BAB I PENDAHULUAN. Remaja atau Adolescene berasal dari bahasa latin, yaitu adolescere yang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. diasuh oleh orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya hingga

BAB I PENDAHULUAN. akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya

BAB I PENDAHULUAN. banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk

BAB I PENDAHULUAN. banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Mulai dari sekolah regular,

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. bila arah pembangunan mulai memusatkan perhatian terhadap upaya peningkatan

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB 1 PENDAHULUAN. perkembangan pembangunan di sektor ekonomi, sosial budaya, ilmu dan teknologi.

BAB I PENDAHULUAN. Dengan adanya perkembangan dunia yang semakin maju dan persaingan

BAB I PENDAHULUAN. Bandung saat ini telah menjadi salah satu kota pendidikan khususnya

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan sumber daya yang memiliki potensi untuk dapat

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. Ketika zaman berubah dengan cepat, salah satu kelompok yang rentan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB I PENDAHULUAN. masa anak-anak ke masa dewasa di mana pada masa-masa tersebut. sebagai masa-masa penuh tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi dewasa ini pada akhirnya menuntut semakin

2014 EFEKTIVITAS KONSELING TEMAN SEBAYA UNTUK MENGEMBANGKAN KEMANDIRIAN SISWA

BAB I PENDAHULUAN. Ada beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai resiliency pada

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. diandalkan. Remaja merupakan generasi penerus yang diharapkan dapat. memiliki kemandirian yang tinggi di dalam hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia,1998), seringkali menjadi tema dari banyak artikel, seminar, dan

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman modern ini perubahan terjadi terus menerus, tidak hanya perubahan

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

LAMPIRAN LAMPIRAN A PEDOMAN WAWANCARA. Data Kontrol: 1. Usia 2. Jenis Kelamin 3. Pendidikan 4. Tinggal bersama siapa saja

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

B A B I PENDAHULUAN. di sepanjang rentang hidup. Salah satu tahap perkembangan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia dari masa ke

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan

GAMBARAN KEMANDIRIAN EMOSIONAL REMAJA USIA TAHUN BERDASARKAN POLA ASUH AUTHORITATIVE NUR AFNI ANWAR LANGGERSARI ELSARI NOVIANTI S.PSI. M.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

B A B PENDAHULUAN. Setiap manusia yang lahir ke dunia menginginkan sebuah kehidupan yang

BAB I PENDAHULUAN. terperinci serta dapat mengaplikasikan ilmu tersebut dalam kehidupan sehari-hari

BAB 1 PENDAHULUAN. bagi keberlanjutan pembangunan masyarakat, bangsa, dan negara, sekaligus sebagai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Seiring dengan tujuan pembangunan nasional Indonesia yang

BAB I PENDAHULUAN. sangat besar bagi tumbuh kembang remaja. Dengan kata lain, secara ideal

Disusun oleh Ari Pratiwi, M.Psi., Psikolog & Unita Werdi Rahajeng, M.Psi., Psikolog

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia bagi pembangunan bangsa Indonesia. Oleh karena itu untuk

PERKEMBANGAN KOGNITIF (INTELEKTUAL) (PIAGET) Tahap operasional formal (operasi = kegiatan- kegiatan mental tentang berbagai gagasan) Dapat berpikir lo

BAB I PENDAHULUAN. Seiring berjalannya waktu, manusia akan mengalami perkembangan dan

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB I PENDAHULUAN. bagi setiap kalangan masyarakat di indonesia, tidak terkecuali remaja.

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalani kehidupannya, seorang individu akan melewati beberapa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Coakley (dalam Lerner dkk, 1998) kadang menimbulkan terjadinya benturan antara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Bagi masyarakat modern saat ini memperoleh pendidikan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Masa dewasa awal adalah suatu masa dimana individu telah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berbicara tentang siswa sangat menarik karena siswa berada dalam kategori

BAB I PENDAHULUAN. suatu interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Proses interaksi salah satunya dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. awal yaitu berkisar antara tahun. Santrock (2005) (dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. menganggap dirinya sanggup, berarti, berhasil, dan berguna bagi dirinya sendiri,

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa belajar bagi remaja untuk mengenal dirinya,

BAB I PENDAHULUAN. dan pendidikan tinggi ( Mengenyam pendidikan pada

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. maupun anak-anak. Kata remaja sendiri berasal dari bahasa latin yaitu adolescere

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kualitas sumber daya manusia sangat diperlukan untuk menunjang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. rendah. Data laporan pembangunan manusia yang dikeluarkan United Nation

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. baik dari faktor luar dan dalam diri setiap individu. Bentuk-bentuk dari emosi yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, baik di negara-negara maju maupun negara-negara yang sedang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bagi remaja itu sendiri maupun bagi orang-orang yang berada di sekitarnya.

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Masyarakat semakin berkembang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian dapat ditarik

BAB 2 Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. bahwa mereka adalah milik seseorang atau keluarga serta diakui keberadaannya.

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Beberapa tahun terakhir, beberapa sekolah di Daerah Istimewa Yogyakarta mulai

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang sangat kompleks. Banyak hal yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terutama karena berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan sehari hari, tanpa disadari individu sering kali bertemu

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal,

BAB I PENDAHULUAN. banyak disampaikan menggunakan bahasa yang berbeda-beda. Sehingga

BAB I PENDAHULUAN. Individu mulai mengenal orang lain di lingkungannya selain keluarga,

BAB I PENDAHULUAN. lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang unik dan terus mengalami perkembangan di

BAB III GAMBARAN PERILAKU NEGATIF SANTRI

BAB I PENDAHULUAN. Setiap orang ingin berhasil dalam hidupnya dan semua orang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pendidikan formal merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh setiap

LAMPIRAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. untuk memiliki. Pada masa ini, seorang remaja biasanya mulai naksir lawan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Remaja atau Adolescene berasal dari bahasa latin, yaitu adolescere yang berarti pertumbuhan menuju kedewasaan. Dalam kehidupan seseorang, masa remaja merupakan masa kritis, karena masa ini merupakan masa pembentukan identitas dan peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Masa peralihan ini disertai pula dengan terjadinya perubahanperubahan, baik fisik, kognitif, maupun sosial. Remaja mulai mengembangkan keterampilan sosialnya dengan cara membangun relasi dengan orang-orang di luar keluarganya, terutama dengan teman-teman sebayanya. Tidak jarang remaja membentuk kelompok dengan remaja-remaja lain yang memiliki banyak kesamaan dengannya, atau yang lebih dikenal dengan istilah gank. Hal ini menyebabkan hubungan emosional remaja dengan teman-teman sebayanya menjadi sangat intim dan saling terikat, sedangkan hubungan emosional dengan orang tua mulai berkurang, dan remaja mulai mencoba untuk bersikap mandiri dan tidak lagi selalu bergantung kepada orang tua. Pada masa remaja, kemandirian merupakan bagian penting menuju kedewasaan. Salah satunya adalah mencapai kemandirian emosional dari orang tua, atau yang biasa disebut sebagai kemandirian emosional (emotional autonomy). Apabila perkembangan kemandirian ini terhambat atau tidak 1

direspon secara tepat, maka dapat menimbulkan dampak yang kurang baik bagi perkembangan psikologis remaja di masa yang akan datang. Menurut Steinberg (2002), kemandirian emosional merupakan kemampuan remaja untuk mengurangi ketergantungannya secara emosional terhadap orang lain, terutama dengan orang tua, sehingga remaja mampu menghadapi permasalahannya meskipun tanpa kehadiran orang tua. Untuk terlepas secara emosional terhadap orang tua, remaja menunjukkannya dengan cara pandang yang tidak lagi ideal terhadap orang tua, remaja tidak lagi melihat orang tua sebagai sosok yang selalu benar dan berkuasa atas dirinya. Remaja juga memandang orang tua sebagai manusia biasa seperti orang dewasa lainnya, sehingga remaja dapat berinteraksi dengan orang tua sebagai individu dewasa, bukan saja hanya sebagai orang tua. Remaja mulai bergantung pada diri sendiri daripada bergantung pada bantuan orang tua dalam mengatasi permasalahannya. Terakhir, remaja lebih memiliki minat yang lebih besar untuk menjalin hubungan dengan orang-orang di luar keluarganya, sehingga remaja lebih banyak berdiskusi dengan temantemannya, dan tidak jarang remaja mulai menyimpan rahasia dari orang tuanya. Hal diatas dapat dilihat dari sikap atau perilaku remaja yang tidak lagi bergantung pada orang tua bila sedang sedih, khawatir, atau butuh bantuan. Kemandirian emosional dapat membentuk emosi remaja menjadi lebih stabil, karena remaja dituntut untuk mengolah permasalahan yang dihadapinya terlebih dahulu, sehingga tidak dengan mudah mengandalkan penyelesaian 2

dari orang orang tua. Perkembangan kemandirian emosional dimulai pada saat remaja awal dan berlanjut hingga usia dewasa awal. Menurut Steinberg (2002), remaja yang berada pada masa remaja awal adalah remaja yang berusia 11 sampai 14 tahun. Siswa-siswi kelas I SMP berada dalam tahap remaja awal, maka dengan demikian diharapkan kemandirian emosional pada siswa-siswi kelas I SMP mulai dapat berkembang agar perkembangan kemandirian selanjutnya, yaitu kemandirian perilaku, dan kemandirian nilai dapat berkembang dengan baik sehingga siswa-siswi kelas I SMP dapat menjadi individu yang benar-benar mandiri. Begitu juga halnya dengan siswa-siswi kelas I SMP X Bandung yang tinggal di asrama, diharapkan kemandirian emosional-nya mulai berkembang. SMP X merupakan SMP berbasis Islami. SMP X merupakan sekolah full day, dimana setiap hari Senin hingga Jumat para siswa-siswi belajar di sekolah mulai dari pukul 7 pagi hingga pukul 4 sore, dan pada hari Sabtu kegiatan di sekolah diisi dengan kegiatan ekstrakurikuler. SMP ini menyediakan asrama bagi para siswa-siswinya, terutama bagi siswa-siswi yang berdomisili di luar kota Bandung. Keputusan siswa-siswi untuk menetap di asrama merupakan pilihan yang diambil sendiri oleh siswa-siswi SMP X dan bukan merupakan kewajiban yang ditetapkan oleh SMP X itu sendiri. Kegiatan siswa-siswi sepulang sekolah telah diatur oleh pihak asrama dengan tujuan agar para siswa-siswi dapat menjalin hubungan yang lebih akrab dengan wali asuh asrama dan teman-teman asrama, mendidik siswasiswi lebih disiplin dalam agama dan pelajaran. Kegiatan-kegitan tersebut 3

antara lain, Sholat bersama (yaitu Maghrib, Isya, dan Subuh), mengaji dan tafsir (bedah Al-qur an), belajar bersama dalam kelompok kecil, juga ada sesi konseling antara para siswa-siswi dengan wali asuh asrama (walaupun dilakukan dengan cara yang tidak formal), dan pada pukul 9 malam para siswa-siswi sudah harus memasuki kamar masing-masing dan merupakan jam istirahat. Kebijakan asrama menetapkan, satu bulan pertama memasuki asrama, siswa-siswi dilarang untuk berkomunikasi dengan pihak luar, terutama sekali dengan keluarga. Siswa-siswi tidak diperkenankan untuk menelepon ataupun menerima telepon dari orang tua (keluarga), siswa-siswi juga tidak diperkenankan untuk menerima kunjungan dari pihak luar maupun orang tua (keluarga). Menurut Koordinator Bimbingan Konseling SMP X, kebijakan tersebut dibuat dengan alasan agar siswa-siswi SMP X yang tinggal di asrama terbiasa untuk hidup mandiri tanpa adanya kehadiran orang tua yang selama ini selalu mendampingi kehidupan para siswa-siswi, selain itu juga pihak sekolah mengharapkan agar siswa-siswi dapat lebih dekat dengan wali asuh asrama dan teman-teman asrama sehingga tidak lagi selalu bergantung kepada orang tua ketika mereka menghadapi suatu masalah dan dapat mengalihkannya kepada teman-teman di asrama. Pada bulan berikutnya, siswa-siswi SMP X yang tinggal di asrama diperkenankan untuk mendapat kunjungan dari keluarga atau pulang ke rumah masing-masing pada akhir minggu, sebanyak satu kali dalam dua minggu. 4

Dengan demikian, diharapkan kemandirian emosional para siswa-siswi kelas I SMP X Bandung yang tinggal di asrama mulai dapat berkembang. Dengan adanya peraturan awal, dimana pada satu bulan pertama memasuki asrama siswa-siswi tidak diperbolehkan untuk berkomunikasi dengan keluarga, diharapkan siswa-siswi kelas I SMP X Bandung yang tinggal di asrama sudah terbiasa dengan lingkungan asrama yang tidak memungkinkan kehadiran orang tua yang tidak selamanya dapat diandalkan ketika dibutuhkan bantuannya, walaupun dapat dengan mudah berhubungan melalui sarana komunikasi. Diharapkan siswa-siswi kelas I SMP X Bandung yang tinggal di asrama tidak lagi menggantungkan setiap permasalahan yang dihadapi kepada orang tua, dan dapat lebih mampu untuk mengolah dan mengatasi permasalahan seorang diri ataupun mendiskusikan dengan teman-teman sebayanya, seperti teman di sekolah ataupun teman di satu asrama. Koordinator Bimbingan Konseling SMP X mengatakan terdapat siswasiswi kelas I SMP X Bandung yang tinggal di asrama belum terbiasa dengan lingkungan asrama yang harus terpisah dari rumah dan keluarga terutama dengan orang tua. Hal ini dirasakan berat bagi siswa-siswi kelas I SMP X Bandung yang tinggal di asrama, karena sebelumnya terbiasa tinggal dengan orang tua dan pada masa ini terjadi peralihan dari masa anak-anak yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap orang tua menuju masa remaja yang mulai mengurangi ketergantungan terhadap orang tua. Akibatnya banyak keluhan-keluhan yang masuk dari siswa-siswi, baik kepada guru BK maupun wali asuh asrama. Siswa-siswi banyak mengeluh dan mengatakan bahwa 5

mereka merasa home sick dan merasa rindu terhadap keluarga terutama orang tua. Salah satu wali asuh asrama putri mengatakan, tidak jarang siswi yang tinggal di asrama tidak mampu untuk mengatasi perasaan home sick. Hal tersebut ditunjukkan dengan perilaku sering menangis, ketika para siswi merasa tidak enak badan para siswi melapor kepada orang tua di rumah dengan cara yang berlebihan sehingga orang tua merasa khawatir dan berupaya untuk menghubungi wali asuh asrama dan berusaha menjenguk para siswi di asrama. Selain itu, terdapat siswi yang mengadukan permasalahan mereka ke orang tua untuk meminta bantuan ketika mengalami kesulitan seperti, tugas-tugas sekolah, relasi pertemanan, dan adaptasi terhadap lingkungan baru, (non-dependency). Bahkan yang lebih ekstrim, dikatakan oleh wali asuh asrama putri, adalah keluarnya beberapa siswi kelas I dari asrama, bahkan keluar dari sekolah agar dapat tinggal berdekatan dengan orang tua, karena tidak sanggupnya para siswi untuk tinggal berpisah dengan orang tua. Sedangkan untuk siswa putra, wali asuh asrama putra mengatakan para siswa juga mengalami perasaan home sick pada awal-awal tinggal di asrama, namun para siswa dapat mengatasi perasaan tersebut dengan cara mengalihkan perhatian ke kegiatan lain seperti belajar bersama, berelasi dengan temanteman asrama, melakukan aktivitas olah raga di saat waktu kosong. Para siswa mulai membina hubungan yang lebih intim dengan cara menceritakan keadaan dirinya dan mulai bercerita tentang permasalahan-permasalahan yang dihadapi 6

guna mendapatkan alternatif pemecahan masalah dari teman-teman lain (individuated). Berdasarkan hasil survei awal yang dilakukan terhadap lima orang siswa dan lima orang siswi kelas I SMP X yang tinggal di asrama, sebanyak 20 % (2 orang) siswa-siswi mengatakan bahwa saran dan pendapat orang tua kurang berpengaruh bagi siswa-siswi dalam mengambil keputusan, karena tidak selamanya pendapat orang tua dianggap sesuai untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi (deidealization). Sebanyak 50% (5 orang) siswa-siswi mengatakan bahwa saran dan pendapat dari orang tua memiliki peranan penting terhadap terhadap keputusan yang diambil oleh para siswa-siswi, sedangkan sebanyak 30% (3 orang) siswa-siswi mengatakan saran dan pendapat orang tua cukup berperan penting dalam pengambilan keputusan. Dalam menghadapi permasalahan yang sedang dialami, 40% (4 orang) siswa-siswi menghubungi orang tua dan menceritakan permasalahan yang dihadapi, hal ini disebabkan karena menurut siswa-siswi kelas I SMP X yang tinggal di asrama, orang tua dapat membantu memecahkan masalah yang dihadapi dan orang tua dapat menenangkan mereka dalam menghadapi suatu permasalahan. Sebanyak 40% (4 orang) siswa-siswi lainnya menceritakan permasalahan yang dialaminya kepada teman-temannya, guna mendapatkan alternatif solusi dari permasalahan yang dihadapi. Alasan siswa-siswi kelas I SMP X Bandung yang tinggal di asrama menceritakan permasalahan ke teman karena temanlah yang tahu kegiatan dan segala sesuatu mengenai 7

mereka dan teman-teman juga selalu memberikan alternatif solusi yang dibutuhkan terhadap permasalahan yang sedang dialami (Individuated). Sebanyak 10% (1 orang) siswi, mengatakan sebelum menentukan siapa yang akan dihubungi, terlebih dahulu melihat jenis permasalahan yang dialami, jika permasalahan tersebut merupakan masalah pribadi, maka siswi tersebut lebih suka menceritakannya kepada kedua orang tua, sedangkan untuk masalah biasa, seperti tugas-tugas sekolah, ia lebih memilih menceritakannya kepada teman seangkatan guna mendapatkan bantuan. Sebanyak 10% (1 orang) siswi lainnya tidak segera menghubungi siapapun ketika mengalami suatu permasalahan, namun akan mencoba terlebih dahulu untuk menyelesaikan permasalahan yang dialami seorang diri, dan apabila permasalahan yang dialaminya benar-benar tidak dapat diselesaikan seorang diri, baru kemudian meminta bantuan dari teman-temannya (Non Dependency). Berdasarkan uraian diatas, masih tampak beragam derajat kemandirian emosional pada siswa-siswi kelas I SMP X Bandung yang tinggal di asrama, ada siswa yang sudah dapat dikatakan memiliki derajat kemandirian emosional tinggi, maka siswa-siswi kelas I SMP X Bandung yang tinggal di asrama akan berusaha terlebih dahulu menyelesaikan masalah yang dihadapinya seorang diri. Ada juga siswa-siswi kelas I SMP X Bandung yang tinggal di asrama memiliki derajat kemandirian emosional rendah, yang dengan segera menghubungi dan menceritakan permasalahan yang dialami kepada orang tuanya guna mendapatkan pemecahannya. 8

Siswa-siswi yang mandiri secara emosional dapat memecahkan masalah yang dihadapinya seorang diri, tanpa terburu-buru meminta bantuan kepada orang tuanya. Sedangkan siswa yang kurang mandiri secara emosional masih belum dapat memecahkan permasalahan yang dihadapinya seorang diri dan akan langsung meminta bantuan kepada orang tuanya. Maka, dapat di simpulkan bahwa kemandirian emosional penting bagi seorang remaja untuk menghadapi perkembangan-perkembangan berikutnya menuju pendewasaan, karena pentingnya kemandirian emosional pada remaja maka peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana derajat kemandirian emosional pada siswa-siswi kelas I SMP X Bandung yang tinggal di asrama. 1.1 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dirumuskan identifikasi masalah sebagai berikut : Sejauh mana derajat kemandirian emosional pada siswa-siswi kelas I SMP X Bandung yang tinggal di asrama. 1.2 Maksud dan Tujuan 1.2.1 Maksud Maksud diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran tentang derajat kemandirian emosional pada siswa-siswi kelas I SMP X Bandung yang tinggal di asrama. 9

1.2.2 Tujuan Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran yang lebih spesifik mengenai derajat kemandirian emosional pada siswa-siswi kelas I SMP X Bandung yang tinggal di asrama dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. 1.3 Kegunaan Penelitian 1.3.1 Kegunaan Teoretik Kegunaan penelitian ini bagi ilmu pengetahuan diharapkan dapat memberi informasi khususnya bagi bidang Psikologi Perkembangan, mengenai derajat kemandirian emosional pada siswa-siswi kelas I SMP yang tinggal di asrama. Hasil penelitian ini dapat menjadi informasi untuk penelitian sejenis dan penelitian lebih lanjut mengenai derajat kemandirian emosional pada siswa-siswi kelas I SMP yang tinggal di asrama. 1.3.2 Kegunaan Praktis Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberikan informasi pada siswa-siswi kelas I SMP X yang tinggal di asrama mengenai derajat kemandirian emosional, sehingga para siswa-siswi dapat lebih mandiri secara emosional. Dapat memberikan informasi bagi orang tua, pendidik, maupun pengasuh mengenai derajat kemandirian emosional pada remaja, khususnya siswa-siswi kelas I SMP yang tinggal di asrama. 10

1.5 Kerangka Pikir Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Pada masa ini, individu akan mengalami perubahan dari individu yang tidak mandiri menjadi individu yang menunjukkan kemandirian. Steinberg (2002), mengemukakan bahwa kemandirian merupakan kemampuan untuk mengatur diri sendiri secara bertanggung jawab dalam ketidakhadiran atau jauh dari pengawasan langsung orang tua. Seiring waktu, individu akan tumbuh menjadi individu remaja. Pada masa ini, individu akan mengalami perubahan-perubahan pada kondisi biologis, kognitif, dan sosial. Perubahan biologis, mencakup pada perubahan fisik baik yang terlihat maupun dirasakan oleh diri remaja itu sendiri. Selain itu, adanya perubahan dalam hubungan remaja dengan orang tuanya, seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan privasi dalam menjalin hubungan dengan teman lawan jenisnya. Perubahan kognitif, mencakup bagaimana remaja mampu berpikir tentang hal-hal yang belum terjadi tetapi akan terjadi atau halhal yang mungkin tidak akan terjadi tetapi bisa saja terjadi. Perubahan sosial, menuntut seorang remaja untuk mengubah jati dirinya agar mampu bertindak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh lingkungan di sekitarnya. Perubahanperubahan ini mendorong individu remaja untuk menjadi individu yang lebih mandiri. Menjadi individu mandiri adalah salah satu tugas perkembangan yang utama pada masa remaja (Steinberg, 2002). Ketika remaja berada di lingkungan Sekolah Menengah Pertama, mereka dihadapkan dengan berbagai tuntutan, aturan, dan perubahan akan nilai, aturan 11

baik dalam berperilaku maupun dalam hal tanggung jawab yang diberikan baik dari orang tua maupun dari pendidik. Kematangan emosional dan sosial merupakan salah satu dari tugas perkembangan bagi remaja untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi masa dewasa. Remaja disiapkan untuk dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat, berpartisipasi sebagai individu dewasa yang bertanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat, serta menempatkan nilai-nilai masyarakat menjadi bagian dari perilakunya. Siswa-siswi kelas I SMP berada pada fase remaja awal, pada masa ini siswa-siswi kelas I SMP mengalami pertumbuhan dan kematangan yang lebih intensif dibandingkan masa-masa sebelumnya. Siswa-siswi mengalami masa transisi dimulai dari masa kanak-kanak menuju masa remaja, bersamaan dengan hal ini peran dan tuntutan masyarakat pun berubah, siswa-siswi kelas I SMP mulai mencari identitas diri yang mengakibatkan ketergantungan siswasiswi terhadap orang tua mulai berkurang, pada masa ini remaja mulai berusahan untuk menjadi individu yang mandiri (autonomy). Secara umum kemandirian pada masa remaja berkembang melalui tiga tahap, sebagaimana yang dikemukakan oleh Steinberg (2002), yaitu kemandirian emosional, kemandirian perilaku, dan kemandirian nilai. Kemandirian emosional merupakan kemampuan remaja untuk mengurangi ketergantungannya secara emosional terhadap orang lain, terutama dengan orang tua, Steinberg (2002; 290). Kemandirian emosional juga bekaitan dengan emosi, personal feelings, dan bagaimana remaja berelasi dengan orang-orang di sekitarnya, terutama dengan orang-orang di luar keluarganya. 12

Kemandirian emosional diharapkan mulai berkembang pada saat individu memasuki remaja awal hingga dewasa awal. Kemandirian perilaku bekaitan dengan perilaku, diharapkan remaja dapat menunjukkan kemampuannya dalam membuat keputusan secara mandiri dan menyertainya dengan tindakan. Sedangkan kemandirian nilai diartikan bahwa remaja memiliki sikap yang mandiri dan kepercayaan yang berkaitan dengan spiritual, politik, dan moral. Kemandirian emosional adalah kemampuan individu untuk terlepas secara emosional terutama terhadap orang tua yang ditunjukkan dengan berkurangnya pandangan ideal tentang orang tua, memandang orang tua sebagai manusia biasa seperti orang dewasa lainnya, bergantung pada diri sendiri daripada begantung pada bantuan orang tua dalam menghadapi permasalahan yang dihadapi, dan merasa sebagai individu yang mandiri dalam berhubungan dengan orang tua. Hal ini dapat dilihat dari sikap atau perilaku remaja yang tidak lagi bergantung sepenuhnya kepada orang tua bila sedang menghadapi masalah, sedih, khawatir, ataupun ketika remaja membutuhkan bantuan orang lain. Kemandirian emosional juga membentuk emosi siswa-siswi kelas I SMP X Bandung yang tinggal di asrama menjadi lebih stabil. Untuk dapat mandiri secara emosional, siswa-siswi membutuhkan kesempatan, dukungan dan dorongan dari keluarga serta lingkungan sekitarnya. Pada saat remaja, peran orang tua dan respon dari lingkungan sangat diperlukan bagi siswa-siswi kelas I SMP X Bandung yang tinggal di asrama sebagai penguat untuk setiap perilaku yang telah dilakukannya. 13

Sejalan dengan uraian diatas, di dalam kemandirian emosional siswasiswi kelas I SMP X Bandung yang tinggal di asrama, terdapat empat aspek, yaitu Non-dependency, siswa-siswi kelas I SMP X Bandung yang tinggal di asrama berusaha mengandalkan diri sendiri daripada bergantung kepada orang tua, dan tidak dengan segera meminta bantuan kepada orang tua atau kepada orang dewasa lainnya bila suatu saat menghadapi permasalahan, siswa-siswi kelas I SMP X Bandung yang tinggal di asrama lebih memilih untuk mendiskusikannya kepada teman-teman sepergaulannya atau teman sesama asramanya untuk mendapatkan alternatif solusi penyelesaian masalah yang dihadapi. Yang kedua, De-idealized, dimana siswa-siswi kelas I SMP X Bandung yang tinggal di asrama tidak lagi memandang orang tuanya sebagai sosok yang selalu benar dan berkuasa, sehingga siswa-siswi tidak selalu mengikuti semua pendapat yang diberikan orang tua. Yang ketiga, individuated, siswa-siswi kelas I SMP X Bandung yang tinggal di asrama mulai memiliki minat yang lebih besar untuk menjalin hubungan dengan orang-orang di luar keluarganya, seperti teman-teman sabaya, sehingga tidak jarang siswa-siswi kelas I SMP X Bandung yang tinggal di asrama mulai merahasiakan hal-hal tertentu dari orang tua -seperti masalah percintaan, permasalahan dengan teman, kenakalan remaja, seperi merokok pada siswa putra. Yang terakhir, parents as people, siswa-siswi kelas I SMP X Bandung yang tinggal di asrama mulai memandang orang tuanya sama seperti 14

orang dewasa lainnya yang memiliki peran lain selain orang tua, sehingga siswa-siswi kelas I SMP X Bandung yang tinggal di asrama mulai dapat berinteraksi dengan orang tuanya seperti kepada orang dewasa lainnya, bukan saja sebagai orang tua. Menurut Steinberg (2002), kemandirian emosional seorang remaja dibentuk oleh gaya interaksi yang diterapkan oleh orang tuanya. Gaya interaksi yang diterapkan orang tua terhadap anak-anaknya mempunyai hubungan yang erat dengan kemampuan remaja dalam mengambil keputusan dan bertanggung jawab atas segala yang telah diputuskannya. Misalkan gaya interaksi demokratis, pada gaya interaksi ini remaja diberikan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dan dapat pula mendengarkan pendapat dari anggota keluarga lain, sedangkan keputusan yang diambil tetap berada di tangan remaja, asalkan remaja tersebut dapat melaksanakannya secara bertanggung jawab. Sikap orang tua yang selalu membantu siswa-siswi kelas I SMP X Bandung yang tinggal di asrama untuk memberikan jalan keluar terhadap permasalahan yang dihadapi akan membuat siswa-siswi kelas I SMP X Bandung yang tinggal di asrama memiliki ketergantungan emosional yang rendah, sebaliknya sikap orang tua yang membiarkan siswa-siswi kelas I SMP X Bandung yang tinggal di asrama terlebih dahulu mengatasi permasalahannya akan membuat siswa-siswi kelas I SMP X Bandung yang tinggal di asrama memiliki kemandirian emosional tinggi, karena dengan 15

begitu siswa-siswi kelas I SMP X Bandung yang tinggal di asrama akan belajar untuk mengolah terlebih dahulu permasalahan yang dihadapi. Selain gaya interaksi orang tua - anak yang berlaku dalam suatu keluarga, kemandirian emosional remaja didukung pula oleh faktor-faktor lain, misalnya peer groups atau kelompok yang terdiri dari teman sebaya. Di dalam peer groups ini biasanya remaja mendiskusikan hal-hal yang jarang didiskusikan di dalam keluarga, seperti misalnya masalah seksualitas dan pacar. Peer group yang mendukung dan membantu siswa-siswi kelas I SMP X Bandung yang tinggal di asrama ketika dihadapkan suatu permasalahan, dapat membantu dengan cara memberikan solusi terbaik, akan membuat siswa-siswi kelas I SMP X Bandung yang tinggal di asrama tidak lagi menumpahkan permasalahan yang dihadapinya kepada orang tua, melainkan mendiskusikannya dengan peer group. Sedangkan peer groups yang tidak dapat membantu siswa-siswi kelas I SMP X Bandung yang tinggal di asrama dalam menghadapi permasalahan yang dihadapi, akan membuat siswa-siswi mencari jalan keluar melalui orang tua, sehingga kemandirian emosional siswa-siswi menjadi rendah. Faktor lain yang turut berpengaruh pada kemandirian emosional remaja adalah sekolah, SMP X merupakan sekolah berasrama. Kehidupan di asrama menuntut siswa-siswi kelas I SMP X Bandung yang tinggal di asrama terbiasa untuk tinggal terpisah dengan orang tua, sehingga diharapkan siswasiswi kelas I SMP X Bandung yang tinggal di asrama dapat menjadi individu yang mandiri, terbiasa mengatasi permasalahan yang dihadapinya seorang diri, 16

dan tidak dengan segera menghubungi orang tua guna meminta bantuan walaupun dapat dengan mudah menghubungi orang tua di rumah kapan saja. Pengisian waktu luang yang dilakukan oleh remaja juga menentukan tingkat kemandirian yang dicapai oleh remaja. Dalam mengisi waktu luang di asrama siswa-siswi kelas I SMP X Bandung yang tinggal di asrama mengikuti kegiatan antara lain, Sholat bersama (yaitu Maghrib, Isya, dan Subuh), mengaji dan tafsir (bedah Al-qur an), belajar bersama dalam kelompok kecil, juga ada sesi konseling antara siswa-siswi kelas I SMP X Bandung yang tinggal di asrama dengan wali asuh asrama (walaupun dilakukan dengan cara yang tidak formal). Kegiatan ini bertujuan agar siswasiswi kelas I SMP X Bandung yang tinggal di asrama dapat menjalin hubungan yang lebih akrab dengan wali asuh dan teman-teman asrama, dan dapat mendidik siswa-siswi kelas I SMP X Bandung yang tinggal di asrama lebih disiplin dalam agama dan pelajaran. Menurut Sofyan S. Wilis (2005), jika remaja selalu bergantung secara emosional kepada orang tua, pendewasaan akan menjadi lamban dan bahkan mungkin tidak pernah tercapai, walau secara fisik ia sudah besar dan umur biologisnya sudah tua. T. Russel (1998) menyatakan bahwa, ketika masalah mulai bermunculan, remaja dengan kemandirian emosional tinggi berusaha untuk mencari solusinya sendiri dan mengatasi masalah-masalah dengan caranya sendiri atau bertanya kepada teman-teman atau orang dewasa diluar keluarga untuk mendukungnya dibandingkan sekedar percaya kepada orang tua, pada saat ini remaja lebih menaruh kepercayaan kepada peers 17

dibandingkan kepada orang tua. Remaja dengan kemandirian emosional juga mulai memandang orang tua sebagai manusia pada umumnya, dan melibatkan emosinya di dalam hubungannya dengan orang-orang di luar keluarganya. Sedangkan remaja dengan kemandirian emosional rendah akan kurang mampu untuk mengolah permasalahan yang dihadapinya dan masih meminta jalan keluar kepada orang tuanya. Remaja yang kurang memiliki kemandirian emosional juga menggantungkan permasalahan atau kecemasan yang sedang dihadapinya kepada orang tua atau orang dewasa lainnya, remaja juga memandang orang tua sebagai orang yang mengetahui semuanya dan memiliki kekuasaan, dan juga remaja melibatkan emosinya semata-mata pada keluarga. Meskipun kemandirian penting, pada masa ini remaja akan melewatkan waktu jauh dari pengawasan langsung dari orang tua, dan remaja akan mempelajari cara menentukan tingkah laku sendiri menurut cara-cara yang bertanggung jawab (Steinberg, 2002). Untuk lebih jelasnya dapat digambarkan dalam skema kerangka pikir sebagai berikut : 18

SKEMA KERANGKA PEMIKIRAN Tinggi Siswa Siswi Kelas I SMP X Bandung yang tinggal di Asrama Kemandirian emosional : Non - dependency De - idealized Individuated Parent as people Rendah Keluarga Peer group Sekolah Waktu luang Bagan I.1 1.6 Asumsi : 1. Kemandirian emosional pada siswa-siswi kelas I SMP X yang tinggal di asrama terdiri dari empat aspek, yaitu Non dependency, De idealized, Individuated, dan Parent as people. 2. Kemandirian emosional dipengaruhi faktor keluarga, peer group, sekolah dan waktu luang. 3. Siswa-siswi kelas I SMP X Bandung yang tinggal di asrama memiliki derajat kemandirian emosional yang berbeda, yaitu tinggi atau rendah. 19