BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Malaria sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan utama di berbagai negara khususnya negara-negara berkembang. Berdasarkan laporan The World Malaria Report 2005 bahwa hingga tahun 2005 malaria masih menjadi masalah kesehatan utama di 107 negara di dunia. Penyakit ini menyerang sedikitnya 350-500 juta orang setiap tahunnya dan bertanggung jawab terhadap kematian sekitar 1 juta orang setiap tahunnya. Diperkirakan sekitar 3,2 miliar orang hidup di daerah endemis malaria. Malaria juga menyebabkan negara kehilangan 12 % dari pendapatan nasional untuk menanggung biaya penanggulangan malaria. Secara etiologi malaria merupakan penyakit berbasis lingkungan yang disebabkan oleh parasit Plasmodium dan menyerang semua kelompok umur, ras, jenis kelamin, golongan ekonomi. Malaria juga terdapat hampir di seluruh belahan dunia, khususnya Afrika dan Asia (Depkes RI, 2005). Indonesia merupakan salah satu negara yang masih tergolong berisiko terhadap serangan penyakit malaria. Tahun 2006 terdapat sekitar 2 juta kasus malaria klinis, dan menurun pada tahun 2007 menjadi 1,75 juta kasus. Jumlah penderita positif malaria (hasil pemeriksaan mikroskop positif terdapat kuman malaria) tahun 2006 sebanyak 350.000 kasus, dan pada tahun 2007 sekitar 311.000 kasus (Depkes RI, 2005).
Berdasarkan profil Kesehatan Indonesia (2008), dari 576 Kabupaten/Kota yang ada, 424 Kabupaten/Kota (73,6%) diantaranya endemis malaria. Sebanyak 6 propinsi dinyatakan endemis tinggi (Annual Parasite Incidence/API > 5/1.000 penduduk), yaitu: propinsi Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, Sumatera Utara (Nias, Nias Selatan, Madina, Labuhan batu, Asahan, Tapanuli selatan) dan Nusa Tenggara Timur (NTT), sedangkan daerah yang termasuk daerah endemis sedang (API 1-5/1.000 penduduk) Aceh, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Jambi, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Jawa Tengah, dan yang termasuk daerah endemis rendah (API 0-1/1.000 penduduk) yakni Jawa Barat, dan sebagian daerah di Jawa, Kalimantan serta Sulawesi, serta daerah non endemis atau tanpa penularan malaria, DKI Jakarta, Bali dan Barelang Binkar. Malaria masih menjadi masalah kesehatan yang utama di provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan hasil laporan Dinas Kesehatan Sumatera Utara, terdapat 6 kabupaten yang dinyatakan endemik malaria, yaitu: Nias, Nias Selatan, Madina, Labuhan batu, Asahan dan Tapanuli Selatan. Rata-rata terjadi 50.000 kasus malaria klinis/tahun, 9-10 orang meninggal setiap tahun (Dinkes Sumut, 2009). Kabupaten Nias Selatan adalah salah satu kabupaten yang dinyatakan endemik malaria. Berdasarkan Profil Kesehatan Kabupaten Nias Selatan (2008), diketahui bahwa malaria tersebar di 21 kecamatan yang meliputi 2 kelurahan dan 346 desa. Kabupaten Nias Selatan juga mengalami fluktuasi kejadian malaria. Pada tahun 2004 terdapat kasus malaria klinis sebanyak 10.133 kasus (3,63 %). Pada tahun 2005 terjadi peningkatan kasus malaria klinis, khususnya pasca bencana alam gempa bumi
yaitu, sebanyak 30.125 kasus (10,69%), namun menurun lagi pada tahun 2006, yaitu sebanyak 17.525 kasus malaria klinis (6,18 %). Pada tahun 2007 penderita malaria klinis meningkat lagi menjadi 19.379 kasus (6,27 %) dan menurun kembali pada tahun 2008, yaitu 15.543 kasus malaria klinis ( 4,60 %). Tingginya angka kejadian penyakit malaria menyebabkan perlunya upaya penanggulangan secara komprehensif, yang meliputi upaya promotif, preventif, dan kuratif, hal ini bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian serta mencegah Kejadian Luar Biasa (KLB). Untuk mencapai hasil yang optimal upaya tersebut harus dilakukan dengan berkualitas dan terintegrasi dengan program lainnya. Untuk mendukung upaya menekan angka kesakitan dan kematian akibat malaria tersebut, pemerintah telah mencanangkan berbagai program penanggulangan malaria, salah satunya adalah surveilans malaria. Kegiatan ini bertujuan melakukan pemantauan kejadian malaria secara terus menerus dan berkelanjutan. Hal ini penting agar dapat dilakukan tindakan penanggulangan yang tepat dalam penanggulangan malaria (Depkes RI, 2008). Program surveilans malaria merupakan kegiatan yang terus menerus dan teratur dalam pengumpulan, pengolahan dan analisa data, pelaporan, visualisasi data, tindakan saat terjadi peningkatan kasus dan peningkatan jenjang kemitraan. Salah satu indikator keberhasilan dalam penanggulangan malaria adalah keberhasilan pelaksanaan program surveilans malaria yang didasarkan pada kinerja secara berkualitas ditandai dengan menurunnya angka kesakitan dan kematian akibat malaria. Selain itu indikator keberhasilan berdasarkan cakupan pelaksanaan program
surveilans di indikasikan dari cakupan penemuan kasus yang bersifat pasif (passive case detection), dan penemuan kasus secara aktif. Kinerja petugas puskesmas dalam penanggulangan malaria melalui kegiatan surveilans malaria di seluruh wilayah kerja dinas kesehatan Kabupaten Nias Selatan dinilai masih rendah. Keadaan ini tercermin dari rendahnya kualitas laporan yang dikirim ke dinas kesehatan, hanya 52% yang lengkap, kemudian masih ditemukan error rate dalam mengindentifikasi hasil diagnosis laboratorium lebih dari 5%. (Dinkes Nias Selatan, 2007). Menurut Wirawan (2009), Kinerja mempunyai hubungan kausal dengan kompetensi (competency atau ability). Kinerja merupakan fungsi dari kompetensi, sikap dan tindakan. Kompetensi melukiskan karakteristik pengetahuan, keterampilan, perilaku dan pengalaman untuk melakukan suatu pekerjaan atau peran serta tertentu secara efektif. Selanjutnya menurut Wirawan, upah merupakan tolok ukur kinerja karyawan, upah diberikan setelah karyawan menghasilkan kinerja tertentu. Harapan organisasi dikemukakan dalam bentuk deskripsi tugas (job description) jika seorang karyawan menghasilkan kinerja yang diharapkan manajemen, ia akan mendapat kompensasi tertentu. Dalam waktu tertentu ia akan mendapat kenaikan kompensasi tertentu jika memenuhi kriteria kinerja yang ditetapkan manajemen organisasi. Bagi karyawan, upah menentukan standart dan kualitas hidupnya. Upah merupakan ukuran tenaga, pikiran, waktu, resiko kerja, dan kinerja yang ia berikan kepada majikannya. Upah juga mencerminkan kualitas dan kebahagiaan hidupnya dihari tua.
Beberapa penelitian yang menunjukkan ada pengaruh kompetensi dan sistem imbalan terhadap kinerja. Penelitian Surbagus dan Handono (2008) yang dilaksanakan di Dinas Kesehatan dan Sosial Kabupaten Kota Baru Kalimantan Selatan, menunjukkan bahwa kinerja petugas kesehatan dipengaruhi oleh kompetensi sumber daya manusia, indikasi terlihat lihat dari 75,2% petugas dengan kinerja baik memiliki pengetahuan yang baik. Penelitian Rusdi Pinem (2002) menunjukkan bahwa pelaksanaan pelatihan petugas malaria dapat meningkatkan kemampuan teknis petugas malaria tentang diagnosa malaria dan pemeriksaan sediaan darah serta penerapan standar klinis malaria dan penanggulangan malaria. Sama halnya dengan penelitian Adib, Nugroho dan Surahyo (2007) yang dilaksanakan di Dinas Kesehatan Kabupaten Hulu Sungai Selatan Kalimantan Selatan, menunjukkan bahwa untuk peningkatan koordinasi kerja Dinas Kesehatan diperlukan keterampilan memanfaatkan dan mengelola sistem intranet termasuk prosedur tetap dan sistem penghargaan berupa uang lembur, sertifikat, dan angka kredit. Hal ini diperkuat oleh pendapat Prawirosentono (1999) yang mengemukakan bahwa kinerja seorang pegawai akan baik, jika pegawai mempunyai keahlian yang tinggi, kesediaan untuk bekerja, adanya imbalan/upah yang layak dan mempunyai harapan masa depan. Sama halnya dengan pendapat Gibson (1987), Mangkunegara (2001), Umar (2002), bahwa variabel yang berpengaruh terhadap kinerja karyawan adalah imbalan, jaminan sosial, pendidikan, pengalaman, keterampilan, sarana dan prasarana, umur, fisik, penghargaan, kepribadian, sikap, moral. Sedangkan menurut
Kopelman (1986), variabel imbalan akan berpengaruh terhadap variabel motivasi, yang pada akhirnya secara langsung mempengaruhi kinerja individu, senada dengan Penelitian Robinson dan Larsen (1990) terhadap para pegawai penyuluh kesehatan pedesaan di Columbia menunjukkan bahwa pemberian imbalan mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap kinerja pegawai dibanding pada kelompok pegawai yang tidak diberi. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, perlu dilakukan studi tentang pengaruh kompetensi dan sistem imbalan terhadap kinerja petugas Pemberantasan dan Pencegahan Penyakit Menular (P2PM) puskesmas dalam penanggulangan malaria melalui kegiatan surveilans di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Nias Selatan, sehingga dapat memberikan kontribusi pemikiran untuk meningkatkan upaya penanggulangan malaria di seluruh wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Nias Selatan. 1.2. Permasalahan Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh kompetensi (pengetahuan, keterampilan dan perilaku kerja) dan sistem imbalan (finansial dan non finansial) terhadap kinerja petugas P2PM puskesmas dalam penanggulangan malaria melalui kegiatan surveilans di Kabupaten Nias Selatan.
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kompetensi (pengetahuan, keterampilan dan perilaku kerja) dan sistem imbalan (finansial dan non finansial) terhadap kinerja petugas P2PM puskesmas dalam penanggulangan malaria melalui kegiatan surveilans di Kabupaten Nias Selatan. 1.4. Hipotesis Ada pengaruh kompetensi (pengetahuan, keterampilan dan perilaku kerja) dan sistem imbalan (finansial dan non finansial) terhadap kinerja petugas P2PM puskesmas dalam penanggulangan malaria melalui kegiatan surveilans di Kabupaten Nias Selatan. 1.4. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis yaitu dapat memperkaya konsep pedoman penanggulangan malaria. 2. Manfaat praktis yaitu, a. Sebagai masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Nias Selatan dalam upaya memberhasilkan penanggulangan malaria yang efektif di unit pelayanan kesehatan setingkat puskesmas. b. Sebagai masukan bagi petugas tenaga P2PM program malaria di Puskesmas dalam memberhasilkan penanggulangan malaria yang efektif. c. Sebagai sarana perbandingan bagi peneliti dalam mengembangkan pengetahuan tentang kebijakan dalam memberhasilkan penanggulangan malaria yang efektif.