BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kampung kota adalah suatu bentuk pemukiman di wilayah perkotaan yang khas Indonesia dengan ciri antara lain: penduduk masih membawa sifat dan prilaku kehidupan pedesaan yang terjalin dalam ikatan kekeluargaan yang erat, kondisi fisik bangunan dan lingkungan kurang baik dan tidak beraturan, kerapatan bangunan dan penduduk tinggi, sarana pelayanan dasar serba kurang, seperti air bersih, saluran air limbah dan air hujan, pembuangan sampah dan lainnya (Heryati, 2008). Kampung Kota di Indonesia sendiri sudah menjadi ciri khas dari budaya permukiman. Di dalamnya, penghuni dengan berbagai latar belakang status sosial dan ekonomi dapat bertahan hidup di tengah kemajuan kota yang pesat. Dalam situasi krisis yang tidak menguntungkan, keberadaan kampung kota menjadi penting karena di dalamnya terdapat beragam proses unik yang dilakukan oleh penghuni berpenghasilan menengah ke bawah sesuai dengan kemampuannya yang terbatas. Jakarta sebagai ibukota Negara Indonesia saat ini sudah sangat padat. Penduduk dari luar Jakarta berbondong-bondong melakukan urbanisasi. Urbanisasi yang terjadi saat ini sudah sangat tidak terkontrol. Hal itu mengakibatkan Jakarta menjadi banjir, macet, dan sangat padat dengan permukiman. Kawasan-kawasan hijau sudah sulit dilihat karena berubah menjadi kawasan permukiman, perdagangan, industri, dan kawasan komersil lainnya. Kedudukan Jakarta sebagai ibukota mengakibatkan peningkatan kebutuhan akan kantor-kantor dan perumahan pegawai. Jumlah penduduk pun semakin bertambah dengan adanya urbanisasi. Akibatnya pada tahun 1952 banyak tanah liar dan gubuk liar-terdapat 30.000 gubuk liar yang tersebar di seluruh Jakarta 1
(Surjomiharjo, 2000). Hal ini sangat berpengaruh pada keberadaan budaya Betawi di Jakarta. Menurut Ridwan Saidi (2011), komunitas Betawi saat ini di Jakarta semakin lama semakin menipis. Banyak faktor yang menjadi latar belakang kelangkaan budaya termasuk arsitektur Betawi asli di Jakarta. Hal yang paling berpengaruh adalah karena desakan ekonomi. Condet merupakan daerah permukiman yang berkembang di sepanjang Sungai Ciliwung. Sungai Ciliwung membelah wilayah ini menjadi dua bagian, satu di wilayah Jakarta Selatan dan yang lainnya di Jakarta Timur. Condet telah mengalami perkembangan dan pertumbuhan yang cukup pesat sebagai dampak langsung dari proses pembangunan yang berlangsung sejak tahun 1970-an. Sebagian dari luas wilayah kawasan Condet dinyatakan sebagai wilayah pemugaran Condet. Kawasan Condet sendiri memiliki luas wilayah kurang dari 650 Ha. Kawasan Condet dijadikam sebagai Cagar Budaya Betawi pada tahun 1976 dan diresmikan oleh Gubernur saat itu, Ali Sadikin. Saat itu yang dilindungi sebagai cagar budaya adalah budaya Betawi, perkebunan, dan daerah hijau dengan udara yang sejuk. Kawasan Condet memiliki karakteristik yang unik dan istimewa. Secara umum, kawasan ini didominasi oleh lahan kebun dan rumah dengan pekarangan. Keistimewaannya terletak pada kedudukannya yang berada pada garis historis perkembangan Jakarta, yaitu Sungai Ciliwung yang menghubungkan Sunda Kelapa sebagai pelabuhan dengan bagian-bagian lain Jakarta. Kawasan Condet ditetapkan menjadi kawasan cagar budaya Betawi oleh Gubernur Ali Sadikin pada tahun 1974, dengan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur No D. IV-1511/e/3/74 tanggal 30 April 1974 tentang Penetapan Condet sebagai Pengembangan Kawasan Budaya Betawi. Kemudian disusul SK Gubernur No D.I-7903/a/30/75 tanggal 18 Desember 1975, gubernur kembali menetapkan Condet sebagai Daerah Buah-buahan. Condet memang menjadi pilihan pemerintah saat itu untuk menjadi kawasan pertanian di Jakarta karena Condet memiliki potensi pertanian yang banyak. Saat ini, zaman telah berkembang dan maju. Perkembangan kota dan wilayah saat ini sangat terpengaruh oleh modernisasi yang sangat hedonis atau 2
masyarakatnya selalu berfikir individual. Individualisme yang terjadi di kota Jakarta ternyata mempengaruhi pola hidup masyarakat di Kampung Betawi Condet. Beberapa masyarakat hanya mementingkan kebutuhannya akan tempat tinggal dan tidak mempedulikan lingkungan yang sudah sejak lama dipelihara sebagai kawasan yang bersejarah. Perubahan gaya hidup masyarakat serta modernisasi yang terjadi di umumnya masyarakat perkotaan kemungkinan juga terjadi di Kampung Betawi Condet. Sebagai bagian dari sejarah, Kampung Betawi Condet mengarah ke perubahan-perubahan yang kemungkinan akan menghilangkan identitas sebuah kampung. Hal tersebut menarik bagi peneliti untuk melihat perubahan kondisi spasial, sosial, dan budaya masyarakat Kampung Betawi Condet sebagai bagian perkembangan Kota Jakarta. 1.2 Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian 1.2.1 Perumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang yang sudah disebutkan, peneliti menyimpulkan bahwa permasalahan yang tejadi di Kampung Condet adalah berubahnya pola pikir masyarakat dalam hal mempertahankan Budaya Betawi di kawasan Condet. Penetapan Condet sebagai salah satu cagar budaya Betawi di Jakarta oleh Pemerintah Provinsi DKI pada tahun 1974, ternyata pada akhirnya memberikan implikasi yang dirasa kurang menguntungkan bagi masyarakat Condet sendiri. Warga Condet di Kelurahan Batu Ampar di Kecamatan Kramat Jati meminta status cagar buah dan budaya ditinjau ulang karena dianggap menghalangi pembangunan. Padahal, pertumbuhan penduduk dan permukiman sudah pesat. Masalah ini memang dilematis, di satu sisi ada peraturan yang harus ditaati, tapi di sisi lain ada kebutuhan masyarakat yang mendesak. Peraturan yang sudah dibuat pun tidak dapat membuat masyarakat menjaga Budaya Betawi di sana. Masyarakat Condet tidak peduli dengan adanya peraturan dari pemerintah provinsi DKI Jakarta yang melarang mereka untuk menjual tanah-tanahnya kepada para pendatang. Desakan kebutuhan ekonomi dan 3
kurannya pendidikan membuat mereka harus tersingkir ke wilayah-wilayah seperti Bekasi, Bogor, Depok dan sebagian ke wilayah Karawang. Oleh sebab itu Pemerintah provinsi DKI Jakarta mengevaluasi penetapan Condet, sebagai kawasan cagar budaya. Keputusan Pemerintah provinsi DKI Jakarta ini pun mendapat dukungan penuh dari warga Condet dan DPRD DKI Jakarta, dengan alasan bahwa kawasan Condet sudah mengalami kegagalan sebagai kawasan cagar budaya. Kondisi sosial masyarakat di Kampung Betawi Condet telah berubah (Henny Sipatuhar, 1994). Perkembangan kota pada umumnya menyebabkan perubahan peruntukan lahan pertanian. Hal ini terjadi sebagai akibat meningkatnya tuntutan kebutuhan fasilitas perumahan, pesatnya pertumbuhan penduduk terutama yang disebabkan oleh urbanisasi, adanya kepentingan pembangunan fungsional lainnya, serta kesempatan pemanfaatan lahan yang rasional. Demikian pula keadaannya dengan kawasan Condet yang terdapat di Jakarta Timur, tidak luput dari pengaruh perkembangan tersebut. Maraknya urbanisasi yang terjadi di sana sangat mempengaruhi kehidupan bermasyarakat Kampung Betawi Condet. Masyarakat Betawi Condet merupakan suatu kesatuan dalam sistem hubungan sosial yang sangat erat serta memiliki mobilitas yang cukup tinggi. Sehingga dalam perkembangan selanjutnya dalam masyarakat Condet terjadi pengaruh timbal balik yang cukup signifikan dengan lingkungan hidup serta kehidupan sosial, ekonomi dan budayanya. Kawasan Condet yang seharusnya sebagai kawasan cagar budaya Betawi itu sama sekali tidak ada bedanya dengan kawasan permukiman Jakarta umumnya. Kawasan ini sudah sangat padat dan macet. Bangunan-bangunan bertingkat terlihat di mana-mana. Jalan-jalan beraspal pun sudah tembus dari tempat satu ke tempat lain. Di mana-mana dapat dilihat papan bertuliskan rumah ini dijual. Yang membedakan hanya kawasan ini memang sedikit lebih hijau. Perubahan yang terjadi di Kampung Betawi Condet menimbulkan ketertarikan tersendiri bagi peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Diharapkan dengan adanya penelitian tentang perubahan kondisi spasial, sosial, dan budaya masyarakat Kampung Betawi Condet dapat menyelesaikan 4
permasalahan yang terjadi serta memberikan kontribusi secara umum bagi bidang ilmu Perencanaan Wilayah dan Kota. 1.2.2 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan uraian dari latar belakang dan rumusan masalah di atas muncul satu pertanyaan penelitian yang menjadi acuan dalam proses penelitian. Pertanyaan tersebut adalah bagaimana perubahan kondisi spasial, sosial, dan budaya di Kampung Betawi Condet sejak ditetapkan menjadi daerah cagar budaya Betawi? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah dan pertanyaan penelitian, peneliti membangun konsep tujuan penelitian yang berkaitan dengan kedua hal tersebut. Adapun tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan perubahan kondisi spasial, sosial, dan budaya yang terjadi di Kampung Betawi Condet sejak ditetapkan menjadi daerah cagar budaya Betawi. 1.4 Batasan Penelitian Batasan penelitian ini mencakup batasan terhadap fokus lokasi dan substansi yang menjadi bahan penelitian. Adapun penjelasan mengenai hal tersebut adalah sebagai berikut: 1. Batasan Area Lokasi penelitian ini adalah Kampung Condet yang mencakup tiga kelurahan di Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur. Yakni Kelurahan Batu Ampar, Bale Kambang, dan Kampung Tengah. Wilayah Condet membentang dari sebelah barat berbatasan dengan Jl Buncit Raya hingga Jalan Raya Bogor disebelah timur dan dari Kecamatan Pasar Rebo di sebelah selatan hingga Wilayah Cililitan disebelah utaranya. Karena lokasi itulah yang ditetapkan 5
sebagai wilayah cagar buah-buahan dan budaya Condet berdasarkan SK Gubernur No D.IV-1V-115/e/3/1974. 2. Batasan Substansi Substansi penelitian ini ialah perubahan kondisi spasial, sosial, dan budaya di Kampung Betawi Condet sejak penetapan condet sebagai daerah cagar budaya Betawi. Hasil yang diharapkan adalah dapat melihat pengaruh budaya dalam pembentukan ruang kota, sehingga dapat menjadi referensi stakeholder untuk merencanakan kawasan yang dapat merangkul semua lapisan masyarakat. 1.5 Keaslian Penelitian Penelitian dengan tema kampung kota saat ini masih belum banyak yang melakukan atau dalam kata lain masih jarang dilakukan. Sehingga penelitian ini masih sesuai dan memungkinkan untuk diteliti meskipun ada penelitian dengan fokus yang sama kemungkinan berbeda lokasi atau sebaliknya. Penelitian ini adalah murni hasil dari kerja peneliti. Namun demikian, masih terdapat penelitian dengan tema sejenis. Penelitian-penelitian tersebut itu memberikan beberapa ide kepada peneliti. Berikut adalah beberapa penelitian dengan tema sejenis: Tabel 1.1 Penelitian Dengan Tema Penelitian Perkampungan Budaya No. 1 Nama Peneliti Ari Suprihatin Judul Penelitian Tahun Lokus Fokus Metode Identifikasi Pola Permukiman Tradisional Kampung Budaya Betawi Setu Babakan, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan 2012 Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan Menjelaskan perubahan pola permukiman dan apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut Deskriptif kuantitatif Bersambung ke halaman selanjutnya 6
Lanjutan Tabel 1.1 No. 2 3 Nama Peneliti Dessy Febrianty Retno Misparini Rahayu Judul Penelitian Tahun Lokus Fokus Metode Respon Orang Betawi Terhadap Pembangunan Perkampungan Budaya Betawi Persepsi Masyarakat Betawi Terhadap Perkembangan Permukiman di Kawasan Perkampungan Budaya Betawi 2011 2008 Perkampungan Budaya Betawi di beberapa wilayah di DKI Jakarta Setu Babakan, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan Menjelaskan persepsi orang Betawi tentang keberadaan perkampungan Budaya Betawi yang ada di DKI Jakarta Mendeskripsikan perubahan pola ruang yang terjadi di Kampung Betawi Setu Babakan Induktif kualitatif Induktif kualitatif Sumber: Hasil Temuan Peneliti, 2014 Pada penelitian Ari Suprihatin pada tahun 2012, terdapat kesamaan pada fokus yaitu perubahan pola permukiman dan yang membedakan adalah lokasinya di mana penelitian tersebut berlokasi di Kampung Betawi Setu Babakan di Sregseng Sawah. Pada penelitian Dessy Febrianty pada tahun 2011, terdapat kesamaan dari segi objek yang diteliti yaitu Kampung Betawi dan sama-sama memakai metode induktif kualitatif, namun yang membedakan adalah penelitian ini dilakukan di seluruh Kampung Betawi yang ada di Jakarta dan hanya menjelaskan tentang persepsi orang Betawi. Begitu juga pada penelitian Retno Misparini Rahayu pada tahun 2008 yang terdapat kesamaan pada fokus dan metode yang dipakai. Yang membedakan adalah lokasinya, di mana penelitian Retno Misparini Rahayu dilakukan di Kampung Betawi Setu Babakan, sedangkan pada penelitian ini dilakukan di Kampung Betawi Condet. 7