BAB IV RESEPSI MASYARAKAT DESA ASEMDOYONG TERHADAP TRADISI BARITAN. Secara definitif resepsi sastra berasal dari kata recipere (Latin), reception

dokumen-dokumen yang mirip
BENTUK DAN NILAI PENDIDIKAN DALAM TRADISI GUYUBAN BAGI KEHIDUPAN MASYARAKAT DESA PASIR AYAH KEBUMEN

BAB I PENDAHULUAN. Sastra merupakan suatu bagian dari kebudayaan. Bila kita mengkaji kebudayaan

CERITA RAKYAT GUNUNG SRANDIL DI DESA GLEMPANG PASIR KECAMATAN ADIPALA KABUPATEN CILACAP (TINJAUAN FOLKLOR)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia adalah makhluk budaya mengandung pengertian bahwa

Pada bab ini dipaparkan (1) latar belakang penelitian (2) rumusan penelitian (3) tujuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, adat istiadat dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENELITIAN YANG RELEVAN. Kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, ialah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak kebudayaan. 1 Kebudayaan

BAB 7. Standar Kompetensi. Memahami kesamaan dan keberagaman Bahasa dan Dialek. Kompetensi Dasar. Tujuan Pembelajaran

JURNAL SKRIPSI. MAKNA RITUAL DALAM PEMENTASAN SENI TRADISI REOG PONOROGO (Studi Kasus di Desa Wagir Lor, Kecamatan Ngebel, Kabupaten Ponorogo)

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. manusia serta segala masalah kehidupan tidak dapat dipisah-pisah untuk

Dampak Perubahan Sosial Budaya

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian tradisional pada Masyarakat Banten memiliki berbagai

BAB I PENDAHULUAN. dikenal masyarakat luas sampai saat ini adalah prosa rakyat. Cerita prosa rakyat

GEOGRAFI BUDAYA Materi : 7

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang sangat kompleks. Didalamnya berisi struktur-struktur yang

BAB I PENDAHULUAN. yang unik pula. Selain itu, di setiap daerah tersebut memiliki suatu cerita atau

NILAI-NILAI SOSIAL DAN BUDAYA DALAM MITOS KIAI KALADETE TENTANG ANAK BERAMBUT GEMBEL DI DATARAN TINGGI DIENG KABUPATEN WONOSOBO SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebudayaan merupakan corak kehidupan di dalam masyarakat yang

BAB IV ANALISIS NILAI-NILAI KEAGAMAAN DALAM UPACARA SEDEKAH BUMI. A. Analisis Pelaksanaan Upacara Sedekah Bumi

PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP UPACARA MERTI DESA DI DESA CANGKREP LOR KECAMATAN PURWOREJO KABUPATEN PURWOREJO

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu kebanggaan nasional (national pride) bangsa Indonesia adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bangsa ada di dalamnya dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda.

BAB I PENDAHULUAN. Papua seperti seekor burung raksasa, Kabupaten Teluk Wondama ini terletak di

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Moses, 2014 Keraton Ismahayana Landak Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahkluk sosial yang berbudaya mempunyai peran

BAB I PENDAHULUAN. dari kata majemuk bahasa Inggris folklore, yang terdiri atas kata folk dan lore.

BAB I PENDAHULUAN. dan seloka. Sedangkan novel, cerpen, puisi, dan drama adalah termasuk jenis sastra

2015 EKSISTENSI KESENIAN HADRO DI KECAMATAN BUNGBULANG KABUPATEN GARUT

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki kekayaan budaya dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia, mitos dan ritual saling berkaitan. Penghadiran kembali pengalaman

BAB I PENDAHULUAN. Metode keilmuan adalah suatu cara dalam memperoleh pengetahuan yang berupa

2015 KESENIAN MACAPAT GRUP BUD I UTOMO PAD A ACARA SYUKURAN KELAHIRAN BAYI D I KUJANGSARI KOTA BANJAR

ANALISIS NILAI BUDAYA BABAD BANYUURIP DAN RELEVANSINYA SEBAGAI BAHAN PEMBELAJARAN SASTRA DI KELAS X SMA

BAB I PENDAHULUAN. anggota masyarakat yang berkembang sesuai dengan lingkungannya. Karya

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu

BAB I PENDAHULUAN. karya sastra. Karya sastra merupakan hasil ide atau pemikiran dari anggota

BAB I PENDAHULUAN. cerdas, sehat, disiplin, dan betanggung jawab, berketrampilan serta. menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi misi dan visi

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya keanekaragaman seni dan budaya.

BAB II URAIAN TEORITIS KEPARIWISATAAN. suci. Ritual menciptakan dan memelihara mitos, adat, sosial, dan agama, ritual

BAB I PENDAHULUAN. objeknya manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut

Masyarakat dan Kebudayaan Indonesia Masyarakat : ( - مشاركة -(شارك kaum/komunitas Budaya : Pola pikir/tradisi/kebiasaan Kebudayaan : Wujud material

Please purchase PDFcamp Printer on to remove this watermark.

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan yang biasanya dilakukan setiap tanggal 6 April (Hari Nelayan)

KEBUDAYAAN & MASYARAKAT

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat pesisir pantai barat. Wilayah budaya pantai barat Sumatera, adalah

BAB II URAIAN TEORITIS TENTANG KEPARIWISATAAN KEBUDAYAAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sastra lisan merupakan bagian dari kebudayaan yang tumbuh dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENGANTAR Latar Belakang Masalah. kekayaan budaya yang amat sangat melimpah. Budaya warisan leluhur merupakan

BAB I PENDAHULUAN. rumah adat yang menjadi simbol budaya daerah, tetapi juga tradisi lisan menjadi

PENYELENGGARAAN PENGELOLAAN PENGETAHUAN TRADISIONAL & EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL. Dra. Dewi Indrawati MA 1

BAB 2 RESENSI DAN RESEPSI SASTRA

BAB 1 PENDAHULUAN. Meskipun bangsa Indonesia sudah memiliki tradisi tulis, tidak dapat disangkal

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA PASCA KONFLIK LAHAN ANTARA WARGA DENGAN TNI DI DESA SETROJENAR KECAMATAN BULUSPESANTREN KABUPATEN KEBUMEN RINGKASAN SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. batas formal namun semua itu tidak begitu subtansial. Mitos tidak jauh dengan

BAB I PENDAHULUAN. kearifan nenek moyang yang menciptakan folklor (cerita rakyat, puisi rakyat, dll.)

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Kebudayaan Indonesia sangat beragam. Pengaruh-pengaruh

BAB II DESKRIPSI TEORETIS DAN FOKUS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. buddayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering membicarakan kebudayaan. Budaya

BAB I PENDAHULUAN. setiap etnis menebar diseluruh pelosok Negeri. Masing masing etnis tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian ronggeng gunung merupakan kesenian tradisional masyarakat

BAB 1 PENDAHULUAN. Kondisi negara Indonesia akhir-akhir ini sangat mengkhawatirkan.

BAB I PENDAHULUAN. memiliki adat istiadat (kebiasaan hidup) dan kebudayaan masing-masing,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. setiap masyarakat,karena di dalam karya sastra terdapat kemungkinan realita yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Neneng Yessi Milniasari, 2013

BAB I PENDAHULUAN. sekarang ini sedang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia. Selain bertujuan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pepatah Jawa dinyatakan bahwa budaya iku dadi kaca benggalaning

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. sebagai fakta sosial, manusia sebagai makhluk kultural (Ratna, 2005:14). Dalam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kesatuan yang dibangun di atas keheterogenan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I.PENDAHULUAN. kebiasaan-kebiasaan tersebut adalah berupa folklor yang hidup dalam masyarakat.

CERITA RAKYAT DEWI SRITANJUNG SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS NILAI KEARIFAN LOKAL

BAB 1 PENDAHULUAN. diwariskan secara turun temurun di kalangan masyarakat pendukungnya secara

03FDSK. Folklore. Denta Mandra Pradipta Budiastomo, S.Ds, M.Si.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dan lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosialbudaya,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk hidup dalam melangsungkan kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Atik Rahmaniyar, 2015

BAB I PENDAHULUAN. beraneka ragam. Begitupun negara Indonesia. Dengan banyak pulau dan suku

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Hasil penelitian mengenai perubahan fungsi seni beluk pada masyarakat

BAB V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI PENELITIAN. permasalahan yang telah dirumuskan pada bagian terdahulu. Berdasarkan hasil analisis

BAB I PENDAHULUAN. keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan strukturstruktur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

88 BAB IV RESEPSI MASYARAKAT DESA ASEMDOYONG TERHADAP TRADISI BARITAN A. Analisis Resepsi 1. Pengertian Resepsi Secara definitif resepsi sastra berasal dari kata recipere (Latin), reception (Inggris), yang diartikan sebagai penerimaan atau penyambutan pembaca. Dalam arti luas resepsi didefinisikan sebagai pengolahan teks, cara-cara pemberian makna terhadap karya, sehingga dapat memberikan respon terhadapnya. Respon yang dimaksudkan tidak dilakukan karya dengan seorang pembaca, melainkan pembaca sebagai proses sejarah, pembaca dalam periode tertentu (Ratna, 2004: 165). Konsep dasar resepsi sastra secara singkat dapat disebut sebagai aliran yang meneliti teks sastra dengan bertitik tolak pada pembaca yang memberi reaksi atau tanggapan terhadap teks itu. Pembaca selaku pemberi makna adalah variabel menurut ruang, waktu dan golongan sosial budaya. Hal ini berarti bahwa karya sastra tidak sama pembacaan, pemahaman, dan penilaiannya sepanjang masa atau dalam seluruh golongan masyarakat tertentu. Menurut Jauss, apresiasi pembaca pertama terhadap sebuah karya sastra akan dilanjutkan dan diperkaya melalui tanggapan-tanggapan yang lebih lanjut dari generasi ke generasi (Jauss, 1982:12-13).

89 Suatu teks atau karya sastra akan bermakna apabila karya sastra atau teks tersebut sudah berhubungan dengan pembaca. Teks memerlukan adanya kesan yang tidak mungkin ada tanpa adanya pembaca (Junus, 1985:104). Karya sastra (lisan maupun tulisan) bersifat dinamis. Karya sastra akan bermakna tergantung pembaca atau penerimanya. Junus menyebutkan (1985: 35) bahwa karya sastra baru mempunyai makna bila ia telah hidup dalam diri pembacanya. Pada penelitian ini objek analisis adalah deskripsi cerita TB (folklor). Terdepat variasi cerita TB pada masyarakat Asemdoyong. Masyarakat berusaha memahami cerita TB. Dalam kaitannya dengan cerita TB di Asemdoyong, Pemalang. Teori resepsi sastra ini dikategorikan pada kemampuan penerimaan yang mencakup kemampuan menerima, memahami dan menceritakan kembali cerita dan prosesi TB. Teori resepsi sastra 76 tersebut di atas, dapat diterapkan pada cerita lisan (folklore), dalam hal ini cerita TB Asemdoyong, Pemalang. Folklore TB di Asemdoyong Pemalang tersebut termasuk sebuah karya sastra karena memiliki ciri-ciri sastra lisan, di antaranya sastra lisan masih bersifat tradisional, milik kolektif suatu masyarakat, penyampaian sastra lisan diturunkan dari mulut ke mulut secara turun temurun dan diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. 76 Resepsi sastra tampil sebagai sebuah teori dominan sejak tahun 1970-an, dengan pertimbangan: a) sebagai jalan ke luar untuk mengatasi strukturalisme yang dianggap hanya memberikan perhatian terhadap unsur-unsur, b) timbulnya kesadaran untuk membangkitkan kembali nilai-nilai kemanusiaan dalam rangka kesadaran humanism universal, c)kesadaran bahwa nilai-nilai karya sastra dapat dikembangkan hanya melalui kompetensi pembaca, d) kesadaran bahwa keabadian nilai karya seni disebabkan oleh pemabaca, e) kesadaran bahwa makna terkandung dalam hubungan ambiguitas antara karya sastra dengan pembaca (Ratna, 2011: 165-166).

90 2. Resepsi Masyarakat Asemdoyong terhadap TB di Asemdoyong, Pemalang. Resepsi masyarakat Asemdoyong terhadap cerita dan makna TB secara umum tahu. Tetapi, secara khusus pemahaman terhadap makna TB terbagi ke dalam dua kategori. Pertama kategori masyarakat perhatian (percaya) yaitu masyarakat dengan kriteria mengerti, memahami, dan menguasai cerita. Kedua, masyarakat yang tidak perhatian (tidak percaya) yaitu masyarakat dengan kriteria tidak memahami dan tidak menguasai cerita. Responden 77 dalam penelitian ini berjumlah 30 orang yang diambil berdasarkan sampling tujuan (purposive sampling). 78 Berdasarkan data hasil penelitian, maka resepsi masyarakat Asemdoyong terhadap makna TB adalah sebagai berikut, berdasarkan hasil wawancara tak berstruktur dan kuesioner 79 yang yang disebar kepada 30 responden, usia 12 tahun - 25 tahun, 5 dari 10 responden (50%) atau 5 dari total 30 narasumber (16,67%) menyatakan tahu tetapi tidak percaya terhadap makna simbolik TB karena masyarakat dengan kategori usia tersebut hanya sekadar sambil lalu mengikuti prosesi TB. Mereka tidak tahu secara mendalam cerita, prosesi TB, dan makna simbolik sesaji TB. 77 Responden adalah individu yang diwawancarai untuk mendapatkan keterangan tentang diri pribadi, pendidirian atau pandangan dari individu yang diwawancara. Sedangkan informan adalah individu yang diwawancarai untuk mendapatkan keterangan dan data dari individu-individu tertentu untuk keperluan informasi (Koentjaraningrat, 1977: 163). 78 Sampling bertujuan atau purposive sampling adalah metode sampling dengan tujuan tertentu, untuk mendeskripsikan gejala sosial atau masalah sosial tertentu (Koentjaraningrat, 1977: 115). Dalam hal ini responden dipilih berdasarkan aspek pengetahuan, usia dan latar belakang. 79 Kuesioner adalah sutau daftar yang berisikan suatu rangkaian pertanyaan mengenai suatu hal atau dalam suatu bidang. Kuesioner dimaksudkan sebagai suatu daftar pertanyaan untuk memperoleh data berupa jawaban-jawaban dari para responden {orang-orang yang menjawab} (Koentjaraningrat, 1977: 215).

91 Usia 25 tahun - 45 tahun, 7 dari 10 responden (70%) atau 7 dari total 30 responden (23,33%) menyatakan tahu dan percaya karena mereka sudah relatif lama mengikuti TB dan mengerti cerita, prosesi serta makna simbolik TB. Usia 45 tahun ke atas, 10 dari 10 responden (100%) atau 10 dari total 30 responden (33,33%) menyatakan tahu, percaya, dan perhatian terhadap TB, karena selain mereka sudah aktif bertahun-tahun melaksanakan TB, mereka juga punya pengetahuan yang cukup untuk memaknai simbol-simbol TB. Tabel 5. Prosentase pengetahuan TB. Apakah Anda tahu cerita, prosesi, dan makna simbolik tradisi baritan di Asemdoyong Pemalang? Masyarakat dengan pendidikan formal yang rendah (SD-SMP) tetapi mempunyai pendidikan nonformal tinggi (Ponpes), 22 dari 30 responden (73,33%) tahu cerita, prosesi dan percaya terhadap makna simbolik TB, karena pola pikir mereka cenderung masih tradisional. Artinya, mereka masih meyakini unsur-unsur gaib atau supranatural yang tercermin pada simbol-simbol sesaji TB dan pola pikir mereka cenderung menerima secara mentah-mentah tanpa hal kritis

92 terkait TB. Sedangkan masyarakat dengan tingkat pendidikan formal tinggi (SMA-Perguruan Tinggi) tetapi pendidikan nonformal rendah, 8 dari 30 orang (26,66%) mempunyai tanggapan yang tidak percaya terhadap makna simbolik TB, karena pola pikir mereka sudah rasional. Artinya, mereka berpikir segala sesuatu harus berdasarkan rasio atau akal, hal-hal terkait makna dibalik sesaji TB tidak bisa diterima secara mentah-mentah tanpa didasarkan pada logika berpikir rasional. Tabel 6. Prosentase kepercayaan narasumber terhadap TB. Apakah Anda percaya terhadap makna simbolik tradisi baritan di Asemdoyong Pemalang? Dari 30 responden sebanyak 17 dari 17 responden (100%) penduduk asli 80 Asemdoyong, atau 17 dari 30 narasumber (56,66%) menyatakan percaya dan perhatian terhadap TB. 80 Penduduk yang sudah menetap lebih dari 25 tahun.

93 Mereka adalah orang-orang yang perhatian dan melestarikan tradisi baritan sebagai warisan leluhur. Mereka belum terpengaruh oleh budaya luar yang cenderung modernis, mengabaikan tradisi budaya warisan leluhur. Sedangkan masyarakat yang telah terkontaminasi atau terpengaruh budaya luar, sebanyak 13 dari 13 responden (100%) atau 13 dari 30 responden (43,33%) menyatakan tidak percaya 81 terhadap makna simbolik TB. Mereka adalah masyarakat pendatang yang mengikuti TB hanya sekadar meramaikan ritual tahunan. Tabel 7. Prosentase kepercayaan narasumber terhadap TB Apakah Anda percaya terhadap makna simbolik tradisi baritan di Asemdoyong Pemalang? 81 Kepercayaan didasarkan pada unsur-unsur gaib dalam hal ini pada makna simbolik sesaji. Misalnya, simbol kepala kerbau bermakna sebagai simbol kemakmuran dan membuat lelembut atau penguasa laut tidak akan marah, sehingga para nelayan mendapat hasil melimpah dan tidak kena musibah. Masyarakat Asemdoyong mengasosiasikan kepala kerbau sebagai makanan ikan di laut, ketika kepala kerbau disajikan/dilarungkan, ikan-ikan akan memakan daging kepala kerbau sehingga ikan-ikan akan berkembang biak lebih banyak dan nantinya akan ikan tersebut bisa dinikmati masyarakat (nelayan). Ketika nelayanmendapat hasil tangkapan ikan melimpah, maka hidupnya akan semakin makmur. Inilah yang dimaksud simbol kemakmuran. Selain itu, ada pemilik ikan dalam hal ini penguasa laut. Jika ikan di laut diberi makan dengan baik, maka pemilik ikan tersebut akan rela sehingga penguasa laut tidak akan menggangu yang menangkap ikan tersebut. Oleh sebab itu, nelayan tidak diganggu oleh penguasa laut atau terkena musibah saat melaut. Masyarakat pendatang tidak percaya bahkan cenderung tidak tahu makna-makna dibalik simbol-simbol sesaji tersebut.

94 Pembahasan resepsi masyarakat Asemdoyong berikutnya menitikberatkan pada masyarakat kategori pertama. Masih terdapat keragaman resepsi masyarakat yang perhatian kepada makna simbolik TB, sehingga perlu penggolongan/pengklasifikasian. Keragaman resepsi tersebut didasarkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor usia, pendidikan, dan budaya. Pengklasifikasian tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Usia Usia merupakan salah satu faktor utama untuk mengetahui resepsi masyarakat terhadap makna TB. Hal tersebut disebabkan rentan waktu peristiwa masa lampau yang hanya dialami oleh orang (baca:masyarakat) tua. Semakin tua masyarakat, diindikasikan semakin banyak pengetahuan akan suatu peristiwa yang dilaluinya masa lampau, sehingga mereka mampu merekam atau menceritakan kembali peristiwa-peristiwa sejarah masa lampau. Dalam hal ini cerita TB. Sesuai dengan pemikiran Jauss bahwa cerita dalam hal ini cerita lisan, sebuah pemahaman cerita harus didukung oleh penerimaan dari generasi ke generasi. Jauss menyebutkan dalam hal itu dengan sebutan resepsi historis (Jauss, 19982: 22). Penurunan cerita TB dan makna-makna simboliknya hanya terjadi saat TB berlangsung. Hal ini berimplikasi pada kurangnya pemahaman orangorang muda terhadap makna simbolik TB. Masyarakat dengan usia muda (26 tahun ke bawah) cenderung tidak mengetahui cerita dan tidak percaya makna simbolik TB dengan baik.

95 Sebaliknya masyarakat dengan usia 45 tahun ke atas memahami, mempercayai dan perhatian terhadap makna TB. Selain karena kemapanan dalam berpikir dan perhatian pada TB, belum terpengaruh budaya luar pun menjadi faktor masyarakat usia 45 tahun ke atas percaya pada makna-makna dibalik TB. b. Pendidikan Pendidikan 82 menjadi pokok dasar untuk memahami makna simbolik TB. Pendidikan dalam hal ini meliputi pendidikan formal (SD-PT/Perguruan Tinggi) dan pendidikan non-formal (Ponpes atau pendidikan agama). Masyarakat dengan tingkat pendidikan formal tinggi (SMA-PT), tetapi tingkat pendidikan nonformal rendah meresepsi makna simbolik TB hanya sekadar ritual rutin tahunan saja tanpa ada makna-makna dibalik TB. Hal ini disebabkan pola pikir mereka cenderung rasional, tidak tradisional lagi. Pengetahuan yang ada pada lingkungan sekitar, tidak mereka terima secara mentah-mentah, mereka sudah berpikir kritis dan logis. Sedangkan masyarakat dengan tingkat pendidikan nonformal tinggi, cenderung lebih mempercayai makna-makna simbolik TB. Misalnya yang berhubungan dengan hal gaib. Makna simbolik TB salah satunya adalah wayang. wayang bermakna untuk menghibur penguasa laut. 83 82 Dalam perspektif budaya pendidikan merupakan wahana penting dan medium yang efektif untuk mengajarkan norma, mensosialisasikan nilai, dan menanamkan etos kerja di kalangan masyarakat. Pendidikan juga dapat menjadi instrumen untuk memupuk kepribadian bangsa, memperkuat identitas nasional, dan memantapkan jati diri bangsa.(suryadi dalam Pengembangan Ilmu Pendidikan, 2007: 3). 83 Lakon dalam pertunjukan wayang TB adalah Arjuna. Dipilih lakon Arjuna salah satunya karena keyakinan masyarakat bahwa personifikasi penguasa laut dalam hal ini Dewi Lanjar, suka dengan lelaki yang gagah dan tampan. Arjuna adalah sosok yang gagah dan tampan. Lakon Arjuna menjadi persembahan untuk penguasa laut.

96 Jika penguasa laut sudah terhibur, sebagian masyarakat (baca:nelayan) Asemdoyong berkeyakinan tidak terjadi musibah atau hal-hal yang tidak diinginkan saat mencari ikan di laut. Hal itu disebabkan penguasa sudah diberi sesaji hiburan sehingga tidak akan marah. Masyarakat kategori ini masih berpola pikir tradisional, tidak semata-mata mengedepankan rasional. Pengetahuan yang ada di sekitar mereka cenderung diterima secara mentah-mentah tanpa berpikir kritis dan logis. Mereka meyakini simbol-simbol yang ada dalam TB merupakan wujud masyarakat zaman dulu. c. Budaya Menurut Koentjaraningrat (1979: 181) kebudayaan 84 adalah keseluruhan sistem, gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dengan cara belajar. Kebudayaan 85 suatu masyarakat akan berpengaruh pada kemampuan sesorang dalam menerima dan memberi tanggapan terhadap makna simbolik TB. 84 Menurut Koentjaraningrat kata kebudayaan berasal dari kata Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari budi atau akal. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan: hal-hal yang bersangkutan dengan akal. sedangkan kata budaya merupakan perkembangan majemuk dari budi daya yang berarti daya dari budi yang berupa cipta, rasa, karsa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa itu (Koentjaraningrat, 1979: 181). Sedangkan menurut Mujianto, budaya secara harfiah berasal dari bahasa Latin yaitu colere yang memilki arti mengerjakan tanah, mengolah, memelihara ladang (Poespwowardojo dalam Mujianto: 1). Menurut The American Herritage Dictionary mengartikan kebudayaan adalah sebagai suatu keseluruhan dari pola perilaku yang dikirimkan melalui kehidupan sosial, seni, agama, kelembagaan, dan semua hasil kerja dan pemikiran manusia dari suatu kelompok manusia (Mujianto dkk, 2010: 1). 85 Unsur-unsur kebudayaan menurut konsep B. Malinowski kebudayaan di dunia memliki tujuh unsur universal, yaitu bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, kesenian (Soelaeman, 2001: 23).

97 Masyarakat Asemdoyong yang sarat dengan budayanya sendiri dan cenderung belum terpengaruh budaya dari luar, cenderung lebih mempercayai makna-makna dibalik TB yang secara umum bisa dimaknai sebagai ritual persembahan terhadap penguasa laut. Sebaliknya, masyarakat Asemdoyong yang cenderung lebih kuat atau terpengaruh budaya dari luar, dalam hal ini masyarakat pendatang tidak mempercayai bahkan mengetahu makna-makna dibalik TB. Masyarakat yang peduli atau perhatian terhadap TB masuk dalam kategori pertama karena masyarakat tersebut sampai sekarang masih melestarikan eksistensi TB. Hal ini dapat dijelaskan dalam tabel di balik ini:

98 Tabel 8. Resepsi masyarakat Asemdoyong terhadap cerita, prosesi dan makna Simbolik TB. No. Faktor-faktor yang mempengaruhi resepsi masyarakat Asemdoyong terhadap TB Resepsi masyarakat Asemdoyong terhadap TB 1. Usia 12-25 tahun Tidak percaya, karena mereka tidak memahami makna simbolik TB dan hanya sekadar ikut memeriahkan TB. 26-45 tahun Percaya, karena mereka sudah memahami makna simbolik TB. 45 tahun ke atas Percaya dan yakin (peduli), karena mereka TB merupakan warisan budaya adiluhung yang diwariskan secara turun-temurun yang perlu dilestarikan dan diambil nilai-nilai positifnya. 2. Pendidikan Formal (SD, SMP, SMA, dan PT) Masyarakat Asemdoyong dengan tingkat pendidikan formal tinggi tidak percaya terhadap makna simbolik TB, karena pola pikir mereka sudah rasional (modern) dan mengedepankan logika atau akal. Nonformal (Madrasah, Pondok Pesantren, dan Kursus) Masyarakat Asemdoyong dengan tingkat pendidikan formal rendah percaya terhadap makna simbolik TB karena pola pikir mereka

99 cenderung masih tradisonal, intuitif, dan tidak mengedepankan rasional. Masyarakat Asemdoyong dengan tingkat pendidikan non formal tinggi percaya terhadap makna simbolik TB, karena mereka percaya dan meyakini unsur-unsur di luar logika yang bersifat gaib bahkan sakral. Masyarakat dengan tingkat pendidikan non formal rendah tidak percaya terhadap makna simbolik TB, karena tingkat pengetahuan mereka terhadap sesuatu yang gaib atau di luar logika masih rendah. 3. Budaya Penduduk asli Asemdoyong Penduduk Pendatang Percaya, karena mereka memahami dan masih melestarikan serta memercayai simbol-simbol TB. Tidak percaya, kurang memahami, karena mereka sudah berpikir rasional (modern) dan sudah terpengaruh budaya luar. Sumber : Data hasil penelitian pada bulan Desember-Maret 2010-2012.

100 3. Fungsi Tradisi Baritan bagi masyarakat Asemdoyong Pemalang Berikut ini adalah fungsi TB bagi masyarakat Asemdoyong Pemalang. Pertama, fungsi persatuan dan kesatuan. Dalam TB nilai persatuan dan persatuan tercermin pada interaksi sosial dari semua kalangan. Baik pejabat, tokoh masyarakat, kyai, maupun rakyat biasa, semua berkumpul menjadi satu dalam melaksanakan TB. Tidak ada pembatas status (prestis) sosial di antara mereka dalam TB. Nilai persatuan dan kesatuan inilah yang menjadi faktor eksistensi TB masih lestari hingga kini. Tanpa ada sifat persatuan dan kesatuan antar masyarakat, TB tidak mungkin ada dan tidak diselenggarakan rutin setiap tahun. Hal ini disebabkan bahwa TB merupakan tradisi kolektif atau komunal. Fungsi kedua adalah ajaran untuk selalu bersyukur. TB merupakan wujud rasa syukur para nelayan Asemdoyong kepada Tuhan dan ungkapan terima kasih secara simbolik kepada penguasa laut yang mengizinkan daerahnya (laut) dijadikan sarana mencari rezeki (ikan). Berkat hail itu, maka dicapainya berupa limpahan hasil tangkap ikan di laut. Masyarakat atau para nelayan Asemdoyong meyakini dengan bersyukur maka rezeki akan selalu bertambah. Hal ini sesuai dengan intisari dari ritual TB yaitu sebagai acara slametan atau syukuran para nelayan yang ditujukan kepada penguasa laut yang oleh sebagian masyarakat TB dipercaya bisa mendatangkan barokah dan menolak bala. Hal demikian pun sesuai dengan ajaran Islam yang menyatakan bahwa siapa saja yang bersyukur maka nikmatnya akan ditambah. Fungsi yang ketiga adalah sarana silaturahmi masyarakat Asemdoyong. TB oleh masyarakat Asemdoyong dijadikan sarana untuk memperbaiki hubungan

101 sosial sesama masyarakat Asemdoyong dan menjalin silaturahmi dengan masyarakat dari luar. Dalam TB semua kalangan berkumpul dan menjaga hubungan sosial mereka dengan baik. Fungsi-fungsi dari TB tersebut identik dengan ajaran Islam hal ini dikarenakan 99.9 % (14.900 dari 14.906) masyarakat Asemdoyong adalah pemeluk agama Islam. TB merupakan cerminan kebudayaan masyarakat Asemdoyong, karena terdapat kesesuaian antara tradisi yang mereka lakukan dengan latar kehidupan mereka yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Kesesuaian tersebut berpengaruh pada resepsi masyarakat Asemdoyong terhadap TB yang cukup tinggi. Hal ini dibuktikan dari hasil wawancara tak berstruktur dan kuesioner terhadap 30 responden yang dipilih berdasarkan sampling bertujuan sebanyak 22 dari 30 narasumber (73.33%) menyatakan tahu terhadap cerita TB dan prosesi TB. Masyarakat Asemdoyong mempercayai dan meyakini bahwa simbol-simbol TB merupakan wujud harapan dan cerminan kebudayaan masyarakat. Di antara harapan dan wujud kebudayaan masyarakat Asemdoyong yakni, silaturahmi antar masyarakat. Secara umum masyarakat Asemdoyong tahu cerita, prosesi dan makna TB dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Masyarakat Asemdoyong Pemalang menganggap bahwa TB harus selalu dijaga eksistensinya. Karena TB identitas budaya masyarakat Asemdoyong yang sudah berlangsung sejak lama dan terus-menerus diperingati atau dilaksanakan.