BAB I PENDAHULUAN I.1.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

SPESIFIKASI PEKERJAAN SURVEI HIDROGRAFI Jurusan Survei dan Pemetaan UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI

BAB III PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN Data survey Hidrografi

BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang

UJI KETELITIAN DATA KEDALAMAN PERAIRAN MENGGUNAKAN STANDAR IHO SP-44 DAN UJI STATISTIK (Studi Kasus : Daerah Pantai Barat Aceh)

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

SURVEI HIDROGRAFI. Tahapan Perencanaan Survei Bathymetri. Jurusan Survei dan Pemetaan Universitas Indo Global Mandiri Palembang

BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI

TERBATAS 1 BAB II KETENTUAN SURVEI HIDROGRAFI. Tabel 1. Daftar Standard Minimum untuk Survei Hidrografi

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Jurnal Geodesi Undip Januari2014

BAB III KOREKSI PASUT UNTUK MENUJU SURVEI BATIMETRIK REAL TIME

BAB 4 ANALISIS PELAKSANAAN PERENCANAAN ALUR PELAYARAN

PERTEMUAN IV SURVEI HIDROGRAFI. Survei dan Pemetaan Universitas IGM Palembang

BAB II METODE PELAKSANAAN SURVEY BATHIMETRI

SURVEI HIDROGRAFI PENGUKURAN DETAIL SITUASI DAN GARIS PANTAI. Oleh: Andri Oktriansyah

BAB 3 PENENTUAN POSISI DAN APLIKASI ROV

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2013

Sonar merupakan singkatan dari Sound, Navigation, and Ranging. Sonar digunakan untuk mengetahui penjalaran suara di dalam air.

BAB 3 PENGAMBILAN DATA DAN PENGOLAHAN DATA SURVEI HIDROGRAFI UNTUK PERENCANAAN ALUR PELAYARAN

BAB 2 TEORI DASAR. 2.1 Pekerjaan Survei Hidrografi

1.2 Tujuan. 1.3 Metodologi

BAB II DASAR TEORI. Berikut beberapa pengertian dan hal-hal yang berkaitan dengan pasut laut [Djunarsjah, 2005]:

Pemetaan Situasi dengan Metode Koordinat Kutub di Desa Banyuripan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten

BAB 2 KONSEP PENGOLAHAN DATA SIDE SCAN SONAR

PROSES DAN TIPE PASANG SURUT

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan

Prosiding PIT VII ISOI 2010 ISBN : Halaman POLA SPASIAL KEDALAMAN PERAIRAN DI TELUK BUNGUS, KOTA PADANG

Pembuatan Alur Pelayaran dalam Rencana Pelabuhan Marina Pantai Boom, Banyuwangi

PROSES DAN TIPE PASANG SURUT

BAB 4 ANALISIS. Gambar 4.1 Indikator Layar ROV (Sumber: Rozi, Fakhrul )

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN I. I.1

BAB 2 DATA DAN METODA

Kuliah ke-2 Pengukuran Gelombang

BAB 3 VERIFIKASI POSISI PIPA BAWAH LAUT PASCA PEMASANGAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai PASANG SURUT. Oleh. Nama : NIM :

Pengertian Pasang Surut

PEMETAAN BATHYMETRIC LAUT INDONESIA

Jurnal Geodesi Undip Oktober2013

BAB 2 TEORI DASAR 2.1 Pemasangan Pipa Bawah Laut Pre-Lay Survey

2. TINJAUAN PUSTAKA. utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai

PEMETAAN BATIMETRI MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI MUARA SUNGAI LUMPUR KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR PROVINSI SUMATERA SELATAN

BAB II PENENTUAN BATAS LAUT DAERAH

STUDI PENENTUAN DRAFT DAN LEBAR IDEAL KAPAL TERHADAP ALUR PELAYARAN (Studi Kasus: Alur Pelayaran Barat Surabaya)

SK SNI M Standar Nasional Indonesia METODE PENGUKURAN BATHIMETRI MENGGUNAKAN ALAT PERUM GEMA BSN. Badan Standardisasi Nasional

ANALISA PENENTUAN POSISI HORISONTAL DI LAUT DENGAN MAPSOUNDER DAN AQUAMAP

Home : tedyagungc.wordpress.com

BAB III PERENCANAAN PERAIRAN PELABUHAN

PETA LOKASI LAPANGAN MATINDOK-SULAWESI TENGAH LAMPIRAN A

PENENTUAN POSISI DENGAN GPS UNTUK SURVEI TERUMBU KARANG. Winardi Puslit Oseanografi - LIPI

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI SUNGAI DAN PASANG SURUT

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Gosong Semak Daun. P. Karya. P. Panggang. Gambar 2.1 Daerah penelitian.

BAB 2 TEORI DASAR 2.1 Kegiatan Pemasangan Pipa Bawah Laut Secara Umum

Metode pengukuran kedalaman menggunakan alat perum gema untuk menghasilkan peta batimetri

KONDISI BATIMETRI DAN SEDIMEN DASAR PERAIRAN DI KOLAM PELABUHAN CARGO PT. PERTAMINA RU VI BALONGAN, JAWA BARAT

BAB II TINJAUAN UMUM PENENTUAN BATAS DAERAH

Gambar 3.1. Rencana jalur survei tahap I [Tim Navigasi Survei LKI, 2009]

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teknologi satelit altimetri pertama kali diperkenalkan oleh National Aeronautics and Space Administration (NASA)

Puncak gelombang disebut pasang tinggi dan lembah gelombang disebut pasang rendah.

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

Bathymetry Mapping and Tide Analysis for Determining Floor Elevation and 136 Dock Length at the Mahakam River Estuary, Sanga-Sanga, East Kalimantan

BAB III PENGAMBILAN DAN PENGOLAHAN DATA

PENGUKURAN LOW WATER SPRING (LWS) DAN HIGH WATER SPRING (HWS) LAUT DENGAN METODE BATHIMETRIC DAN METODE ADMIRALTY

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM

PENGUKURAN BEDA TINGGI / SIPAT DATAR

BAB II SISTEM MULTIBEAM ECHOSOUNDER (MBES)

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses

Pengujian Ketelitian Hasil Pengamatan Pasang Surut dengan Sensor Ultrasonik (Studi Kasus: Desa Ujung Alang, Kampung Laut, Cilacap)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 2, Nomor 3, Tahun 2013, Halaman Online di :

Scientific Echosounders

URGENSI PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS LAUT DALAM MENGHADAPI OTONOMI DAERAH DAN GLOBALISASI. Oleh: Nanin Trianawati Sugito*)

BAB III PENGOLAHAN DATA Proses Pengolahan Data LIDAR Proses pengolahan data LIDAR secara umum dapat dilihat pada skema 3.1 di bawah ini.

Tata cara penentuan posisi titik perum menggunakan alat sipat ruang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. B. Tujuan Praktikum

ILMU UKUR TANAH 2 PENENTUAN POSISI

3 METODOLOGI PENELITIAN

TEKNOLOGI SURVEI PEMETAAN LINGKUNGAN PANTAI

Pengamatan Pasang Surut Air Laut Sesaat Menggunakan GPS Metode Kinematik

BAB III METODE PENELITIAN

KERANGKA ACUAN KERJA (KAK) STUDI KELAYAKAN PEMBANGUNAN BREAKWATER DI PELABUHAN BANTAENG

PEMETAAN BATIMETRI PERAIRAN PANTAI PEJEM PULAU BANGKA BATHYMETRY MAPPING IN THE COASTAL WATERS PEJEM OF BANGKA ISLAND

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pelabuhan Perikanan Pantai Sadeng, yang kemudian disebut PPP Sadeng, merupakan satu-satunya pelabuhan perikanan pantai yang berada di Daerah Istimewa Yogyakarta. PPP Sadeng berada di Desa Pucung dan Desa Songbanyu, Girisubo, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. PPP Sadeng terletak pada lintang selatan geodetik 8 11' 20.8196" dan bujur timur geodetik 110 47' 57.7468" yang bereferensikan pada elipsoid WGS 84. PPP Sadeng sebelumnya memiliki status pangkalan pendaratan ikan, walaupun telah memiliki bentuk pelabuhan dengan dermaga yang memadai. PPP Sadeng memiliki kolam pelabuhan seluas 37.239,6283 m 2 atau 3,7240 hektar. Kolam PPP Sadeng biasa digunakan untuk berlabuh kapal, memarkir kapal, bongkar muat muatan kapal, dan sebagainya. Melihat kegiatan pada PPP Sadeng yang begitu padat, maka perlunya ketersediaan informasi kedalaman kolam (Pradanakusuma, 2015). Sebagai pusat kegiatan ekonomi PPP Sadeng merupakan tempat berkumpulnya nelayan, pedagang ikan, pengusaha perikanan dan badan usaha lain yang mendukung kegiatan ekonomi yang kawasan PPP Sadeng, Songbanyu, Girisubo, Gunungkidul, Yogyakarta. Pelabuhan perikanan merupakan tempat yang sesuai untuk melaksanakan kegiatan pembinaan dan pengembangan masyarakat perikanan baik yang menyangkut aspek teknis maupun aspek sosial ekonomi yang terkait. Disamping itu keberadaannya akan memberikan berbagai kemudahan bagi masyarakat perikanan untuk berkomunikasi, tukar menukar informasi, saling interaksi sesama nelayan, pedagang ikan, pengusaha dan konsumen maupun dengan instansi seperti Polisi Perairan, Angkatan Luat, Dinas Perhubungan dan Tim SAR berkenaan dengan pelayanan jasa pelabuhan perikanan. Dengan demikian keberadaan PPP Sadeng mempunyai tugas pokok melaksanakan fasilitas produksi, pemasaran dan pengendalian mutu hasil perikanan tangkap di wilayahnya dengan tidak mengesampingkan adanya pengawasan pemanfaatan sumber daya laut demi kelestarian alam. PPP Sadeng merupakan tempat berkumpul bagi kapal penangkap ikan, sehingga banyak kapal yang yang bersandar di kolam pelabuhan sepulang dari melaut. Kapal 1

2 yang akan masuk kolam pelabuhan membutuhkan informasi kedalaman yang aman untuk dilewati. Oleh karena itu, diperlukan peta batimetri yang dapat memberikan informasi kedalaman kolam pelabuhan. Pemetaan laut, khususnya pemetaan batimetri sangat diperlukan untuk menentukan jalur pelayaran dan navigasi yang aman untuk kapal yang merapat ke pantai. Dengan peta batimetri dapat diketahui kontur kedalaman dasar laut yang diukur dari muka surutan terendah, sehingga dapat ditentukan daerah mana saja yang dapat dilalui kapal pada saat terjadi surut terendah untuk merapat atau keluar dari pelabuhan. Hal ini untuk mencegah kapal menabrak karang atau objek di dasar laut. Salah satu cara untuk mengukur kedalaman laut adalah dengan pemeruman. Pemeruman atau bisa juga disebut sounding adalah mengukur kedalaman dengan menggunakan gelombang suara. Sistem kerjanya adalah dengan memancarkan gelombang suara ke dasar laut yang kemudian dipantulkan kembali dan diterima oleh receiver. Kedalaman laut dapat dihitung dengan mengalikan cepat rambat gelombang dalam air dan lama perambatan gelombang kemudian dibagi dua karena gelombang melakukan perjalanan dari alat ke dasar laut kemudian kembali lagi ke alat. Pemeruman dapat dilakukan dengan beberapa alat seperti singlebeam echosounde, multi transducer echosounder, multibeam echosonder dan sonar, yang menggunakan gelombang suara untuk menentukan jarak. Disisi lain, terdapat alat fish finder yang dapat digunakan untuk melakukan pemeruman walaupun fungsi utamanya adalah untuk mendeteksi ikan. Kedalaman yang diperoleh dari hasil pengukuran dengan echosounder adalah jarak yang diukur dari alat yang ada di bawah kapal terhadap titik di bawah laut, sedangkan kedalaman laut dinyatakan sebagai jarak vertikal antara suatu bidang referensi tertentu dengan sebuah titik di dasar laut Dalam hal ini bidang referensi yang biasa digunakan adalah muka surutan yang ditentukan berdasarkan hasil pengamatan pasang surut. Pemetaan batimetri untuk danau, waduk dan sungai, dapat digunakan yang berupa alat singlebeam echosounder. Kelebihan singlebeam echosounder adalah mudah dalam proses instalasi, portable dan mudah digunakan. Alat ini dapat dipasang pada wahana berupa perahu yang ukurannya kecil, sehingga lebih mudah dalam melakukan manuver pada daerah yang sempit. Kapal yang digunakan adalah kapal kecil sehingga biaya menjadi lebih murah.

3 PPP Sadeng merupakan pelabuhan kecil yang ramai oleh kapal nelayan, sehingga dibutuhkan peta batimetri skala besar. Peta tersebut dapat digunakan untuk menentukan jalur keluar dan masuknya kapal ke pelabuhan. Dalam kegiatan aplikatif ini, digunakan alat fish finder yang memiliki singlebeam echosounder didalamnya untuk melakukan pemeruman. Alat tersebut digunakan karena murah dan mudah penggunaannya. Akan tetapi, alat ini memiliki beberapa kekurangan yaitu keterbatasan ketelitian posisi GPS yang absolut. I.2. Lingkup Kegiatan Dalam kegiatan aplikatif ini, lingkup kegiatannya sebagai berikut: 1. Pemetaan batimetri dengan fish finder pada Pelabuhan Perikanan Pantai Sadeng. 2. Pengamatan pasang surut di lokasi dilakukan selama pengukuran batimetri pada tanggal 5 Juli 2014 pukul 10.15-.15.30 WIB. 3. Pengukuran kerangka kontrol horisontal untuk penentuan batas peta dan koordinat GCP (ground control point) untuk rektifikasi peta. 4. Acuan ketinggian (chart datum) yang digunakan adalah data pasang surut terendah dari data pengamatan pasang surut selama 1 bulan di stasiun pengamatan pasang surut Sadeng pada tanggal 1 Juli 2014 s.d. 31 Juli 2014. 5. Dilakukan pengukuran beda tinggi antara palem pasang surut dan BM utama. 6. Dilakukan pengukuran titik-titik detil di tepi kolam Pelabuhan Sadeng. 7. Kesalahan pengukuran karena kecepatan gelombang suara diabaikan. I.3. Tujuan Tujuan kegiatan aplikatif ini adalah untuk menghasilkan peta batimetri Pelabuhan Perikanan Pantai Sadeng. I.4. Manfaat Manfaat dari kegiatan aplikatif ini adalah: 1. Menyediakan peta batimetri PPP Sadeng.

4 2. Dari peta tersebut dapat ditentukan kedalaman yang aman untuk kapal merapat ke pelabuhan. I.5. Landasan Teori I.5.1. Survei Batimetri Survei batimetri merupakan suatu aktivitas dan proses dalam menentukan posisi titik-titik di dasar permukaan air laut dengan sistem koordinat tertentu, sehingga dari data hasil survei tersebut didapatkan model bentuk topografi dasar permukaan air laut yang divisualisasikan atau dituangkan dalam peta (Parikesit, 2008). Bentuk permukaan yang dimaksud hanya sebatas pada konfigurasinya saja, tidak sampai pada kandungan meterialnya atau pun biota yang tumbuh di atasnya (Poerbandono dan Djunarsjah, 2005). Pemeruman merupakan salah satu pekerjaan terpenting dalam survei batimetri. Pemeruman adalah proses dan aktivitas yang ditujukan untuk memperoleh gambaran (model) bentuk permukaan (topografi) dasar perairan (seabed surface) (Poerbandono dan Djunarsjah, 2005). Pemeruman yang dirancang dengan baik lajur lajur pemeruman dan titik titik fix perum diperoleh gambaran topografi dasar laut yang mendekati dengan kenyataan dan pengukuran kedalaman dilakukan pada titik-titik yang dipilih untuk mewakili keseluruhan daerah yang dipetakan. Pada titik-titik tersebut juga dilakukan pengukuran untuk penentuan posisi (Sulistian, 2016).

5 Gambar I.1. Sketsa posisi alat survei batimetri (Aditya, 2014) Data yang digunakan untuk membuat peta batimetri berasal dari alat GPS yang dipasang diatas kapal yang menghasilkan data posisi horisontal dan transducer yang dipasang di bawah atau di samping kapal yang menghasilkan data kedalaman seperti pada Gambar I.1. Jumlah waktu yang dibutuhkan untuk suara melakukan perjalanan melalui air, memantul dari dasar laut, dan kembali ke receiver menunjukkan jarak dari wahana ke dasar laut. Alat ini bekerja dengan menggunakan sifat perambatan gelombang akustik yang dipancarkan dengan arah vertikal dari permukaan laut ke dasar laut, kemudian gelombang pantulnya (dipantulkan oleh dasar laut) diterima dan dicatat waktu tempuhnya, maka kedalaman laut dapat ditentukan (Aditya, 2014). I.5.2. Kalibrasi Alat Perum Perambatan kecepatan gelombang suara dalam air laut berbeda dengan kecepatan gelombang suara yang telah diatur pada alat echosounder. Hal ini disebabkan keadaan air yang berbeda beda di setiap daerah, sehingga diperlukan kalibrasi alat agar data hasil pemeruman benar. Perbedaan kecepatan gelombang suara ini dipengaruhi beberapa faktor sifat fisik air laut seperti suhu, salinitas, tekanan dan lintasan gelombang pulsa tersebut (Hermawan, 2007). Pada daerah dangkal, koreksi kedalaman dilakukan dengan barcheck.

6 Barcheck terbuat dari lempeng logam berbentuk lingkaran atau segi empat yang digantungkan pada tali atau rantai berskala dan diletakkan dibawah transducer. Tali atau rantai berskala digunakan sebagai pembanding hasil ukuran dengan hasil yang terbaca oleh alat perum gema. Pembandingan pengukuran kedalaman dilakukan untuk setiap perubahan kedalaman, mulai dari 0 m hingga kedalaman maksimum yang akan diperum dengan interval 1 m (Poerbandono dan Djunarsah, 2005). Agar mudah dinaikturunkan dalam air, maka dibuatkan beberapa lubang pada lempeng logam tersebut untuk mengurangi tekanan air pada saat dinaikkan atau diturunkan. Fungsi lempeng logam ini adalah sebagai reflektor gelombang yang dipancarkan transducer. Data pengukuran barcheck yang diperoleh digunakan untuk mencari hubungan antara kedalaman sebenarnya dengan kedalaman hasil ukuran menggunakan echosounder dalam bentuk persamaan linear. Persamaan linear yang dibentuk dapat dilihat pada rumus I.1 (Anonim, 2001) : dc = [[ ( bari bari+1 ) ( reci - reci+1) ]. (do reci ) ] + bari...(i.1) Keterangan: dc do bari : kedalaman sebenarnya : kedalaman hasil observasi : kedalaman barcheck pada check point i bari+1 : kedalaman barcheck pada check point i+1 reci : kedalaman bacaan alat pada barcheck point i reci+1 : kedalaman bacaan alat pada barcheck point i+1 i,i+1 : urutan point kalibrasi kedalaman dan reci< do< reci+1 Pada perairan dalam, koreksi dengan barcheck tidak dianjurkan karena pengaruh arus bawah permukaan dan ombak di permukaan mengakibatkan rantai barcheck melengkung sehingga ukuran data barcheck yang diperoleh tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Oleh karena itu, untuk menganalisis kecepatan gelombang suara dengan menggunakan sifat fisik air laut dengan rumus (I.2) sebagai berikut (Adil dan Windupranata, 1998) : V = 1410 + 4.21 T 0.037 D 2 + 1.14 S + 0.018... (I.2) Keterangan : V : kecepatan suara (m/s) S : salinitas air laut (%)

7 T : temperature ( o C) D : kedalaman laut (m) Pemasangan alat transducer tidak berada pada permukaan air sehingga terjadi kesalahan kedalaman yang besarnya dari permukaan air ke alat transducer. Kesalahan kedalaman ini disebut draft transducer. Untuk menghilangkan draft transducer ini data hasil ukuran harus ditambah beberapa cm sesuai dengan draft transducer. I.5.3. Pasang Surut Laut Pasang surut laut adalah fenomena naik turunnya permukaan air laut secara periodik yang disebabkan oleh pengaruh gravitasi benda-benda langit terutama bulan dan matahari (Poerbandono dan Djunarsjah, 2005). Sementara menurut IHO (2008), pasang surut adalah naik turunnya permukaan air laut secara periodik yang disebabkan oleh pengaruh gaya tarik benda-benda langit terutama bulan dan matahari di bumi yang berotasi. Pasang surut dipengaruhi oleh benda-benda angkasa, terutama bulan dan matahari, melalui tiga gerakan utama bumi. Ketiga gerakan tersebut adalah (Soeprapto, 2001): 1. Revolusi bulan terhadap bumi, di mana orbitnya berbentuk ellips dan memerlukan waktu 29,5 hari untuk menyelesaikan revolusinya. 2. Revolusi bumi terhadap matahari, yang orbitnya berbentuk ellips juga dengan periode yang diperlukan untuk menyelesaikan satu putaran adalah 365,25 hari. 3. Perputaran bumi terhadap sumbunya sendiri dengan waktu untuk rotasi diperlukan 24 jam (one solar day). Tujuan dari pengamatan pasang surut adalah untuk mencatat gerakan vertikal permukaan air laut secara periodik untuk menentukan referensi kedalaman seperti muka rata-rata air laut (MSL) atau muka surutan (chart datum) (Andari, 2015). Muka rata-rata air laut digunakan sebagai bidang acuan ketinggian dan surutan terendah digunakan sebagai bidang acuan kedalaman. Surutan terendah harus ditetapkan sedemikian rupa agar air rendah yang mungkin terjadi tidak lebih rendah dari chart datum.

8 Tipe pasang surut ditentukan oleh frekuensi air pasang dengan surut setiap harinya. Bentuk pasang surut di berbagai daerah tidak sama. Di suatu daerah dalam satu hari dapat terjadi satu kali atau dua kali pasang surut. Secara umum pasang surut di berbagai daerah dapat dibedakan dalam 4 tipe yaitu (Triatmodjo, 1999): a. Pasang surut harian ganda (semi diurnal tide). b. Pasang surut harian tunggal (diurnal tide). c. Pasang surut campuran condong keharian ganda(mixed tide prevalling semidiurnal). d. Pasang surut campuran condong ke harian tunggal (mixed tide prevalling diurnal). Tipe pasut diatas dapat divisualisasikan seperti pada Gambar I.2. Gambar I.2. Tipe Pasang Surut (Triatmodjo, 1999) Pengukuran pasang surut dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai macam alat, antara lain: 1. Pengukuran dengan menggunakan palem pasut merupakan teknologi tertua. Palem diletakkan di dinding-dinding dermaga atau dinding stasiun pengamat pasut. Hasil pengamatan pasut dilakukan untuk interval tertentu, pada umumnya menggunakan interval satu jam. Pencatatan hasil pengamatan dilakukan secara manual oleh pengamat di atas kertas. Sampai saat ini

9 penggunaan palem pasut masih terus dilakukan dengan alasan data kontrol dan reality check di lapangan. 2. Pengukuran dengan float gauge dilakukan pada stasiun-stasiun pengamatan yang rangkaian instrumennya dihubungkan langsung pada stililing well/tabung pengamatan. Di dalam tabung tersebut terdapat benda apapun yang dikoneksikan dengan tali ke neraca beban, pen perekam dan jam. Hasil pengamatan teknologi ini ada 2 macam yakni secara manual di kertas rekaman dan secara digital. 3. Pengukuran dengan gelombang akustik dilakukan dengan memanfaatkan gelombang akustik. Gelombang akustik yang dipancarkan oleh transmitter setelah mengenai permukaan air laut akan dipantulkan kembali ke sensor. Jeda waktu pemancaran dan penerimaan inilah yang selanjutnya diolah dan digunakan untuk mendefinisikan ketinggian muka air laut. Pada pengukuran dengan gelombang akustik ini dapat dilakukan dalam 2 macam cara yakni secara open air (tanpa menggunakan stilling well) dan menggunakan tabung stilling well. 4. Prinsip pengukuran menggunakan tekanan adalah mengukur tekanan hidrostatik dari kolom-kolom air untuk posisi titik tetap (fixed point) dan mengkonversi tekanan tersebut dalam wujud ketinggian muka laut. Terdapat berbagai macam bentuk pengukuran dengan menggunakan prinsip ini, diantaranya: single transducer (sistem transducer tunggal), multiple pressure transducer systems (sistem transducer multi tekanan), pressure transducers in stilling wells (tekanan transducer dalam tabung), bubbler pressure gauges and bottom mounted pressure gauges Pengukuran dengan radar merupakan metode pengukuran terbaru. Teknologi ini termasuk relatif murah dengan tingkat instalasi instrument yang cukup mudah. Prinsipnya adalah mengukur jeda waktu antara pengiriman sinyal dari transmitter dengan sinyal pantulan yang diterima sensor. Ketinggian yang terukur merupakan jarak vertikal antara sensor dengan permukaan laut. Kelebihan lain yang diperoleh dengan memanfaatkan teknologi ini adalah kalibrasi otomatis, akurasi dalam centimeter serta data hasil pengamatan yang bebas dari efek temperatur.

10 I.5.4. Lajur Pemeruman Berdasarkan fungsinya lajur pemeruman dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam (Soeprapto, 2001) yaitu lajur utama dan lajur silang. I.5.4.1. Lajur perum utama. Lajur perum utama dalam pemeruman adalah lajur yang direncanakan sehingga semua daerah yang dipetakan dapat tergambar dasar permukaannya dipeta. Menurut SNI no. 7646 tahun 2010 tentang survei hidrografi menggunakan singlebeam echosounder, lajur perum utama sedapat mungkin tegak lurus garis pantai dengan interval maksimal 1 cm pada skala survei. Jarak yang memadai antara lajur perum dari berbagai orde survei sudah diisyaratkan pada SP - 44. Cara penentuan lajur utama dapat dilihat pada Gambar 1.3. Gambar I.3. Penentuan lajur perum utama

11 I.5.4.2. Lajur Perum Silang. Lajur perum silang adalah lajur perum yang dibuat memotong lajur perum utama untuk menambah data pada daerah yang tidak terjangkau oleh lajur utama. Cara penentuan lajur perum silang dapat dilihat pada Gambar 1.4. Gambar I.4. Penentuan lajur perum silang I.5.5. Penentuan Posisi Horizontal Titik-Titik Pemeruman Penentuan posisi horizontal dalam survei batimetri sangat penting. Penentuan posisi ini sebenarnya sama dengan penentuan posisi di darat, hanya saja target yang diukur selalu bergerak. Salah satu penentuan posisi horizontal adalah dengan gelombang elektromagnetik (satellite receiver) yaitu dengan menggunakan satelit GPS yang dipasang pada kapal survei. Metode yang digunakan dapat berupa metode GPS absolut maupun metode differential GPS (Poerbandono dan Djunarsah, 2005). Penentuan posisi secara absolut dapat dilihat pada Gambar I.5.

12 Gambar I.5. Penentuan posisi secara absolut (Pramanda, 2013) Penentuan posisi secara absolut merupakan metode yang paling mendasar dari GPS. Metode ini hanya diperlukan satu buah receiver GPS. Penentuan posisi secara absolut menggunakan data pseudorange yang berisi 4 parameter yang harus ditentukan yaitu parameter koordinat (X,Y,Z) dan parameter kesalahan jam receiver GPS. Berdasarkan alasan tersebut, maka diperlukan minimal 4 buah satelit yang harus ditangkap oleh receiver (Abidin, 2000). Metode absolut sebenarnya belum cukup teliti dalam penentuan posisi karena hanya mengeliminasi kesalahan karena bias jam satelit saja, namun masih terdapat bias lain seperti bias karena troposfer, ionosfer, multipath dan bias karena epoch. I.5.6. Survei Topografi Survei topografi bertujuan untuk membuat peta topografi yang berisi informasi dari keadaan permukaan bumi atau daerah yang dipetakan. Peta topografi adalah gambaran dari permukaan bumi pada bidang datar dengan skala tertentu dan dengan sistem proyeksi tertentu (Basuki, 2006). Informasi yang disajikan pada peta topografi meliputi keadaan detil, baik yang bersifat alamiah maupun buatan manusia serta keadaan ketinggian daerah pengukuran (Kurniawati, 2014). Pengambilan detil pada kegiatan aplikatif ini hanya sebagai data pelengkap pada peta batimetri untuk memberi kenampakan topografi lokasi sekitar kegiatan survei

13 hidrografi. Tahapan pekerjaan survei topografi meliputi persiapan, pengukuran titik kontrol pemetaan, pengukuran detil, pengolahan data dan penggambaran peta topografi, namun yang akan dibahas hanya pengukuran detil. Detil adalah segala obyek yang ada di lapangan, baik, yang bersifat alamiah seperti sungai, lembah, bukit, alur, dan rawa, maupun hasil budaya manusia seperti jalan, jembatan, gedung, lapangan, stasiun, selokan, dan batas-batas pemilikan tanah yang akan dijadikan isi dari peta yang akan dibuat (Basuki, 2006). Kerapatan titik detil topografi yang diukur disesuaikan dengan skala peta topografi yang dihasilkan, dan mengikuti perubahan topografi lapangan. Pengukuran detil dapat dilakukan menggunakan alat total station. Metode pengambilan detil yang banyak digunakan adalah dengan menggunakan metode koordinat kutub. Posisi detil ditentukan berdasarkan data jarak horisontal dan jarak miring, jarak vertikal, serta sudut horisontal dan sudut vertikal dari titik ikat atau BM ke titik detil (Kavanagh, 2010). Gambar I.6. Ilustrasi pengikatan detil metode polar (Sulistian, 2015) Keterangan : Xd, Yd : Koordinat planimetrik titik detil Xbm2, Ybm2 Xbm1, Y bm1 α bm2- bm1 α bm2-d β bm2 D bm2- d : Koordinat planimetrik titik BM2 : Koordinat planimetrik titik BM1 : Azimut BM2 ke BM1 : Azimut BM2 ke titik detil : Sudut yang dibentuk antara BM1-BM2-titik detil : Jarak ukuran dari BM2 ke titik detil

14 Pengukuran dilakukan dengan diketahui azimut dan koordinat titik awalnya seperti ditunjukan pada Gambar I.6. Dari ilustrasi gambar dapat dihitung nilai koordinat Xd, Yd dengan metode polar yaitu seperti pada persamaan: Xd = XBm2 + DBm2-d. Sin αbm2-d...(i.3) Yd = Y Bm2 + D Bm2-d. Cos αbm2-d... (I.4) Parameter yang diukur adalah Dbm2-d dan βbm2, sedangkan αbm2-d dapat dicari berdasarkan azimut definitif αbm2-bm1 menggunakan persamaan: αbm2-d = αbm2-bm1 - βbm2...(i.5) Penentuan posisi secara trigonometris digunakan untuk menentukan ketinggian antar titik. Penentuan ketinggian suatu titik dapat ditentukan dengan pengukuran sudut vertikal dan jarak miring. Pengukuran dilakukan antara posisi titik berdiri alat dengan titik yang akan ditentukan nilai ketinggiannya (Kavanagh, 2010). Pengukuran tinggi secara takhimetri tersaji dalam Gambar I.7 berikut. Gambar I.7. Ilustrasi pengukuran secara trigonometris (Kavanagh, 2010) Keterangan: A : Posisi titik A A : Posisi titik tengah teropong instrument pada titik A B : Posisi titik B B : Posisi titik B terhadap pelurusan dari A hi : Tinggi instrument titik A α : Sudut helling S : Jarak miring dari alat ukur total station mulai dari titik A ke titik B

15 hr : Tinggi reflektor titik B V : Jarak vertikal antara titik A dengan titik B H : Jarak horizontal antara titik A dengan titik B Dari parameter-parameter ukuran di atas tinggi titik B dapat dicari menggunakan metode takhimetri menggunakan persamaan: HB = HA + hi + VAB hr...(i.6) I.5.7. Pengolahan Data Batimetri Hasil dari pengukuran batimetri adalah data kedalaman (h) dan data posisi (x,y). Untuk mendapatkan data kedalaman yang terkoreksi maka perlu mempertimbangkan koreksi tinggi muka air saat dilakukan pemeruman, koreksi draft transducer dan koreksi barcheck. (Septiyadi, 2013). Seperti dijelaskan pada rumus (I.7): Hterkoreksi = Hechosounder + draft transducer + koreksi barcheck.........(i.7) Gambar I.8. Penentuan kedalaman yang tereduksi terhadap bidang acuan (Pramanda, 2013) Pada Gambar I.8 dapat terlihat bahwa untuk memperoleh angka kedalaman yang terkoreksi ke bidang acuan MSL. Untuk membedakan dengan angka ketinggian maka angka kedalaman harus bernilai negatif. Hal ini dikarenakan bahwa angka ketinggian yang ada pada palem pasut merupakan angka ketinggian di atas muka air laut, maka nilai ketinggian titik-titik pemeruman dapat diketahui dengan mengacu pada rumus (I.7) dan (I.8) : Hreduksi = (hmuka air hmsl) - Hterkoreksi........(I.7)

16 Untuk menunjukkan nilai kedalaman maka Hreduksi bernilai negatif. Selanjutnya Hreduksi digunakan untuk keperluan pembuatan garis kontur kedalaman, sedangkan untuk pembuatan DTM (digital terrain model) digunakan nilai Z (angka ketinggian). Nilai Z ini diperoleh dengan rumus : Z = hmsl + Hreduksi.....(I.8) Pengolahan data posisi titik pemeruman diperlukan untuk memperoleh angka posisi horizontal yang sesuai dengan bidang datum dan sistem proyeksi yang digunakan. I.5.8. Pengolahan Data Pengikatan Pasang Surut Mean Sea Level (MSL) adalah permukaan air laut dalam keadaan tenang tanpa ada satu gaya yang menyebabkan air laut bergerak. Dalam kenyataannya hampir tidak mungkin mendapatkan nilai MSL, karena permukaan air laut senantiasa berubah oleh adanya berbagai macam gaya (Soeprapto, 2001). Selain MSL, terdapat juga Mean Tide Level (MTL), yakni rata-rata dari semua nilai air tinggi (pasang) dan air rendah (surut) dalam satu kurun waktu tertentu. Karena dalam kenyataannya tidak mungkin mendapatkan nilai MSL, maka nilai MTL dianggap sebagai nilai MSL. MSL idealnya ditentukan menggunakan data pengamatan pasang surut selama 18,6 tahun. Apabila belum tersedia data pengamatan pasang surut selama 18,6 tahun, MSL dapat ditentukan berdasarkan data pengamatan pasang surut minimal selama 29 hari. Dalam kegiatan aplikatif ini, datum vertikal ditentukan berdasarkan nilai MSL. Nilai MSL tersebut digunakan untuk menentukan tinggi BM. Untuk menentukan beda tinggi BM terhadap MSL, digunakan alat sipat datar. Prinsip pengukuran beda tinggi dengan alat sipat datar adalah menentukan beda tinggi antara dua titik dengan menghitung selisih bacaan benang tengah rambu muka dan rambu belakang yang didirikan pada kedua titik tersebut. Jika jarak antar titik kontrol pemetaan relatif jauh, pengukuran beda tinggi dengan penyipat datar tak dapat dilakukan dengan satu kali berdiri alat. Oleh karena itu antara dua buah titik kontrol yang berturutan dibuat beberapa slag dengan titik-titik bantu pengukurannya dibuat secara berantai (differential levelling) (Basuki, 2006).

17 Pada Gambar I.9, untuk menentukan beda tinggi antara titik A dan B yang berjauhan, maka diantara kedua titik tersebut dibuat beberapa slag dengan titik-titik bantu yang pengukurannya dibuat secara berantai. Nilai beda tinggi antara titik A dan B merupakan jumlah total beda tinggi pada tiap slag pengukuran sepanjang lintasan antara kedua titik tersebut. Gambar I.9. Pengukuran sipat datar (Basuki, 2006) Keterangan : A dan B : titik tetap yang akan ditentukan beda tingginya 1, 2, 3,... n : titik-titik bantu pengukuran m1, m2, m3,...mn : bacaan rambu depan b1, b2, b3,...bn : bacaan rambu belakang Dari pengukuran sipat datar berantai antara titik A dan titik B yang ditunjukkan pada Gambar I.8, nilai pengukuran ΔhAB merupakan total Δh dari tiap slag dari i = 1 sampai n pada lintasan tersebut. Nilai ΔhAB dapat ditentukan dengan persamaan: ΔhAB = ΔhA1 + Δh12 +... + ΔhnB....(I.9) n ΔhAB = i=1 Δhi.(I.10) Sebelum digunakan alat ukur sipat datar harus memenuhi beberapa syarat tertentu yaitu, garis bidik teropong sejajar dengan garis arah nivo yang merupakan syarat utama, garis arah nivo tegak lurus sumbu I, dan garis mendatar diafragma tegak lurus sumbu I (Basuki, 2006). I.5.9. Fish Finder Fish finder adalah alat yang menggunakan gelombang sonar frekuensi tinggi untuk mendeteksi kumpulan ikan dalam penangkapan ikan komersial. Fish finder memancarkan gelombang ke bawah dan menerima kembali pantulan gelombang dari

18 dasar laut atau dari ikan yang menghalangi gelombang, juga menunjukkan jarak dari kapal ke ikan (Anonim, 2008). Fish finder Garmin MAP Sounder 178 C adalah alat jenis fish finder yang dipadukan dengan teknologi GPS sehingga posisi suatu objek yang direkam dapat diketahui. Biasanya Fish Finder Garmin MAP Sounder 178 C digunakan untuk mencari posisi ikan dan mengukur kedalaman dalam rangka mengetahui kondisi topografi dasar laut dengan menampilkan kontur kedalaman secara rinci. Alat ini dirancang khususnya untuk perairan dangkal dan tidak terlalu luas seperti waduk, danau, dan sungai. Biaya yang dikeluarkan untuk alat ini pun cenderung lebih murah. Fish Finder Garmin MAP Sounder 178 C sendiri mengkombinasikan antara sistem echosounder dan sistem sonar aktif sehingga posisi ikan dapat ditampilkan pada media layar berupa liquid crystal display maupun layar cathode ray tube (Mahbub, 2011). Dalam pendeteksian ikan digunakan sistem hidroakustik yang memancarkan sinyal akustik secara vertikal yang disebut fish finder (Burczynski, 1982). Pulsa gelombang yang dipancarkan dari transmitter diubah menjadi gelombang suara oleh transducer dan kemudian dipancarkan ke dalam air. Ketika gelombang suara mengenai obyek di dalam air seperti ikan, maka gelombang tersebut dipantulkan kembali menurut komposisi, ukuran, dan bentuk obyek tersebut. Obyek yang terkena gelombang suara tersebut dapat terlihat di layar karena gelombang suara yang dipantulkan ditangkap kembali oleh transducer yang diubah menjadi sinyal elektrik dan diperjelas pada receiver, diolah dan ditampilkan ke dalam layar. Kedalaman obyek yang dikenai gelombang suara dapat ditentukan dengan adanya nilai kecepatan gelombang suara pada medium air yang berkisar 1500 m/s dan waktu tempuh antara gelombang dipancarkan dan diterima kembali oleh receiver. Keakuratan hasil yang muncul pada layar tampilan tergantung kepada frekuensi dan kekuatan transmisi (Poerbandono dan Djunarsah, 2005). Teknologi GPS yang terdapat pada alat ini merupakan receiver tipe navigasi dengan penentuan posisi secara absolut, tetapi alat ini dilengkapi dengan fasilitas RTCM 104 DGPS sebagai koreksi dan output. Fasilitas ini berguna untuk melakukan koneksi terhadap stasiun atau satelit yang dapat mengirimkan koreksi, misalnya CORS dan OMNISTAR sehingga proses penentuan posisi selanjutnya tidak lagi secara

19 absolut melainkan secara differential. Gambar Fish Finder GARMIN MapSounder 178 C dapat dilihat pada Gambar I.10. Gambar I.10. Fish Finder GARMIN MapSounder 178 C (http://www.garmin.com, 2004) Manfaat dari alat Fish Finder adalah : a. Dapat mengetahui daerah diduga mempunyai kelimpahan/kepadatan ikan yang tinggi. b. Memberikan informasi kepada nelayan setempat sekaligus mengevaluasi kinerja unit penangkapan yang digunakan sehingga dapat dihasilkan hasil tangkapan yang optimum. c. Memberikan informasi kepada pelayaran agar terhindar dari bahaya-bahaya kapal kandas dikarenakan dangkalnya suatu perairan. d. Dapat mempermudah unit penelitian laut beserta sumber daya laut tersebut. I.5.10. Pelabuhan Ikan Pada umumnya pelabuhan ikan tidak memerlukan kedalaman air yang besar, karena kapal-kapal motor yang digunakan untuk menangkap ikan tidak besar. Di indonesia pengusahan ikan relatif masih sederhana yang dilakukan oleh nelayannelayan dengan menggunakan perahu kecil. Jenis kapal ikan ini berfariasi, dari yang sederhana yang berupa jukung sampai kapa motor. Jukung adalah perahu yang dibuat dari kayu dengan lebar sekitar 1 m dan panjang 6-7 m. Perahu ini dapat menggunakan layar atau motor tempel, dan bisa langsung mendarat di pantai. Kapal yang lebih besar terbuat dari papan atau fiberglass dengan lebar 2-2,5 m dan panjang 8-12 m,

20 digerakkan oleh motor. Kapal Ex-trawl mempunyai lebar 4-5,5 m dan panjang 16-19 m digerakkan dengan motor. Adapula Kapal lebih besar dengan panjang mencapai 30-40 m. Pelabuhan ikan dibuat disekitar daerah perkampungan nelayan. Pelabuhan ini harus dilengkapi dengan pasar lelang, pabrik/gudang es, persediaan bahan bakar, dan juga tempat cukup luas untuk perawatan alat-alat penangkap ikan (Triatmodjo, 2003). Gambar I.11. Pelabuhan ikan Cilacap (Triatmodjo, 2003) Gambar I.11 adalah contoh pelabuhan ikan Cilacap. Pelabuhan ikan Cilacap berada di Teluk Penyu dan menghadap ke Samudra Indonesia dengan gelombang cukup besar. Pelabuhan tersebut merupakan pelabuhan dalam yang dibuat dengan mengeruk daerah daratan untuk digunakan sebagai perairan pelabuhan. Dengan membuat kolam pelabuhan didaerah darat, akan dapat mengurangi panjang pemecah gelombang, tetapi dibutuhkan pengerukan yang lebih besar. Pemecah gelombang dibuat dari tumpukan batu dengan lapis pelindung dari tetrapod. Biaya pembuatan pemecah gelombang di laut dengan gelombang sangat besar akan mahal. Pemecah gelombang ini hanya berfungsi untuk melindungi mulut pelabuhan (bukan perairan pelabuhan) sehingga bisa lebih pendek dan murah. Pelabuhan ini direncanakan dapat

21 menampung 250 kapal dengan ukuran kapal maksimal 40 GRT (Gross Register Tons), dengan dimensi panjang 30 m, lebar 5 m dan draft maksimum 2,3 m. GRT adalah volume keseluruhan ruangan kapal (1 GRT = 2,83 m 3 = 100 ft 3 ). Sarat (draft) adalah bagian kapal yang terendam air pada keadaan muatan maksimum, atau jarak antara garis air pada beban yang direncanakan (designed load water line) dengan titik terendah kapal seperti pada Gambar I.12 (Triatmodjo, 2003). Gambar I.12. Sarat (draft)