BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes melitus (DM) tipe 2 merupakan 90% dari semua kasus DM, yang akhir-akhir ini prevalensinya meningkat. Beberapa penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan insidensi dan prevalensi diabetes melitus tipe 2 di berbagai penjuru dunia. Untuk Indonesia, WHO memprediksi kenaikan jumlah pasien dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit kronik yang memerlukan biaya pengobatan yang besar. Pengendalian DM yang buruk dapat menimbulkan komplikasi sehingga meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas serta kerusakan beberapa fungsi organ. Pasien DM memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap penyakit kardiovaskuler dan hiperlipidemia (Andayani, 2006; Depkes, 2005; Perkeni, 2011 b ). Salah satu komponen kritis dalam penatalaksanaan diabetes adalah edukasi pasien. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa edukasi pada pasien diabetes memberikan pengaruh yang positif terhadap outcome kesehatan dan psikososial. Peningkatan pengetahuan dan perbaikan pola hidup pasien dapat memperbaiki kontrol glikemik. Suatu materi edukasi telah dikembangkan untuk membatasi materi intervensi edukasi dan menyediakan format yang konsisten, materi tersebut adalah Diabetes Self-Management Education (DSME) (Rickheim dkk., 2002). 1
Edukasi berkelompok mendapatkan banyak perhatian dari kalangan pendidik, pembuat kebijakan, dan pihak pendana atau asuransi. Tim edukator diabetes yang terdiri dari dokter, perawat, dan ahli gizi, merekomendasikan edukasi berkelompok menjadi lini pertama untuk memperbaiki outcome diabetes. Edukasi berkelompok memiliki efektivitas yang sama dengan edukasi secara individu dalam memperbaiki kontrol glikemik. Jika dibandingkan dengan edukasi secara individu, edukasi berkelompok lebih cost effective dan lebih efisien dalam menjelaskan materi pokok edukasi pada pasien diabetes (Mensing dan Norris, 2003; Rickheim dkk., 2002). Target terapi DM yang ingin dicapai adalah mencegah terjadinya komplikasi dengan menjaga kadar gula darah normal serta meningkatkan kualitas hidup pasien (Huang dkk., 2007). Rubin dan Peyrot (1999) menyebutkan, peningkatan kepuasan terhadap terapi menggunakan insulin meningkatkan kualitas hidup pasien diabetes melitus tipe 2. Selain itu, komplikasi yang timbul akibat DM seperti nefropati, neuropati, penyakit hati, stroke dan lain sebagainya, juga memberikan dampak negatif terhadap Quality of Life (QOL) (Redekop dkk., 2002). Edukasi merupakan salah satu pilar utama penatalaksanaan DM tipe 2 (Perkeni, 2011). Adanya edukasi dapat memperbaiki kontrol glikemik pasien (Rickheim dkk., 2002). Salah satu metode edukasi yang dapat dilakukan adalah edukasi secara berkelompok. Di sisi lain, perlu diketahui pengaruh edukasi secara berkelompok terhadap kepuasan terapi serta kualitas hidup pasien yang merupakan tujuan akhir penatalaksanaan diabetes melitus tipe 2. 2
B. Rumusan Masalah 1. Apakah edukasi secara berkelompok dapat meningkatkan kepuasan terapi pasien DM tipe 2 di Poliklinik Endokrin RSUP Dr. Sardjito dibandingkan kontrol? 2. Apakah edukasi secara berkelompok dapat meningkatkan kualitas hidup pasien DM tipe 2 di Poliklinik Endokrin RSUP Dr. Sardjito dibandingkan kontrol? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menilai pengaruh pemberian edukasi pada pasien diabetes melitus tipe 2. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1. untuk mengetahui pengaruh metode edukasi secara berkelompok terhadap kepuasan terapi dibandingkan kontrol, 2. untuk mengetahui pengaruh metode edukasi secara berkelompok terhadap kualitas hidup pasien dibandingkan kontrol. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi pasien, hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kepuasan pasien terhadap pengobatan serta memperbaiki perawatan diabetes secara mandiri oleh pasien sehingga kualitas hidup pasien dapat meningkat. 2. Bagi RSUP Dr. Sardjito, hasil penelitian ini dapat digunakan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan khususnya pada pasien diabetes melitus 3
tipe 2 sehingga peningkatan kepuasan terapi dan kualitas hidup pasien dapat tercapai. 3. Bagi sistem pelayanan kesehatan, pemberian edukasi yang efektif dapat memperbaiki kontrol glikemik sehingga dapat menurunkan kejadian komplikasi, dan menurunkan beban ekonomi akibat diabetes melitus. E. Keaslian Penelitian Perbandingan efektivitas edukasi secara berkelompok dibandingkan edukasi secara perorangan telah dilakukan Rickheim dkk. (2002). Parameter yang dinilai dalam penelitian tersebut adalah perubahan pengetahuan, self-management behaviors, berat badan, BMI, HbA 1 c, kualitas hidup, perilaku pasien, dan regimen pengobatan. Pengamatan dilakukan pada minggu kedua, bulan ketiga, dan bulan keenam setelah dilakukan edukasi. Persamaan penelitian yang dilakukan dengan penelitian Rickheim dkk. (2002) adalah adanya intervensi edukasi secara berkelompok. Perbedaannya terletak pada metode penelitian yang dilakukan. Intervensi yang dilakukan pada penelitian ini hanya edukasi secara berkelompok, sedangkan penelitian Rickheim dkk. (2002) membandingkan efektivitas edukasi secara perorangan dengan edukasi secara berkelompok. Selain itu, parameter yang dinilai pada penelitian Rickheim dkk. (2002) meliputi outcome klinis (berat badan, HbA 1 c, BMI, dan regimen pengobatan) dan outcome humanistik (perubahan pengetahuan, self-management behaviors, kualitas hidup, dan perilaku pasien), sedangkan pada penelitian ini hanya menilai outcome humanistik, yaitu kepuasan terapi dan kualitas hidup. 4
Keban (2008) melakukan penelitian mengenai pengaruh edukasi terhadap kontrol glikemik pada pasien DM tipe 2 di Poliklinik Endokrin RSUP Dr. Sardjito. Penelitian ini menilai pengaruh edukasi farmasis terhadap kontrol glikemik pasien. Dalam penelitian tersebut juga dilihat pengaruh edukasi terhadap kepatuhan terapi dan perkembangan tingkat pengetahuan pasien. Metode edukasi yang dilakukan dalam penelitian tersebut adalah edukasi secara perorangan. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Keban (2008) adalah adanya intervensi edukasi mengenai terapi diabetes melitus pada pasien diabetes melitus tipe 2 di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Perbedaannya terletak pada parameter yang diamati dengan adanya intervensi edukasi. Parameter yang digunakan Keban (2008) untuk melihat pengaruh edukasi adalah kontrol glikemik, sedangkan pada penelitian ini parameter yang diamati adalah kepuasan terapi dan kualitas hidup pasien diabetes melitus tipe 2 di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Penelitian mengenai kepuasan terapi juga pernah dilakukan Mulyani (2012) tanpa adanya intervensi edukasi. Berdasarkan data yang telah disebutkan, penelitian ini tidak sama dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh edukasi secara berkelompok terhadap kepuasan terapi dan kualitas hidup pasien DM tipe 2 di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Menurut Rickheim dkk. (2002) edukasi berkelompok lebih cost-effective jika dibandingkan dengan edukasi perorangan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh edukasi berkelompok terhadap kepuasan terapi dan kualitas hidup pasien DM tipe 2 di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. 5