6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 MERUBAH SAMPAH PLASTIK MENJADI BAHAN BAKAR MINYAK Merubah sampah plastik menjadi bahan bakar minyak termasuk daur ulang tersier dapat dilakukan dengan proses cracking (perekahan). Cracking adalah proses memecah rantai polimer menjadi senyawa dengan berat molekul yang lebih rendah. Hasil dari proses cracking plastik ini dapat digunakan sebagai bahan kimia atau bahan bakar. Ada tiga macam proses cracking yaitu hydro cracking, thermal cracking dan catalytic cracking (Panda, 2011). 2.1.1 Hydro Cracking Hydro cracking adalah proses cracking dengan mereaksikan plastik dengan hidrogen di dalam wadah tertutup yang dilengkapi dengan pengaduk pada temperatur antara 423 673 K dan tekanan hidrogen 3 10 MPa. Dalam proses hydro cracking ini dibantu dengan katalis. Untuk membantu pencapuran dan reaksi biasanya digunakan bahan pelarut 1-methyl naphtalene, tetralin dan decalin. Beberapa katalis yang sudah diteliti antara lain alumina, amorphous silica alumina, zeolite dan sulphate zirconia (Surono, 2013). 2.1.2 Thermal Cracking Thermal cracking adalah termasuk proses pirolisis, yaitu dengan cara memanaskan bahan polimer tanpa oksigen. Proses ini biasanya dilakukan pada temperatur antara 350 C sampai 900 C. Dari proses ini akan dihasilkan arang, minyak dari kondensasi
7 gas seperti parafin, isoparafin, olefin, naphthene dan aromatik, serta gas yang memang tidak bisa terkondensasi (Surono, 2013). Penelitian dengan jenis plastik yang lain dilakukan oleh Tubnonghee et al. Pada tahun 2010. Plastik yang diteliti untuk dijadikan bahan bakar minyak adalah jenis polyethylene (PE) dan polyprophelene (PP). Pembuatan bahan bakar minyak dari plastik menggunakan proses thermo cracking (pyrolisis). Pyrolisis dilakukan pada temperatur 450 C selama 2 jam. Gas yang terbentuk selanjutnya dikondensasi- kan menjadi minyak di dalam kondenser yang bertemperatur 21 C. Minyak yang dihasilkan selanjutnya dianalisa dengan gas chromatography/mass spectrometry untuk mengetahui distribusi jumlah atom karbonnya. Dari hasil analisa tersebut diketahui bahwa komposisi minyak dari campuran plastik PE dan PP tersebut mempunyai jumlah atom karbon yang setara dengan solar, yaitu C12 C17. 2.1.3 Catalytic Cracking Cracking cara ini menggunakan katalis untuk melakukan reaksi perekahan. Dengan adanya katalis, dapat mengurangi temperatur dan waktu reaksi (Surono, 2013). Agus Sapriyanto (2011) telah melakukan pengujian terhadap mesin pengubah sampah plastik menjadi BBM. Proses pengujian dilakukan pada 1 kg sampah plastik dengan suhu pemanasan 530ºC. Jenis plastik yang dimasukkan ialah semua jenis plastik. Kemudian dalam waktu 2 jam sehingga menghasilkan bahan bakar cair sebanyak 300 ml. Berdasarkan hasil pengujian didapat nilai kalor bahan bakar tersebut sampah plastik sebesar 10.519 Cal/g atau 44.040,95 J/g, setara dengan nilai kalor premium yaitu 10.285 Cal/g atau 43061,24 J/g. Di tahun yang sama, Aprian et al (2011) juga meneliti minyak yang diperoleh dari proses pirolisis pengolahan sampah plastik. Penelitian ini menggunakan dua jenis plastik sebagai variabel tetap yaitu High Density Polyethylene (HDPE) dan Low Density Polyethylene (LDPE) dan menggunakan reaktor dengan diameter 20 cm dan tinggi 40 cm. Pirolisis dilangsungkan pada temperatur 250 C-420 ºC dan waktu reaksi selama 0-60 menit. Minyak yang dihasilkan pada proses pirolisis dapat dibandingkan dengan minyak tanah dan minyak ini merupakan sumber dari bahan kimia yang berharga misalnya
8 alkohol, asam organik, eter, keton, alipatik dan hidrokarbon aromatik. Dan gas yang dihasilkan berupa Cox, NOx, H2 dan Alkana (Damanhuri, 2009). 2.2 PIROLISIS Pirolisis atau devolatilisasi adalah proses fraksinasi material oleh suhu. Proses pirolisis dimulai pada temperatur sekitar 230 C, ketika komponen yang tidak stabil secara termal, dan volatil matters pada sampah akan pecah dan menguap bersamaan dengan komponen lainnya, Produk cair yang menguap mengandung tar dan polyaromatic hidrokarbon (Ramadhan dan Ali, 2003). Menurut kondisi operasinya, pirolisis dapat diklasifikasikan ke dalam tiga jenis kategori yaitu slow, fast dan flashpyrolisis (Jahirul et al., 2012). Tabel 2.1 Parameter operasi proses pirolisis Sumber: Jahirul et al, 2012 Proses pirolisis Waktu tinggal (s) Ukuran partikel (mm) Suhu (K) Slow 450-500 5-50 550-950 Fast 0,5-10 <1 850-1250 Flash <0,5 <0,2 1050-1300 Faktor-faktor yang mempengaruhi produk dalam proses pirolisis (Elykurniati, 2009) adalah: 1. Waktu: Waktu berpengaruh pada minyak yang akan dihasilkan karena,semakin lama waktu proses pirolisis berlangsung, minyak yang dihasilkannya makin naik. 2. Suhu: Suhu sangat mempengaruhi minyak yang dihasilkan, karena semakin tinggi suhu maka semakin banyak minyak yang dihasilkan. 3. Berat Partikel: Semakin banyak bahan yang dimasukkan menyebabkan hasil bahan bakar cair (tar) dan arang meningkat.
9 4. Ukuran Partikel: Ukuran partikel berpengaruh terhadap hasil. Makin besar ukuran partikel luas permukaan persatuan berat makin kecil sehingga proses karbonisasi berlangsung lambat. Encinar J. M., et al, (2009), telah meneliti tentang jerusalem artichoke pyrolysis:energetic evaluation. Mereka meneliti tentang pengaruh dari temperatur (400 C 800ºC), ukuran dari partikel (0,63-2,00 mm), laju nitrogen (75-300 ml min - 1 ), dan massa awal yang digunakan (2,5 10g). Peningkatan temperatur menyebabkan penurunan untuk hasil padatan dan minyak sedangkan hasil gas meningkat. Penurunan hasil minyak disebabkan karena reaksi minyak sekunder ketika temperatur semakin meningkat. Inilah juga yang menyebabkan hasil gas meningkat disebabkan juga karena reaksi minyak sekunder dari minyak. Dengan peningkatan temperatur mempengaruhi juga peningkatan jumlah karbon dan ash sedangkan jumlah volatil menurun. Ketika temperatur meningkat kandungan gas seperti H 2, CO, CH 2 juga meningkat dan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai hasil maksimum ini semakin sedikit. Pengaruh dari masa sample awal dan ukuran dari partikel adalah ketika ukuran dari partikel meningkat hasil dari padatan dan gas sedikit menurun dan sedikit peningkatan untuk hasil volatil. Hal ini disebabkan karena sedikit pengaruh dari proses penghantaran panasnya yang terjadi pada setiap partikelnya. Pengaruh dari masa awal dari proses pirolisis adalah konstan, artinya untuk parameter ini tidak begitu berpengaruh terhadap proses pirolisis. Pengaruh dari laju nitrogen yaitu peningkatan dari laju nitrogen menyebabkan penurunan jumlah minyak dan peningkatan jumlah gas, sedangkan hasil padatan sedikit menurun. Hal ini disebabkan karena pengaruh dari komponen-komponen yang dapat terkondensasi, seandainya waktu untuk terkondensasi semakin cepat (karena laju nitrogen semakin besar) maka hasil minyak yang diperoleh akan semakin sedikit. Nilai kalor tertinggi untuk hasil minyak diperoleh pada temperatur 400 C dan ini akan semakin menurun bersamaan dengan meningkatnya temperatur. Nilai kalor untuk hasil gas akan semakin meningkat bersamaan dengan meningkatnya temperatur sedangkan nilai kalor untuk padatan hampir konstan.
10 2.3 ZEOLIT Zeolit adalah mineral dengan struktur kristal alumina silikat yang berbentuk framework (struktur tiga dimensi)dan mempunyai rongga serta saluran yang diisi oleh kation logam alkali atau alkali tanah serta molekul air. Ion logam dan molekul air dapat digantikan oleh ion atau molekul lain secara reversible tanpa merusak struktur zeolit, sehingga zeolit dapat berfungsi sebagai adsorben, ion exchange dan katalis (Las, et al, 2012). Fungsi zeolit sebagai katalis disebabkan karena zeolit mempunyai pori. Semakin besar ukuran pori zeolit maka proses katalisasi akan semakin cepat. Jenis mineral zeolit yang sering ditemukan di indonesia adalah klinoptilolit dengan rumus Na 6 [Al 6 Si 30 O 72 ]24 H 2 O dan berwarna putih. Densitas 1,9942-2,1781 g/ml, volume pori total 86,26 x 10-3 dengan luas permukaan 38,93 m 2 (Las, 1989). 2.4 PLASTIK Plastik adalah salah satu jenis makromolekul yang dibentuk dengan proses polimerisasi. Polimerisasi adalah proses penggabungan beberapa molekul sederhana (monomer) melalui proses kimia menjadi molekul besar (makromolekul atau polimer). Plastik merupakan senyawa polimer yang unsur penyusun utamanya adalah Karbon dan Hidrogen (Kumar et al., 2011). Plastik dapat dikelompokkan menjadi dua macam yaitu thermoplastic dan termosetting. Thermoplastic adalah bahan plastik yang jika dipanaskan sampai temperatur tertentu, akan mencair dan dapat dibentuk kembali menjadi bentuk yang diinginkan. Sedangkan thermosetting adalah plastik yang jika telah dibuat dalam bentuk padat, tidak dapat dicairkan kembali dengan cara dipanaskan. Berdasarkan sifat kedua kelompok plastik di atas, thermoplastik adalah jenis yang memungkinkan untuk didaur ulang. Jenis plastik yang dapat didaur ulang diberi kode berupa nomor untuk memudahkan dalam mengidentifikasi dan penggunaannya (lihat Gambar 2.1 dan Tabel 2.2).
11 Gambar 2.1 Nomor kode plastik Sumber: Surono, 2013 Tabel 2.2 Jenis plastik, kode dan penggunaannyaa Sumber: Surono, 2013 No. Jenis Plastik Kode 1 PET (Polyethylene Terephthalate) 2 HDPE (High Density Polyethylene) 3 PVC (Polyvinyl Chloride) 4 LDPE (Low Density Polyethylene) 5 PP (Polypropylene atau Polypropene) 6 PS (Polvstvrene) 7 Other (O), jenis plastik lainnya selain dari no. 1 hingga 6 Penggunaan Botol kemasan air mineral, botol minyak goreng, botol sambal, botol obat, dan botol kosmetik Botol obat, botol susu cair, jerigen pelumas, dan botol kosmetik Pipa selang air, pipa bangunan, mainan, taplak meja dari plastik, botol shampo, dan botol sambal. Kantong kresek, tutup plastik,plastik pembungkus daging beku, dan berbagai macam plastik tipis lainnya. Cup plastik, tutup botol plastik, mainan anak, dan cup margarin. Kotak CD, sendok dan garpu plastik, gelas plastik, tempat makan dari styrofoam, dan tempat makan plastik transparan. Botol susu bayi, plastik kemasan, galon air mineral, suku cadang mobil, alat-alat rumah tangga, komputer, alat-alat elektronik, sikat gigi, dan mainan lego.
12 2.5 SIFAT TERMAL BAHAN PLASTIK Pengetahuan sifat termal dari berbagai jenis plastik sangat penting dalam proses pembuatan dan daur ulang plastik. Sifat-sifat termal yang penting adalah titik lebur (Tm), temperatur transisi (Tg) dan temperatur dekomposisi. Temperatur transisi adalah temperatur dimana plastik mengalami perengganan struktur sehingga terjadi perubahan dari kondisi kaku menjadi lebih fleksibel. Di atas titik lebur, plastik mengalami pembesaran volume sehingga molekul bergerak lebih bebas yang ditandai dengan peningkatan kelenturannya. Temperatur lebur adalah temperatur di mana plastik mulai melunak dan berubah menjadi cair. Temperatur dekomposisi merupakan batasan dari proses pencairan. Jika suhu dinaikkan diatas temperatur lebur, plastik akan mudah mengalir dan struktur akan mengalami dekomposisi. Dekomposisi terjadi karena energi thermal melampaui energi yang mengikat rantai molekul. Secara umum polimer akan mengalami dekomposisi pada suhu di atas 1,5 kali dari temperatur transisinya (Budiyantoro, 2010). tabel berikut: Data sifat termal yang penting pada proses daur ulang plastik bisa dilihat pada Tabel 2.3 Data temperatur transisi dan temperatur lebur plastik Sumber: Surono, 2013 Jenis Tm Tg Temperatur Bahan ( C) ( C) kerja maks. ( C) PP 168 5 80 HDPE 134-110 82 LDPE 330-115 260 PA 260 50 100 PET 250 70 100 ABS 110 85 PS 90 70 PMMA 100 85 PC 150 246 PVC 90 71
13 2.6 HUKUM GAY LUSSAC Gay Lussac mengamati perubahan tekanan gas jika suhunya diubah-ubah dengan mempertahankan volume gas agar tetap. Gay Lussac mendapatkan kesimpulan bahwa. Pada volume tetap, tekanan gas berbanding lurus dengan temperaturnya. Pernyataan di atas dapat ditulis P T, dengan T adalah suhu. Hubungan ini dapat ditulis sebagai atau dengan C adalah konstanta. Persamaan diatas dikenal dengan hukum Gay Lussac. (2.1) dimana: = Tekanan (/ ) = Tekanan awal (/ ) = Tekanan akhir (/ ) = Suhu ( C) = Suhu awal ( C) = Suhu akhir ( C) Gambar 2.2 Skema percobaan Gay Lussac Sumber: Abdullah, 2016
14 Gambar 2.3 Hubungan antara suhu dan tekanan gas pada volume konsntan Sumber: Abdullah, 2016 2.7 KALOR Kalor adalah salah satu bentuk energi yang berpindah dari benda bersuhu tinggi kebenda bersuhu lebih rendah. Karena kalorsangat identik dengan panas, dalamkehidupan sehari-hari kalor sering digunakanuntuk mengganti kata panas. Satuan kalorsetara dengan satuan energi, yaitu Joule yang dinotasikan J. Satuan ini ditetapkan oleh James Presscott Joule setelah ia melakukan penelitian menggunakan alat yang kini disebut kalori meter. Selain dinyatakan dalam joule, kalor juga dapat dinyatakan dalamsatuan lain yang disebut kalori, dengan nilai perbandingan 1 Joule = 0,24 kalori. Dari hasil percobaan yang sering dilakukan besar kecilnya kalor yang dibutuhkan suatu benda(zat) bergantung pada 3 faktor: 1. Massa zat 2. Jenis zat (kalor jenis) 3. Perubahan suhuu Temperatur atau suhu merupakan suatuistilah untuk menyatakan derajat panas dinginnya suatu benda, dengan alat pengukur yang di gunakan adalah thermometer. Sedangkan kalor atau panas merupakan salah satu bentuk energi yang dapat di pindahkan karena perbedaan suhu. Bila suatu benda dikenai atau diberi kalor atau panas maka benda akan mengalami beberapa hal, diantaranya: kenaikan suhu, perubahan panjang, dan perubahan wujud (Putra, dkk., 2015). Rumus kalor yang diterima oleh zat:
15 (2.2) Kapasitas kalor dapat dihitung dengan rumus dibawah ini: (2.3) atau (2.4) Sehingga kalor lebur suatu zat dapat dicari dengan rumus dibawah ini: atau (2.5) dimana: Q = Kalor yang diterima suatu zat (Joule) m = Massa zat (kg) = Kalor jenis ( / ) = Perubahan suhu ( C) ( ) = Suhu awal ( C) = Suhu akhir ( C) = Kapasitas kalor ( / ) = Kalor lebur zat ( /)