BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia masih menjadi masalah kesehatan masyarakat global yang dialami baik negara maju maupun negara berkembang. Ibu hamil merupakan salah satu kelompok yang paling rentan terhadap anemia. Berbagai risiko diasosiasikan seiring meningkatnya prevalensi anemia pada ibu hamil (Alem et al., 2013). Berbagai intervensi telah diupayakan untuk menurunkan prevalensi anemia. Meskipun demikian, kejadian anemia masih menunjukkan prevalensi yang tinggi. World Health Organization (WHO) pada tahun 2011 memperkirakan prevalensi anemia pada ibu hamil secara global mencapai angka 38%. Selain itu, WHO juga merilis sebaran anemia berdasarkan wilayah. Negara-negara Asia Tenggara, Mediterania, dan Afrika merupakan wilayah dengan beban anemia paling berat (WHO, 2015). Indonesia merupakan salah satu negara dengan angka prevalensi anemia tertinggi pada ibu hamil. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 prevalensi anemia pada ibu hamil secara nasional mencapai 37,1%. Angka ini menunjukkan prevalensi yang hampir mencapai masalah kesehatan masyarakat tingkat berat (Balitbangkes, 2013). Anemia pada ibu hamil sangat terkait dengan mortalitas dan morbiditas pada ibu dan bayi, termasuk risiko keguguran, lahir mati, prematuritas, dan berat bayi lahir rendah (WHO, 2001). Tingginya prevalensi anemia pada ibu hamil dan besarnya dampak yang ditimbulkan mendorong dilakukannya berbagai program untuk menanggulangi kejadian anemia. Upaya menurunkan prevalensi anemia telah melibatkan berbagai stakeholders melalui program spesifik dan sensitif (Kemenkes RI, 2015). Salah satu program yang terus digalakkan untuk menurunkan kejadian anemia selama kehamilan adalah suplementasi zat besi. Penanggulangan anemia pada ibu 1 1
2 hamil dilaksanakan dengan memberikan 90 tablet zat besi kepada ibu hamil selama periode kehamilannya. Pemberian tablet zat besi selama periode kehamilan ditargetkan untuk menurunkan insidensi anemia pada ibu hamil (Imdad & Bhutta, 2012). Pemberian tablet zat besi selama kehamilan telah terbukti efektif dalam menanggulangi anemia dan komplikasi yang ditimbulkan. Berdasarkan asumsi ini, dapat disimpulkan bahwa kepatuhan mengonsumsi tablet zat besi berkorelasi negatif dengan kejadian anemia pada ibu hamil. Menurut Asyirah (2012) faktorfaktor yang berhubungan dengan kejadian anemia pada ibu hamil di antaranya adalah frekuensi antenatal care dan kepatuhan ibu hamil mengonsumsi tablet zat besi. Hasil Riskesdas menunjukkan adanya perbaikan dalam upaya penanggulangan zat besi di Indonesia. Hal ini tergambar dalam frekuensi antenatal care dan cakupan pemberian tablet zat besi yang semakin meningkat. Dalam laporan Riskesdas tahun 2010, setidaknya 92,7% ibu hamil memeriksakan kandungannya dalam periode awal kehamilannya dan sebanyak 83,8% di antaranya melakukan pemeriksaan kehamilan pada tenaga kesehatan. Adapun cakupan akses ibu hamil dengan pola 1-1-2 (K4) oleh tenaga kesehatan mencapai 61,4%. Sementara itu, cakupan ibu hamil yang mendapatkan tablet zat besi selama kehamilan sebesar 80,7% (Balitbangkes, 2010). Dalam lanjutan Riskesdas pada tahun 2013 terjadi perbaikan dalam berbagai parameter, utamanya frekuensi antenatal care dan cakupan pemberian tablet zat besi. Laporan Riskesdas 2013 menunjukkan 95,4% ibu hamil melakukan pemeriksaan kehamilan. Bahkan, frekuensi antenatal care minimal empat kali selama kehamilan mencapai 83,5%. Begitu pula dengan cakupan pemberian tablet zat besi selama kehamilan juga menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan mencapai angka 89,1%. Sejalan dengan itu, data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2012 menunjukkan persentase ibu hamil yang mendapat tablet zat besi sebanyak 90 tablet telah mencapai angka 85%. Namun, adanya perbaikan dalam frekuensi antenatal care dan pemberian tablet zat besi selama kehamilan tidak sepenuhnya memberikan hasil yang sesuai. Prevalensi anemia pada ibu hamil di Indonesia
3 tetap tinggi sekalipun program suplementasi zat besi telah berjalan dengan baik. Hal ini mengindikasikan kompleksnya permasalahan anemia pada ibu hamil dan banyaknya faktor penyebab yang berkontribusi di dalamnya (Balitbangkes, 2013; Kemenkes RI, 2012). Anemia merupakan kondisi klinis yang melibatkan multifaktorial etiologi. Faktor penyebab anemia tidak hanya menyangkut asupan zat besi yang rendah, tetapi juga terkait dengan infeksi dan kecacingan, defisiensi mikronutrien yang lain, perdarahan dan menstruasi, kondisi patologis tertentu, medikasi dan bahan kimia tertentu, serta kelainan organ bawaan (Bodeau-Livinec et al., 2011; Oehadian, 2012; Ross, 2000). Sementara itu, selama kehamilan terdapat penyebab anemia yang lain, seperti peningkatan volume plasma dan peningkatan kebutuhan zat besi (Varney et al., 2006). Meskipun terdapat begitu banyak faktor penyebab anemia selama kehamilan, namun defisiensi zat besi dianggap menjadi penyebab utama. Anemia defisiensi besi tidak dibatasi hanya pada jumlah asupan zat besi saja, tetapi juga tingkat penyerapannya. Dalam proses penyerapan zat besi, terjadi interaksi dengan zat-zat lain. Interaksi yang terjadi dapat berupa efek pelancar (enhancer) atau penghambat (inhibitor) (Collings et al., 2013). Enhancer dan inhibitor zat besi ada beragam dengan tingkat pelancar dan penghambatan yang berbeda-beda. Pelancar utama dalam proses penyerapan zat besi adalah vitamin C, vitamin A, protein, zinc, asam sitrat dan asam organik lainnya, serta asam amino sistein. Sementara tanin, kalsium, zinc, polifenol, asam fitat, asam oksalat, dan serat bertindak sebagai agen penghambat dalam proses penyerapan zat besi (Hurrell & Egli, 2010; Fairweather-Tait, 2004; Chen et al., 2008; Beck et al., 2014; Bivolarska et al., 2015). Tingkat konsumsi zat besi, enhancer zat besi, dan inhibitor zat besi pada ibu hamil melibatkan faktor sosial, ekonomi, dan demografi. Berbagai hasil penelitian menguatkan asumsi bahwa karakteristik populasi menentukan pola, sikap, dan kebiasaan makan individu. Pendidikan dan status ekonomi merupakan determinan utama yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan pada ibu hamil. Menurut Arkkola et al. (2007) pola makan sehat tergambar pada ibu hamil dengan level
4 pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini terlihat pada tingkat konsumsi zat besi, Bodnar & Siega-Riz (2002) menyatakan perempuan dengan level pendidikan lebih tinggi cenderung mengonsumsi zat besi lebih tinggi pula. Sama halnya dengan asupan vitamin C dan vitamin A yang bertindak sebagai zat enhancer utama dalam penyerapan zat besi menunjukkan hasil yang lebih baik pada ibu hamil dengan pendidikan menengah ke atas (Freisling et al., 2006). Tingkat pendidikan dan usia ibu hamil menunjukkan asosiasi positif dalam berbagai asupan zat gizi. Namun, terjadinya peningkatan asupan zat gizi tertentu yang bertindak sebagai inhibitor penyerapan zat besi berpotensi menyebabkan bioavailabilitas zat besi dalam tubuh menjadi defisit. Seiring meningkatnya level pendidikan, asupan kalsium dan serat juga mengalami peningkatan. Begitu pula dengan zinc yang juga menunjukkan peningkatan pada ibu hamil dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Sementara zinc dalam jumlah berlebih dapat bertindak sebagai inhibitor dalam proses penyerapan zat besi. (Freisling et al., 2006; Watson & McDonald, 2009; Northstone et al., 2008 ). Status ekonomi keluarga berpengaruh terhadap kemampuan dan daya beli dalam rumah tangga. Tingkat pendapatan menentukan kualitas dan kuantitas hidangan. Dengan kondisi ekonomi lebih baik akan memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan ibu hamil (Yuliastuti, 2014). Rumah tangga dengan status ekonomi rendah memiliki kecenderungan lebih rendah pula dalam pemenuhan protein yang bernilai biologis tinggi (Freisling et al., 2006). Sementara itu, Erkkola et al. (1998) menyatakan bahwa tingkat konsumsi zat besi meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan. Namun di lain sisi, kalsium dan asam fitat sebagai inhibitor zat besi juga turut mengalami peningkatan. Pemenuhan kebutuhan dalam keluarga mendorong partisipasi anggota rumah tangga untuk bekerja. Keterlibatan perempuan berimbas pada meningkatnya sumber pendapatan keluarga. Namun, beban kerja yang berat, lamanya waktu bekerja serta peran ganda perempuan utamanya dalam keadaan hamil akan meningkatkan kebutuhan zat gizi yang dapat berakibat pada suatu kerentanan terhadap masalah malnutrisi dalam kehamilan. Selain itu, ibu hamil dengan
5 aktivitas yang padat terkadang mengalami kesulitan dalam pengaturan pola makan dan cenderung mengonsumsi makanan cepat saji (Yuliastuti, 2014). Jumlah anggota keluarga turut memengaruhi jumlah pangan yang dikonsumsi dan pembagian ragam makanan yang dikonsumsi dalam keluarga. Ibu hamil yang memiliki anggota keluarga dalam jumlah banyak dengan ketersediaan makanan yang terbatas akan berusaha membagi makanan sehingga jumlah asupan yang dikonsumsi tidak sesuai dengan kebutuhan. Hal ini dapat berpengaruh pada kemampuan ibu hamil untuk mencapai tingkat asupan yang baik, utamanya zat besi dan zat enhancernya. Komposisi keluarga yang terdiri dari dua atau lebih balita menyebabkan ibu hamil cenderung mengonsumsi protein dan vitamin C yang lebih rendah, meskipun dalam hal vitamin A tetap tinggi (Yuliastuti, 2014; Watson & McDonald, 2009). Kondisi demografis dimana ibu hamil tinggal menentukan akses terhadap sumber pangan tertentu. Hasil penelitian menunjukkan ibu hamil yang tinggal di daerah terpencil memiliki tingkat asupan yang lebih rendah dalam zat besi, zinc, kalsium, dan vitamin E. Namun, beberapa zat gizi seperti vitamin A, vitamin C, dan asam fitat cenderung lebih tinggi pada daerah pedesaan. Hal ini cukup beralasan sebab masyarakat yang tinggal di pedesaan memiliki akses pangan sumber nabati yang baik, namun terbatas dalam pemenuhan sumber protein bernilai biologis tinggi (Cheng et al., 2009). Dengan demikian, keberhasilan dalam menurunkan prevalensi anemia pada ibu hamil tidak sebatas ketercakupan asupan zat besi dari makanan, suplementasi, dan fortifikasi saja. Dalam tatanan penyerapan, jumlah zat besi yang masuk ke dalam tubuh akan melakukan interaksi. Interaksi yang terjadi melibatkan berbagai zat yang dapat bertindak sebagai enhancer dan inhibitor zat besi. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini berusaha menggambarkan konsumsi zat besi, enhancer zat besi, dan inhibitor zat besi pada ibu hamil di Indonesia.
6 B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diperoleh perumusan masalah sebagai berikut: 1. Apa saja pangan sumber zat besi, enhancer zat besi, dan inhibitor zat besi di Indonesia? 2. Bagaimana gambaran konsumsi zat besi, enhancer zat besi, dan inhibitor zat besi pada ibu hamil di Indonesia? 3. Bagaimana hubungan karakteristik sosial demografi dengan konsumsi zat besi pada ibu hamil di Indonesia? 4. Bagaimana hubungan karakteristik sosial demografi dengan konsumsi enhancer zat besi pada ibu hamil di Indonesia? 5. Bagaimana hubungan karakteristik sosial demografi dengan konsumsi inhibitor zat besi pada ibu hamil di Indonesia? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui gambaran konsumsi zat besi, inhibitor zat besi, dan enhancer zat besi pada ibu hamil di Indonesia. 2. Tujuan khusus Tujuan khusus dilakukannya penelitian ini adalah: 1. Mengetahui pangan sumber zat besi, enhancer zat besi, dan inhibitor zat besi di Indonesia. 2. Mengetahui konsumsi zat besi, enhancer zat besi, dan inhibitor zat besi pada ibu hamil di Indonesia. 3. Mengetahui hubungan karakteristik sosial demografi dengan konsumsi zat besi pada ibu hamil di Indonesia. 4. Mengetahui hubungan karakteristik sosial demografi dengan konsumsi enhancer zat besi pada ibu hamil di Indonesia. 5. Mengetahui hubungan karakteristik sosial demografi dengan konsumsi inhibitor zat besi pada ibu hamil di Indonesia.
7 D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis sebagai berikut: 1. Menambah khasanah keilmuan dalam memahami faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi zat besi, enhancer zat besi, dan inhibitor zat besi pada populasi spesifik ibu hamil. 2. Memberikan pemahaman berbagai macam pangan lokal dan komersial sebagai sumber zat besi, enhancer zat besi, dan inhibitor zat besi. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis sebagai berikut: 1. Memberikan sumbangan pemikiran dalam penyusunan program penanggulangan anemia defisiensi besi pada ibu hamil dengan penekanan pada penyerapan zat besi dengan mempertimbangkan kehadiran enhancer dan inhibitor zat besi. 2. Tersedianya data dasar konsumsi zat besi, enhancer zat besi, dan inhibitor zat besi yang dikonsumsi ibu hamil menurut jenis dan sumber pangan di Indonesia sebagai dasar pengambilan kebijakan dalam upaya menguatkan program pangan, gizi, dan kesehatan masyarakat. E. Keaslian Penelitian Penelitian terkait interaksi antara zat besi dengan enhancer dan inhibitor telah banyak dilakukan. Penelitian terdahulu telah memberi pondasi penting dalam memahami bioavailabilitas dan utilisasi zat besi dengan hadirnya satu atau beberapa enhancer dan inhibitor zat besi serta kombinasi keduanya. Meskipun demikian, terdapat beberapa perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan. Penelitian-penelitian sebelumnya memiliki generalisasi lebih luas dengan karakteristik responden lebih beragam sedangkan penelitian yang akan dilakukan lebih ditekankan pada target spesifik ibu hamil. Hal fundamental lain yang menjadi pembeda adalah jenis dan desain penelitian terdahulu yang melihat
8 interaksi zat besi dengan enhancer dan inhibitor zat besi melalui studi eksperimental secara in vivo. Sementara dalam penelitian ini hanya melihat gambaran konsumsi zat besi, enhancer zat besi, dan inhibitor zat besi dalam setting komunitas, tanpa melihat lebih jauh interaksinya. Perbedaan dan persamaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini secara singkat dijelaskan pada Tabel 1.
9 Tabel 1. Keaslian Penelitian No Nama/Tahun Judul penelitian Metode penelitian Hasil 1 Tinu Mary Samuel et al. (2012) Correlates of anaemia in pregnant urban South Indian women: a possible role of dietary intake of nutrients that inhibit iron absorption Ibu hamil berusia 18 tahun dan 40 tahun dengan umur gestasi 14 minggu yang terdaftar pada pusat layanan kesehatan ibu milik pemerintah Bangalore diwawancarai untuk mengevaluasi aspek demografi, sosialekonomi, antropometri, dan dietari untuk melihat outcome hematologi Rendahnya asupan mikronutrien dan tingginya asupan zat enhancer penyerapan Fe, seperti Ca dan P dihubungkan dengan tingginya kejadian anemia pada ibu hamil di India Persamaan penelitian yang akan dilakukan 1. Menggunakan data sekunder 2. Desain crosssectional 3. Variabel inhibitor zat besi 4. Responden merupakan ibu hamil 5. Melihat karakteristik demografi dan sosial-ekonomi Perbedaan penelitian yang akan dilakukan 1. Sasaran penelitian hanya ibu hamil trimester pertama 2. Tidak memasukkan variabel enhancer zat besi 3. Melihat hubungan variabel dengan anemia 4. Survei konsumsi menggunakan FFQ
10 2 Owino Okon go et al. (2012) Dietary iron status and health of third trimester pregnant women in Kenya: a cross sectional study Ibu hamil trimester ketiga yang berusia 14-48 tahun diminta melaporkan semua makanannya dalam 24 jam menggunakan form recall 24 jam, dengan pengulangan tiga hari berturut-turut Ibu hamil berisiko defisit status zat besi pada trimester ketiga 1. Desain crosssectional 2. Tujuan penelitian menilai konsumsi zat besi 3. Variabel konsumsi zat besi 4. Responden merupakan ibu hamil 5. Melihat karakteristik demografi dan sosial-ekonomi 6. Analisis menggunakan Food Consumption Table (TKPI) 1. Sasaran penelitian hanya ibu hamil trimester ketiga 2. Tidak memasukkan variabel enhancer dan inhibitor zat besi 3. Survei konsumsi kombinasi recall 24 jam dan FFQ 4. Dilakukan pengulangan recall 24 jam tiga hari berturut-turut
11 3 Anelia V. Bivolarska et al. (2015) The Role of Eating Habits on the Iron Status of Pregnant Women 219 ibu hamil dalam kondisi kesehatan yang baik dengan usia 27,6 ± 5,7 tahun dari Bulgaria bagian selatan diobservasi kebiasaan makannya dan dinilai status anemia selama kehamilannya. Status besi dinilai dengan indikator Hb, serum feritin, serum transferin, dan indeks besi tubuh Konsumsi ikan dan polong-polongan secara teratur, jarang mengonsumsi kopi, dan konsumsi susu selama interval waktu makan merupakan upaya optimalisasi status besi selama kehamilan 1. Desain crosssectional 2. Melibatkan variabel enhancer dan inhibitor zat besi 3. Responden merupakan ibu hamil dan tidak dibatasi menurut periode kehamilan 4. Melihat karakteristik demografi dan sosial-ekonomi 1. Tujuan penelitian menilai hubungan kebiasaan makan dan status anemia pada ibu hamil melalui pemeriksaan spesimen darah 2. Tidak menilai konsumsi zat besi 3. Pengumpulan data menggunakan kuesioner modifikasi dengan survei konsumsi dibatasi pada jenis makanan tertentu saja
12 4 Suneeta Kalasuramath et al. (2013) Effect of iron status on iron absorption in different habitual meals in young south Indian women 60 perempuan dalam kondisi sehat berumur 18-35 tahun dibagi menjadi 4 kelompok. Kelompok A, B, dan C adalah perempuan dengan status Fe defisit (anemia/id) dan kelompok D merupakan perempuan dengan status Fe normal (IR) yang berfungsi sebagai kontrol. Makanan berbasis nasi, millet, dan gandum diberikan pada kelompok ID. Sementara pada IR hanya diberikan makanan berbasis nasi. Penyerapan Fe diukur berdasarkan penggabungan eritrosit dari label isotop dalam 14 hari Penyerapan zat besi ditentukan berdasarkan status zat besi dari makanan dengan bioavailabilitas rendah. Makanan berbasis millet mempunyai bioavailabilitas paling rendah, sedangkan makanan berbasis nasi dan gandum memiliki bioavailabilitas sedang hingga tinggi. 1. Tujuan penelitian mengidentifikasi sumber zat besi berbasis makanan lokal 2. Mempertimbangkan potensial enhancer dan inhibitor penyerapan zat besi 1. Desain nonrandomized controlled trial 2. Subjek penelitian bukan ibu hamil 3. Tidak melihat konsumsi zat besi, enhancer zat besi, dan inhibitor zat besi. Penelitian berfokus pada tingkat penyerapan zat besi