BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menjadi dua jenis yaitu nyeri fisiologis dan nyeri patologis, pada nyeri sensor normal

dokumen-dokumen yang mirip
Clinical Science Session Pain

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. anestesiologi. 3. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. modalitas sensorik tetapi adalah suatu pengalaman 1. The

1.1PENGERTIAN NYERI 1.2 MEKANISME NYERI

PETIDIN, PROPOFOL, SULFAS ATROPIN, MIDAZOLAM

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. membuatya semakin parah. Ambang batas nyeri yang dapat ditoleransi seseorang

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

PENILAIAN NYERI DAN SEDASI PADA BAYI DAN ANAK

2. proses pada perjalanan nyeri yang paling berperan dalam terjadinya nyeri pada pasien ini adalah

BAB I PENDAHULUAN. penyebab kematian nomor 7 (5,7%). Menurut statistik rumah sakit dalam Sistem

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tidak menyenangkan yang diakibatkan oleh adanya kerusakan jaringan atau

BAB I PENDAHULUAN. seorang ahli anestesi. Suatu studi yang dilakukan oleh Pogatzki dkk, 2003

Pengertian Nyeri. Suatu gejala dalam merasakan subyek dan pengalaman emosional

BAB I PENDAHULUAN. prostaglandin, bradykinin, dan adrenaline. Mediator-mediator inilah yang akan

BAB I PENDAHULUAN. jaringan aktual dan potensial yang menyebabkan seseorang mencari. perawatan kesehatan ( Smeltzer & Bare, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. manajemen neoplasma primer dan metastasis neoplasma pada otak. 1 Tindakan

BAB I PENDAHULUAN. diakhiri dengan penutupan dan penjahitan luka (Sjamsuhidajat dan Jong, 2005).

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara. 1,2. Nyeri apabila tidak diatasi akan berdampak

BAB 1 1. PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1mm/KgBB + tramadol. Dalam hal ini, masing-masing data akan

BAB I PENDAHULUAN. kita dan lain pihak merupakan suatu siksaan. Definisi menurut The International

NYERI KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT SARAF RSU TNI-AL MINTOHARDJO PERIODE

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons,

BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG

BAB V PEMBAHASAN. menunjukkan penurunan bila dibandingkan dengan rata-rata tingkat

NONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S)

BAB 2. masyarakat, baik sehat maupun sakit (UU No. 38 tahun 2014 tentang. klien dalam merawat dirinya (UU No. 38 tahun 2014 tentang Keperawatan, pasal

NYERI. Nyeri akut umumnya cepat dalam onset, bervariasi dalam intensitas dari ringan sampai parah

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut

BAB 2 NYERI. serta termasuk suatu komponen sensori, komponen diskriminatori, respon-respon yang

ANALGETIKA. Non-Steroidal Antiinflamatory Drugs (OAINS/Obat Antiinflamasi Non-Steroid) Analgetika opioid. Analgetika opioid

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan jaringan tubuh yang disebabkan oleh energi panas, bahan kimia,

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan operasi seksio sesaria menurut Sarwono (2008) dalam buku Ilmu

BAB 1 PENDAHULUAN. Fraktur femur memiliki insiden berkisar dari 9,5-18,9 per per

OBAT ANALGETIK, ANTIPIRETIK dan ANTIINFLAMASI

BAHAN AJAR IV PRINSIP NYERI

ANALGETIKA. dr. Agung Biworo, M.Kes

BAB I PENDAHULUAN. (2010) dikutip dalam Andarmoyo (2013) menyatakan bahwa nyeri merupakan

BAB II PEMBAHASAN. Manifestasi fisiologi nyeri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut The International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I 1PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Universitas Sumatera Utara

PENGARUH ANALGESIA AKUPUNTUR FREKUENSI KOMBINASI TERHADAP ONSET NYERI PASIEN PASCA OPERASI KRURIS TERTUTUP

anak didapatkan persebaran data hasil penelitian sebagai berikut :

BAB 1 PENDAHULUAN. Inflamasi adalah respons protektif jaringan terhadap jejas yang tujuannya

Farmakologi. Pengantar Farmakologi. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UNLAM. Farmakodinamik. ., M.Med.Ed. normal tubuh. menghambat proses-proses

Pengantar Farmakologi

Pengantar Farmakologi Keperawatan

PENGUKURAN KUANTITAS NYERI DASAR TEORI

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Masa ini merupakan masa peralihan manusia dari anak-anak menuju

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut. 7 Sedangkan The International

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilaksanakan di RSGM UMY dengan tujuan untuk melihat adanya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut. Berdasarkan intensitasnya, nyeri

Menurut beberapa teori keperawatan, kenyamanan adalah kebutuhan dasar klien yang merupakan tujuan pemberian asuhan keperawatan. Pernyataan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. proliferatif, dan fase remodeling. Proses-proses tersebut akan dipengaruhi oleh faktor

BAB I PENDAHULUAN. nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering. memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Otak merupakan organ yang sangat vital bagi seluruh aktivitas dan fungsi

juga mendapat terapi salisilat. Pasien harus diberi pengertian bahwa selama terapi bismuth subsalisilat ini dapat mengakibatkan tinja berwarna hitam

[FARMAKOLOGI] February 21, Obat Anti Inflamasi Non Steroid ( OAINS ) Pada th/ sistomatis, tidak u/ th/ kausal. Ibuprofen, asam mefenamat,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Bab 1 Pendahuluan. A. Definisi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Obat analgesik adalah obat yang dapat mengurangi nyeri tanpa menyebabkan. mengurangi efek samping penggunaan obat.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PENGANTAR KESEHATAN. DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY. Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Meningkatkan derajat kesehatan yang adil dan merata seperti

BAB 2 2. TINJAUAN PUSTAKA

PENELITIAN PENGARUH TERAPI MUSIK RELIGI TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI DI RUANG BEDAH RSUP. DR. M. DJAMIL PADANG TAHUN 2012

NYERI A. PENGERTIAN B. FISIOLOGI NYERI

Kesetimbangan asam basa tubuh

BAB I PENDAHULUAN. Pada kasus-kasus pembedahan seperti tindakan operasi segera atau elektif

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. progresif. Perubahan serviks ini memungkinkan keluarnya janin dan produk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Persalinan adalah rangkaian proses fisiologis yang berakhir dengan

SATUAN ACARA PENYULUHAN MANAJEMEN NYERI PADA LUKA POST OPERASI

Kinetik= pergerakan farmakokinetik= mempelajari pergerakan obat sepanjang tubuh:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Obat Diabetes Farmakologi. Hipoglikemik Oral

BAB I PENDAHULUAN. bersih, tidak mudah lecet/iritasi, terhindar dari ejakulasi dini) (Harsono, et al.,

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS ANTARA KETOROLAK DAN PETIDIN SEBAGAI OBAT ANTI NYERI PASCAOPERASI SKRIPSI

BAB 1 PENDAHULUAN. Aspirin adalah golongan Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS), yang

BAB III METODE PENELITIAN. untuk membandingkan adakah perbedaan Visual Analog Scale (VAS)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Surakarta 2011

BAB I PENDAHULUAN. menstimulasi pengeluaran CRH (Corticotropin Realising Hormone) yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembedahan atau operasi adalah semua tindakan pengobatan yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. beberapa dekade terakhir ini, namun demikian perkembangan pada

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyeri Nyeri merupakan pengalaman tidak menyenangkan baik sensori maupun emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang sudah atau berpotensi terjadi, atau dijelaskan dengan kerusakan tersebut. Secara kualitatif nyeri dibagi menjadi dua jenis yaitu nyeri fisiologis dan nyeri patologis, pada nyeri sensor normal berfungsi sebagai alat proteksi tubuh. Sementara nyeri patologis merupakan sensor abnormal yang dapat dirasakan oleh seseorang akibat pengaruh dari trauma, infeksi, bakteri, dan virus. Nyeri patologis merupakan sensasi yang timbul akibat adanya kerusakan jaringan atau syaraf, jika proses inflamasi mengalami penyembuhan dan kemudian kembali normal disebut sebagai adaptif pain sedangkan kerusakan syaraf justru berkembang menjadi intractable pain setelah penyembuhan selesai, disebut sebagai maladaptive pain atau neurophaty pain lanjut/kronik. 5,10,11 Berdasarkan durasinya nyeri dibedakan menjadi nyeri akut dan nyeri kronik, kedua nyeri tersebut memiliki perbedaan yang cukup signifikan, pada nyeri akut biasanya terjadi mendadak dan berkaitan dengan masalah spesifik yang mengganggu pasien sehingga pasien nyeri biasanya cepat bertindak untuk menghilangkan perasaan nyerinya, dan berlangsung kurang dari tiga bulan, jika nyeri dirasakan konstan atau intermiten yang menetap sepanjang suatu periode waktu, biasanya lebih dari tiga bulan termasuk ke dalam nyeri kronik. 5 7

8 Nyeri berdasarkan etiologinya dibedakan menjadi nyeri nosiseptif dan nyeri neuropatik, definisi dari nyeri nosiseftif sendiri merupakan nyeri yang diakibatkan oleh aktivitas atau sensitasi nosiseptor perifer yang menghantarkan stimulasi noxius. Hal ini dapat terjadi pada nyeri pasca operasi dan nyeri kanker, sedangkan nyeri neuropatik merupakan suatu abnormalitas yang didapat pada struktur saraf perifer maupun sentral. 5,10,13 2.1.1 Sensitisasi Ciri khas nyeri akut adalah nyeri yang terjadi akibat adanya kerusakan jaringan yang nyata (actual tissue damage). Prototipe nyeri akut adalah nyeri pasca operasi. Antara kerusakan jaringan sampai dirasakan sebagai persepsi nyeri, terdapat suatu rangkaian proses elektrofisiologis yang disebut nociception. 11-13 Terdapat 4 proses yang terjadi pada suatu nociception : 14 1. Proses transduksi, merupakan proses pengubahan rangsang nyeri menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima di ujung saraf. Rangsang ini dapat berupa rangsang fisik (tekanan), suhu, atau kimia. Proses transduksi ini dapat dihambat oleh obat anti inflamasi non steroid. 2. Proses transmisi, merupakan penyaluran isyarat listrik yang terjadi pada proses transduksi melalui serat A delta bermielin dan serat C tak bermielin dari perifer ke medulla spinalis. Proses ini dapat dihambat oleh obat anestetik local. 15

9 3. Proses Modulasi, adalah proses interaksi antara sistem analgetik endogen yang dihasilkan oleh otak dengan rangsang noksius yang masuk di kornu posterior medulla spinalis. Analgetik endogen (enkefalin, endorfin, serotonin, noradrenalin) dapat memblok rangsang noksius pada kornu posterior medulla spinalis. Artinya kornu posterior sebagai pintu dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan rangsang noksius ke neuron kedua tergantung dari peran dari analgetik endogen tersebut. Proses modulasi ini dipengaruhi oleh pendidikan, motivasi, status emosional dan kultur seseorang. Proses modulasi inilah yang menyebabkan persepsi nyeri menjadi sangat subyektif orang per orang dan sangat ditentukan oleh makna atau arti suatu rangsang noksius. Proses modulasi ini dapat dipengaruhi oleh pemberian opioid eksogen. 4. Persepsi adalah hasil akhir dari interaksi yang komplek dari proses transduksi, transmisi dan modulasi yang pada akhirnya menghasilkan suatu proses subyektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri.

10 Gambar 1. Persepsi nyeri Dalam keadaan normal maka rangsang noksius akan dirasakan sebagai nyeri, sebaliknya rangsang lemah dirasakan sebagai bukan nyeri. Rangsang noksius akan dihantarkan oleh serabut kecil yaitu A-delta yang bermielin atau serabut C yang tidak bermielin. Sedangkan rangsang lemah (innocuous) seperti rabaan, pijatan dihantarkan oleh serabut besar yaitu serabut A-beta yang bermielin. 17 Akan tetapi bila ada kerusakan jaringan atau proses inflamasi, rangsang lemah pada daerah perlukaan, yang dalam keadaan normal tidak menimbulkan nyeri sekarang menjadi nyeri, keadaan ini disebut hiperalgesia primer. Selain itu rangsang kuat pada daerah sekitar luka yang tampak normal, dirasakan sebagai nyeri yang lebih hebat dan berlangsung lebih lama walaupun rangsangan sudah dihentikan, keadaan ini disebut sebagai hiperalgesia sekunder. Hal ini menunjukkan bahwa dalam keadaan terdapat kerusakan jaringan maka terjadi pula perubahan sifat saraf. Kemampuan saraf untuk berubah sifat, disebut sebagai plastisitas susunan saraf. Plastisitas ini

11 dapat terjadi karena tiap terjadi kerusakan jaringan atau proses inflamasi akan diikuti pula dengan sensitasi baik di perifer maupun di sentral. 17 Kerusakan jaringan akan menyebabkan dilepaskannya sejumlah substansi nyeri berupa sitokin ( Tumor necroting factor ɑ /TNF ɑ, Interleukin 1B, Interleukin 6), ion K, H, serotinin, bradikinin, histamin, prostaglandin dan lain-lain. Substansi nyeri ini akan merangsang dilepaskannya substan P dari ujung saraf A-delta (A δ) dan serabut C yang disebut sebagai nosiseptor. Antara substansi nyeri dengan nosiseptor terjadi reaksi positif feedback artinya makin banyak nosiseptor yang dibangkitkan, diikuti peningkatan sensitivitas nosiseptor itu. 15 Peningkatan jumlah maupun peningkatan sensitivitas nosiseptor ini menyebabkan proses transduksi makin meningkat. Meningkatnya proses transduksi menyebabkan terjadinya hiperalgesia primer pada daerah kerusakan jaringan. Selain itu terlepasnya substansi nyeri juga akan mensensitasi nosiseptor disekitarnya, yang akan menyebabkan terjadinya hiperalgesia sekunder. 16 Kerusakan jaringan khususnya jaringan lemak akan menyebabkan terlepasnya asam arakhidonat, yang dengan bantuan enzym cyclooxygenase (COX), akan diubah menjadi prostaglandin, yang merupakan salah satu substansi nyeri. 17

12 Gambar 2. Sensitisasi perifer Suatu stimulus noksius yang berkepanjangan sebagai akibat pembedahan/inflamasi, akan mengubah respon saraf pada kornu dorsalis medulla spinalis. Aktivitas sel kornu dorsalis akan meningkat seirama dengan lamanya stimulus tersebut. Neuron kornu dorsalis berperan sangat penting dalam proses transmisi dan modulasi suatu stimulus noksius. Neuron kornu dorsalis terdiri atas first-orderneuron yang merupakan akhir dari serabut aferen pertama dan secondorderneuron sebagai neuron penerima dari neuron pertama. Second-orderneuron-lah yang memainkan peran modulasi yang dapat memfasilitasi atau menghambat suatu stimulus noksius. Nosiseptif second-order neuron di kornu dorsalis terdiri atas dua jenis, yakni pertama, nociceptive-specific neuron (NS) yang secara eksklusif responsif terhadap impuls dari serabut Aδ dan serabut C. Neuron kedua disebut widedynamic range neuron (WDR) yang responsif terhadap baik stimulus noksius

13 maupun stimulus non-noksius yang menyebabkan menurunnya respon treshold serta meningkatnya reseptive field, sehingga terjadi peningkatan signal transmisi ke otak menyebabkan meningkatnya persepsi nyeri. Perubahan-perubahan ini diyakini sebagai akibat terjadinya perubahan pada kornu dorsalis menyusul suatu kerusakan jaringan/inflamasi. Perubahan ini disebut sebagai sensitisasi sentral atau wind up. Wind-up ini dapat menyebabkan neuron-neuron tersebut menjadi lebih sensitif terhadap stimulus lain dan menjadi bagian dari sensitisasi sentral. Ini menunjukkan bahwa susunan saraf pusat tidak bisa diibaratkan sebagai hard wired yang kaku tetapi seperti plastik, artinya dapat berubah sifatnya akibat adanya kerusakan jaringan atau inflamasi. 17 Gambar 3. Sensitasi sentral

14 Sensitisasi sentral inilah yang menyebabkan suatu rangsang lemah (yang dihantarkan oleh serabut Aβ), yang normal tidak menyebabkan nyeri sekarang dapat menimbulkan nyeri yang dalam klinik dikenal sebagai allodinia. 17 2.1.2 Nyeri pasca operasi tumor payudara Satu dari delapan wanita akan terkena kanker payudara dimana sekitar 60 persen memerlukan pembedahan kelenjar getah bening dan reseksi tumor payudara primer. Jaringan parut, cedera jaringan dan cedera saraf yang menginervasi daerah pembedahan, berkontribusi terhadap nyeri pasca operasi. Operasi kanker payudara berhubungan dengan timbulnya nyeri di daerah dada, aksila, dan lengan atas berupa sensasi terbakar atau mati rasa. Dalam sebuah penelitian kohort retrospektif, 43% dari pasien menderita nyeri kronik pasca mastektomi. Pada usia produktif, insidensinya mencapai 65%. Beberapa penelitian melaporkan bahwa pasien dengan nyeri kronik setelah pembedahan kanker payudara memiliki stres psikologis dan morbiditas psikiatri yang lebih besar daripada populasi umum. 3,18 2.1.3 Pengukuran Intensitas Nyeri Intensitas nyeri merupakan gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh seseorang, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri, namun pengukuran dengan teknik ini juga tidak dapat memberikan gambaran nyeri itu sendiri. Penatalaksanaan nyeri memerlukan penelitian dan usaha yang cermat untuk memahami pengalaman nyei pasien. Pasien dapat menunjukan lokasi nyeri dengan

15 menunjukan bagian tubuh atau menandakannya di gambaran tubuh manusia. Pengukuran ini penting untuk menyusun program analgetik pasca pembedahan. Derajat nyeri dapat diukur dengan berbagai macam cara. Yang sering digunakan untuk menilai intensitas nyeri pasien adalah skala numerik dan skala verbal. Skala numerik terdiri dari dua bentuk yaitu visual dan tulisan. 10.12 Gambar 4. Pain Measurement Scale Salah satu cara untuk menilai intensitas nyeri yaitu dengan menggunakan Visual Analog Scale (VAS). Skala ini berupa suatu garis lurus yang panjangnya biasanya 10 cm, dengan penggambaran verbal pada masing-masing ujungnya, seperti angka 0 (tanpa nyeri) sampai angka 10 (nyeri terberat). Nilai VAS 0 - <4 = nyeri ringan, 4 - <7 = nyeri sedang dan 7-10 = nyeri berat.

16 Gambar 5. VAS Pasien diminta untuk membuat tanda pada garis tersebut dan dinilai yang di dapat ialah jarak dalam mm atau cm dari tanda di sebelah kiri skala sampai tanda yang dibuat. VAS adalah skala yang paling sering digunakan untuk mengukur intensitas nyeri. VAS sudah terbukti merupakan skala linear yang di terapkan pada pasien dengan nyeri akut pasca operasi. 10,11,13 Alat bantu untuk mengukur intensitas nyeri sangat bervariasi dan sangat subjektif penilainnya tergantung dari pasien. VAS merupakan skala pengukuran yang lebih sensitif terhadap intensitas nyeri dibandingkan skala pengukuran lainnya. Secara statistik VAS paling kuat rasionya karena dapat menyajikan data dalam bentuk rasio. 14 2.1.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri Berbagai macam faktor dapat mempengaruhi persepsi individu terhadap nyeri, faktor tersebut antara lain:

17 1). Usia Setiap kelompok umur memiliki masalah tersendiri untuk mengungkapkan nyeri. Anak-anak cenderung mempunyai kesulitan untuk memahami nyeri karena mereka belum dapat mengungkapkan perasaan nyeri tersebut, dan juga merasa takut terhadap tindakan medis yang akan di terimanya. Sedangkan pada kelompok usia lanjut mereka cenderung mengabaikan nyeri karena dianggap sebagai proses penuaan normal, dan tidak melaporkan keadaan nyerinya karena merasa takut mengalami penyakit yang serius. 13,19 2). Jenis kelamin Perbedaan respons nyeri berbeda antara laki-laki dan wanita karena dipengaruhi oleh faktor hormonal. Wanita memiliki ambang batas yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. 13 3). Pengalaman sebelumnya Persepsi nyeri berbeda-beda pada setiap individu, pada pasien yang belum pernah merasakan nyeri sama sekali, maka pasien tersebut akan merasa sangat terganggu dengan keberadaan nyeri tersebut. Apabila pasien sejak lama sering mengalami serangkaian episode nyeri tanpa pernah sembuh, maka dapat muncul gejala anxietas atau kecemasan. Sebaliknya apabila pasien mengalami nyeri dengan jenis yang sama berulang kali namun kemudian nyeri tersebut dapat dihilangkan, pasien akan lebih mudah untuk mempresentasikan sensasi nyeri tersebut dan lebih siap untuk melakukan tindakan yang diperlukan untuk menghilangkan nyeri. 13,20

18 4). Anxietas dan Perhatian Stimulus nyeri mengaktifkan bagian sistem limbik yang mengendalikan emosi seseorang. Sistem limbik dapat memproses reaksi emosi terhadap nyeri, yakni memperburuk atau menghilangkan perasaan nyeri, selain itu perhatian yang terfokuspada perasaan nyeri dapat meningkat dibandingkan dengan individu yang berusaha mengalihkan perasaan nyeri. 13 2.2 Morfin Morfin sebagai prototipe opioid merupakan pilihan utama dalam penatalaksanaan nyeri, terutama nyeri pasca operasi derajat sedang hingga berat. 21,22 Opioid bertindak sebagai agonis terhadap reseptor opioid stereospesifik yang terjadi pada pra serta pascasinaps di susunan saraf pusat (SSP) dan jaringan perifer. Morfin dipergunakan sebagai analgetik pasca operasi dengan dosis 2 5 mg dengan interval 5 10 menit secara titrasi sehingga mencapai level analgetik yang adekuat. 22 Gambar 6. Struktur Morfin

19 2.2.1 Farmakokinetik Absorbsi morfin dari saluran cerna lambat dan bervariasi. Obat ini biasanya tidak di berikan per-oral. Morfin mengalami metabolisme lintas I di hepar karena itu suntikan intramuskular, subkutan, atau intravena menghasilkan respon yang lebih nyata. Morfin dalam hepar dimetabolisme menjadi glukoronida. Morfin -6- glukoronida merupakan analgetik yang sangat kuat, sedangkan konjugasi pada posisi- 3 tidak aktif. Konjugat ini dieksresikan terutama ke dalam urin, dan sebagian kecil ke empedu. Morfin cepat memasuki semua jaringan tubuh, termasuk janin wanita hamil dan seharusnya tidak diberikan untuk analgetik selama persalinan. Hanya dalam persentasi kecil morfin menembus sawar darah otak, karena morfin paling kurang lipofilik dari opioid pada umumnya. 23 2.2.2 Farmakodinamik Opioid memperlihatkan efek utamanya dengan berinteraksi dengan reseptor opioid pada sistem saraf pusat dan saluran cerna. Opioid menyebabkan hiperpolarisasi sel saraf, menghambat peletupan saraf, dan penghambatan presinaptik pelepasan transmiter. Morfin bekerja pada reseptor π dalam lamina I dan lamina II dari substansia gelatinosa medula spinalis, dan menurunkan pelepasan substansia P, yang memodulasi persepsi nyeri dalam medula spinalis. Morfin juga menghambat pelepasan banyak transmiter eksitatori dari ujung saraf terminal yang membawa rangsangan noniseptif. Morfin menyebabkan Analgesia (menghilangkan nyeri tanpa hilangnya kesadaran). Opioid menghilangkan nyeri dengan meningkatkan ambang

20 rasa nyeri pada tingkat medulla spinalis, dan mengubah presepsi otak terhadap nyeri. 23 Pemberian 10 mg/70 kgbb morfin subkutan dapat menimbulkan analgesia pada pasien dengan nyeri yang bersifat sedang hingga berat misalnya pada nyeri pasca operasi. 24 2.2.3 Efek samping Terjadi depresi pernapasan yang berat, merupakan salah satu efek samping yang dapat terjadi pada pasien yang mendapatkan terapi morfin. Efek samping lain adalah mual muntah, disforia, dan alergi yang meningkatkan efek hipotensi. Peningkatan tekanan intrakranial, terutama pada jejas kepala. Pada hipertrofi prostat, morfin dapat menyebabkan retensi urin akut. 23 2.3 Ketorolak Ketorolak adalah Non Steroid Anti Inflamation Drugs (NSAIDs) dengan masa kerja sedang yang diperkenalkan untuk penggunaan sistemik utama sebagai analgetik, bukan sebagai obat anti-inflamasi (walaupun mempunyai sifat-sifat NSAIDs yang tipikal). Obat ini tampaknya mempunyai efek analgetik yang bermakna dan telah digunakan dengan berhasil untuk menggantikan morfin dalam beberapa situasi yang melibatkan nyeri pasca operasi ringan dan sedang. 25 Ketorolak merupakan analgetik poten dengan efek anti-inflamasi sedang. Ketorolak merupakan satu dari sedikit NSAIDs yang tersedia untuk pemberian parenteral. Absorbsi oral dan intramuskular berlangsung cepat mencapai puncak

21 dalam 30-50 menit. Bioavabilitas oral 80% dan hampir seluruhnya terikat protein plasma. 26 Ketorolak secara kompetitif menghambat kedua isoenzim siklooksigenase, COX-1 dan COX-2, dengan cara memblokade ikatan arakhidonat yang menghasilkan efek farmakologis antiinflamasi, analgesia dan antipireksia. Ketorolak intramuskular (IM) sebagai analgetik pasca operasi, masa kerjanya lebih panjang dan efek sampingnya lebih ringan. Obat ini dapat diberikan peroral. Dosis IM 30-60mg, IV 15-30 mg, dan oral 5-30 mg. Ketorolak 30 mg IM setara dengan morfin 10 mg. Keuntungan penting dari ketorolak untuk terapi analgetik yaitu tidak menimbulkan depresi ventilasi atau depresi kardiovaskuler. 26-28 Gambar 7. Struktur Ketorolak 2.3.1 Farmakokinetik Ketorolak adalah bentuk rantai campuran rasemik S dan R enantiomer. S- enantiomer dieliminasi dua kali lebih cepat dibandingkan R-enantiomer. Waktu paruh S-enantiomer kurang lebih 2,5 jam dan R-enantiomer mendekati 5 jam. 92% dieksresikan melalui urin dan 6% melalui feses. Clearance obat jauh lebih rendah lagi pada orang tua dan dosis ketorolak yang diberikan harus kurang dibanding dengan

22 dewasa muda. Ketorolak dimetabolisme terutama oleh sitokrom P450 kemudian dikonjugasi asam glukoronat. Pada pemberian dosis tunggal intravena waktu paruh 5,2 jam, puncak analgetik dicapai dalam 120 menit, dengan onset 30 menit. Lama analgetik 4-6 jam. Ekskresi terutama melalui ginjal((91,4%) dan 6,1% melalui feses. Absorbsi cepat dan sempurna di lambung dalam dalam bentuk metabolit tidak aktif. Ketorolak dapat digunakan sebagai obat tambahan pada terapi analgetik dengan morfin, menghasilkan penurunan dosis morfin dan mempertinggi efek analgetik dibandingkan penderita-penderita yang tidak mendapatkan ketorolak. 29 2.3.2 Farmakodinamik Pengaruh pemberian ketorolak terhadap beberapa sistem dalam tubuh manusia adalah pada sistem kardiovaskuler, ketorolak tidak menyebabkan perubahan yang bermakna pada parameter jantung dan hemodinamik tidak banyak dipengaruhi. Sistem pernafasan tidak terdapat depresi pernafasan. Sistem pencernaan, ketorolak 30 mg menyebabkan mual dan muntah yang lebih jarang dibandingkan dengan morfin 10 mg dan 12 mg, dapat menyebabkan iritasi lambung, perdarahan gastrointestinal. Sistem saraf pusat, pada dosis berulang penggunaan ketorolak 30 mg menunjukkan rasa kantuk sebesar 14%. Dibidang hematologi, ketorolak menghambat agregasi trombosit, dapat memperpanjang waktu perdarahan, hambatan agregasi trombosit akan hilang dalam waktu 24 jam sampai 48 jam setelah obat dihentikan. 30 2.3.3 Efek samping Efek samping dari ketorolak sama dengan NSAIDs lainnya. Komplikasi dan efek samping akibat penggunaan NSAIDs yaitu perdarahan,

23 disfungsi platelet, perdarahan gastrointestinal dan gangguan ginjal. 8 Efek samping lainnya gangguan saluran cerna, mengantuk, pusing dan sakit kepala. 3