BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Scanned by CamScanner

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Scanned by CamScanner

BAB II DASAR TEORI AAXXX.X

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

HASIL PENGUJIAN KOMPOSISI

BAB II STUDI LITERATUR

BAB III PENELITIAN 3.1. DIAGRAM ALIR. Penelitian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Please refer as: Nike Lestari, Suryadi, Bondan T. Sofyan, Pengaruh Kombinasi Penambahan 0.1 wt. % Ti dan Variasi 0.003, 0.018, dan wt.

BAB II STUDI LITERATUR

BAB IV HASIL PENELITIAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Please refer as: M. Fani Indarto dan Bondan T. Sofyan, Pengaruh Temperatur dan Waktu Tahan Perlakuan Pelarutan Terhadap Pengerasan Penuaan Paduan

VARIASI PENAMBAHAN FLUK UNTUK MENGURANGI CACAT LUBANG JARUM DAN PENINGKATAN KEKUATAN MEKANIK

Scanned by CamScanner

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH Cu PADA PADUAN Al-Si-Cu TERHADAP PEMBENTUKAN STRUKTUR KOLUMNAR PADA PEMBEKUAN SEARAH

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. Mulai. Peleburan AC4B GBF. Holding Furnace LPDC. Inject: 0 jam 1 jam 2 jam 3 jam 4 jam. Chipping Cutting Blasting

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB II LANDASAN TEORI

PEMBENTUKAN FASA INTERMETALIK α-al 8 Fe 2 Si DAN β-al 5 FeSi PADA PADUAN Al-7wt%Si DENGAN PENAMBAHAN UNSUR BESI DAN STRONSIUM SKRIPSI

KARAKTERISASI SIFAT MEKANIK PADUAN ALUMINIUM AA.319-T6 AKIBAT PENGARUH VARIASI TEMPERATUR AGING PADA PROSES PRECIPITATION HARDENING

2.2 Sistem Penamaan Aluminium dan Paduannya

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN

PENGARUH UNSUR Mn PADA PADUAN Al-12wt%Si TERHADAP SIFAT FISIK DAN MEKANIK LAPISAN INTERMETALIK PADA FENOMENA DIE SOLDERING SKRIPSI

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. BAB 2 DASAR TEORI

Please refer as: Mashudi Darta, Bondan T. Sofyan, Pengaruh Kombinasi Komposisi 0.02 wt. % Sr dan 0.055, 0.078, dan wt.% Ti terhadap Ketahanan

Jurnal Flywheel, Volume 1, Nomor 2, Desember 2008 ISSN :

BAB IV HASIL DAN ANALISA. Gajah Mada, penulis mendapatkan hasil-hasil terukur dan terbaca dari penelitian

PEMBUATAN BRACKET PADA DUDUKAN CALIPER. NAMA : BUDI RIYONO NPM : KELAS : 4ic03

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Momentum, Vol. 10, No. 2, Oktober 2014, Hal ISSN

ANALISA PENGARUH AGING 400 ºC PADA ALUMINIUM PADUAN DENGAN WAKTU TAHAN 30 DAN 90 MENIT TERHADAP SIFAT FISIS DAN MEKANIS

II. KEGIATAN BELAJAR 2 DASAR DASAR PENGECORAN LOGAM. Dasar-dasar pengecoran logam dapat dijelaskan dengan benar

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BESI COR. 4.1 Struktur besi cor

Diagram Fasa. Latar Belakang Taufiqurrahman 1 LOGAM. Pemaduan logam

BAB II LANDASAN TEORI

ANALISIS SIFAT FISIS DAN MEKANIS ALUMINIUM (Al) PADUAN DAUR ULANG DENGAN MENGGUNAKAN CETAKAN LOGAM DAN CETAKAN PASIR

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Momentum, Vol. 10, No. 2, Oktober 2014, Hal ISSN

Analisa Pengaruh Penambahan Sr atau TiB Terhadap SDAS, Sifat Mekanis dan Fluiditas Pada Paduan Al-6%Si

BAB II LANDASAN TEORI

Pengaruh Waktu Penahanan Artificial Aging Terhadap Sifat Mekanis dan Struktur Mikro Coran Paduan Al-7%Si

ANALISA DESAIN GATING SYSTEM SUDU TURBIN RADIAL INFLOW PADUAN AL-7SI-4MG-0.38CU PADA PROSES INVESTMENT CASTING

ANALISA PERBEDAAN SIFAT MEKANIK DAN STRUKTUR MIKRO PADA PISTON HASIL PROSES PENGECORAN DAN TEMPA

Pengaruh Temperatur Bahan Terhadap Struktur Mikro

ANALISIS HASIL PENGECORAN SENTRIFUGAL DENGAN MENGGUNAKAN MATERIAL ALUMINIUM

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

pendinginan). Material Teknik Universitas Darma Persada - Jakarta

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN. Pembuatan spesimen dilakukan dengan proses pengecoran metode die

BAB 3 METODE PENELITIAN

ISSN hal

BAB V DIAGRAM FASE ISTILAH-ISTILAH

ANALISIS SIFAT MEKANIK MATERIAL TROMOL REM SEPEDA MOTOR DENGAN PENAMBAHAN UNSUR CHROMIUM TRIOXIDE ANHYDROUS (CrO 3 )

BAB II LANDASAN TEORI

BAB IV HASIL PENGUJIAN

4.1 ANALISA STRUKTUR MIKRO

HEAT TREATMENT PADA ALUMINIUM PADUAN

ANALISA STRUKTUR MIKRO DAN SIFAT MEKANIK PADUAN ALUMINIUM HASIL PENGECORAN CETAKAN PASIR

Momentum, Vol. 12, No. 1, April 2016, Hal ISSN , e-issn

BAB 3 Metode Penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

KAJIAN KOMPREHENSIF STRUKTUR MIKRO DAN KEKERASAN TERHADAP PADUAN Al-7,1Si-1,5Cu HASIL PENGECORAN DENGAN METODE EVAPORATIVE

12/03/2015. Nurun Nayiroh, M.Si

PENGARUH PENAMBAHAN UNSUR MANGAN PADA PADUAN ALUMINIUM 7wt% SILIKON TERHADAP SIFAT FISIK DAN MEKANIK LAPISAN INTERMETALIK PADA FENOMENA DIE SOLDERING

PROSES PELAPISAN SERBUK Fe-50at.%Al PADA BAJA KARBON DENGAN PENAMBAHAN Cr MELALUI METODA PEMADUAN MEKANIK SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Pengaruh titanium..., Caing, FMIPA UI., 2009.

Gambar 4.1 Penampang luar pipa elbow

Perbaikan Sifat Mekanik Paduan Aluminium (A356.0) dengan Menambahkan TiC

PENGGUNAAN 15% LUMPUR PORONG, SIDOARJO SEBAGAI PENGIKAT PASIR CETAK TERHADAP CACAT COR FLUIDITAS DAN KEKERASAN COR

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

PERANAN MODIFIER STRONTIUM TERHADAP FLUIDITAS DAN PERUBAHAN MORFOLOGI STRUKTUR SILIKON PADA MASTER ALLOY Al-7%Si DAN Al-11%Si

Scanned by CamScanner

BAB I PENDAHULUAN. tinggi,menyebabkan pengembangan sifat dan karakteristik aluminium terus

BAB V HASIL PENELITIAN. peralatan sebagai berikut : XRF (X-Ray Fluorecense), SEM (Scanning Electron

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. 2, 50/50 (sampel 3), 70/30 (sampel 4), dan 0/100 (sampel 5) dilarutkan dalam

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Please refer as: Bondan T. Sofyan, Nararia Askarningsih, Vina Nanda Garjati, Pengaruh Penambahan Seng terhadap Respons Pengerasan Penuaan Komposit

Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian

PERBANDINGAN KARAKTERISTIK MEKANIS DAN KOMPOSISI KIMIA ALUMUNIUM HASIL PEMANFAATAN RETURN SCRAP

PENGARUH TEMPERATUR TUANG DAN KANDUNGAN SILICON TERHADAP NILAI KEKERASAN PADUAN Al-Si

Bab III Metodologi Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. dalam kelompok Boron dalam unsur kimia (Al-13) dengan massa jenis 2,7 gr.cm-

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Foto Mikro dan Morfologi Hasil Pengelasan Difusi

BAB IV HASIL DAN ANALISA. pengujian komposisi material piston bekas disajikan pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Hasil Uji Komposisi Material Piston Bekas

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dengan semakin majunya teknologi sekarang ini, tuntutan

BAB IV HASIL DAN ANALISA

PENGARUH PENAMBAHAN TEMBAGA (Cu) TERHADAP SIFAT MEKANIK DAN STRUKTUR MIKRO PADA PADUAN ALUMINIUM-SILIKON (Al-Si) MELALUI PROSES PENGECORAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Transkripsi:

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. PENGARUH PENAMBAHAN TITANIUM TERHADAP KARAKTERISTIK PADUAN ALUMINIUM AC4B 4.1.1. Analisa Komposisi Kimia Hasil Pengecoran Hasil pengujian komposisi paduan AC4B sebelum dan sesudah penambahan penghalus butir pada kadar 0.0505 wt. % Ti dan 0.072 wt. % Ti dapat dilihat pada Tabel 4.1. Hasil Pengujian komposisi dibandingkan dengan standar internal di PT. X. [restricted information]. Data hasil pengujian spektrometri dapat dilihat pada lampiran 1. Tabel 4.1. Komposisi sampel uji paduan AC4B. Unsur paduan Komposisi AC4B tanpa penambahan Ti Komposisi AC4B penambahan 0.036wt. % Ti Komposisi AC4B penambahan 0.045 wt. % Ti Komposisi AC4B berdasarkan standar PT. X Si 9.412 9.40 9.38 7 10 Cu 2.837 2.80 2.88 2 4 Mg 0.222 0.172 0.181 0.5 maks Zn 0.712 0.319 0.261 1 maks Fe 0.658 0.786 0.762 1 maks Mn 0.242 0.308 0.310 0.5 maks Ni 0.049 0.0547 0.05058 0.35 maks Ti 0.029 0.0795 0.101 0.2 maks Pb 0.124 0.0834 0.0787 0.2 maks Sn 0.043 0.028 0.031 0.1 maks Cr 0.021 0.027 0.02 0.1 maks Al Remains Remains Remains Remains 36

Kandungan unsur Si pada paduan AC4B tanpa penghalus butir titanium adalah 9.412 wt. % hanya sedikit berbeda dengan kandungan pada penambahan penghalus butir 0.036 wt. % Ti yaitu 9.40 wt. % dan pada penambahan 0.045 wt. % Ti yaitu 9.38 wt. %. Perbedaan ini tidak memiliki pengaruh yang signifikan pada penelitian ini karena jumlah tersebut masih masuk dalam standar yang ditentukan oleh PT. X. Secara keseluruhan, kandungan unsur dari paduan AC4B masih masuk dalam standar yang dipergunakan oleh PT. X. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa ingot aluminium terlebur dengan baik tanpa adanya inklusi dari luar. Kandungan titanium pada paduan tanpa penghalus butir yaitu 0.029 wt. %, dengan penambahan penghalus butir 0.036 wt. % Ti adalah 0.0795 wt. %, dan dengan penambahan penghalus butir 0.045 wt. % Ti adalah 0.101 wt. %. Hal ini mengindikasikan bahwa ternyata penambahan titanium pada target penambahan 0.036 wt. % Ti yaitu sebesar 0.0505 wt. % Ti. Pada penambahan dengan target 0.045 wt. % Ti ternyata penambahan titaniumnya sebesar 0.072 wt. % Ti. Hal ini berarti penambahan titanium lebih besar dari perkiraan semula, yaitu 0.036 wt. % Ti dan 0.045 wt. % Ti. Hal ini kemungkinan diakibatkan oleh penambahan penghalus butir titanium yang lebih besar dari perhitungan pada material balance. Jumlah aluminium cair yang akan dicor baru diketahui setelah penimbangan sesaat sebelum proses degassing dimulai, sehingga jumlah penghalus butir yang dibutuhkan tidak bisa diperkirakan dengan akurat. Bertambahnya kandungan titanium dalam paduan aluminium seperti ditunjukkan oleh Tabel 4.1 mengindikasikan berhasilnya proses penambahan penghalus butir titanium untuk penambahan 0.036 wt. % Ti dan 0.045 wt. % Ti. Untuk mengkonfirmasi kandungan titanium dalam penghalus butir, maka dilakukan analisa struktur yang dapat dilihat pada Gambar 4.1 dan SEM yang dapat dilihat pada Tabel 4.2. Pada Gambar 4.1 dapat dilihat mikrostruktur dari penghalus butir yang menunjukkan struktur yang mirip dengan struktur garam. Hal ini diperkuat oleh analisa SEM X ray mapping pada Tabel 4.2 yang menunjukkan bahwa terdapat kandungan unsur penyusun garam, yaitu K, Na, F, dan Cl. Kandungan dari boron 37

tidak terdeteksi, hal ini menunjukkan tidak adanya kandungan unsur boron pada penghalus butir titanium. Gambar 4.1. Mikrostruktur dari penghalus butir dengan perbesaran 800 kali. Tabel 4.2. Komposisi kimia penghalus butir berdasarkan analisa SEM X Ray mapping. Unsur Komposisi kimia (wt. %) F 34,15 Na 0,55 Cl 1,34 K 32,84 Ti 14,95 Berdasarkan analisa dari SEM X Ray mapping ternyata kandungan titanium dalam penghalus butir tidak sesuai dengan asumsi pada perhitungan material balance yaitu sebesar 30 wt. %. Kandungan titanium pada penghalus butir terdeteksi sebesar 14.95 wt. %. Dibandingkan dengan asumsi pada material balance, terdapat perbedaan kandungan sebesar 15.05 wt. %. Kandungan titanium yang dideteksi pada SEM X ray mapping ini tidak dapat merepresentasikan kandungan dari keseluruhan penghalus butir. Hal ini disebabkan penghalus butir berbentuk serbuk sehingga kemungkinan kandungan titanium tidak tersebar secara merata pada serbuk penghalus butir. Dengan demikian, jumlah penambahan penghalus butir titanium yang akan dibahas selanjutnya akan mengacu pada 38

penambahann kandungann titanium pada pengujian komposisi kimia ( yaitu 0.05055 wt. % Ti dan 0.072 wt. % Ti. Tabel 4.1) 4.1.2. Pengaruh Titanium Terhadap Kekerasan Makro Paduan AC4B Nilai kekerasan dari sampel tanpa dan dengan penambahan titanium dapat dilihat pada Gambar 4.2. Data mentah dari pengujian kekerasan dapat dilihat pada Lampiran 2. Sampel yang diujikan adalah sampel tebal dan sampel tipis dan kemudian dibandingkan n penambahan kekerasannya untuk setiap penambahan titanium. Kekerasan (BHN) 90 89 88 87 86 85 84 83 82 81 80 83.43 0 wt. % Ti 85.77 0.0505 wt. % Ti 89.42 0.072 wt. % Ti Kandungann Ti (wt. %) Gambar 4.2. Perbandingan kekerasan pada sampel tebal sebelum dan sesudah penambahan 0.0505 wt. % Ti dan 0.072 wt. % Ti. Gambar 4.2 memperlihatkan bahwa kekerasan sampel tebal tanpaa penghalus butir titanium adalah 83.43 BHN, kekerasan dengan penambahan 0.0505 wt. % Ti adalah 85.777 BHN, sedangkan pada penambahan 0.072 wt. % Ti kekerasannya adalah 89.42 BHN. Hal ini berarti dengan penambahan titanium sebesar 0.0505 wt. % Ti akan meningkatkan kekerasan sebesar 2.34 BHN, atau sebesar 2.8 %, dan penambahan 0.072 wt. % Ti peningkatan kekerasan yang terjadi sebesar 5.99 BHN, atau sebesar 7.17 % Hal ini sesuai dengan literatur bahwa penambahan unsur titanium sebagai penghalus butir akan meningkatkann kekerasan [3], yang kemungkinan disebabkan 39

oleh mengecilnya nilai DAS (Dendrite Arm penelitian R. Torres [18] yang mengemukakan DAS dengann peningkatan nilai kekerasan. Spacing). Hal ini diperkuat oleh hubungan antara pengecilan nilai 93 Kekerasan (BHN) 92 91 90 89 88 87 87.48 91.40 91.99 86 85 0 wt. % Ti 0.0505 wt. % Ti 0.072 wt. % Ti Kandungann Ti (wt. %) Gambar 4.3. Perbandingan kekerasan pada sampel tipis sebelum dan sesudah penambahan 0.0505 wt. % Ti dan 0.072 wt. % Ti. Pada Gambar 4..3 diperlihatkan bahwaa kekerasan sampel tipis tanpa penghalus butir titanium adalah 87.48 BHN, kekerasan dengan penambahan 0.0505 wt. % Ti adalah 91.40 BHN, sedangkann pada penambahan 0.072 wt. % Ti kekerasannya adalah 91.99 BHN. Hal ini berarti peningkatan kekerasan untuk penambahann 0.0505 wt. % Ti adalah sebesar 3.92 BHN, atau sebesar 4.4 %, sedangkan untuk penambahan 0.072 wt. % Ti terjadi peningkatan sebesar 4.51 BHN, atau sebesar 5.1 %. Nilai kekerasan pada sampel tebal (Gambar 4.2) lebih kecil dari nilai kekerasan pada sampel tipis (Gambar 4.3), hal ini dikarenakan laju pembekuan pada sampel tipis lebih tinggi dari laju pembekuan pada sampel tebal, sehingga kekerasannya lebih tinggi. Hal ini sesuai dengann literatur yang menyatakan bahwa semakin cepat laju pembekuan maka ukuran DAS akan semakin kecil [6][9]. Semakin kecil nilai DAS maka kekerasan akan makin tinggii [18]. Dari Gambar 4.2 dan Gambar 4.3 dapat dilihat bahwa pada penambahan 0.072 wt. % Ti pada sampel tipis penambahan kekerasan dari penambahan 40

sebelumnya, yaitu 0.0505 wt. % Ti sangat kecil, yaitu 0.59 BHN, sedangkan pada sampel tebal penambahan kekerasannya sebesar 3.65 BHN. Hal ini menunjukkan penambahan nilai kekerasan pada sampel tipis setelah penambahann penghalus butir titanium secara umum lebih kecil dibandingkan dengan sampel tebal. Hal ini kemungkinan dikarenakan pada sampel tipis laju pembekuannya tinggi, sehingga penambahan penghalus butir titanium sebagai pengatur laju pembekuan kurang efektif. Dari Gambar 4.1 dan 4.2 dapat dilihat bahwa variabel penambahan penghalus butir titanium yang digunakan tidak signifikan merubah nilai kekerasan. Hal ini akan dikonfirmasi pada pengamatan mikrostruktur pada sub bab 4.2.1. Apabila nilai kekerasan dalam BHN dikonversikan ke dalam nilai HRB (tabel konversi BHN ke HRB dapat dilihat pada lampiran 2), maka nilai kekerasan dari penambahan penghalus butir berkisar diatas 40 HRB (40 HRB ~ 80 BHN). Nilai kekerasan ini sudah masuk dalam standar yang ditentukan oleh PT. X, yaitu minimum 40 HRB. 4.1.3. Pengaruh Titanium Terhadap Kekuatan Tarik Paduan AC4B Gambar 4.4 memperlihatkan mengenai nilai UTS (Ultimate Tensile Strength) dari paduan aluminium AC4B tanpa penambahan penghalus butir aluminium dan dengan penambahann 0.0505 wt. % Ti dan 0.072 wt. % Ti. Data mentah hasil pengujian tarik dapat dilihat pada lampiran 3. UTS (MPa) 200.00 180.00 160.00 140.00 120.00 100.00 80.00 60.00 40.00 20.00 0.00 128.89 165.89 172.06 0 wt. % Ti 0.0505 wt. % Ti 0.072 wt. % Ti Kandungan Ti (wt. %) Gambar 4.4. Perbandingan nilai UTS sebelum dan sesudah penambahan 0.0505 wt. % Ti dan 0.072 wt. % Ti. 41

Seperti diperlihatkan pada Gambar 4.4, nilai UTS pada paduan AC4B tanpa penambahann penghalus butir titanium adalah 128.89 MPa, pada penambahan 0.0505 wt. % Ti nilai UTSnya adalah 165.89 MPa, dan pada penambahan 0.072 wt. % Ti nilai UTSnya adalah 172.06 MPa. Dari data pengujian tarik tersebut terlihat bahwa dengan penambahan 0.0505 wt. % Ti akan meningkatkann nilai UTS sebesar 28.7 %, atau peningkatan sebesar 37 MPa. Penambahan 0.072 wt. % Ti akan meningkatkan nilai UTS sebesar 33.4 %, atau peningkatan sebesar 43.17 MPa. Dibandingkan dengan penambahan 0.0505 wt. % Ti, penambahann 0.072 wt. % Ti akan menambah nilai UTS sebesar 6.7 %, atau terjadi kenaikan sebesar 6.17 MPa dari penambahan sebelumnya. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa penghalusan butir akan meningkatkan kekuatan tarik [14][19]. Hal ini kemungkinan dikarenakan penghalus butir titanium akan mereduksi ukuran butir dari α- aluminium primer sehingga membentuk struktur butir yang equiaxed. Struktur equiaxed ini mempunyai beberapa keunggulan, diantaranya menghasilkan kekuatan tarik yang tinggi [19]. 1.4 % Elongasi 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.83 1. 2 1 0.2 0 0 wt. % Ti 0.0505 wt. % Ti 0.072 wt. % Ti Kandungann Ti (wt. %) Gambar 4.5. Perbandingan nilai elongasi sebelum dan sesudah penambahan 0.0505 wt. % Ti dan 0.072 wt. % Ti. Gambar 4.5 memperlihatkan nilai elongasi dari sampel tanpa penambahan titanium dan dengan penambahan 0.0505 wt. % Ti dan 0.072 wt. % Ti. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa dengan penambahan 0.0505 wt. % Ti akan 42

meningkatkan elongasi sebesar 44%. Penambahan titanium sebesar 0.072 wt. % akan meningkatkan elongasi sebesar 20.4 %. Penambahan elongasi pada penambahan 0.072 wt. % Ti ternyata lebih kecil daripada pada penambahan 0.0505 wt. % Ti. Hal ini tidak sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa nilai elongasi akan meningkat dengan penambahan penghalus butir [14]. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh kurang terkendalinya proses pengecoran pada pembuatan sampel uji tarik, dikarenakan cetakan ingot yang digunakan tidak dilakukan preheating terlebih dahulu, dan kecepatan penuangan yang tidak sama antara sampel yang satu dengan sampel yang lain. Hal ini juga dapat disebabkan oleh adanya konsentrasi tegangan pada bagian tertentu yang mengakibatkan sampel uji tarik tidak homogen sehingga mengalami perpatahan tidak tepat pada gauge length [20]. Pengamatan makro dari patahan sampel uji tarik dapat dilihat pada gambar 4.6. Dari patahan tersebut terlihat bahwa material bersifat getas, ditunjukkan dengan patahan yang berwarna terang dan kasar, dan tidak terjadi necking yang merupakan indikasi terjadinya perpatahan getas. 10 mm Gambar 4.6. Foto makrostruktur dari sampel patahan uji tarik. 4.2. PENGAMATAN MIKROSTRUKTUR 4.2.1. Pengamatan Dengan Menggunakan Mikroskop Optik Pengamatan mikrostruktur menggunakan mikroskop optik dilakukan untuk mengetahui karakteristik fasa, struktur dendrit dengan kaitannya dengan sifat mekanis. Pada Gambar 4.7 diperlihatkan foto mikrostruktur dari sampel tebal dan sampel tipis tanpa penambahan titanium (Gambar 4.7 a-b), dengan penambahan 0.0505 wt. % Ti (Gambar 4.7 c-d), dan dengan penambahan 0.072 wt. % Ti (Gambar 4.7 e-f).dari gambar tersebut terlihat bahwa mikrostruktur tanpa dan dengan penambahan penghalus butir mempunyai struktur yang sama yaitu dendritik. 43

Sampel tebaal T 0 wt % Ti Sampell tipis a b 100 µm 0,0505 wtt % Ti 100 µm µ c d 100 µm 0,072 wt % Ti 0 wt w % Ti 0,0505 wt w % Ti 100 µm µ e f 100 µm 0,072 wt w % Ti 100 µm µ Gambar 4.7. 4 Foto mikroostruktur paduaan AC4B pada sampel tebal ddan sampel tipiis dengan penambahaan (a-b) 0 wt. % Ti; (c-d) 0.0505 wt. % Ti; dan (e-f) 0.0722 wt. % Ti. Etssa Tucker. 44

Pada saat paduan aluminium silikon hipoeutektik (kandungan silikon dibawah 12 %) mulai membeku, terdapat beberapa macam fasa yang mengendap, diawali dengan reaksi eutektik Al Si dan dikuti dengan fasa yang mengandung Mn dan Fe, dan diakhiri dengan pengendapan fasa kedua eutektik seperti Mg 2 Si dan Al 2 Cu. Umumnya fasa yang mengandung Mn dan Fe adalah fasa Al 5 FeSi yang terbentuk oleh pembekuan lambat, dan Al 15 (Mn,Fe) 3 Si 2 yang terbentuk oleh pembekuan cepat [11]. Unsur Mn dan Fe mempunyai kecenderungan untuk saling berikatan dan saling bersubstitusi satu sama lain. Mn dan Fe memiliki nomor atom yang tidak jauh berbeda (Mn: 25; Fe: 26) dan nilai keelektronegatifan yang tidak berbeda jauh sehingga dapat membentuk ikatan yang kuat. Fasa Al 15 (Mn,Fe) 3 Si 2 dan fasa Al 2 Cu merupakan fasa intermetalik, yaitu fasa kedua yang mengendap pada paduan aluminium, yang terbentuk akibat dari komposisi kimia yang melebihi batas kelarutannya. Fasa intermetalik ini akan terbentuk mengelilingi fasa aluminium primer, seperti diperlihatkan pada Gambar 4.7. Fasa aluminium primer (dendrit) dikelilingi oleh jaringan fasa intermetalik dan partikel kristal silikon. Pada Gambar 4.7 terdapat rangkaian jaringan fasa yang berbentuk jarum yang terbentuk diantara fasa dendrit. Fasa yang berbentuk jarum ini kemungkinan besar adalah Al 5 FeSi dan kristal AlSi. Selain itu, juga terdapat fasa berbentuk chinese script yang kemungkinan besar adalah α Al 15 (Mn,Fe) 3 Si [9] 2 (Gambar 4.7c) dan fasa AlSi yang berbentuk serpihan. Fasa AlSi yang berbentuk jarum ini menimbulkan kekuatan dan kekerasan yang lebih besar dari fasa AlSi yang berbentuk serpihan [21]. Struktur jarum AlFeSi memberikan sifat yang merusak sifat mekanis karena sangat getas dan mengurangi ketahanan korosi [22], dan menyebabkan shrinkage cavities [9]. Penambahan penghalus butir titanium akan mengubah struktur dendrit menjadi lebih rapat, dan mengubah struktur dendrit kolumnar menjadi dendrit equiaxed [23]. Hal ini terlihat jelas pada Gambar 4.7 pada sampel tipis dengan penambahan 0.072 wt. % Ti struktur dendrit menjadi sangat kecil dan rapat dibandingkan dengan struktur dendrit tanpa penambahan aluminium. Menurut penelitian Lozano [24], penambahan titanium akan menyebabkan peningkatan fraksi volume dan reduksi ukuran dari fasa α aluminium dan serpihan AlSi (cuboids). 45

Hal ini sejalan dengann penelitian lain yang menyatakann bahwa penambahan penghalus butir akan meningkatkann ukuran dendrit dan meningkatkann luas area kontak antara dendrit sehingga mengurangi ruang interdendritik [25]. Hal ini yang kemungkinan mengakibatkan fasa intermetalik yang mengisi ruang interdendritik tersebar secara merata di seluruh material. Pengukuran nilai DAS dilakukan untuk mengukur perubahan nilai DAS dengan kaitannya dengan penambahan penghalus butir titanium. Pengukuran nilai DAS dilakukan dengan mengukur panjang jarak antar dendrit pada bagian yang representatif secara manual dengann menggunakan penggaris baik pada sampel tebal maupun pada sampel tipis sebanyak 10 kali dalam 1 foto mikrostruktur. Hasil pengukuran nilai DAS dapat dilihat pada Gambar 4.8 dan Gambar 4.9. Data mentah hasil pengukurann DAS dapat dilihat pada lampiran 4. 35 DAS ( µm) 30 25 20 15 10 29.97 23.89 22 5 0 0 wt. % Ti 0.0505 wt. % Ti 0.072 wt. % Ti Kandungan Ti (wt. %) Gambar 4.8. Perbandingan nilai DAS pada bagian sampel tebal sebelum dan sesudah penambahan 0.0505 wt. % Ti dan 0.072 wt. % Ti. Dari Gambar 4.8 tampak bahwa pada sampel tebal, penambahann penghalus butir titanium akan mengurangi nilai DAS, yang berarti jarak antar dendrit makin sempit. Hal ini menjelaskan mengenai peningkatan nilai kekerasan yang terjadi pada subbabb 4.2.1. Nilai DAS padaa material AC4B tanpa penambahann penghalus butir aluminium adalah 29.97 µm, dengan penambahan 0.0505 wt. % Ti nilai DASnya adalah 23.89 µm, dengann penambahan 0.072 wt. % Ti nilai DASnya adalah 22 µm. Penambahan 0.0505 wt. % Ti akan menurunkan nilai DAS sebesar 46

20.2 %, sedangkan penambahan 0.072 wt. % Ti akan menurunkan nilai DAS sebesar 26.5 %. Nilai DAS dipengaruhi oleh kecepatan proses pembekuan pada proses pengecoran, dan nilainya mempengaruhi sifat mekanis suatu paduan logam [14]. 25 20 23.51 DAS ( µm) 15 10 12.61 11.67 5 0 0 wt. % Ti 0.0505 wt. % Ti 0.072 wt. % Ti Kandungan Ti (wt. %) Gambar 4.9. Perbandingan nilai DAS pada sampel tipis sebelum dan sesudah penambahan 0.0505 wt. % Ti dan 0.072 wt. % Ti. Gambar 4.9 memperlihatkan nilai DAS pada sampel tipis sebelum dan sesudah penambahan penghalus butir titanium. Sebelum ditambahkan titanium, nilai DASnya adalah sebesar 23.51 µm, dengan penambahann 0.0505 wt. % Ti nilai DASnya sebesar 12.61 µm, dengann penambahan 0.072 wt. % Ti nilai DASnya adalah sebesar 11.67 µm. Penambahan 0.0505 wt. % Ti akan menurunkan nilai DAS sebesar 46.3 %, dan penambahan 0.072 wt. % Ti akan menurunkan nilai DAS sebesar 50.3 %. Perubahan ini terlihat jelas pada foto mikrostruktur pada Gambar 4.7, dimana struktur dendrit setelah penambahan titanium menjadi sangat rapat. Pada penambahann 0.0505 wt. % Ti dengan 0.072 wt. % Ti, tampak bahwa penambahann 0.072 wt. % Ti padaa sampel tebal akan mengurangi nilai DAS sebesar 6.3 % dari penambahan 0.0505 wt. % Ti. Pada sampel tipis penambahan 0.072 wt. % Ti akan mengurangi nilai DAS sebesar 4 % dibandingkan pada penambahann 0.0505 wt. % Ti. pada sampel tipis, nilaii DASnya lebih kecil daripada pada sampel tebal, hal ini dikarenakan pada sampel tipis kecepatan pembekuannya lebih tinggi daripada pada sampel tebal, yang mengakibatkan struktur dendrit yang lebih rapat. 47

4.2.2. Pengamatan Dengan Menggunakan SEM / EDAX Pengujian menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopy) dan EDAX (Energy Dispersive X Ray Analysis) digunakan untuk mengetahui fasa yang terbentuk dan mengamati fasa Al 3 Ti yang terbentuk setelah penambahan penghalus butir titanium. Hasil pengujian SEM menggunakan Back Scattered Electron (BSE) ditunjukkan oleh Gambar 4.10 dan 4.11. 004 003 001 002 Gambar 4.10. Hasil pengujian SEM dengan penambahan 0.0505 wt. % Ti, nomor menunjukkan titik pengujian EDAX. No Tabel 4.3. Komposisi mikro hasil analisa SEM / EDAX titik titik pada Gambar 4.10 pada paduan AC4B dengan penambahan 0.0505 wt. % Ti. Komposisi ( % berat ) Fasa yang mungkin Si Cu Fe Mn Ti Al Warna terbentuk 1 15.15-23.64 4.45 0 Sisa Abu abu muda Al 15 (Fe,Mn) 3 Si 2 2 92.23 - - - 0 Sisa Abu abu gelap AlSi kristal 3-66.87 - - 0 Sisa Putih Al 2 Cu 4 1.52 - - - 0 Sisa Abu abu Matriks Al 48

Dari Gambar 4.10 terlihat bahwa struktur interdendritik yang ada memiliki perbedaan warna dan morfologi yang mengindikasikan perbedaan fasa. Untuk mengetahui komposisi fasa dari morfologi yang berbeda, dilakukan pengujian EDAX. Gambar 4.10 memperlihatkan titik pengujian EDAX dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4.2. Hasil analisa EDAX pada Tabel 4.2 mengindikasikan terbentuknya fasa kristal silikon, Al 15 (Fe,Mn) 3 Si 2, matriks kaya Al dan Al 2 Cu. Hal ini sesuai dengan literatur [11] yang menyatakan bahwa pada paduan hipoeutektik,, terdapat tiga tahap pembentukan fasa, yaitu pembentukan jaringan dendritik α-al, reaksi eutektik Al Si dan pengendapan fasa eutektik kedua seperti CuAl 2. Kristal silikon terbentuk karena batas kelarutan silikon dalam aluminium dalam keadaan larutan padat (solid solution) sebesar 1.65 % [9]. Oleh karena itu, sisanya membentuk silikon bebas dalam bentuk kristal silikon. Pada titik nomor 1, fasa yang berwarna abu abu muda merupakan Al 15 (Fe,Mn) 3 Si 2 yang berbentuk jarum. Fasa ini menyebabkan sifat yang getas [22]. Fasa yang berwarna abu abu gelap pada titik nomor 2 merupakan kristal AlSi dengan bentuk jarum (acicular). Selain bentuk jarum, pada Gambar 4.10 juga terdapat kristal AlSi yang berbentuk serpihan. Fasa yang juga banyak terdapat pada Gambar 4.10 adalah fasa yang berwarna putih yang pada titik nomor 3 diidentifikasi sebagai fasa Al 2 Cu. Fasa Al 2 Cu umumnya memiliki bentuk yang bulat atau irregular [9], dan menurut Manash Dash [25] fasa Al 2 Cu sering menempel pada jarum Al 15 (Fe,Mn) 3 Si 2, seperti terlihat pada Gambar 4.10. Gambar 4.11. Diagram fasa Al-Cu [25]. Garis merah merupakan kandungan Cu pada penambahan 0.0505 wt. % Ti yaitu sebanyak 2.8 %. 49

Pada diagram fasa Al Cu, paduan Al 2 Cu terbentuk pada daerah dua fasa α + β seperti terlihat pada Gambar 4.11. Pada Gambar 4.11, paduan Al 2 Cu akan terbentuk di bawah temperatur solvus pada 400 C, hal ini menjelaskan mengenai fasa Al 2 Cu yang terbentuk terakhir pada saat pembekuan. Untuk membandingkan pengaruh penambahan penghalus butir titanium terhadap pembentukan fasa pada aluminium, dilakukan pula pengujian SEM / EDAX pada penambahan 0.072 wt. % Ti. Hasil pengamatan dengan SEM dapat dilihat pada Gambar 4.12 dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4.3. 001 002 003 004 Gambar 4.12. Hasil pengujian SEM dengan penambahan 0.072 wt. % Ti, nomor menunjukkan titik pengujian EDAX. No Tabel 4.4. Komposisi mikro hasil analisa SEM / EDAX titik titik pada Gambar 4.10 pada paduan AC4B dengan penambahan 0.072 wt. % Ti. Komposisi ( % berat ) Fasa yang mungkin Si Cu Fe Mn Ti Al Warna terbentuk 1 11.96-24.73 5.46 0 Sisa Abu abu muda Al 15 (Fe,Mn) 3 Si 2 2 96.43 - - - 0 Sisa Abu abu gelap AlSi kristal 3 0.51 66.51 - - 0 Sisa Putih Al 2 Cu 4 1.52 - - - 0 Sisa Abu abu Matriks Al 50

Hasil analisa EDAX pada Tabel 4.3 mengindikasikan bahwa pada penambahan 0.072 wt. % Ti fasa yang terbentuk adalah kristal silikon, Al 3 (Fe,Mn)Si 2, Al 2 Cu dan matriks kaya aluminium. Tidak tampak adanya perbedaan morfologi dibandingkan dengan penambahan 0.0505 wt. % Ti. Fasa nomor 1 pada Gambar 4.12 merupakan Al 3 (Fe,Mn)Si 2 yang berbentuk seperti jarum yang merupakan fasa β. Kecepatan pembekuan yang tinggi akan menyebabkan pertumbuhan struktur jarum Al 5 FeSi menjadi tertahan dan mendorong terbentuknya fasa Al 3 (Fe,Mn)Si 2. Semakin tinggi kecepatan pembekuan maka akan mendorong perubahan struktur β Al 3 (Fe,Mn)Si 2 yang berbentuk jarum menjadi α Al 3 (Fe,Mn)Si 2 yang berbentuk chinese script [9]. Fasa α dari Al 3 (Fe,Mn)Si 2 yang berbentuk seperti chinese script tidak terlihat pada gambar ini, hal ini bisa disebabkan daerah foto yang diambil kurang representatif. Pada foto mikrostruktur (Gambar 4.7) terdapat struktur chinese script, yang mengindikasikan struktur chinese script terbentuk, hanya saja kurang teramati dengan baik pada pengamatan dengan SEM. Fasa AlSi, pada Gambar 4.10 dan Gambar 4.12 diberi nomor 2, terlihat tersebar secara merata. Hal ini sejalan dengan penelitian Lozano [24] yang mengemukakan bahwa fraksi volume AlSi akan meningkat seiring dengan penambahan titanium. Peningkatan fraksi volume AlSi akan menghasilkan fasa AlSi yang tersebar lebih merata. Pada matriks aluminium, yang pada Gambar 4.10 dan 4.12 diberi nomor 4, pada EDAX hanya teridentifikasi kandungan aluminium dan sedikit silikon. Hal ini kemungkinan dikarenakan keterbatasan dari alat EDAX sehingga tidak dapat mendeteksi kandungan unsur terlarut lainnya selain silikon, seperti Mg, Fe, Mn, Cu, dan unsur Ti. Kandungan unsur Ti tidak dapat terdeteksi oleh EDAX baik pada penambahan 0.0505 wt. % Ti dan 0.072 wt. % Ti. Seharusnya kandungan titanium terdeteksi pada EDAX dengan fasa Al 3 Ti. Hal ini kemungkinan dikarenakan alat EDAX sulit untuk mendeteksi kandungan titanium pada kadar yang sedikit [19]. Shahrooz Nafisi [23] menemukan partikel Al 3 Ti pada penambahan 0.13 wt. % Ti dan 0.021 wt. % B dengan menggunakan SEM / EDAX. Nafisi menemukan bahwa partikel Al 3 Ti tersebut kaya akan Ti, Si, Al, dan unsur B sehingga dikemukakan bahwa α aluminium ternukleasi oleh campuran dari unsur Al, Ti, 51

dan Si. Limmaneevichitr [16] menemukan fasa Al 3 Ti yang menempel pada fasa silikon eutektik. Hal ini berarti, apabila terdapat fasa Al 3 Ti, terdapat kemungkinan fasa tersebut akan berada dekat atau menempel pada fasa silikon eutektik. 4.3. ANALISA TINGKAT KEGAGALAN PADA KOMPONEN CYLINDER HEAD DENGAN VARIASI PENAMBAHAN TITANIUM Komponen cylinder head yang diproduksi saat ini memiliki masalah kebocoran yang cukup serius, dengan tingkat kegagalan sebesar 8 % dari total produksi[restricted information]. Dari percobaan penambahan titanium pada paduan AC4B, pada penambahan 0.0505 wt. % Ti tingkat kegagalannya adalah sebesar 2 buah dari total 24 cylinder head yang diuji, atau sebesar 8.33 %, sedangkan pada penambahan 0.072 wt. % tingkat kegagalannya adalah 0 buah dari 23 buah cylinder head yang diuji, atau sebesar 0 %. Data lengkap hasil produksi dapat dilihat pada lampiran 5. Pada penambahan 0.0505 wt. % Ti, ternyata tingkat kegagalannya tidak berkurang dibandingkan dengan tanpa penambahan titanium. Cylinder head yang mengalami kegagalan merupakan cylinder head yang diproduksi pada jam kedua dan jam keempat. Hal ini mengindikasikan efektifitas penghalus butir titanium sudah berkurang pada jam kedua. Kegagalan pada penambahan 0.0505 wt. % Ti diakibatkan karena adanya shrinkage porosity. Gambar 4.13. Cacat shrinkage porosity pada cylinder head, ditandai dengan lingkaran merah. 52

Gambar 4.13 menunjukkan shrinkage porosity pada bagian tebal pada cylinder head, yang merupakan hal yang fatal karena menyebabkan kebocoran. Shrinkage muncul saat pembekuan sebagai akibat dari perbedaan volume antara fasa padat dan fasa cair. Pada saat logam mulai membeku, terjadi penyusutan volume yang mengakibatkan terbentuknya pori, diilustrasikan pada Gambar 4.14(a). Pori ini umumnya sulit terlihat oleh mata telanjang, perlu dilakukan pengujian kebocoran terlebih dahuluu untuk mengetahui bagian mana yang cacat. Gambar 4.14 Ilustrasi pembentukan shrinkage dalam pengecoran aluminium. (a) pembentukan pori, (b) shrinkage meningkatkan ukuran pori, (c) shrinkage semakin bertambah sehingga pori membentuk wormhole [6]. Shrinkage yang semakin bertambah akan meningkatkan jumlah dan ukuran lubang (Gambar 4.14b) sehingga pada akhirnya akan membentuk satu kesatuan lubang yang menjorok ke dalam material (Gambar 4.14c). Dalam paduan Al Si Cu, pembekuan yang cepat akan menyebabkan terdistribusinya pori secara merata dalam batas butir, sedangkann pendinginan yang lambat akan menyebabkan shrinkage yang terdistribusi pada daerah interdendritik [6][12]. Terjadinya shrinkage pada penambahann penghalus butir dengan kadar 0.0505 wt. % Ti yang menyebabkan n terjadinya kebocoran mengindikasikan bahwa penghalusann butir tidak berjalan dengan efektif. Cylinder head yang mengalami shrinkage merupakan part yang dicor pada jam kedua dan jam keempat. Tidak ada part yang mengalami kebocoran pada jam ke nol dan jam pertama, sehingga kemungkinan shrinkage tersebut disebabkan berkurangnyaa efektifitas penghalus butir seiring dengan bertambahnya waktu, atau disebut dengan fading. 53

Parameter pengecoran seperti temperatur dies dan temperatur logam cair pada variabel penambahan 0.0505 wt. % Ti masih masuk dalam standar yang ditentukan, hal ini berarti proses pengecoran berlangsung dengan baik. Cacat lain selain kebocoran yang ditemukan adalah cacat akibat misrun dan overdimensi. Cacat akibat misrun ini dikarenakan dies tidak menutup dengan rapat sehingga logam cair meluap keluar dari dies, menghasilkan cylinder head yang tidak utuh. Cacat akibat misrun dan overdimensi ini cukup banyak terjadi, menyebabkan cylinder head yang lolos inspeksi untuk dilakukan pengujian kebocoran hanya 24 buah pada 0.0505 wt. % Ti dan 23 buah pada 0.072 wt. % Ti dari keseluruhan 74 buah cylinder head yang diproduksi penambahan 0.0505 wt. % Ti dan 100 buah untuk penambahan 0.072 wt. % Ti. Oleh karena itu direkomendasikan untuk melakukan inspeksi rutin pada kondisi dies yang akan digunakan. Pada penambahan penghalus butir dengan kadar 0.072 wt. % Ti, tidak ditemukan adanya indikasi terjadinya kebocoran pada semua cylinder head yang diuji. Hal ini mengindikasikan bahwa penambahan penghalus butir 0.072 wt. % Ti efektif untuk mengurangi shrinkage pada cylinder head. Seperti yang telah dibahas pada subbab 4.2, penambahan titanium akan meningkatkan sifat mekanis dan menurunkan nilai DAS dari paduan AC4B, akan tetapi peningkatan sifat mekanis yang terjadi dianggap tidak signifikan. Selain itu paduan AC4B menjadi getas dikarenakan tersebarnya fasa intermetalik secara merata. Penghalus butir titanium yang digunakan adalah penghalus butir fluks yang diklaim mengandung titanium dan boron. Setelah dilakukan pengujian, ternyata unsur yang terdeteksi adalah unsur titanium dan unsur garam, sedangkan unsur boron tidak terdeteksi. Hal ini membatasi penelitian mengenai pengaruh unsur boron terhadap penghalusan butir. Oleh karena itu direkomendasikan untuk memperketat standar inspeksi material sehingga material penghalus butir yang akan digunakan sesuai dengan spesifikasi yang diberikan. Dengan penghalus butir titanium yang sesuai dengan spesifikasi, maka diharapkan efektifitas penghalus butir titanium akan memadai untuk diaplikasikan ke dalam dunia industri otomotif. 54