18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Tinjauan Umum Shorea balangeran Burck 2.1.1. Sifat botanis S. balangeran mempunyai nama daerah: balangeran, kawi, kelansau, tumi, kahoi (Kalimantan) dan melangir (Bangka, Belitung). Balangeran (S. balangeran) merupakan salah satu jenis dari famili Dipterocarpaceae yang sering hidup berkelompok di hutan rawa gambut. Oleh karena itu, balangeran juga sering disebut dengan meranti rawa. Daerah penyebarannya meliputi Brunai Darussalam, Serawak dan Kalimantan (Borneo). Selain tumbuh di daerah rawa, balangeran juga memiliki sifat fenologi yang unik apabila dibandingkan dengan jenis jenis Dipterocarpaceae lainnya. Pada umumnya jenis-jenis Dipterocarpaceae memiliki siklus berbunga masal tidak teratur. Balangeran (S. balangeran) musim berbunga dan berbuah tidak terjadi setiap tahun dan sangat dipengaruhi keadaan iklim setempat. Pengamatan buah masak sering kali dilakukan bersamaan dengan jenis-jenis lain dari suku Dipterocarpaceae yaitu bulan Februari-April (Martawijaya et al. 1989, Newman et al. 1999). Balangeran (S. balangeran) memiliki habitus berupa pohon berperawakan sedang, berbatang utama lurus dengan tinggi pohon mencapai 30 m dan berbanir mencapai tinggi 1,2 m. Tajuk pohon tipis dan terbuka, hijau dan kekuningan. Ranting berbentuk bundar telur dan lancip, tangkai daun memiliki panjang 1,3-2,3 cm, daun mempunyai bentuk jorong atau bundar telur hingga melanset, berukuran 7-12,8 cm x 3,1-6,8 cm, ujung lancip pendek, pangkal memundar, permukaan atas bila mengering coklat lembayung, coklat kuning, permukaan bawah bila mengering coklat kekuningan. Pertulangan sekunder, mula-mula lurus, melengkung di dekat tepi daun atau melengkung di seluruh panjangnya, sedangkan pertulangan tersier tegak lurus atau diagonal. Bunga meliputi bagian benang sari, kelopak buah dengan tiga sayap dengan ukuran panjang sekitar 2,6-3,6 cm x 0,7-0,8 cm, dua sayap ukuran pendek sekitar 1,2-1,5 cm x 0,2-0,3 cm (Newman et al. 1999).
19 Buah balangeran (S. balangeran) berbentuk bulat berukuran sekitar 5 6 mm x 3-5 mm dan berwarna kecoklatan. Buah memiliki sayap yang berwarna merah pada buah muda dan berubah menjadi coklat setelah buah masak. Sayap buah berbentuk seperti spatula yang tipis. Pada buah masak, sayap menjadi kering sehingga mudah terlepas dari buahnya (Leppe & Tata 1997). Balangeran merupakan sumber utama meranti merah dan jenis kayu dengan kelas awet (I - II) serta kelas kuat II sehingga kayu balangeran sering digunakan sebagai balok atau papan bangunan, jembatan, lunas perahu dan tiang listrik (Martawijaya et al. 1989). 2.1.2. Kegunaan Kayu balangeran (S. balangeran) dapat digunakan untuk gelagar dan papan pada bangunan rumah dan jembatan, untuk lunas perahu, dan juga untuk umpak di tanah dan tiang - tiang jembatan. Dari pohon ini dapat dihasilkan damar yang berwarna coklat (Martawijaya et al. 1989). 2. 2. Perbanyakan Tanaman Secara Vegetatif Teknik perbanyakan tanaman mempunyai peranan penting dalam program pembangunan hutan tanaman, terdiri dari perbanyakan secara generatif dan vegetatif. Cara perbanyakan vegetatif menggunakan bahan tanaman bukan dari biji melainkan dari bagian vegetatif tanaman induk. Perbanyakan tanaman secara vegetatif dapat dilakukan dengan cara stek, cangkok, okulasi, penyambungan dan kultur jaringan. Menurut Djamhuri et al. (1989), alasan alasan dilakukannya pembiakan vegetatif adalah: a) Tanaman tertentu hanya menghasilkan biji sedikit dan masa berbuahnya tidak teratur. b) Biji yang dihasilkan tanaman tertentu sukar berkecambah. c) Dapat dilakukan penggabungan beberapa karakter yang baik pada satu individu tanaman. d) Jenis jenis tanaman tertentu lebih ekonomis bila dibiakan secara vegetatif. Stek adalah pembiakan tanaman dengan menggunakan bagian vegetatif yang dipisahkan dari pohon induk dimana apabila ditanam dalam kondisi yang menguntungkan untuk beregenerasi, akan berkembang menjadi tanaman yang sempurna (Soerianegara & Djamhuri 1979).
20 Menurut Rochiman dan Harjadi (1973), penyetekan dapat didefinisikan sebagai suatu perlakuan pemisahan, pemotongan beberapa bagian dari tanaman seperti akar, batang, daun dan tunas dengan maksud agar bagian bagian tersebut membentuk akar. Pembiakan vegetatif cara stek umumnya untuk menanggulangi tanaman - tanaman yang tidak mungkin diperbanyak dengan biji, melestarikan klon tanaman yang unggul dan juga memudahkan atau mempercepat perbanyakan tanaman. Menurut Yasman dan Smits (1988), keuntungan dari sistem stek antara lain adalah hasilnya homogen, dapat diproduksi dalam jumlah dan waktu yang diinginkan, dan dapat memperbanyak genotipa-genotipa yang baik dari suatu jenis pohon. Hampir semua bahan tanaman dapat dipakai sebagai stek, tetapi yang sering dipakai adalah batang muda yang subur, karena bagian ini mempunyai cukup jaringan yang belum terdeferensiasi yang memungkinkan mudahnya terjadi deferensiasi primordia akar serta mempunyai tunas yang sudah atau siap terbentuk. Mudah tidaknya stek berakar tergantung pada jenisnya. Ada yang mudah sekali berakar cukup dengan medium air saja, tetapi banyak pula yang susah berakar, bahkan tidak berakar walaupun dengan perlakuan khusus. Kesuburan dan banyaknya akar yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh asal bahan steknya yaitu bagian tanaman yang dipergunakan, keadaan tanaman yang diambil stek dan keadaan luar waktu pengambilan. Menurut Yasman dan Smits (1988), dasar pengambilan bahan dasar stek adalah bibit yang bersifat juvenil/muda. Bahan stek meranti yang bersifat juvenil dapat diambil dari tanaman induk di persemaian atau dari bibit yang berumur kurang lebih satu tahun atau maksimal 5 tahun. Subiakto dan Sakai (2007), bahan stek yang baik digunakan untuk membuat stek meranti adalah tunas orthotrop dari tanaman yang masih menghasilkan tunas juvenil. Sedangkan tunas menyamping (plagiotrop) tidak digunakan dalam pembuatan stek, karena tunas akan tumbuh menjadi horizontal seperti cabang. Jenis-jenis meranti pada umumnya masih dapat menghasilkan tunas juvenil sampai dengan umur 4 tahun abila dirawat dengan baik. Di Wana Riset telah dicoba stek dari S. ovalis, S. pauciflora, S. smithiana, S. laevis, S. lamellata, D. cornutus, D. humeratus, D. grasilis, D. tempehes dan H. mangarawan dari pohon tua (diameter 30-an). Dari percobaan
21 tersebut, jenis S. ovalis, S. pauciflora, S. smithiana, S. lamellata, S. laevis dan D. tempehes menghasilkan persen berakar antara 0-80% (Yasman & Smits 1988). Stek pucuk Dipterocarpaceae yang diambil adalah tunas orthotrop (tunas yang tumbuh vertikal), bukan plagiotrop (tunas yang tumbuh kesamping atau cabang). Alasan pemilihan tunas orthotrop karena apabila stek dari tunas plagiotrop hampir selalu tumbuh ke arah samping atau membentuk cabang. Bibit yang berasal dari tunas orthotrop pertumbuhan arsitekturnya sama dengan pohon asalnya (model arsitektur Dipterocarpaceae). Alasan lain adalah bahwa bibit Dipterocarpaceae yang diinginkan adalah pertumbuhan batang lurus. Oleh karena itu, pengambilan stek dari tunas orthotrop perlu memperhatikan tahap - tahap pertumbuhannya, dimana hampir semua jenis Dipterocarpaceae tumbuh secara ritmis. Artinya selama waktu tertentu tidak terbentuk daun baru, kemudian setelah waktu istirahat ini beberapa daun baru muncul dan terbentuk batang baru yang cukup panjang pada sumbu pokok. Selama proses pembentukan daun belum selesai dan daun paling atas masih belum cukup kuat maka tidak boleh diambil stek dari pucuk/bibit tersebut. Jadi sebaiknya bahan yang diambil dari pucuk yang dalam keadaan istirahat (Leppe & Smits 1988). Stek yang dilakukan pada bagian bawah tanaman seperti stek akar bertujuan untuk mengoptimalkan pembentukan sistem bagian atas tanaman. Sementara stek pucuk dan stek batang untuk mengoptimalkan pembentukan sistem perakaran baru. Sedangkan stek daun bertujuan untuk pembentukan sistem perakaran dan batang tanaman (Rochiman & Harjadi 1973). Berhasilnya pembiakan vegetatif dengan cara stek ditandai dengan munculnya akar pada stek. Untuk pembentukan akar pada stek diperlukan kondisi lingkungan yang optimal seperti pengaturan suhu, kelembaban, intentitas cahaya (Astuti 2002). Proses pembentukan akar dimulai dengan bekas pemotongan bahan stek yang menimbulkan luka yang berakibat sel-selnya menjadi rusak, sel-sel yang dekat dengan sel-sel yang rusak akan mengalami dediferensiasi dengan mengadakan mitosis (perbanyakan sel) kemudian terbentuk sel-sel yang bersifat parenkimatis yaitu kalus. Kalus yang terbentuk berinisiasi membentuk primordia akar yang akhirnya membentuk akar baru(hartmann & Kester 1983).
22 Menurut Rochiman dan Harjadi (1973), proses pembentukan akar stek sebagai berikut: sel-sel meristem yang terletak diantara atau diluar jaringan pembuluh akan membelah diri, kemudian merangsang membentuk kembali lebih banyak sel-sel yang nantinya berkembang menjadi bakal akar. Sebagian dari sel yang membelah akan membentuk ujung akar yang tumbuh terus melewati jaringan kortek dan epidermis dan muncul di bagian batang menjadi akar adventif. Keberhasilan perkembangan stek dipengaruhi oleh faktor dalam tanaman (internal) dan faktor luar (eksternal) yang terdiri dari faktor lingkungan dan pelaksanaan. A. Faktor dalam (internal) adalah 1. Macam bahan stek Pada umumnya bahan stek dari bagian vegetatif tanaman (akar, batang dan daun) mudah berakar dalam waktu yang relatif singkat dengan keadaan sekeliling yang menguntungkan (Rochiman & Harjadi 1973). 2. Umur bahan stek Menurut Moko (2004) bahwa stek dari tanaman yang berumur muda akan lebih mudah berakar daripada tanaman yang lebih tua. Karena kemampuan pembelahan sel dari tanaman yang telah tua mulai menurun, sehingga bahan stek yang diambil dari jaringan tua akan mengalami kesulitan dalam pembentukan akar primordia. Penurunan kemampuan pada jaringan tanaman tua karena berkurangnya kandungan fenol yang berfungsi sebagai kofaktor auksin. Auksin berperan sebagai senyawa yang memacu inisiasi akar. Selain itu jaringan tua secara anatomi telah terbentuk sel schlerenchym yang menghambat insiasi akar. Menurut Rochiman dan Harjadi (1973), apabila stek tersebut sangat muda dan lunak maka proses transpirasi menjadi sangat cepat dan akhirnya stek menjadi kering dan akhirnya mati. 3. Adanya tunas dan daun pada stek Pada beberapa jenis tanaman kehutanan pembentukan akar stek tidak akan terjadi jika seluruh tunas dihilangkan atau tunas-tunas dalam keadaan dorman. Adanya tunas pada stek sangat diperlukan karena pemberi auksin dari luar untuk mendorong perakaran. Adanya daun pada stek berfungsi
23 sebagai material nutrisi tertentu yang berpengaruh terhadap pembentukan akar terutama karbohidrat dan auksin, karena daun berpengaruh dalam fotosintesis dan penghasil auksin (Rochiman & Harjadi 1973). Akan tetapi, menurut Wudianto (1993), jumlah daun yang terlalu banyak akan menghambat pertumbuhan akar stek, karena daunnya juga akan mengalami proses penguapan yang cukup besar. Oleh karena itu, daun pada stek cukup satu atau dua helai daun saja lalu kemudian memotongnya 1/3-1/2 bagian. 4. Kandungan bahan makanan stek Persediaan bahan makanan terutama karbohidrat dan nitrogen sangat mempengaruhi perkembangan akar dan tunas stek. Karbohidrat merupakan hasil fotosintesis yang dilakukan oleh daun dan disimpan pada seluruh bagian vegetatif tanaman sebagai cadangan makanan. Keberadaan jumlah yang cukup juga dibutuhkan untuk mekanisme dan perangsang pembentukan akar. Stek yang batangnya berwarna kehijau-hijauan mengandung kandungan karbohidrat yang cukup dan nitrogen yang tinggi akan menghasilkan akar sedikit tetapi tunas yang dihasilkan banyak. Stek yang mengandung karbohidrat tinggi dan nitrogen cukup akan mempermudah terbentuknya akar dan tunas stek (Rochiman & Harjadi 1973). 5. Pembentukan kalus Pembentukan akar didahului adanya pembentukan kalus. Pembentukan ini berguna untuk menutupi luka di permukaan stek sehingga dapat mencegah busuk stek (Rochiman & Harjadi 1973). B. Faktor luar (eksternal) 1. Media tumbuh perakaran Jenis media tumbuh yang digunakan akan berpengaruh terhadap kemampuan stek untuk berakar. Media tumbuh stek sebaiknya memiliki ph 4,5-7 dari bahan longgar tetapi harus dapat menahan kelembaban serta memberi aerasi dan draenasi yang baik, bebas dari cendawan dan bakteri yang menyerang stek (Rochiman & Harjadi 1973). Menurut Hartmann dan Kester (1983) bahwa media tumbuh perakaran stek harus mempunyai tiga fungsi yaitu menahan bahan stek agar tetap berada dalam tempatnya, menyediakan dan menjaga kelembaban yang dibutuhkan stek dan untuk
24 penetrasi udara ke bagian dasar stek. Sementara menurut Moko (2004) bahwa media tumbuh yang baik untuk penyetekan adalah vermikulit, gambut dan pasir, selain itu media berasal dari serbuk kulit kelapa dan sekam padi. Media campuran serbuk kulit kelapa dan sekam padi merupakan media tumbuh ideal, karena memberikan persen berakar stek yang cukup tinggi untuk jenis meranti. Penggunaan media serbuk kulit kelapa dan sekam padi dengan persen berakar stek sebesar 95,6 % pada S. acuminata. Sementara hasil penelitian Rusmayasari (2006), penggunaan media campuran serbuk kulit kelapa dan sekam padi pada S. selanica menghasilkan persen berakar stek diatas 80 %. 2. Temperatur udara Temperatur udara yang optimum untuk merangsang pembentukan primordia akar pada jenis tanaman berbeda-beda. Kisaran suhu lingkungan yang baik untuk merangsang pembentukan akar stek adalah 29 0 C, sedangkan temperatur media tumbuh stek adalah 24 0 C. Temperatur udara berpengaruh terhadap terbentuknya kalus yang merupakan bakal terbentuknya akar. Temperatur udara yang tinggi akan berakibat intentitas cahaya yang tinggi sehingga akan mempercepat proses transpirasi dan kelembaban udara akan turun. Meningkatnya temperatur udara akan berakibat rusaknya sel pada jaringan batang stek (Rochiman & Harjadi 1973). 3. Kelembaban udara Kelembaban udara termasuk salah satu faktor penting dalam pembentukan akar stek. Kelembaban udara pada stek sebaiknya dipertahankan berada diatas 90% terutama sebelum stek mampu membentuk akar. Namun jika kelembaban udara tinggi sementara kondisi perakaran tidak steril akan memacu perkembangan mikroba patogen yang dapat mematikan bahan stek, oleh karena media perakaran harus disterilkan terlebih dahulu. Untuk kelembaban rendah, stek akan mati karena stek miskin dalam kandungan air sehingga pada kelembaban rendah stek akan kering sebelum membentuk akar. Pengambilan air sangat menentukan dalam pertumbuhan stek dengan jalan transpirasi dibatasi dengan kelembaban udara yang tinggi sehingga dapat
25 mempertahankan stek dari kekeringan dan kematian sebelum stek tersebut membentuk akar (Hartmann & Kester 1978). 3. Intentitas cahaya Stek memerlukan pengaturan intentitas dan durasi cahaya yang sesuai, karena intentitas cahaya yang diperlukan tidak sama pada stek yang dimiliki jaringan dan organ yang lengkap. Pengaturan intentitas cahaya dapat dilakukan dengan pengaturan naungan. Stek yang diberi naungan dapat berakar lebih baik daripada yang menerima cahaya matahari langsung karena intentitas cahaya yang tinggi akan menyebabkan laju transpirasi daun meningkat sehingga berakibat pula naiknya suhu udara dan turunnya kelembaban udara yang ada di sekitarnya media tempat tumbuh (Rochiman & Harjadi 1973). 4. Faktor pelaksanaan Teknik penyiapan stek yang perlu diperhatikan dalam penyetekan adalah adanya perlakuan sebelum pengambilan stek, waktu dan pengambilan stek, pemotongan stek dan pelukaan, penggunaan dan pemberian zat pengatur tumbuh, kebersihan dan pemeliharaan stek (Rochiman & Harjadi 1973). Waktu pengambilan pengambilan bahan stek antara jam 7 sampai 9 merupakan saat yang dianggap paling optimal karena pada saat itu terjadi akumulasi asimilat pada batang stek dalam jumlah yang cukup tinggi (Moko 2004). Dalam pelaksanaan penyetekan, saat memotong yang baik yaitu pada saat kelembaban udara tinggi dan tanaman tidak sedang dalam pertumbuhan. Untuk memperluas daerah keluarnya akar, pemotongan bagian pangkal stek sebaiknya dilakukan miring (kira-kira 45 0 ) agar penampang dasar stek menjadi luas sehingga lebih banyak menghasilkan jumlah akar. Kebersihan alat-alat, media dan tempat tumbuh agar bebas dari bakteri dan jamur (Rochiman & Harjadi 1973). Menurut Rochiman dan Harjadi (1973), penggunaan zat pengatur tumbuh bertujuan untuk merangsang pembentukan akar stek. Perakaran yang dihasilkan biasanya lebih baik dan lebih banyak dari pada stek tanpa pemberian zat pengatur tumbuh. Pemakaian zat pengatur tumbuh belum dapat
26 menggantikan keadaan lingkungan yang baik untuk perakaran stek, jika keadaan lingkungan ini diabaikan maka pemakaian zat pengatur tumbuh tidak akan membantu keluarnya akar pada stek. Zat pengatur tumbuh efektif pada jumlah dengan konsentrasi tertentu. Salah satu zat pengatur tumbuh akar yang diperdagangkan adalah Rootone F. Zat pengatur tumbuh Rootone F berbentuk serbuk, berwarna putih, tidak larut dalam air dan berguna untuk mempercepat dan memperbanyak keluarnya akar-akar baru. Bahan aktif yang dikandung oleh Rootone F adalah 1 - Naphthaleneacetamide (NAD) sebanyak 0,067 %, 2 Methyl- 1 - Naphthaleneacetic acid (MNAA) sebanyak 0,033%, 3 Methyl -1- Naphthaleneacetamide (MNAD) sebanyak 0,013%, Indole -3- Butyric Acid (IBA) sebanyak 0,057%, thiram sebanyak 4% dan Inert Ingredient sebanyak 95,33%. Tiga senyawa aktif pada Rootone - F yang mempunyai inti naphthalene berfungsi untuk memperbanyak atau memacu perakaran sedangkan satu senyawa aktif yang mengandung indole berfungsi untuk memperbanyak dan mempercepat perakaran. Thiram berfungsi sebagai fungisida. 2. 3. Teknik Stek Sistem KOFFCO Subiakto et al. (2005) menyatakan bahwa teknik stek sistem KOFFCO merupakan paket teknologi yang dikembangkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan bekerjasama dengan Komatsu Ltd. Teknik stek sistem KOFFCO dikembangkan pada awalnya untuk perbanyakan stek meranti selanjutnya dapat digunakan untuk berbagai jenis Dipterocarpaceae lainnya. Teknik stek sistem KOFFCO adalah teknik pendinginan rumah kaca melalui pengkabutan, namun demikian teknologi stek yang dikembangkan mencakup proses pembuatan stek, pembentukan akar stek dan perawatan bibit hasil stek. Rumah kaca dengan fasilitas Fog Cooling System (Sistem Pendinginan Kabut) merupakan rumah kaca yang dirancang untuk menciptakan kondisi temperatur dan kelembaban yang ideal dalam proses pembentukan akar stek. Peralatan yang digunakan untuk penyembur kabut dalam sistem pendinginan kabut berupa nozzle, kipas dan misting. Sistem pendinginan kabut akan bekerja apabila suhu udara didalam sungkup propagasi lebih dari 30 0 C, maka alat ini akan mengeluarkan butiran butiran air seperti kabut. Bagian penting yang menyusun Fog Cooling System adalah thermostat yang berfungsi sebagai mengatur suhu
27 dalam propagasi, pompa bertekanan tinggi dengan penyaring digunakan sebagai menyedot dan mengalirkan air, tangki air digunakan untuk penampungan air dan nozzle yang berfungsi sebagai menyemburkan partikel partikel air yang lembut. Lebih jelasnya tentang mekanisme proses pendinginan dalam sistem KOFFCO dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar.1.Mekanisme teknik stek sistem KOFFCO (Sumber:Subiakto et.al. 2005) Cara kerja teknik sistem KOFFCO adalah sebagai berikut: a) Sensor dari thermostat diletakkan di dalam salah satu sungkup propagasi, kemudian thermostat dikalibrasi pada suhu 30 0 C. b) Saat sensor menangkap bahwa suhu dalam sungkup propagasi telah berada pada suhu 30 0 C maka secara otomatis thermostat akan mengaktifkan pompa air tekanan tinggi. c) Pompa air tekanan tinggi kemudian menyedot dan mengalirkan air dari penampungan air melalui pipa-pipa ke nozzle-nozel yang selanjutnya akan mengeluarkan kabut di rumah kaca. d) Kabut tersebut itu akan menguap. Untuk menjadi uap, kabut memerlukan energi, yang dalam hal ini kabut di dalam akan menarik panas di sekelilingnya untuk dijadikan energi dalam membentuk uap, sehingga
28 suhu di dalam rumah kaca akan turun. Turunnya suhu di dalam rumah kaca akan menurunkan suhu di dalam sungkup propagasi. e) Apabila sensor di dalam sungkup propagasi telah menangkap bahwa suhu di dalam kotak telah dibawah 30 0 C maka secara otomatis thermostat akan mematikan pompa. Sakai dan Subiakto (2007) menyatakan bahwa tujuan menjaga temperatur tidak terlalu tinggi pada sistem KOFFCO adalah menjaga perbedaan tekanan uap daun atau vapour pressure deficit (VPD) tidak terlalu besar, VPD dapat mengakibatkan dehidrasi pada stek. Oleh sebab itu VPD harus ditekan serendah mungkin. Faktor kunci untuk mengoptimalkan teknik KOFFCO adalah cahaya (5.000-20.000 lux), kelembaban (RH> 95%) dan temperatur (tidak melebihi 30 0 C) dan media yang higienis dan porous yang dapat mengikat air. Dari hasi uji coba di Bogor, stek S. balangeran menghasilkan persen berakar stek sebesar 70,7%, di Banjarbaru menghasilkan persen berakar stek S. balangeran Burck sebesar 68,5%, di Kuok menghasilkan persen berakar stek S. balangeran sebesar 42,9 % dan di Samarinda menghasilkan persen berakar stek S. balangeran sebesar 91,3%. Sedangkan jenis meranti lain menurut Sakai et al. (1995), sistem pendingin dengan pengkabutan dapat menghasilkan persen berakar stek pada S. leprosula dan S. selanica lebih dari 90 %. 2. 4. Sistem Pemangkasan Bergulir Subiakto et al. (2001) menyatakan bahwa teknik pemangkasan bergulir (Revolving cutting technique) adalah suatu cara untuk mendapatkan bahan stek dari bibit di persemaian tanpa menggunakan kebun pangkas. Teknik pengambilan bahan stek dari bibit persemaian, dan bibit yang dipangkas dapat ditanam di lapangan bila tunas baru yang tumbuh telah mencapai tinggi total 50 cm. Dengan teknik ini, bahan stek diperoleh dengan memangkas bibit yang telah siap tanam dan pemangkasan dilakukan pada turunan selanjutnya secara bergulir. Tunas akan tumbuh kembali dari bibit pangkas, dan setelah empat bulan bibit tersebut telah siap untuk ditanam di lapangan. Jadi bibit yang telah siap tanam mengalami penundaan selama empat bulan sebelum ditanam atau total waktu dipersemaian menjadi 12 bulan.
29 Lebih jelas tentang skema sistem pemangkasan bergulir dapat dilihat pada Gambar 2. Pembuatan persemaian hasil stek Bahan stek Penanaman Pembentukan akar stek Gambar 2. Skema sistem pemangkasan bergulir (Sumber: Subiakto et. al.2001) Gambar 2 dapat dilihat bahwa pada tahap awal dalam sistem pemangkasan bergulir adalah sumber bahan stek berupa bibit unggul yang berasal dari bibit stek persemaian, kemudian dipangkas untuk diambil bahan steknya dan bahan stek yang diambil ditumbuhkan di rumah kaca dengan metode sistem pendinginan pengkabutan atau metode sistem KOFFCO dan dilakukan pemeliharaan stek sampai dengan terbentuknya akar. Stek yang telah berakar (3-4 bulan) di rumah kaca kemudian dipindahkan pemeliharaannya di persemaian. Apabila stek tersebut sudah menjadi bibit yang siap tanam (bibit stek mencapai tinggi ± 50 cm), maka bibit tersebut dapat dijadikan sumber bahan stek kembali dengan melakukan pemangkasan ulang. Proses ini berlanjut dengan cara berulang kembali seperti pada tahap awal, keturunan selanjutnya dilakukan secara bergulir. Setelah dipangkas, tunas baru akan tumbuh kembali dan setelah ditambah periode perawatan selama empat bulan bibit tersebut telah siap untuk ditanam di lapangan atau dijadikan sebagai sumber bahan stek kembali. Jadi total umur bibit untuk ditanam di lapangan menjadi sekitar 12 bulan.
30 Keunggulan dari sistem pemangkasan bergulir mencakup: a) Menjamin bahan stek berasal dari donor/induk yang masih muda (juvenile) b) Tidak memerlukan kebun pangkas. c) Praktis dalam pengelolaan dan mengurangi biaya operasional dibandingkan sistem kebun pangkas Menurut penelitian Subiakto et al. (2001), sistem pemangkasan bergulir telah diuji coba pada dua jenis meranti yaitu S. leprosula dan S. selanica menunjukan dari 2500 bibit yang dipangkas hanya terdapat kematian sebanyak 12 bibit atau 0,5% dari total bibit yang dipangkas. Persen berakar stek dari S. leprosula dan S. selanica masing - masing sebesar 89% dan 83%. Tinggi tunas 16 minggu setelah pemangkasan bibit untuk S. leprosula dan S. selanica masing - masing sebesar 26,85 cm dan 15,8 cm.