BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jender merupakan salah satu isu yang sampai saat ini masih menjadi perhatian dalam masyarakat modern. Perempuan masih memiliki kesempatan yang terbatas dibandingkan dengan laki-laki untuk berperan aktif di dalam berbagai kegiatan pembangunan dan berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat seperti ekonomi, sosial, budaya, pendidikan dan organisasi. Keterbatasan ini berasal dari berbagai nilai dan norma masyarakat yang membatasi ruang gerak perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Istilah jender berasal dari bahasa Latin (genus), yang artinya jenis atau tipe, yang kemudian digunakan untuk jenis kelamin antara perempuan dan laki-laki. Kata Jender dalam bahasa Indonesia dipinjam dari bahasa Inggris, yaitu sex (jenis kelamin). Namun yang dimaksudkan dengan jender disini adalah yaitu pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan oleh masyarakat. 1 Menurut Ann Oakley, jender adalah perbedaan status sosial yang berpangkal pada perbedaan jenis kelamin, yang mana perbedaan status sosial itu dibakukan dalam tradisi dan sistem budaya masyarakat. 2 Pembakuan perbedaan sosial itu amat ditekankan oleh Wilson dan Lindsey. Wilson 1 Mansour Fakih, Analisis Jender dan Transformasi Sosial, (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 1987), 7. 2 Linda Lindsay, Jender Roles: A Sociological Perspektive, (New Jersey: Prentice Hall, 1990), 126. 1
misalnya mengartikan jender sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi berbeda yaitu lakilaki dan perempuan. 3 Sementara itu Lindsey mengatakan, bahwa yang termasuk kajian jender adalah semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan. 4 Jadi jender itu merupakan harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Budaya yang biasanya dikaitkan dengan pembahasan jender dan yang mengakibatkan ketidakadilan jender adalah dominasi patriarchal, yaitu suatu sistem dari praktik-praktik sosial dan politik di mana kaum laki-laki menguasai, menindas, dan mengeksploitasi perempuan. Perbedaan jender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan jender (jender inequalities). Tetapi pada kenyataannya, perbedaan jender telah melahirkan berbagai ketidakadilan bagi kaum perempuan. Ketidakadilan jender merupakan sistem dan struktur di mana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Menurut Mansour Fakih 5 dalam bukunya Analisis jender dan Transformasi Sosial, ketidakadilan jender termanifestasikan dalam pelbagai bentuk, yakni: Marginalisasi yang mengakibatkan kemiskinan, subordinasi terhadap perempuan, di mana adanya anggapan bahwa perempuan itu irasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, pelabelan atau stereotip yang bersifat negatif terhadap jenis kelamin tertentu, peran 3 Ibid., 126 4 Ibid. 5 Mansour Fakih, Anilisis Gender dan Transformasi Sosial, 12. 2
ganda pada salah satu jenis kelamin dan tindak kekerasan baik fisik maupun non fisik (violonce). 6 Berbagai bentuk ketidakadilan jender tersebut terjadi akibat adanya budaya patriakhi dalam masyarakat. Kata patriarki sendiri berasal dari bahasa Latin, yakni dari kata pater, yang dalam bahasa Inggris disebut father yang artinya bapak. Patriarki sering kali dikaitkan dengan kekuasaan politik laki-laki dalam sebuah masyarakat. Berbicara mengenai patriakhi, Heidi Hartmann mengatakan bahwa patriarki adalah relasi hirarkis antara laki-laki dan perempuan dimana laki-laki lebih dominan dan perempuan menempati posisi subordinat. 7 Budaya patriarkhi ini mempengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk di dalamnya agama. Dalam ajaran kristen, sosok Allah disebut sebagai Bapa, yang pada kenyataannya Bapa adalah sosok seorang laki-laki. Budaya patriakhi menjadi ciri khas dari beberapa suku yang di Indonesia, termasuk suku Rote yang ada di propinsi Nusa Tenggara Timur. Kedudukan dan peran perempuan Rote menunjukan pengaruh budaya patriakhi yang melatarbelakanginya. Dalam masyarakat Rote, perempuan memiliki kedudukan dan peran yang lebih rendah dibandingkan dengan lakilaki. Perempuan selalu ditempatkan pada posisi nomor dua yang tidak diberikan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Dalam keluarga masyarakat Rote, perempuan tidak punya hak untuk mendapatkan warisan dan tidak diberi kesempatan untuk mengenyam bangku pendidikan yang tinggi, karena anak perempuan dianggap setelah menikah akan keluar dari 6 Ibid. 7 LIPI, Communicate Volume 8, (LIPI Press, 2005), 59. 3
marga dan masuk dalam marga suami. Hak-hak istimewa yang diberikan kepada anak laki-laki tidak diberikan kepada anak perempuan. Begitu juga dalam lingkup masyarakat di Rote, perempuan tidak diberikan tempat untuk menjadi pemimpin dalam masyarakat. Perempuan hanya memiliki peran dalam ruang lingkup domestik (mengurus rumah tangga, suami dan anak), sedangkan laki-laki memiliki kedudukan dan peran dalam struktur kemasyarakatan. Kenyataan inilah yang juga telah melahirkan kesalahan penafsiran terhadap ungkapan yang menunjukan suatu bentuk penghargaan dan penghormatan terhadap perempuan dalam masyarakat Rote. Di Rote ada ungkapan ina mana lali ai (perempuan pemindah api). Berdasarkan cerita yang menjadi mitos yang berkembang dalam masyarakat Rote, ungkapan ini hadir lewat peristiwa adanya keinginan yang begitu besar dari masyarakat Rote untuk mendapatkan api dari masyarakat Negeri Laut. Masyarakat Rote dalam kesehariannya belum mengenal api, mereka berburu pada siang hari dan berhenti saat hari mulai gelap. Pada malam hari mereka tinggal dalam kegelapan. Tidak ada penerang sama sekali karena belum ada api. Melihat api pun tidak pernah. Bahkan dalam mengolah hasil buruannya masyarakat cenderung untuk langsung memakannya. Hingga pada suatu hari masyarakat Rote mendengar kabar bahwa di seberang lautan ada sebuah kampung yang penduduknya mempunyai api. Tanpa disengaja, pada suatu ketika dua orang dari masyarakat Rote, Ndu Bulan dan Adu Ledo demikian nama keduanya. Kedua pria ini juga pemburu binatang liar. Mereka dikenal sebagai Mana Sombu Ata (pemburu darat). Mereka selalu ditemani anjing kesayangan mereka Dangga Fai dan Lolo Tepa, bertemu dengan masyarakat 4
Negeri Laut yaitu yaitu Tio Dengga dan Dusu Mone. Mereka bersama-sama berburu serta memakan hasil buruan mereka secara bersamaan. Kedua pemburu dari Rote langsung memakan hasil buruannya secara mentah tanpa diolah sama sekali. Melihat hal itu, kedua orang Negeri Laut melarang mereka untuk tidak memakan daging mentah dan mengajak mereka untuk pergi ke Negeri Laut agar bisa mengolah hasil buruan tersebut dengan api. Ajakan tersebut awalnya disambut ragu-ragu oleh kedua pemuda dari masyarakat Rote, namun dengan keingintahuan yang begitu besar akhirnya mereka menyetujui untuk ikut ke Negeri Laut. Setelah hasil buruan tersebut diolah oleh pemuda dari Negeri Laut, kedua pemuda tersebut merasa heran akan rasa gurih dari daging yang telah diolah dan sepakat untuk menunjukan hasil daging bakaran tersebut kepada masyarakat Rote lainnya. Dengan mencicipi daging yang telah dibakar, seluruh masyarakat Rote merasa terkagum dan keinginan untuk mendapatkan api semakin besar dalam diri mereka, sehingga segala cara untuk mendapatkan api dari Negeri Laut telah dipikirkan. Muncullah sebuah ide untuk membawa beberapa orang gadis untuk memancing perhatian dari masyarakat Negeri Laut agar memberitahu cara untuk membuat api. Dua orang perempuan yang telah berkeluarga dipilih untuk melancarkan misi yang telah direncanakan. Mereka dipaksa dan diancam untuk berpisah dari suami yang baru saja dinikahi, namun sebelum berpisah kedua pasangan suami istri tersebut saling bersumpah bahwa jika pada akhirnya mereka tidak bisa bertemu lagi hingga kematian menjemput, maka sang suami akan menjadi rumput alang-alang dan sang istri akan menjadi jenis kayu keras yang biasa digunakan untuk membuat tiang utama 5
rumah adat. Dengan cara itulah masyarakat Rote mendapatkan api dari masyarakat Negeri Laut, yaitu menukarkan kedua gadis tersebut untuk mendapatkan api. Untuk mengingat keberanian dan jasa kedua gadis tersebut hingga hari ini orang Rote masih menggunakan ungkapan ina mana lali ai (perempuan pemindah api). Sayang sekali, ungkapan bukannya sebagai ungkapan penghargaan atas pengorbanan perempuan melainkan sebagai sindiran yang merendahkan. Ungkapan ina mana lali ai mengandung arti, perempuan selalu berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Ia meninggalkan rumah dan berganti marga/suku mengikuti suaminya bila menikah. Tafsiran ini membatasi perempuan dalam sejumlah hal, antara lain perempuan tidak mendapat warisan dan keistimewaan tertentu sebagaimana yang dimiliki anak laki-laki. Bila seorang anak perempuan berniat sekolah ke jenjang yang lebih tinggi ia disindir Ho ina mana lali ai (engkau perempuan akan jadi milik orang lain) sehingga engkau (perempuan) tidak boleh bersekolah. Banyak orang tua merasa rugi bila anak perempuannya berhasil, karena dikemudian hari mereka justru berpindah marga karena menikah. Ungkapan ina mana lali ai yang semestinya merujuk kepada perjuangan dan pengorbanan kaum perempuan untuk kesejahteraan justru menjadi belenggu yang merantai hak-hak mereka menggapai kualitas-kualitas hidup yang sejajar dengan laki-laki. 6
Berdasarkan latar belakang di atas, penyusun tertarik untuk mengangkat judul: INA MANA LALI AI (Studi Jender Terhadap Ungkapan Makna Ina Mana Lali Ai yang Menyebabkan Ketidakadilan Terhadap Perempuan Rote di Dengka, Kec. Rote Barat Laut Kab. Rote Ndao) 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang hendak dikemukakan adalah sabagai berikut: 1. Apa makna Ina Mana Lali Ai yang dipahami oleh masyarakat Rote Dengka? 2. Apa akibat dari ungkapan Ina Mana Lali Ai terhadap Posisi Sosial perempuan dalam masyarakat Rote Dengka? 1.3 Tujuan Penulisan Penulisan ini bertujuan untuk: 1. Mendeskripsikan makna Ina Mana Lali Ai yang dipahami oleh masyarakat Rote Dengka. 2. Mendeskripsikan akibat dari ungkapan Ina Mana Lali Ai terhadap posisi sosial perempuan dalam masyarakat Rote Dengka. 1.4 Batasan Masalah Dalam tulisan ini, penulis memfokuskan penelitian pada apa makna sebenarnya dari ungkapan Ina Mana Lali Ai dan dampaknya terhadap posisi sosial perempuan dalam masyarakat Rote. 7
1.5 Signifikansi 1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan wacana ilmiah khususnya yang berkaitan dengan teori-teori jender yang berkembang dalam masyarakat. 2. Secara praktis, memberikan kontribusi bagi masyarakat Rote tentang pentingnya peran dan kedudukan perempuan dalam masyarakat. 1.6 Metode Penelitian 1. Metode Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif. 8 Metode deskriptif adalah metode yang digunakan untuk meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran atau suatu kelas peristiwa. Pendekatan penelitian kualitatif sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan subjek-objek saat sekarang, berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. 9 Menurut Bogdan dan Taylor sebagaimana yang dikutip oleh Maleong, metode kualitatif adalah sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. 10 8 Sanapiah Faisal, Format-format Penelitian Sosial, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1989), 20. 9 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Jokjakarta: Gajah Mada University Press, 1983), 63. 10 Lexi Maleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1989), 3. 8
2. Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Rote Ndao, khususnya di Dengka, Kec. Rote Barat Daya. Karena daerah ini merupakan tempat di mana mitos Ina Mana Lali Ai ini berasal. 3. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data-data yang diperlukan dalam penelitian, maka peneliti melakukan penelitian dengan dua cara yaitu wawancara, untuk mempermudah pengumpulan data dengan menggunakan tape recorder dan catatan. Wawancara akan diberikan kepada beberapa informan kunci yaitu kepada kepala suku, tokoh-tokoh adat dan beberapa tokoh perempuan Rote. Wawancara ini tidak bersifat terstruktur, seperti percakapan biasa tapi terarah. Studi Kepustakaan, teknik ini digunakan untuk mengumpulkan bahan atau data dari berbagai buku dan dokumen lainnya yang bermanfaat untuk menyusun landasan teoritis sebagai tolak ukur dalam menganalisa data penelitian lapangan yang berguna menjawab persoalan pada rumusan masalah penelitian. 1.7 Garis Besar Susunan Penulisan Secara garis besar, penelitian ini akan disusun ke dalam lima bab dengan sistematikanya sebagai berikut: Pada bab I, akan dipaparkan tentang latar belakang, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Sementara pada Bab II akan membahas mengenai teori Mitos dan teori Jender 9
Pada Bab III penulis akan memaparkan mengenai hasil penelitian Pada Bab IV penulis akan memaparkan mengenai analisa atau pembahasan hasil penelitian. Pada Bab V penulis akan memaparkan mengenai kesimpulan dan saran-saran. 10