1(3): 1-9 Akbar, B. (2011). Pengaruh Kerapatan Terhadap Pertumbuhan dan Produktivitas Tanaman Tembakau (Nicotiana tabacum) Varietas Serumpung dan Semboja. Paper. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh November Aprilina, M. S., Nastiti, D. P., Putriandani, A. D. & Hestiningsih, R. (2012). Metode plester herbal berbahan bunga teratai (Nelumbium nelumbo Druce) bagi penderita impetigo. Jurnal Ilmiah Mahaiswa. 2(2): 106-110 Barbour, G.M., Busk, J.K., & Pitts, W.D. (1987). Terrestrial Plant Ecology. New York: The Benyamin/Cummings Publishing Company, Inc. Budiwati, G. A. & Kriswiyanti, E. (2014). Manfaat Tanaman teratai (Nymphaea sp., Nymphaeaceae) di Desa Adat Sumampan, Kecamatan sukawati, Kabupaten gianyar, Bali. Jurnal Simbiosis. 2(1): 122-134 Campbell, N. A. Reece, J. B. & Mitchell, L. G. (2000). Biologi Jilid III. Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga. Chapman, S.B. & Moore, P.D. (1986). Methods in Plant Ecology. London: Blackwell Scientific Publication Djufri. (2002). Penentuan pola distribuusi, asosiasi, interaksi spesies tumbuhan khususnya padang rumput di Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. Jurnal Biodiversitas. 3(1):181-188 Fahmi, A., Syamsudin, Utami, S. N. H., & Radjagukguk, B. (2010). Pengaruh interaksi hara nitrogen dan forsfor terhadap pertumbuhan tanaman jabung (Zea mays L.) pada tanah regosol dan latosol. Berita Biologi. Jurnal Ilmu-Ilmu Hayati. 10(3): 297-304 Fitrial, Y., Astawan M., Soekarto, S. T., Wiryawan, K. G. & Wrisdiyati, T. (2012). Potensi biji dan ekstrak biji teratai (Nymphaea pubescens WillId) sebagai 2017. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Lambung Mangkurat 78

pencegah diare pada tikus percobaan yang diintervensi E. coli Enteropatogenik. Agritech. 32(3): 308-317 Hariatik. (2014). Perbandingan Unsur NPK pada Pupuk Organik Kotoran Sapi dan Kotoran ayam dengan Pembiakan Mikro Organisme Lokal (MOL). Prosiding Seminar Nasional IV Pendidikan Sains FKIP UNS. Volume 1. Surakarta: FKIP UNS. Diakses dari http://jurnal.fkip.uns.ac.id/index.php/snps/article/do wnload/5096/3602 Indriyanto. (2012). Ekologi Hutan. Jakarta: Bumi Aksara Khairiah, Novariana M., Nurhidayah, Kurniawan, M. A., & Nooryantini. (2012). Pembuatan Biskuit Biji Teratai untuk Meningkatkan Pemanfataan Tepung Biji Teratai. Jurnal prestasi. 1(2): 137-145 Ludwig, J.A. & Reynolds, J.F. (1988). Statistical Ecology a Primer on Methods and Computing. San Diego, California: A Wiley-Interscience Publication Nindra, D. Y. & Hartini, E. (2015). Efektivitas tanaman teratai (Nympahea firecrest) dan eceng gondok (Eichhornia crassipes) dalam menurunkan kadar BOD (Biochemical Oxygen Demand) pada limbah cair industri tahu. Isikes Jurnal Kesehatan. 14(2): 123-130 Odum, E.P. (1998). Dasar-dasar Ekologi Edisi ke-3. Yogyakarta: Gajah Mada University press. Ramli, D. & Hardiansyah. (2000). Ekologi Tumbuhan. Banjarmasin: Pendidikan Biologi FKIP Unlam Sari, E. P., Wardenaar, E., & Yusro, F. (2013). Aktivitas Ekstrak Metanol Bonggol Bunga Teratai (Nymphaea lotus l.) untuk Pengendalian Cendawan Pelapuk Kayu Schizopyllumcommune fries secara in vitro. Diakses dari http://jurnal.untan.ac.id/index.php/jmfkh/article/view /3068/3055 Syafei, E.S. (1994). Pengantar Ekologi Tumbuhan. Bandung:Fakultas Matematika dan IPA. Institut Teknologi Bandung Steenis, C.G.G.J.V. (2006). Flora: Untuk Sekolah di Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita Widya,D.R., Suryanto, D., & Desrita. (2014). Aktivitas antimikroba biji teratai (Nymphaea pubescens L.) terhadap bakteri Aeromonas hydrophila, Streptococcus agalactiae dan Jamur Saprolegnia sp. Jurnal Aquacostmarine. 2(1): 7-17 Yuspihana, F., Khairina R. & Oktaviyanti, I. K. (2012). Aktivitas biologis tepung biji teratai pra-masak sebagai produk pangan pencegah diare. JPHPI. 15(1): 136-147 ----- 2017. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Lambung Mangkurat 79