JURNAL PEMENUHAN HAK SAKSI DALAM PERKARA PIDANA PADA TAHAP PEMERIKSAAN DI PENGADILAN

dokumen-dokumen yang mirip
JURNAL IMPLEMENTASI HAK KORBAN UNTUK MENDAPATKAN RESTITUSI MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tidak pernah lepas dengan. berbagai macam permasalahan. Kehidupan bermasyarakat akhirnya

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. memutus perkara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WHISTLE BLOWER DALAM PERSIDANGAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

HAK TERSANGKA UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang pengaruhnya sangat luas. Perubahan-perubahan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

JURNAL KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI INFORMASI ATAU DOKUMEN ELEKTRONIK DALAM PERADILAN PERKARA PIDANA KORUPSI

PENULISAN HUKUM / SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan juga

BAB I PENDAHULUAN. telah berusia 17 tahun atau yang sudah menikah. Kartu ini berfungsi sebagai

NASKAH PUBLIKASI KEKUTAN PEMBUKTIAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PERSIDANGAN PIDANA UMUM

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA KAITANNYA DENGAN SPLITSING DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

BAB I. Hakim sebagai salah satu penegak hukum bertugas memutus perkara yang. diajukan ke Pengadilan. Dalam menjatuhkan pidana hakim berpedoman pada

ABSTRACT. Keywords : Compensation, Restitution, Rehabilitation, Terrorism.

BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan yang buruk, yang akan membimbing, dan mengarahkan. jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa,

JURNAL KEKUATAN ALAT BUKTI KETERANGAN SAKSI PENYANDANG DISABILITAS TUNA RUNGU DALAM PROSES PERADILAN PIDANA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DAN/ ATAU SAKSI KORBAN TRANSNATIONAL CRIME DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM PIDANA

TESIS MISRUN SUHARYONO NPM OLEH:

UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI PELAPOR

SKRIPSI. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP JUSTICE COLLABORATOR (Studi Kasus di Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah)

PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK)

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PEMETAAN LEGISLASI INDONESIA TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. Supriyadi Widodo Eddyono

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan. Salah satu ciri negara hukum Indonesia yaitu adanya. yang bertugas mengawal jalannya pemeriksaan sidang pengadilan.

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN STATUS TERSANGKA DALAM PUTUSAN PRAPERADILAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut penjelasan Pasal 31 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERAMPOKAN DIDALAM TAKSI DITINJAU DARI PERSEPEKTIF VIKTIMOLOGI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proses peradilan yang sesuai dengan prosedur menjadi penentu

BAB I PENDAHULUAN. oleh pemerintah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. menyatu dengan penyelenggarakan pemerintahan Negara 2. Tidak hanya di

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. tabu untuk dilakukan bahkan tidak ada lagi rasa malu untuk

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

NOMOR : M.HH-11.HM th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

JURNAL HUKUM KEWAJIBAN PEMEGANG HAK MILIK ATAS TANAH UNTUK MELESTARIKAN BANGUNAN HOTEL TUGU SEBAGAI BANGUNAN CAGAR BUDAYA PERINGKAT NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. maraknya penggunaan media elektronik mulai dari penggunaan handphone

KUALIFIKASI PENGEMBALIAN ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM KEPADA ORANG TUA/WALI (STUDI PUTUSAN PERKARA NO: 9/PID.SUS.ANAK/2016/PN.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara berkembang yang dari waktu ke waktu

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

BAB I PENDAHULUAN. Korupsi sebagai bentuk kejahatan luar biasa (extra ordenary crime) telah

I. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Pada hakekatnya anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. hubungan seksual dengan korban. Untuk menentukan hal yang demikian

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI PEMBELI BARANG HASIL KEJAHATAN DITINJAU DARI PASAL 480 KUHP TENTANG PENADAHAN

BAB I PENDAHULUAN. peraturan-peraturan tentang pelanggaran (overtredingen), kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di

BAB I PENDAHULUAN. Pidana (KUHAP) adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA (Studi di Wilayah Hukum Bandar Lampung)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

BUKTI ELEKTRONIK CLOSED CIRCUIT TELEVISION (CCTV) DALAM SISTEM PEMBUKTIAN PIDANA DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. menentukan secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 16/PUU-X/2012 Tentang KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. mengadakan wawancara terhadap responden yang telah ditentukan oleh penulis,

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

JURNAL ILMIAH KEDUDUKAN HUKUM KESAKSIAN ANAK DI BAWAH UMUR DALAM TINDAK PIDANA KDRT. Program Studi Ilmu Hukum

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan akses kepada keadilan (access to justice) dan kesamaan di

BAB I PENDAHULUAN. ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Tahun Setiap

URGENSI PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

III. METODE PENELITIAN. Pendekatan yang digunakan dalam pembahasan penulisan penelitian ini adalah

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. pada tahap interogasi / penyidikan sering terjadi tindakan sewenang-wenang

Transkripsi:

JURNAL PEMENUHAN HAK SAKSI DALAM PERKARA PIDANA PADA TAHAP PEMERIKSAAN DI PENGADILAN Diajukan Oleh : Debby Olivia Kairupan NPM : 12 05 10823 Program Studi : Ilmu Hukum Program Kekhususan : Peradilan Pidana UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA FAKULTAS HUKUM 2017

Debby Olivia Kairupan Ilmu Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta Email: olivia891219@gmail.com ABSTRACT The purpose of this study was to determine the fulfillment of the rights of witnesses in criminal cases at the stage of examination in court. A witness had equal rights to protection, but in fact in the Criminal Code the right of a witness not clearly regulated but rather confirms the obligation of a witness. Lack of maximizing protection of the rights of a witness to the attention that is quite important, because it is supposed Institute Witness and Victim Protection established aims to provide protection to witnesses and victims in all stages of the criminal justice process in an environment of justice that the witness and the victim gets a sense of security in providing information on any criminal proceedings. The research method that used in this research was normative research method, which is focus with the regulations in accordance to examine consistence and synchronization of regulation implementation with the reality. The results of research there are still some difficulties experienced by the parties Law Enforcement is the authority implementing the Act Protection of Witness, the Witness Protection Agency and the victim was not in every area and the nature of the electorate, limitation of aid that can be given by law enforcement, the cost and the lack of a witness about his rights. Keywords : witnesses, rights of witnesses, fulfillment, criminal justice process 1. PENDAHULUAN Untuk membuktikan suatu tindak pidana diperlukan suatu proses yang dapat membantu mengungkap kebenaran tanpa mengabaikan hak dari para pihak yang turut serta dalam proses mencari kebenaran. Salah satu proses dalam mengungkapkan kejahatan tersebut adalah pembuktian yang dilakukan dalam persidangan. Dalam proses pembuktian diperlukan alat bukti yang sah yang sebagaimana diatur dalam Pasal 184 Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk serta keterangan terdakwa. Dari lima alat bukti yang sah tersebut yang menjadi sorotan penulis adalah alat bukti keterangan saksi, secara khusus mengenai hak seorang saksi yang memberikan keterangan dalam persidangan yang kemudian keterangan tersebut dapat menjadi pertimbangan dalam penjatuhan hukuman bagi seorang terdakwa. Seorang saksi dilihat dari urutan 5 (lima) alat bukti yang sah, posisi saksi memiliki kedudukan yang sama pentingnya dengan korban untuk dapat membuktikan tentang duduk perkara. Sudah

seharusnya seorang saksi memiliki hak yang sama dalam perlindungan tetapi nyatanya dalam KUHAP hak seorang saksi tidak secara jelas diatur tetapi lebih menegaskan kewajiban seorang saksi. Bagaimanakah pemenuhan hak saksi jika ditinjau dari Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. problematika hukum yang terjadi terhadap perlindungan hak saksi di Indonesia belum dilakukan secara maksimal seperti kasus di Jakarta mengabarkan bahwa salah seorang saksi yang dihadirkan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus suap terhadap Anggota Komisi III DPR I Putu Sudiartana mengaku diancam. Ancaman terjadi di sela skors sidang untuk terdakwa, ancaman tersebut dilontarkan di luar ruang sidang tak berapa lama setelah Majelis Hakim mengetuk palu tanda persidangan diskors oleh salah satu pengacara terdakwa. 1 Dalam artikel lain dalam kasus Korupsi yang dengan terdakwa Anas Urbaningrum saksi Bertha Herawati yang mengaku diancam dalam persidangan terdakwa. Politisi Demokrat itu mengaku diancam agar tidak hadir dalam 1 http://m.metrotvnews.com/news/hukum/9k5g v6bb-saksi-kasus-putu-mengaku-sempatdiancam diakses 26 Oktober 2016. 2 https://www.merdeka.com/peristiw a/ada-saksi-diancam-kpk-bisasidang perkara penerimaan hadiah dari sejumlah proyek di pemerintahan dan TPPU. 2 Dari kedua artikel sebelumnya dapat ditemukan problematik hukum bagaimana peraturan yang diberlakukan kurang maksimal dan bertolak belakang dari kenyataan. Istilah lainnya das sollen bertentangan dengan das sein. Dalam artikel pertama dan kedua merupakan salah sedikit dari contoh kurangnya pemaksimalan perlindungan hak dari saksi yang ditegaskan dalam Pasal 2, Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (1) Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2006 dengan perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban belum dapat mencapai pada tujuan tersebut, hal itu menjadi perhatian yang cukup penting, karena seharusnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban didirikan betujuan agar memberikan perlindungan pada Saksi dan Korban dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan agar saksi dan korban mendapat rasa aman dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana. Beberapa contoh kasus diatas menjadi salah satu alasan penulis untuk meneliti bagaimanakah pemenuhan hak saksi dalam proses pemeriksaan di pengadilan mengingat dari beberapa kasus diatas pada pemeriksaan saksi di minta-tanggung-jawab-anas.html diakses 8 November 2016.

pengadilan masih ada pelanggaran yang terjadi, apakah sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 dengan perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dari uraian tersebut diatas penulis menyajikan judul sebagai berikut : Pemenuhan Hak Saksi Dalam Perkara Pidana Pada Tahap Pemeriksaan di Pengadilan. 2. METODE Jenis penelitian hukum yang dipergunakan adalah jenis penelitian hukum normatif. Jenis penelitian normatif bertitik fokus pada hukum positif berupa peraturan perundang-undangan yang dikaji secara vertikal dan horizontal, yaitu mengkaji Undangundang yang berkaitan dengan Pemenuhan Hak Saksi Dalam Perkara Pidana Pada Tahap Pemeriksaan di Pengadilan. a. Cara Pengumpulan Data 1) Studi Kepustakaan Cara yang dilakukan untuk memperoleh data sekunder yaitu dengan menelusuri serta mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan, jurnal, koran, website, dan pendapat hukum yang kemudian diklasifikasi menurut permasalahan yang diteliti. 2) Wawancara Wawancara adalah bentuk komunikasi verbal atau tanya jawab secara langsung dengan narasumber yang menguasai permasalahan yang sedang diteliti, wawancara dilakukan untuk memperoleh informasi dari narasumber untuk melengkapi data sekunder. Narasumber yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu a) Hakim pada Pengadilan Negeri Yogyakarta, Nuryanto S.H., M.H. b) Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta, Heri Supriyanto, S.H., M.H dan D. Lintang A, S.H. c) Advokat, Kornelius W. Nugroho S.H. d) Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Syarif Nurhidayat, S.H., M.H. b. Analisis data Analisis data dilakukan terhadap: 1) Analisis Bahan hukum Primer: a) Deskripsi yaitu menguraikan atau memaparkan peraturan perundang-undangan yang terkait mengenai isi maupun struktur tentang pemenuhan hak saksi dalam perkara pidana pada tahap pemeriksaan di pengadilan. b) Sistematisasi yaitu untuk mensistematisasi isi dan struktur hukum positif secara vertikal terdapat antinomi atau tidak. Sistematika secara vertikal yaitu pada Undang- Undang Dasar 1945 dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 BAB III mengenai HAM dan Kebebasan manusia, dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2006 mengenai hak saksi ditemukan adanya sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi dengan yang lebih rendah sehingga tidak bertentangan. c) Analisis hukum positif dilakukan dengan Open System yaitu peraturan perundang-undangan terbuka untuk di evaluasi atau dikaji. d) Interpretasi hukum positif, yaitu dengan interpretasi gramatikal yaitu mengartikan term bagian kalimat menurut bahasa sehari-hari atau bahasa hukum dan interpretasi sistematis yaitu mendasarkan ada/tidaknya sinkronisasi atau harmonisasi. Selain itu juga menggunakan interpretasi teleologis, yaitu setiap peraturan mempunyai tujuan tertentu. e) Menilai hukum positif, dalam hal ini menilai tentang kemanusiaan dan keadilan. 2) Analisis Bahan hukum Sekunder : yang berupa pendapat hukum dianalisis yang dilakukan dengan wawancara dengan narasumber akan dideskripsikan, diperbandingkan, dicari perbedaan atau persamaan pendapat mengenai Pemenuhan Hak Saksi dalam Perkara Pidana pada Tahap Pemeriksaan di Pengadilan. 3) Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder diperbandingkan, dan dicari ada tidaknya kesenjangan. Bahan hukum sekunder dipergunakan untuk mengkaji bahan hukum primer. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Pembahasan Menurut Darwan Prinst, yang dimaksud dengan alat bukti adalah alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dapar dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa. 3 Guna menjamin tegaknya kebenaran keadilan dan kepastian hukum, bagi seseorang maka ditentukan alat-alat bukti yang dapat dipergunakan dalam proses pemeriksaan perkara pidana, dari urutannya dapat diketahui, begitu pentingnya posisi saksi. Sebagaimana ditentukan dalam pasal 184 KUHAP. 4 Keterangan saksi atau kesaksian adalah terjemahan dari kata marturia atau martyfrein (bahasa Yunani). Marturia berasal dari kata martus, artinya saksi. Dalam dunia Yunani kuno, kata martus secara khusus digunakan pada bidang hukum, yakni saksi solemnitas dan saksi prosesuil. Keterangan saksi memberikan keterangan tentang apa yang seseorang tahu karena menyaksikan atau melihatnya dan yang dialaminya. 5 b. Hasil 3 Darwan Prinst, 1998, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Jakarta, hlm 135. 4 Syaiful Bakhri, 2009, Hukum Pembuktian; Dalam Praktik Peradilan Pidana, P3IH,Jakarta, hlm 128. 5 Riduan Syahrani, 2009, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti Bandung,hlm.47

1) Landasan Yuridis dalam Pelaksanaan Pemenuhan Hak saksi pada tahap Pemeriksaan di Pengadilan Landasan yuridis hakim, jaksa dan advokat dalam pemenuhan hak saksi di pengadilan saat ini memang hanya berdasarkan Kitab Undang-Undang Acara Pidana. Hal ini dikarenakan KUHAP mengarur hak serta kewajiban bagi mereka yang ada didalam proses pidana, sedangkan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 dan Pasal 12a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 mengatur tata cara perlindungan saksi dan korban serta lembaga yang bertanggung jawab yakni Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban agar dapat menangani pemberian perlindungan dan bantuan berdasarkan tugas dan wewenangnya, sehingga dalam pelaksanaannya hakim, jaksa dan advokat yang merupakan penegak hukum dalam pengadilan tidak mengikuti Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 serta perubahannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014. 2) Kesulitan dalam Pemenuhan Hak Saksi Pada Tahap Pemeriksaan di Pengadilan Hakim, Jaksa, Advokat adalah pihak-pihak yang berwenang dalam memeriksa saksi di dalam proses pemeriksaan di pengadilan. Pemeriksaan yang dilakukan berkaitan dengan pemenuhan hak saksi seperti yang tercantum didalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 serta Undang- Undang Nomo 31 Tahun 2014 mengalami hambatan. Hal-hal yang menjadi hambatan dalam pemeriksaan saksi dalam perkara pidana pada tahap pemeriksaan di pengadilan adalah: a) Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban tidak berada di setiap daerah dan sifat yang pemilih. Seperti yang diketahui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi dan korban berlokasi hanya di Jakarta timur hal ini bertentangan dengan Pasal 12 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang seharusnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban memiliki perwakilan sesuai dengan kebutuhan karena untuk memperoleh perlindungan dari LPSK, saksi dan/atau Korban harus mengajukan permohonan tertulis kepada LPSK, sedangkan perbuatan pidana yang menjadikan seseorang sebagai saksi dan korban dapat terjadi di seluruh wilayah Indonesia hal ini menjadi salah satu kesulitan bagi para Saksi atau Korban yang berada diluar wilayah Jakarta maupun diluar pulau Jawa karena untuk mengajukan permohonan tersebut saksi dan korban memerlukan waktu dan biaya. Pada era modern ini dalam hal komunikasi, dapat terbantu karena adanya bantuan alat komunikasi yang lebih maju seperti Internet dan Handphone,

tetapi perlu dipertimbangkan kembali karena tidak semua saksi dan/atau korban tindak pidana dapat mengakses internet dan memiliki alat komunikasi yang cukup untuk mengajukan permohonan kepada LPSK. Menurut Hasil wawancara dengan Syarif Nurhidayat, S.H., M.H selaku Dosen aktif FH UII, pembicara LPSK di Yogyakarta, anggota Pusat Studi HAM UII di Yogyakarta, LPSK juga membatasi permohonan seperti apa yang dapat diterima dan perlu mendapat perlindungan dari LPSK, karena tidak semua Saksi dan Korban mendapat perlindungan dari LPSK. Selain karena keterbatasan yang dimiliki oleh LPSK seperti keterbatasan biaya, keterbatasan orang, dan tentunya jarak itu sendiri. LPSK lebih memberatkan atau menerima untuk melindungi saksi dan korban yang memerlukan perlindungan lebih dari LPSK seperti kasus Pelanggaran HAM berat, Pidana Anak dan Tindak Pidana Asusila. b) Keterbatasan bantuan yang dapat diberikan oleh penegak hukum. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 telah disebutkan hak-hak dari saksi dan korban tetapi dalam pelaksanaannya hak-hak yang tercantum pada Undang-undang tersebut mengalami kesulitan dalam pemenuhannya hal ini dikarenakan keterbatasan bantuan yang dapat diberikan oleh aparat penegak hukum. Hal ini biasanya terjadi karena keterbatasan sarana pra sarana dan keterbatasan penegak hukum yang ada di pengadilan dan di wilayah tempat pembuktian itu dilaksanakan seperti, hakim yang tidak terlalu paham bahasa daerah disuatu wilayah perlu menunda proses pemeriksaan di pengadilan karena perlu menghadirkan penerjemah pada saat pembuktian hal ini biasanya terjadi karena jaksa yang tidak mengetahui bahwa hakim tidak mengerti bahasa daerah tersebut menurut hakim Nuryanto S.H., M.H. seharusnya Jaksa telah mempersiapkan penerjemah karena penerjemah bagi seorang saksi merupakan tanggung jawab jaksa atau pengacara yang menghadirkan saksi tersebut. Menurut Advokat, Kornelius Widi Nugroho, S.H. untuk melaksanakan prosedur sesuai perintah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 pihak yang membutuhkan memohonkan kepada majelis hakim dan kemudian majelis hakim menetapkan, ketetapan tersebut yang nantinya diimplementasikan sehingga membutuhkan waktu untuk dapat dilaksanakan sesuai ketetapan. Selain itu dalam pemberian informasi tentang informasi perkembangan kasus, putusan pengadilan, dan terpidana dibebaskan terhadap saksi dan korban menurut hakim Nuryanto S.H., M.H. pengadilan memberi keterbukaan terhadap saksi yang ingin mengetahui informasiinformasi tersebut dengan melalui jaksa atau advokat yang menemani saksi tersebut hal ini dikarenakan tidak sembarang orang dapat

melihat kasus-kasus tertentu karena memerlukan surat keterang yang sah untuk kasus-kasus tertentu melalui pengacara atau jaksa. Jaksa Heri Supriyanto S.H.,M.H., menambahkan bahwa jaksa tentu akan memberikan informasiinformasi tersebut apabila saksi memerlukan dan ingin mengetahui perkembangan kasus tersebut, tetapi jaksa bersifat pasif dalam hal ini karena jaksa tidak dapat memaksa memberikan informasi terhadap saksi apabila saksi tersebut tidak ingin mengetahui perkembangan kasus yang dia ikuti. c) Ketidakpahaman seorang saksi tentang haknya. Minimnya pengetahuan dari seseorang yang menjadi saksi juga menjadi salah satu alasan mengapa pemenuhan hak saksi menjadi hal yang tidak terlalu terfokuskan selama proses pemeriksaan di pengadilan. Masalah yang terjadi karena tidak paham, tidak mengerti mengenai hak saksi sehingga saksi tidak mengetahui bahwa mereka juga memiliki hak yang dapat dipenuhi selain kewajiban yang harus mereka penuhi sebagai saksi di pengadilan. Jaksa D Lintang S.H. menambahkan pada saat saksi diminta untuk hadir di pengadilan banyak orang yang tidak mau hadir di pengadilan karena takut untuk bersaksi di muka pengadilan karena tidak mengerti bahwa mereka memiliki hak di persidangan dan karena hal tersebut jaksa harus mendatangi kediaman saksi tersebut dan menjelaskan bahwa sebagai saksi mereka juga memiliki hak. Ada saksi yang akan diberikan bantuan biaya karena telah meluangkan waktu dan biaya untuk menjadi saksi biasanya saksi menolak dan tidak meminta biaya tersebut. d) Keterbatasan biaya. Keterbatasan biaya dalam pemenuhan hak saksi menjadi salah satu alasan terbesar mengapa LPSK harus memilih saksi dan korban yang seperti apa yang dapat dilindungi oleh pihak LPSK, selain itu dari Pengadilan dan Kejaksaan juga memiliki permasalahan yang sama karena keterbatasan biaya yang dianggarkan oleh kejaksaan dan pengadilan untuk membantu saksi sehingga salah satu hak yang terdapat di Undang-undang tidak dapat terpenuhi sepenuhnya seperti pembantuan biaya hidup sementara. Advokat Kornelius Widi Nugroho S.H juga menambahkan karena dalam penerapan Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2006 tersebut membutuhkan prosedur dengan memohonkan kepada majelis hakim untuk menetapkan jika menunggu penetapan tersebut membutuhkan waktu sehingga terkait dengan pemberian kompensasi uang transport dan biaya-biaya lain dalam prakteknya pihak yang membutuhkan harus mengeluarkan biaya tersebut. c. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan mengenai pemenuhan hak saksi dalam perkara pidana pada tahap pemeriksaan di pengadilan maka dapat disimpulkan bahwa pemenuhan hak saksi dalam perkara pidana pada tahap pemeriksaan di pengadilan sudah dilaksanakan atau dilakukan oleh

pihak-pihak yang turut serta dalam tahap pemeriksaan di pengadilan sesuai dengan hak-hak saksi yang tercantum pada Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana yang dalam hal ini Hakim, Jaksa, dan Advokat. Hal ini dapat dilihat dari turut serta pihak-pihak tersebut untuk memenuhi hak-hak dari saksi dengan memberikan bantuanbantuan bagi saksi demi kelancaran proses pemeriksaan di pengadilan, namun dalam pelaksanaan Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Perlindungan Saksi dan Korban masih ada beberapa kesulitan pada pasal-pasal tertentu yang dialami oleh pihak-pihak Penegak Hukum yaitu mengenai kewenangan melaksanakan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Perlindungan terhadap Saksi yang terdapat pada Pasal 12 Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2006 merupakan wewenang dari Lebaga Perlidungan Saksi dan Korban, Pasal 11 ayat (3) mengenai Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban tidak berada di setiap daerah yang seharusnya memiliki perwakilan disetiap daerah dan sifat yang pemilih yang tidak secara jelas dicantumkan dalam kriteria saksi menurut Pasal 5 Ayat (2) agar haknya yang terdapat pada Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 dapat terpenuhi, Keterbatasan bantuan yang dapat diberikan oleh penegak hukum, biaya dan Ketidakpahaman seorang saksi tentang haknya. d. REFERENSI Buku : Riduan Syahrani, 2009, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti Bandung. Darwan Prinst, 1998, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Jakarta. Syaiful Bakhri, 2009, Hukum Pembuktian Dalam Praktek Peradilan Pidana, P3IH, Jakarta. Peraturan Perundang-Undangan : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76. Sekertariat Negara. Jakarta. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Internet : http://m.metrotvnews.com/news/huk um/9k5gv6bb-saksi-kasusputu-mengaku-sempatdiancam diakses 26 Oktober 2016. https://www.merdeka.com/peristiwa /ada-saksi-diancam-kpk-bisaminta-tanggung-jawabanas.html diakses 8 November 2016.

xii