BAB II LANDASAN TEORI. pekerjaan formal dan tidak bekerja lagi serta mengalami perubahan ekonomi

dokumen-dokumen yang mirip
: Post Power Syndrome pada Pegawai Negeri Sipil yang Mengalami Masa Pensiun Nama/ NPM : Yuli Handayani/ : Dona Eka Putri, Psi, MPsi ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. memberikan nilai dan kebanggaan tersendiri. Individu dapat berprestasi ataupun

Post Power Syndrom. Siti Irene Astuti D

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

`BAB I PENDAHULUAN. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah topik yang hangat dikalangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. normal dan sehat, bekerja me nyajikan kehidupan sosial yang mengasyikkan dan

BAB 1 PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Perjalanan hidup manusia mengalami beberapa tahap pertumbuhan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Diri. dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, konflik-konflik, dan

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini variabel-variabel yang diteliti yaitu kecerdasan

I. PENDAHULUAN. Lingkungan keluarga seringkali disebut sebagai lingkungan pendidikan informal

I. PENDAHULUAN. Peserta didik Sekolah Menengah Pertama (SMP ) berada dalam masa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, seseorang perlu melakukan

\BAB I PENDAHULUAN. Bekerja tidak bisa dipisahkan dari kehidupan seseorang, dengan bekerja

BAB I PENDAHULUAN. Krisis multidimensional dalam bidang ekonomi, politik, dan budaya yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. depan, seperti pendidikan formal di universitas mahasiswa diharapkan aktif, kunci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Sosial. Manusia adalah makhluk sosial.di dalam kehidupan sehari-hari manusia

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

I. PENDAHULUAN. Manusia dalam perkembangannya memiliki suatu tugas berupa tugas. perkembangan yang harus dilalui sesuai dengan tahap perkembangannya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan

BAB I PENDAHULUAN. yang dikenal dengan istilah adolescence merupakan peralihan dari masa kanakkanak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

HUBUNGAN ADVERSITY QUOTIENT DAN KECERDASAN RUHANIAH DENGAN KECENDERUNGAN POST POWER SYNDROME PADA ANGGOTA TNI AU DI LANUD ISWAHJUDI MADIUN.

BAB 1 PENDAHULUAN. Kepercayaan diri tentu saja mengalami pasang surut, seseorang mungkin merasa percaya

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. hasil yang dituju. Salah satu cara untuk memenuhi semua itu adalah dengan cara

BAB I PENDAHULUAN. baik jasmani maupun rohani sehingga anak memiliki kesiapan untuk memasuki

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengembangan berbagai potensi yang dimiliki anak. Usia 4-6 tahun adalah suatu tahap

BAB I PENDAHULUAN. awal yaitu berkisar antara tahun. Santrock (2005) (dalam

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

HUBUNGAN ANTARA SELF BODY IMAGE DENGAN PEMBENTUKAN IDENTITAS DIRI REMAJA. Skripsi

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Hasil akhir dari pendidikan seseorang individu terletak pada sejauh mana hal

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana pernyataan yang diungkap oleh Spencer (1993) bahwa self. dalam hidup manusia membutuhkan kepercayaan diri, namun

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin cepat saat ini,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Banyak sekali latar belakang kekerasan terhadap anak mulai dari

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

manusia dimulai dari keluarga. Menurut Helmawati (2014:1) bahwa Keluarga adalah tempat pertama dan utama bagi pembentukan dan pendidikan anak.

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kepercayaan Diri Anak Usia Remaja. yang berkualitas adalah tingkat kepercayaan diri seseorang.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Gaya Hidup Hedonis. Gaya hidup adalah pola tingkah laku sehari-hari segolongan manusia

BAB 1 PENDAHULUAN. datang. Anak dilahirkan dengan potensi dan kecerdasannya masing-masing.

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB II HUBUNGAN SOSIAL KELOMPOK USIA 5-6 TAHUN DAN SENTRA IMAN DAN TAQWA. A. Perkembangan hubungan sosial kelompok usia 5-6 tahun

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia pada dasarnya dilahirkan dalam keadaan lemah dan tidak

PENDEKATAN PSIKOLOGIS DALAM OLAHRAGA USIA DINI

BAB I PENDAHULUAN. Gangguan perkembangan seseorang bisa dilihat sejak usia dini, khususnya pada usia

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan emosi menurut Chaplin dalam suatu Kamus Psikologi. organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam

BAB I PENDAHULUAN. terjadi perubahan-perubahan baik dalam segi ekonomi, politik, maupun sosial

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia memiliki hak untuk dapat hidup sehat. Karena kesehatan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial yang senantiasa ingin berinteraksi dengan

BAB II KAJIAN TEORI. sehari-hari. Perilaku sosial mempengaruhi penyesuaian sosial individu. Individu yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja adalah individu yang unik. Remaja bukan lagi anak-anak, namun

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. sebaya ataupun orang dewasa lainnya (Yusuf,2001;122, Mubiar: 2008;13).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam

BAB II LANDASAN TEORI. Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Harga Diri. Harris, 2009; dalam Gaspard, 2010; dalam Getachew, 2011; dalam Hsu,2013) harga diri

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. 1. Pengertian Kepuasan Hidup Lanjut Usia. pengalaman - pengalaman yang disertai dengan tingkat kegembiraan.

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri)

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan di sekolah, potensi individu/siswa yang belum berkembang

BAB I PENDAHULUAN. tahap-tahap perkembangan mulai dari periode pranatal sampai pada masa usia lanjut

BAB V HASIL PENELITIAN. A. Rangkuman Penelitian Seluruh Subjek. dibuat table sebagai berikut :

BAB II KAJIAN TEORI. karena setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai

BAB II LANDASAN TEORI. mau dan mampu mewujudkan kehendak/ keinginan dirinya yang terlihat

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Post power syndrome merupakan bentuk dari reaksi negatif yang muncul

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan tempat didikan bagi anak anak. Lebih dalam tentang

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan sangat penting dalam kehidupan dan diharapkan mampu. mewujudkan cita-cita bangsa. Pendidikan bertujuan untuk membantu

Peran Guru dalam Melatih Kemandirian Anak Usia Dini Vanya Maulitha Carissa

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. berhubungan dengan orang lain (Stuart & Sundeen, 1998). Potter & Perry. kelemahannya pada seluruh aspek kepribadiannya.

BAB IV ANALISIS KURIKULUM TAMAN KANAK-KANAK RELEVANSINYA DENGAN PERKEMBANGAN PSIKIS ANAK DI TK AL HIDAYAH NGALIYAN SEMARANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ibu adalah sosok yang penuh pengertian, mengerti akan apa-apa yang ada

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pada saat ini sumber daya manusia adalah kunci sukses suatu organisasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menentukan arah dan tujuan dalam sebuah kehidupan. Anthony (1992)

BAB I PENDAHULUAN. yang membuat diri mereka berbeda dari orang lain. Tingkat lanjutan dari proses

BAB I PENDAHULUAN. oleh orang tuanya tentang moral-moral dalam kehidupan diri anak misalnya

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terutama karena berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru.

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa sebagai makhluk sosial,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri. Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI A. Pensiun Pensiun adalah peran baru dalam hidup seseorang yang berhenti dari pekerjaan formal dan tidak bekerja lagi serta mengalami perubahan ekonomi berupa pendapatan yang jauh berkurang dari sebelumnya. Dibutuhkan aspek kesiapan mental dalam menghadapi perubahan sosial serta membutuhkan penerimaan diri yang baik, sehingga tidak menimbulkan depresi, frustasi dan stres pada diri individu (Turner & Helms, dalam Hurlock, 2002). Menurut Hutapea (2005) saat memasuki masa pensiun seseorang akan mengalami berbagai masalah, diantaranya mengenai kepuasan kerja dan pekerjaan, usia, kesehatan, dan status sosial sebelum pensiun. Berikut ini penjelasan mengenai masalah tersebut : a. Kepuasan Kerja dan Pekerjaan Pekerjaan membawa kepuasan tersendiri karena disamping mendatangkan uang dan fasilitas, dapat juga memberikan nilai dan kebanggan pada diri sendiri (karena berprestasi atau pun kebebasan menuangkan kreativitas). Pekerjaan juga dapat memberikan pendapatan, prestise, wewenang, dan otonomi yang diharapkan para pekerja. Menurut Erikson (dalam Hurlock, 2002) pada usia kerja terjadi pada usia madya (55-65) seseorang memasuki masa berprestasi dimana selama usia ini, orang akan menjadi lebih sukses atau sebaliknya mereka berhenti dan tidak mengerjakan sesuatu apapun lagi. Apalagi orang berusia madya mempunyai 9

kemauan yang kuat untuk berhasil, mereka akan mencapai puncaknya pada usia ini dan memungut hasil dari masa-masa persiapan dan kerja keras yang dilakukan sebelumnya. b. Usia Banyak orang yang takut menghadapi masa tua karena asumsinya jika sudah tua, fisik pun akan makin melemah, makin banyak penyakit, cepat lupa, penampilan tidak menarik dan makin banyak hambatan lain yang membuat hidup makin terbatas. Pensiun sering diidentikkan dengan tanda seseorang memasuki masa tua. Banyak orang mempersepsi secara negatif dengan menganggap bahwa pensiun itu merupakan pertanda dirinya sudah tidak berguna lagi dan tidak dibutuhkan karena usia tua dan produktivitas menurun sehingga tidak menguntungkan lagi bagi perusahaan atau organisasi tempat mereka bekerja. c. Kesehatan Beberapa orang peneliti menemukan bahwa kesehatan mental dan fisik merupakan prakondisi yang mendukung keberhasilan seseorang beradaptasi terhadap perubahan hidup yang disebabkan oleh pensiun. Hal itu masih ditambah dengan persepsi orang tersebut terhadap penyakit atau kondisi fisiknya. Jika ia menganggap bahwa kondisi fisik atau penyakitnya sebagai hambatan besar dan bersikap pesimistik terhadap hidup, sehingga ia akan mengalami masa pensiun dengan penuh kesukaran. Menurut hasil penelitian, pensiun tidak menyebabkan orang menjadi cepat tua dan sakit-sakitan, karena justru berpotensi meningkatkan kesehatan karena mereka semakin bisa mengatur waktu untuk berolah tubuh. Persepsi seseorang

tentang bagaimana ia akan nenyesuaikan diri dengan masa pensiunnya. Hal ini erat kaitannya dengan rencana persiapan yang dibuat jauh sebelum pensiun (termasuk pola atau gaya hidup yang dilakukan) akan memberi kepuasan dan rasa percaya diri pada individu yang bersangkutan. d. Status Sosial Sebelum Pensiun Status sosial berpengaruh terhadap kemampuan seseorang menghadapi masa pensiunnya. Jika semasa kerja ia mempunyai status sosial tertentu sebagai hasil dari prestasi kerja keras (sehingga mendapatkan penghargaan dari masyarakat dan organisasi), ia pun cenderung lebih memiliki kemapuan adaptasi yang lebih baik (karena konsep diri yang positif dan social network yang baik). Namun, jika status sosial itu didapat bukan murni dari hasil jerih payah prestasinya (misalnya lebih karena politis dan uang atau harta ) orang itu justru cenderung mengalami kesulitan saat menghadapi pensiun karena begitu pensiun, kebanggaan dirinya lenyap sejalan dengan hilangnya atribut dan fasilitas yang menempel pada dirinya selama ia bekerja. Berdasarkan uraian di atas, maka pensiun dapat diartikan sebagai peran baru dalam hidup seseorang yang berhenti dari pekerjaan formal dan tidak bekerja lagi serta mengalami perubahan ekonomi berupa pendapatan yang jauh berkurang dari sebelumnya. B. Post-Power Syndrome 1. Pengertian Post-Power Syndrome Post-power syndrome (Hurlock, 2002) adalah gejala yang terjadi di mana penderita hidup dalam bayang-bayang kebesaran masa lalunya (karirnya,

kecantikannya, ketampanannya, kecerdasannya, atau hal yang lain), dan seakanakan tidak bisa memandang realita yang ada saat ini. Seperti yang terjadi pada kebanyakan orang pada usia mendekati pensiun. Selalu ingin mengungkapkan betapa begitu bangga akan masa lalunya yang dilaluinya dengan jerih payah yang luar biasa. Post-power syndrome juga dapat dinyatakan sebagai suatu gejala yang terjadi dimana si penderita tenggelam dan hidup di dalam bayang-bayang kehebatan, keberhasilan masa lalunya sehingga cenderung sulit menerima keadaan yang terjadi sekarang. Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya post-power syndrome. Pensiun dini dan PHK adalah salah satu dari faktor tersebut. Bila orang yang mendapatkan pensiun dini tidak bisa menerima keadaan bahwa tenaganya sudah tidak dipakai lagi, walaupun menurutnya dirinya masih bisa memberi kontribusi yang signifikan kepada perusahaan, post-power syndrom akan dengan mudah menyerang. Apalagi bila ternyata usianya sudah termasuk usia kurang produktif dan ditolak ketika melamar di perusahaan lain, post-power syndrom yang menyerangnya akan semakin parah (Alwisol, 2008). Kejadian traumatik juga menjadi salah satu penyebab terjadinya postpower syndrome. Misalnya kecelakaan yang dialami oleh seorang pelari, yang menyebabkan kakinya harus diamputasi. Bila dia tidak mampu menerima keadaan yang dialaminya, dia akan mengalami post-power syndrome. Jika terus berlarutlarut, tidak mustahil gangguan jiwa yang lebih berat akan dideritanya (Kartono, 1990). Post-power syndrome hampir selalu dialami terutama orang yang sudah lanjut usia dan pensiun dari pekerjaannya. Hanya saja banyak orang yang berhasil

melalui fase ini dengan cepat dan dapat menerima kenyataan dengan hati yang lapang. Tetapi pada kasus-kasus tertentu, dimana seseorang tidak mampu menerima kenyataan yang ada, ditambah dengan tuntutan hidup yang terus mendesak, dan dirinya adalah satu-satunya penopang hidup keluarga, resiko terjadinya post-power syndrome yang berat semakin besar. Beberapa kasus post-power syndrome yang berat diikuti oleh gangguan jiwa seperti tidak bisa berpikir rasional dalam jangka waktu tertentu, depresi yang berat, atau pada pribadi-pribadi introvert (tertutup) terjadi psikosomatik (sakit yang disebabkan beban emosi yang tidak tersalurkan) yang parah. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa post-power syndrome adalah sebagai suatu gejala yang terjadi dimana si penderita tenggelam dan hidup di dalam bayang-bayang kehebatan, keberhasilan masa lalunya sehingga cenderung sulit menerima keadaan yang terjadi sekarang. 2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Post-Power Syndrome Turner & Helms (dalam Hurlock, 2002) menggambarkan penyebab terjadinya post-power syndrome dalam kasus kehilangan pekerjaan, yaitu: a. Kehilangan jabatan yaitu kehilangan harga diri karena hilangnya jabatan individu merasa kehilangan perasaan memiliki dan atau dimiliki, artinya dengan jabatan pula individu merasa menjadi bagian penting dari institusi. Dengan jabatan pula individu merasa lebih yakin atas dirinya, karena mendapat pengakuan atas kemampuannya. Selain itu, individu tersebut merasa puas akan kepemilikan kekuasaan yang terkait dengan jabatan yang diemban.

Hasil-hasil penelitian menunjukan bahwa individu yang masih bekerja memiliki derajat self-esteem yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang sudah tidak bekerja lagi. Individu yang pensiun akan mengalami penurunan harga diri yang meliputi kehilangan perasaan diterima, diakui dan dihargai oleh keluarga, masyarakat, dan rekan sekerja. Selain itu juga muncul perasaan tidak berdaya atau tidak mampu lagi melakukan segala sesuatu seperti pekerjaanya yang membuat tampak tidak berguna dan dibutuhkan lagi. Untuk itu dibutuhkan cara yang tepat agar individu tidak selalu merasakan kehilangan harga diri, misalnya dengan menyibukkan diri melalui aktifitasaktifitas seperti terlibat dalam kegiatan sosial sebagai volunter (Papalia, 2002), atau memperdalam ibadah dan pegetahuannya dalam hal keagamaan untuk menjadi pemuka agama yang dihormati di daerahnya. b. Kehilangan hubungan dengan kelompok eksklusif, misalnya kelompok Perwira Tinggi, kelompok Komandan, kelompok Manager, dan lain-lain yang semula memberikan kebanggaan tersendiri. Individu kadangkala mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok sosial yang berarti bagi dirinya atau dibanggakannya. Dalam hal ini kelompok sosial bisa kelompok bisnis atau kelompok seprofesinya. Dengan terjadinya pensiun, maka individu kehilangan identitasnya tersebut sehingga individu harus mengkonstruksi dan mengevaluasi identitas dirinya menjadi identitas diri yang baru yang lebih rendah arti dan kebanggaan. c. Kehilangan kewibawaan atau kehilangan perasaan berarti dalam satu kelompok tertentu. Jabatan memberikan perasaan berarti yang menunjang

peningkatan kepercayaan diri seseorang. Misalnya saja, kehilangan kewibawaan di depan anak buah atau lingkungan sekitar karena sudah tidak menjabat lagi. Pekerjaan yang dilakukan individu sebelum pensiun mungkin merupakan pekerjaan yang dapat menimbulkan kepuasan dan keberartian diri bagi individu. Dengan datangnya pensiun, berarti segala atribut yang dimilikinya harus ditanggalkan termasuk pekerjaan yang menimbulkan kepuasan tersebut, maka individu perlu menyiapkan kegiatan pengganti agar kehilangan tersebut tidak menjadi masalah. d. Kehilangan kontak sosial yang berorientasi pada pekerjaan, dengan jabatan yang jelas, maka seseorang memiliki kerangka pelaksanaan tugas yang jelas, yang berpengaruh terhadap kontak sosial pula. Pensiun tentunya menyebabkan individu kehilangan sebagian besar kelompok sosialnya. Pada individu sebagian besar waktunya habis di lingkungan pekerjaan maka kelompok sosial yang paling besar dimilikinya adalah teman-teman sejawatnya, bawahan, atasan, maupun klien-kliennya. Untuk mengatasi kehilangan kontak sosial yang berorientasi pada pekerjaannya ini, maka individu harus mencari aktivitas-aktivitas dan orang-orang di lingkungannya yang baru sebagai sumber dukungan sosial baginya. e. Kehilangan sebagian sumber penghasilan yang terkait dengan jabatan yang pernah dipegang. Bagi sejumlah individu, tidak bekerja lagi berarti hilangnya sumber keuangan. Hal ini mengakibatkan berubahnya cara atau pola hidup individu dan keluarganya, yang sebelumnya hidup dengan berlebihan atau berkecukupan, kini harus bisa lebih hemat.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan beberapa faktor yang mempengaruhi post-power syndrome, yakni karena kehilangan jabatan, kehilangan hubungan dengan kelompok eksklusif, kehilangan kewibawaan, kehilangan kontak sosial yang berorientasi pada pekerjaan dan kehilangan sumber penghasilan. 3. Gejala-gejala Individu yang Mengalami Post-Power Syndrome Dinsi (2006) menjelaskan beberapa gejala yang dapat dilihat dari individu yang mengalami post-power syndrome, yakni sebagai berikut: a. Gejala fisik: tampak kuyu, terlihat lebih tua, tubuh lebih lemah dan sakitsakitan. b. Gejala emosi: mudah tersinggung, pemurung, senang menarik diri dari pergaulan, atau sebaliknya cepat marah untuk hal-hal kecil, tak suka disaingi dan tak suka dibantah. c. Gejala perilaku: pendiam, pemalu, atau justru senang berbicara mengenai kehebatan dirinya di masa lalu, mencela, mengkritik, tak mau kalah, dan menunjukkan kemarahan baik di rumah maupun di tempat umum. Pada beberapa kasus, post-power syndrome yang berat diikuti oleh gangguan jiwa seperti tidak bisa berpikir rasional dalam jangka waktu tertentu, depresi yang berat, atau pada karakter kepribadian introvert. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan beberapa gejala dari post-power syndrome, yaitu gejala fisik, gejala yang berhubungan dengan emosi dan gelaja yang berhubungan dengan perilaku. Ketiga gejala ini tidak selalu terlihat bersamaan, namun satu diantara ketiga gejala tersebut akan jelas terlihat.

C. Kemampuan Bersosialisasi 1. Pengertian Bersosialisasi Sosialisasi berasal dari kata dasar yang berarti masyarakat. Menurut kamus bahasa Indonesia (2004), pengertian bersosialisasi adalah sesuatu yang berhubungan dengan masyarakat maupun orang lain dan lingkungan. Sedangkan pengertian sosialisasi adalah memasyarakatkan sebuah kepribadian dari seorang individu kepada norma-norma lingkungan dimana individu itu berada. Sosialisasi mulai berkembang sejak individu lahir dan orang tua mereka merupakan subjek yang pertama di dalam memberikan stimulus sosialisasi kepada anak yang baru lahir. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Hurlock (2002), bayi yang baru lahir akan merespon setiap gerakan, suara dan stimulus yang diterimanya dari lingkungan. Stimulus yang pertama yang ditangkap oleh seorang bayi adalah suara ibunya dan ini merupakan stimulus kontak sosial yang pertama kalinya pada bayi. Seiring bertambahnya umur pada anak, maka hubungan diperluas dengan sistem kebudayaan yang ada di keluarga besar. Selanjutnya anak mulai menerima peraturan dengan unsur-unsur kebudayaan mengenai apa yang baik dan perlu dilakukan, serta tentang perbuatan yang harus dijauhi. Hal ini memperluas mengenai hubungan manusia dengan lingkungan dan kelangsungan hidupnya. Kemampuan bersosialisasi tidak dapat berlangsung dengan sendirinya tanpa memperhatikan norma-norma, baik itu berupa aturan yang tertulis maupun yang tidak tertulis seperti adat istiadat (Luth, dan Daniel, 1995). Menurut Kuswardoyo dan Shadiq (1994) brsosialisasi merupakan proses yang membentuk individu untuk belajar menyesuaikan diri, bagaimana cara hidup dan berfikir agar

dapat berperan serta berfungsi dalam kelompoknya. Hal ini sejalan dengan Horton dan Hunt (1993) yang mengatakan bahwa sosialisasi adalah proses bagaimana individu memberi dan menerima norma-norma kelompoknya. Menurut Kartono (1990) bahwa kebutuhan bersosialisasi harus terpenuhi, bila hal ini mengalami hambatan maka akan timbul ketidakpuasan dalam wujud rasa cemas, emosi yang berlebihan, rasa takut dan sebagainya, dengan demikian jelaslah bahwa manusia perlu bersosialisasi dengan sesama mereka. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sosialisasi adalah usaha manusia menyelaraskan diri di lingkungannya sesuai dengan norma-norma yang ada secara efisien tanpa menimbulkan konflik bagi diri maupun lingkungannya sehingga timbul keseimbangan di dalam hidupnya. 2. Pengertian Kemampuan Bersosialisasi Pengertian kemampuan bersosialisasi adalah proses perkembangan kepribadian seorang manusia selaku seorang anggota masyarakat dalam berhubungan dengan orang lain. Menurut Chaplin (1989) kemampuan bersosialisasi merupakan kemampuan seorang individu dalam proses mempelajari adat, kebiasaan suatu kebudayaan di lingkungan tertentu. Kemampuan bersosialisasi seorang individu berlangsung sejak individu tersebut lahir hingga akhir hayatnya. Kemampuan bersosialisasi merupakan proses pembentukan individu untuk belajar menyesuaikan diri, bagaimana cara hidup dan berfikir agar dapat berperan serta berfungsi dalam kelompoknya. Ini sesuai dengan yang diungkapkan Gunarsa (1995) bahwa pengaruh kemampuan bersosialisasi individu tidak terlepas dari

faktor fisik dan faktor keturunan, perkembangan dan kematangan (intelektual, sosial dan emosi) kemudian faktor psikologis, pengalaman belajar dan faktor lingkungan serta budaya. Ali dan Asrori (2006) berpendapat bahwa kemampuan bersosialisasi dapat juga diartikan sebagai cara-cara individu dapat bereaksi terhadap sekitar dan bagaimana pengaruh hubungan itu terhadap dirinya. Perkembangan sosialisasi menurut Bruno (dalam Viny, 2008) merupakan proses pembentukan social-self (pribadi dalam masyarakat), yakni pribadi dalam keluarga, budaya, bangsa dan seterusnya. Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan bersosialisasi adalah kemampuan seorang individu dalam beradaptasi di dalam sebuah lingkungan dimana ia berada, dan juga dapat diartikan sebagai cara-cara individu bereaksi terhadap lingkungan sekitar dan bagaimana pengaruh hubungan itu terhadap dirinya. 3. Model Sosialisasi Menurut Siswanto (2007) model sosialisasi ada 2, yaitu: a. Model deterministik Pada model ini, perilaku individu segalanya ditentukan oleh keinginan serta cita-cita, kebebasan, dan norma-norma yang telah berlaku dikelompok masyarakat tersebut tidak dapat diganggu. b. Model aktualisasi Pada model ini individu diberikan kebebasan untuk dapat mengembangkan potensinya dan segala tindakannya diarahkan untuk memberikan kemudahan dalam pengembangan dan pertumbuhan secara maksimal. Bila seorang individu yang memiliki potensi sebagaimana adanya, bila tidak diberi

kebebasan mengaktualisasikan atensinya, maka ia tidak mampu mengembangkan dirinya. Menurut Luth dan Daniel (1995) sosialisasi juga dibedakan atas dua model yaitu: a. Sosialisasi primer Sosialisasi primer lebih menekankan pada keluarga termasuk bapak, ibu, kakak dan disini anak telah dipengaruhi oleh kebiasaan serta aturan yang telah ada. b. Sosialisasi sekunder Individu sudah harus belajar untuk dapat menyesuaikan dirinya di dalam kelompok masyarakat luas. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sosialisasi terdiri dari dua model, yaitu: model deterministik yang menekankan pada kebiasaan, norma serta aturan yang berlaku dan ini berlangsung pada sosialisasi primer. Sedangkan model aktualisasi yaitu dimana individu sudah mampu untuk menumbuh kembangkan potensi yang dimilikinya dan menyesuaikan dirinya dengan norma yang berlaku dimasyarakat luas, disinilah berlangsung proses sosialisasi sekunder. 4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Bersosialisasi Hurlock (2002) mengemukakan bahwa ada 3 faktor yang mempengaruhi Kemampuan bersosialisasi seseorang, yaitu: a. Pola asuh Pola asuh biasanya terbentuk dengan adanya interaksi individu dengan lingkungannya, lingkungan yang terdekat pada anak adalah orang tuanya.

Hubungan antara orang tua dengan anak dapat berupa sikap orang tua atau pola asuh orang tua yang diterima oleh anak. b. Model kesulitan terjadi karena anak tidak memperoleh model yang baik di rumahnya terutama dari orang tuanya yang mana orang tua yang seharusnya memberi contoh yang baik, ternyata sering kali bersikap dan bertingkah laku agresif, kehidupan emosi yang cepat marah dan sebagainya. Biasaya anak yang merupakan hasil keluarga tersebut akan mengalami kesukaran dalam hubungan dengan orang lain di luar rumah. c. Teman sebaya Teman sebaya adalah teman dimana mereka biasanya bermain dan melakukan aktivitas bersama-sama sehingga menimbulkan rasa senang bersama. Biasanya usia mereka sebaya dan juga dari jenis kelamin yang berbeda. Teori ini didukung oleh Kuswardoyo dan Shodiq (1994) yang menyatakan bahwa kemampuan bersosialisasi dipengaruhi oleh 4 faktor lain: a. Keluarga dan orang tua Keluarga merupakan media yang pertama sekali mewarnai kehidupan anak, orang tua mempunyai kesempatan sosialisasi yang paling besar dengan anak selama pembentukan awal sehingga kesempatan ini sering dimonopoli oleh keluarga. Orang tua menanamkan ide dan menyampaikan informasi tata cara berprilaku kepada anak, seperti perilaku yang biasa di terima bagaimana seharusnya anak berhubungan satu sama lain sehingga akan tercipta hubungan yang sangat erat diantara anggota keluarga.

b. Teman sebaya Teman sepermainan sangat penting dalam sosialisasi dan membentuk kepribadian anak. Mempersamakan diri sendiri dengan teman sepermainan merupakan satu mekanisme penting dalam perkembangan perilaku. Mereka saling meniru dan belajar dari segala apa yang dilihatnya dari teman sepermainan yang umumnya sebaya, kemudian timbul kesadaran dalam diri anak-anak tentang orang lain disekitarnya c. Sekolah Sejak individu memasuki bangku sekolah di taman kanak-kanak, kemudian sekolah dasar sampai perguruan tinggi, anak akan berusaha bagaimana ia biasa diterima sebagai warga sekolah yang baik. sosialisasi di sekolah berjalan dengan terarah dan baik, karena para guru mendidik dan mengarahkan seseorang dalam menerima nilai, norma dan pola perilaku dalam masyarakat. d. Media massa Media masa merupakan alat sosialisasi yang paling tepat dan efektif, karena dapat menyampaikan informasi yang dapat mempengaruhi kepribadian seseorang. Majalah, televisi, radio, film, dan sebagainya dapat mempengaruhi seseorang dalam menerima nilai, norma, sikap dan pola-pola perilaku dalam kehidupan masyarakat. Dari uraian di atas dapat disimpulkan ada empat macam faktor yang mempengaruhi kemampuan bersosialisasi yaitu: keluarga, sekolah, teman sepermainan, dan media massa. Keempat faktor tersebut sangat mempengaruhi keberhasilan dalam bersosialisasi.

5. Ciri-ciri Kemampuan Bersosialisasi Menurut Hurlock (2002) bahwa ada empat kriteria sebagai ciri-ciri kemampuan bersosialisasi yaitu: a. Kemampuan beradaptasi dengan norma yang berlaku dalam kelompok Setiap kelompok mempunyai norma-norma yang telah dibuat oleh kelompok terentu dan harus dipatuhi oleh setiap orang yang masuk dalam kelompok tersebut. b. Menyesuaikan diri dengan setiap anggota kelompok yang dimasukinya. Seseorang yang masuk dalam suatu kelompok harus mampu dalam menyesuaikan diri dengan anggota kelompoknya. c. Memperlihatkan sikap yang menyenangkan terhadap orang lain. Tingkah laku yang dimunculkan oleh seseorang harus dapat memperlihatkan sikap yang baik terhadap anggota kelompoknya. d. Menjalankan perannya dengan baik sebagai anggota kelompok. Seorang anggota kelompok harus dapat menjalankan perannya sebagai anggota di dalam kelompok tersebut, sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa upaya seseorang dalam mengadakan sosialisasi ini adalah kemampuan untuk beradaptasi, dapat menyesuaikan diri, mempunyai sikap yang baik dan dapat menjalankan tugasnya dengan baik sebagai anggota kelompok.

6. Aspek-aspek Kemampuan Bersosialisasi Dalam kemampuan bersosialisasi yang dilakukan anak, banyak aspek-aspek tertentu yang memegang peranan sangat penting. Menurut Sunarto (2002) aspek bersosialisasi ada 4 (empat) yaitu: a. Kemampuan menggunakan bahasa Aspek ini pada dasarnya merupakan aksi dari individu di dalam menangkap stimulus yang ia terima dari lingkungannya. Stimulus tersebut tersebut akan ia kembalikan dengan respon bahasa. b. Kemampuan berkomunikasi Komunikasi merupakan sarana paling penting untuk memperoleh tempat di dalam kelompok. Hal ini membuat dorongan yang kuat untuk berkomunikasi lebih baik. Disini anak mengetahui bahwa inti komunikasi ia mampu mengerti apa yang dikatakan orang lain dan cenderung mengatakan sesuatu yang berhubungan dengan apa yang sedang di bicarakan. c. Kepercayaan Diri Dengan rasa percaya diri yang kuat maka seseorang itu akan melakukan sesuatu tanpa ada pengaruh dari luar sehingga seseorang akan lebih mantap dan penuh keyakinan untuk maju. d. Berani tampil di depan umum Dunia semakin lama semakin maju, begitu juga dengan kehidupan manusia yang semakin hari semakin besar tantangan yang dihadapinya. Corak-corak kehidupan yang seperti itu membuat seseorang harus berani mewujudkan kemampuan yang dimilikinya, sehingga seseorang lebih yakin dengan kemampuan yang ada pada dirinya.

Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa aspek sosialisasi terdiri dari kemampuan berbahasa, kemampuan dalam berkomunikasi, rasa percaya diri, dan tampil di depan umum. D. Hubungan Kemampuan Bersosialisasi dengan Post-Power Syndrome Kehidupan sesudah memasuki masa pensiun, berbeda halnya dengan kehidupan sebelum pensiun. Pensiun seperti dikemukakan oleh Turner & Helms (dalam Hurlock, 2002) adalah peran baru dalam hidup seseorang yang berhenti dari pekerjaan formal dan tidak bekerja lagi serta mengalami perubahan ekonomi berupa pendapatan yang jauh berkurang dari sebelumnya. Dibutuhkan aspek kesiapan mental dalam menghadapi perubahan sosial serta membutuhkan penerimaan diri yang baik, sehingga tidak menimbulkan depresi, frustrasi dan stress pada diri individu. Banyak para pensiunan yang mengalami post-power syndrome sebagai akibat tidak mampu mengadakan sosialisasi di masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan Dinsi (2006), bahwa individu yang mengalami postpower syndrome ditandai dengan gejala-gejala seperti gejala fisik: tampak kuyu, terlihat lebih tua, tubuh lebih lemah dan sakit-sakitan. Gejala emosi: mudah tersinggung, pemurung, senang menarik diri dari pergaulan, atau sebaliknya cepat marah untuk hal-hal kecil, tak suka disaingi dan tak suka dibantah. Gejala perilaku: pendiam, pemalu, atau justru senang berbicara mengenai kehebatan dirinya di masa lalu, mencela, mengkritik, tak mau kalah, dan menunjukkan kemarahan baik di rumah maupun di tempat umum.

Turner & Helms (dalam Hurlock, 2002) juga menjelaskan bahwa salah satu faktor yang menjadi penyebab post power syndrome adalah kehilangan kontak sosial yang berorientasi pada pekerjaan, dengan jabatan yang jelas, maka seseorang memiliki kerangka pelaksanaan tugas yang jelas, yang berpengaruh terhadap kontak sosial pula. Pensiun tentunya menyebabkan individu kehilangan sebagian besar kelompok sosialnya. Pada individu sebagian besar waktunya habis di lingkungan pekerjaan maka kelompok sosial yang paling besar dimilikinya adalah teman-teman sejawatnya, bawahan, atasan, maupun klien-kliennya. Untuk mengatasi kehilangan kontak sosial yang berorintasi pada pekerjaannya ini, maka individu harus mencari aktivitas-aktivitas dan orang-orang di lingkungannya yang baru sebagai sumber dukungan sosial baginya. Para pensiunan yang mampu mengatur diri, dengan mampunyai pengendalian diri meskipun sudah pensiun akan lebih berhasil dalam bersosialisasi. Akibat dimilikinya kemampuan bersosialisasi ini, akan membuat mereka tidak mengalami post-power syndrome. Kemampuan bersosialisasi menuntut adanya kesiapan dari indvidu untuk berhubungan dengan orang lain. Di dalam bersosialisasi, indvidu akan berinteraksi dengan orang lain, saling mempengaruhi, memberi, menerima serta bertukar pikiran. Dalam kehidupan sehari-hari, tidak sedikit individu yang mengalami kesulitan dalam bersosialisasi, khususnya bagi mereka-mereka yang sudah pensiun (Hurlock, 2002). Sebagai akibat dari berbagai gejala yang dirasakan oleh para pensiun, maka kondisi ini akan membawa pengaruh buruk terhadap kemampuan bersosialisasi. Artinya individu yang tidak mampu mengadakan sosialisasi akan merasakan meningkatnya gejala post-power syndrome.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara kemampuan bersosialisasi dan Post-Power Syndrome pada pensiunan tentara di PAC. PEPABRI MEDAN POLONIA. E. Kerangka Konseptual Kemampuan Bersosialisasi Ciri-ciri - Kemampuan beradaptasi dengan norma kelompok yang berlaku, - Menyesuaikan diri dengan anggota kelompok yang dimasukinya, - Memperlihatkan sikap yang menyenangkan terhadap orang lain - Menjalankan perannya dengan baik sebagai anggota kelompok Post Power Syndrome Gejala-gejala: - Fisik - Emosi - Perilaku F. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini berbunyi: Terdapat hubungan negatif antara kemampuan bersosialisasi dengan post-power syndrome. Artinya semakin tinggi kemampuan bersosialisasi, maka semakin rendah post-power syndrome. Sebaliknya semakin rendah kemampuan bersosialisasi, maka semakin tinggi post-power syndrome.